Sunday, November 18, 2007

Stupid Brace


Setelah bone scan menunjukkan kalau sel-sel kanker yang bandel itu sudah bercokol di tulang rusuk dan tulang belakang, dr. S. dari RS Dharmais menyarankan agar aku memakai brace dan menyuruhku ke Unit Rehabilitasi Medis di RS yang sama.

Dr. H. dari URM menegaskan bahwa aku memang perlu memakai brace dan menurutnya, banyak pasien yang memakainya.

Brace yang dimaksud berbentuk frame besi di bagian depan sedangkan bagian belakang terdiri dari sepotong besi yang dilapis kulit imitasi (lihat gambar- frame besi di bagian depan sengaja aku balut dengan kaos dan busa supaya agak empuk...).

Seorang bapak setengah tua berseragam putih-putih lalu datang untuk mengukurku dengan meteran persis seperti yang sering kita lihat tergantung di leher tukang jahit. Ia kemudian memintaku membayar lunas secara tunai brace yang akan siap dalam waktu dua hari itu. Harganya Rp 470.000. Heran, karena selama ini aku dapat menggunakan karu BCA atau kartu kredit. Dengan cemberut akhirnya ia menerima uang muka Rp 100.000 yang masih tersisa dalam dompetku yang kian menipis.

Keesokan harinya aku mampir ke Bintaro Plaza, membeli 4 T-shirt putih yang pas badan untuk dipakai sebelum brace dikenakan dan ditutup dengan kemeja longgar.

Hari Kamis, 3 Mei 2007, menjelang pukul 12.00, aku datang kembali ke RS Dharmais untuk mengambil brace itu. Waktu dipakai, terasa sakit.

“Mungkin belum biasa,” kata dokter H. dengan nada menghibur.

Dokter H. menyuruhku mengenakan brace selama 3 bulan dan tidak boleh dilepas kecuali kalau mandi atau tidur.

Penyebaran kanker ke tulang adalah hal serius yang harus segera ditangani. Kalau tidak, kemungkinan terburuk adalah: lumpuh. Siapa yang tidak ngeri? Pada saat itu sebetulnya aku merasa sangat sehat. Tak ada nyeri tulang atau rasa sakit lain. Tapi aku tahu kalau kanker tak boleh dianggap enteng. Maka aku pun menurut.

Brace itu membuat aku selalu duduk tegak. Tulang belakang tidak perlu bekerja keras karena beban diambil alih oleh brace ini, begitu kata dokter. Jadi, aku pun berjalan tegak dengan dagu terangkat bagaikan peragawati yang melenggang di catwalk. Hanya saja, kalau peragawati melangkah dengan santai, aku berjalan dengan tegap. Frame besi itu juga membuatku serasa memakai perisai besi yang membuatku gagah perkasa. Kalah deh Xena...

Sekitar jam 14:00 aku sampai di kantor. Jam 16:00 aku mulai merasa sakit akibat frame besi yang menekan dada, tapi aku tahan. Jam 19:00 akhirnya tak sanggup lagi dan akupun pamit pulang.

Hari Jumat dan Sabtu kebetulan aku off dan aku mencoba mengenakannya seharian penuh. Beberapa bagian frame besi itu aku balut dengan kaos dan busa. Tapi tak mempan. Sungguh tersiksa rasanya….Baru tiga hari saja rasanya sudah tidak tahan. Apalagi kalau 3 bulan?

Aku coba browsing di Internet mengenai kanker tulang dan brace. Ada brace untuk kaki, tapi tak ada satupun artikel tentang brace untuk dipakai di dada dalam penanganan kanker payudara yang menyebar ke tulang seperti yang aku alami (secondary bone cancer).

Aku mulai meragukan kegunaan brace itu. Dan tiba-tiba terpikir untuk ke Singapura.

Aku ingat Tuti Gintini, wartawan senior dari Metro TV yang sebelumnya bekerja di harian Sinar Harapan dan menjadi contributor untuk Sunday Post saat aku masih menjabat sebagai editornya. Ia pernah bercerita tentang Dr. Whang dari RS Mt. Elizabeth yang baik hati (belakangan aku baru tahu kalau ia merupakan salah seorang anggota kelompok dokter speasialis yang membuka praktek swasta di RS tsb- kelompok ini berdiri sendiri dan tidak berada di bawah manajemen RS Mt.E).

Tuti memang akhirnya tak tertolong, ia meninggal karena kanker paru-paru di bulan Februari 2007 di bandara saat akan melanjutkan pengobatannya di Singapura. Tapi kesan Tuti akan kebaikan Dr. Whang membuatku memutuskan untuk berkonsultasi dengannya.

Pada hari Rabu, 9 Mei 2007 aku bertemu dengan Dr. Whang. Waktu aku bercerita tentang soal brace, ia berkomentar: "Stupid". Ah, betapa leganya. Memang aku belum bebas dari penyakit yang menyebalkan itu, tapi setidaknya, aku bebas dari siksaan brace yang menyakitkan. (Pada perkembangan selanjutnya aku merasa kurang cocok dengan Dr. Whang dan pindah ke NUH. Mengapa? Baca kisah selanjutnya dalam episode..... Obat Palsu.) ##

2 comments:

Anonymous said...

Sungguh terharu saya membacanya. Mbak, semangat ya, staf saya (dua orang) pernah sakit kanker...keduanya seorang ibu, saya salut banget melihat semangat juangnya, dan tak kenal menyerah.

Tulis terus ya, semoga Allah swt memberi kekuatan dan ketabahan.

T Sima Gunawan said...

Trims banyak, Mbak Ratna, atas dukungan dan doanya.