Saturday, December 18, 2010

Untung.... Bukan Penari Perut

Perabotan di ruangan itu terbuat dari kayu berwarna hitam bergaya Betawi. Terdapat seperangkat kursi lenong dengan sandaran melengkung lengkap dengan meja bulat. Di bagian lain terlihat beberapa bangku panjang dan kursi-kursi pendek yang dikenal dengan nama kursi bemo. Tempat duduk itu diatur sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat berinteraksi satu sama lain dengan nyaman.

Tampak kaktus mungil menghiasi meja yang befungsi sebagai penyekat dan beberapa pot tanaman berdaun hijau segar. Tirai air yang cantik terlihat di samping wastafel bernuansa alam yang dilengkapi dengan sabun cair dan kertas tisue untuk melap tangan..

Tempat apakah itu gerangan?

Ini bukanlah kafe meskipun Bakoel Koffie, cofee shop yang lagi naik daun di Jakarta ini, menggunakan kursi bemo di beberapa gerainya, termasuk di Pondok Indah Mal, Kemang dan Kota.

Ini bukan tempat nongkrong walaupun di sana para pengunjung terlihat asyik nongkrong, duduk dengan santai, kongkouw-kongkouw sambil mengangkat kaki tanpa menghiraukan tulisan “Harap duduk dengan sopan” yang tertempel di bawah kaca meja bulat. Ada juga yang menikmati siaran TV yang memang tersedia di sana, atau yang tidur lelap membujur di bangku panjang.

Ini adalah ruang tunggu utama Departemen Radioterapi, RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, (RSCM), Jakarta, yang dikepalai oleh Prof. Soehartati A. Gondhowiardjo.

Pada dinding di samping pintu masuk, tertulis layanan yang tersedia: “umum, layanan utama dan red carpet service.”

Radioterapi adalah penggunaan sinar pengion dalam upaya mengobati penderita kanker. Prinsip radioterapi adalah mematikan sel kanker dengan memberikan dosis terukur pada target yang dituju dengan menekan seminimal mungkin efek radiasi pada jaringan sehat di sekitarnya.

Apakah sinar pengion itu? Waduh, apa ya? (Lagi males nanya ke mbah Google nih). Aku nggak tau.. soalnya informasi di atas aku kutip dari brosur RSCM. Pokoknya itu sinar yang ampuh deh, lebih hebat dari sinar X atau sinar Y atau sinar Z....

Layanan “red carpet service” alias VIP dikembangkan sejak tahun 2008 untuk menjaring pasien yang selama ini lebih suka berobat ke luar negeri.

Tempat layanan karpet merah ekslusif yang mempunyai pintu masuk tersendiri itu tepat bersebelahan dengan bagian layanan utama dan umum. Di tempat VIP ini tak ada kursi lenong atau kursi bemo. Yang terlihat adalah sofa empuk.

Sudah genap tiga minggu aku keluar masuk RSCM untuk radioterapi. Tidak di bagian “red carpet service”, tapi di layanan utama.

Mula2 aku mendapat informasi bahwa aku harus menjalani radiasi sebanyak 20x. Setelah diradiasi selama 10x, aku diberi tahu bahwa perlu tambahan radiasi 10x. Lho, kok dapat bonus? Apa karena aku ini pasien teladan? Bukan.... Dokter mengatakan bahwa sebetulnya malah perlu 40x, tapi setelah dipertimbangkan masak2, diputuskan, cukup 30x.

Sebelum radiasi, ada yang namanya simulasi. Proses simulasi dilakukan di ruangan tersendiri. Pasien disuruh berbaring di atas meja besi, lalu badan digambari. Jangan bayangkan seperti body painting berwarna-warni dengan motif bunga, burung, hati atau naga. Di sini, bagian yang akan diradiasi diberi tanda, garis lurus, garis silang, bidang segi empat.

Aku ingat kata temanku, Anas, yang tahun lalu menjalani radiasi di Surabaya.

“Kalau tandanya pudar, bisa ditebalin pake spidol yang permanen,” ujarnya.

Maka ketika tanda radiasi terlihat agak pudar, aku bertanya kepada petugas apakah aku bisa menebalkannya dengan menggunakan spidol permanen warna hitam yang selama ini aku bawa.

Ternyata spidolku tidak laku. Mbak petugas sendiri yang menebalkannya dengan spidol khusus milik RS. Ia juga melarangku melakukannya sendiri karena takut kalau garisnya melenceng.

Selama radioterapi tanda itu harus dijaga agar tidak hilang. Repot sekali. Aku harus berhati-hati kalau mandi karena tanda yang berwarna putih seperti kapur itu bisa hilang kalau diguyur air.

Radiasi di RSCM dilakukan setiap hari, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Tanggal 7 Desember 2010 yll adalah Tahun Baru Islam. Hore.. aku libur, tidak perlu ke kantor. Tapi ternyata radiasi jalan terus... Bagaimana dengan Natal dan Tahun Baru nanti?

“Pada hari libur, kita tetap bekerja, tetapi tergantung, libur apa. Kalau Lebaran atau Natal, kita juga libur,” kata Mbak yang menangani radiasi.

Jangankan libur, petugas radiasi juga bisa bekerja hingga lewat tengah malam.

RSCM mempunyai tiga mesin untuk radioterapi, satu diantaranya merupakan mesin canggih dengan teknologi mutakhir. Sebetulnya mesin yang canggih ada dua, tetapi sungguh sayang, mesin yang satu tak dapat dioperasikan karena kendala teknis. Untuk melayani permintaan layanan radioterapi yang tinggi, maka mesin radioterapi yang canggih itu dioperasikan sampai jam 1 pagi.

Asyiiik aku bisa radiasi jam 10 malam setelah pulang kerja. Nggak perlu bermacet ria.

Tapi.. oh, sayang sekali… tidak bisa. Menurut dokter, terapiku tidak memerlukan mesin baru yang canggih itu, cukup dengan mesin yang lama saja.

Tidak semua RS memiliki mesin radioterapi. Di Jakarta hanya terdapat lima rumah sakit yang memberikan layanan ini, yaitu RSCM, RS Dharmais, RS Pertamina, RSPAD dan RS Persahabatan (yang dibangun oleh Rusia pada jaman Orla dan diserahkan sebagai tanda cinta ke RI yang ketika itu menjalin hubungan mesra dengan sayap kiri).

Tak heran, rumah sakit yang memberikan layanan radioterapi atau radiasi diserbu pasien.

Proses radiasi sendiri sangat singkat. Pasien berbaring dan kemudian disinar sesuai dengan tempat yang telah ditandai. Tak sampai 10 menit. Mungkin hanya 5 menit. Tapi menunggunya yang lama.

Untuk pasien VIP, menurut brosur, ada jaminan ketepatan waktu dengan appointment-based treatment session (ditambah dengan private ambulance dan airport pick up and drop off).

Pasien layanan umum yang kebanyakan peserta asuransi Askes (Asuransi Kesehatan) atau Gakin (Keluarga Miskin), harus menunggu sangat lama, bisa setengah hari atau bahkan seharian.

Bagaimana dengan pasien layanan utama?

Kalau lagi beruntung, aku hanya menunggu tak sampai 30 menit. Tapi pernah juga lebih dari 1 jam atau 2 jam. Bahkan 3 jam, ketika ada mesin yang ngadat.

Tidak seperti kemoterapi, kebanyakan pasien radioterapi tidak mengalami rambut rontok dan jarang yang mual-mual atau lemas. Tapi ada juga yang menderita gangguan pada kulit atau efek lain.

Aku sendiri juga mengalami sedikitnya 3 efek sampingan:

1. pusing dan jantung berdebar-debar, dag-dig-dug, karena susah sekali parkir -- lahan parkir terbatas, tidak seimbang dengan banyaknya kendaraan yang membutuhkannya.

2. lemas karena kelamaan menunggu

3. capek karena RSCM jauh dari rumah dan setelah radiasi harus berkendara menembus kemacetan menuju kantor untuk bekerja..

Tapi yang sangat membuatku menderita adalah ketika harus berbaring telentang di meja pada mesin radioterapi. Dada kiriku sekali. Setelah minum painkiller, biasanya aku terbebas dari rasa sakit. Tetapi tetap harus berhati-hati dalam melakukan gerakan tertentu, seperti telentang, membungkukkan badan atau meliukkan tubuh. Untung, pekerjaanku tidak meuntut banyak gerak. Seandainya aku ini penari hip hop atau belly dance... wah... nggak tau deh gimana jadinya.

Kalau tidur, aku tidak bisa telentang. Kebetulan dari dulu aku memang jarang tidur telentang, biasanya miring ke kiri atau ke kanan. Sekarang ini hampir selalu miring ke kanan karena kalau kelamaan miring ke kiri, setelah itu dada akan terasa sakit.

Selama radiasi aku membawa bantal tambahan dari rumah yang untuk mengganjal leher dan punggung agar posisi lebih enak. Lumayan...

Aku bisa berbaring telentang dengan nyaman selama 1 atau 2 menit, tapi setelah itu, aduh.. mak... rasa sakit mulai menyerang. Untuk mengatasinya aku berpegang pada peribahasa yang diajarkan bu guru bahasa Indonesia ketika aku SMP:
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian,
bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”

Saturday, November 13, 2010

Radiologi tanpa Radio

Hari Kamis kemarin dulu aku tidak masuk kantor. My body is not delicious. Lagi kurang enak badan.

Sehari sebelumnya, di pagi hari aku muntah-muntah. Dan itu terulang kembali siang harinya, setelah makan menu wajib bikinan ibuku, jagung rebus dan brokoli. Rasanya mual, lemas dan sedikit pusing.  

Ini gara-gara kecapaian dan telat makan. Kejadiannya berawal pada hari Selasa. Sekitar jam 7:30 aku sudah berangkat dari rumah karena ada janji untuk berkonsultasi dengan Prof. Soehartati, kepala bagian radiologi RSCM.

“Beliau praktik dari jam 10 sampai jam 12. Datang jam 10, ya,” kata petugas ketika aku menelepon untuk bertemu dengan bu dokter.

“Biaya konsultasinya berapa, mbak?”

“Untuk VIP Rp 400.000, kalau layanan utama Rp 165.000.”

Aku memilih yang biayanya tidak terlalu mahal.

Di bagian radiologi RSCM (yang ada TV-nya tapi.. mana ya radionya?) tersedia tiga jenis layanan. Selain kedua layanan yang disebutkan di atas, ada juga layanan umum yang pasiennya antara lain adalah peserta Askes (Asuransi Kesehatan) dan Gakin (asuransi untuk keluarGA misKIN). Kebetulan konsultasi yang aku tanyakan hanya tersedia di bagian layanan utama dan VIP.

Layanan VIP atau yang disebut layanan karpet merah alias red carpet service mulai diberikan sejak awal tahun yll untuk pasien yang bersedia membayar lebih untuk layanan berteknologi canggih dengan kenyamanan ekstra.

Sebelum jam 10 aku sudah sampai di RSCM dengan diantar dr. Winarti yang sudah bagaikan dokter keluarga.

“Dulu saya pernah mengantar pasien VIP, di sana disediakan kopi, teh, makanan kecil seperti risoles. Pasien bisa mengambil sendiri sesukanya,” kata dr. Win sambil menambahkan bahwa ia sempat juga melihat selebritis yang berobat di sana.

Iseng-iseng kami numpang lewat ruang VIP. Memang di sana terasa lebih nyaman, AC-nya dingin dan terdapat sofa-sofa empuk. Aku lihat ada potongan jagung rebus di samping minuman hangat yang disediakan untuk pasien.

Di bagian layanan umum, ruang tunggunya tidak terlalu besar sedangkan pasiennya cukup banyak.

Ruang tunggu layanan utama juga biasa-biasa saja. Hanya ada satu sofa. Selebihnya bangku-bangku kayu dan kursi-kursi yang keras. Untungnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, namaku dipanggil suster.

“Cepet juga ya, dok,” kataku dengan gembira.

Begitu memasuki ruangan praktik, aku terkejut.

Lho, kok Prof. Soehartati berjenggot?

Oh, ternyata itu bukan Prof. Soehartati, tapi dokter yang menjadi asistennya. Namanya sama dengan nama penyanyi dangdut yang ngetop dengan lagu jadul Senyuman Pertama dan Lirikan Matamu.

“Prof. Tati sedang di Dharmais, ada acara di sana,” kata suster.
Asisten Prof. Tati menanyakan riwayat penyakitku dan memeriksaku sebentar. Ketika mengetahui bahwa aku membawa hasil bone scan dan CT scan, ia meminta salinannya. Rupanya mereka tidak memiliki fasilitas foto kopi, jadi terpaksa aku harus meminta tukang foto kopi untuk membuat salinannya.

Tempat foto kopi berdekatan dengan kantin. Tapi kami tidak mampir karena masih kenyang meskipun sebelumnya sudah dianjurkan oleh suster.

Menjelang tengah hari, Prof. Tati ternyata belum muncul, sedangkan dr. Win sudah harus pergi karena ada urusan penting.

Tepat pukul 12, terdengar pengumuman bahwa tersedia makan siang bagi para pasien yang kurang mampu.

Memang sebelumnya, aku mendengar dari dr. Win bahwa dokter kenalannya yang juga bertugas di bagian radiologi dan rekan-rekannya berinisiatif membelikan nasi bungkus bagi pasien yang kurang mampu. Mereka merasa kasihan karena banyak pasien yang datang dari jauh dan harus menunggu berjam-jam sebelum mendapatkan giliran radiasi.

Sementara itu... aku menunggu dan menunggu… sambil terkantuk-kantuk. Perut terasa lapar. Aku membawa roti, tapi sayang sekali tertinggal di mobil. Ah, untung ada satu buah pisang dalam tas! Lumayan…

Setelah sekian lama, datang juga kesempatan untuk berkonsultasi dengan Prof. dr. Tati yang mengawali pembicaraan dengan senyum dan jabat tangan hangat.

Ia menyarankan agar aku memakai korset sampai 2 bulan setelah radiasi selesai untuk menyangga tulang belakangku yang terkena kanker.

“Seharusnya begitu diketahui ada metastasis ke tulang, langsung radiasi. Tidak ada yang memberitahukan hal itu ya?” katanya.

Kanker diketahui menyebar ke tulang pada bulan April 2007, tapi saran untuk melakukan radioterapi memang baru diberikan awal bulan ini ketika aku berkonsultasi dengan dr. Lugi (yang juga berpraktik di RSCM) karena dada kiriku terasa sakit sekali.

Menurut Prof. Tati, perlu dilakukan radiasi sebanyak 20x. Meskipun namanya radioterapi, ia sama sekali tidak menyebutkan apakah perlu mendengarkan siaran radio selama terapi.

Sebetulnya hari itu juga dapat dilakukan penandaan bagian-bagian yang akan disinar, diikuti dengan radiasi pertama. Tapi aku belum siap. Selain itu rasanya lelah sekali..

Sebelum meninggalkan RSCM pada jam 14:30, dengan langkah gontai aku menuju ke kasir untuk menanyakan biaya radioterapi.
Hitung punya hitung, total biaya mencapai Rp 20.744.000. -
Mahal ya? Biaya pengobatan memang mahal. Apalagi mengingat bahwa itu adalah tarif layanan utama.
Coba kalau dibelikan beras, dapat berapa karung? Apalagi kalau dibelikan krupuk... Wah, bisa bertruk- truk.

(PS: Ketika aku tanyakan langsung ke RS Dharmais, ternyata biayanya kira2 juga sama).

Thursday, November 4, 2010

Rasa Kanker

“Bagaimana rasanya setelah selesai kemo?” begitu pertanyaan Mas perawat sebelum menusukkan jarum infus ke lenganku.
“Apa suka lemes?” sambungnya.

Sebetulnya sih nggak suka. Kalo boleh milih, tentu aku suka kuat, energik. Tapi apa boleh buat.... suka nggak suka... kenyataannya begitu. Kondisiku sudah tidak seperti dulu lagi. Gampang capek.

Pertanyaan Mas itu diajukan akhir Oktober 2010 ketika aku menjalani infus Zometa untuk menguatkan tulang. Selama kemo (Maret-Agustus 2010), infus dihentikan, tetapi sekarang dilanjutkan kembali.

Selain lemas, hampir tak ada perubahan. Rasanya biasa-biasa saja. Eh, sebetulnya ada rasa sakit juga di bagian dada kiri sejak akhir September, tetapi itu on and off . Kadang muncul, kadang hilang. Ketika aku berkonsultasi dengan dokter di NUH pada awal Oktober, ia mengatakan agar aku jangan terlalu khawatir. Mungkin rasa sakit seperti itu merupakan hal biasa.

Berhubung sakitnya kian menjadi-jadi, aku putuskan untuk ke dokter spesialis kanker. Tidak di Singapura, cukup di Jakarta saja.

Pilihan akhirnya jatuh ke dr. Lugyanti Sukrisman yang masih muda tapi konon kabarnya “bagus”. Lima tahun yll, aku menjalani kemo untuk yang pertama kalinya di MMC dan sempat bertemu dengan dr. Lugy dua kali dalam kapasitasnya sebagai dokter pengganti atau asisten (?) seorang dokter senior.

“Dr. Lugy juga praktik di Klinik Teratai RSCM,” begitu info dari dr. Winarti, yang selalu memberikan dukungan untukku.

Maka pada hari Selasa (2 November 2010) kemarin aku tiba di RSCM menjelang pukul 11 siang. Selama ini aku belum pernah berobat di sana dan yang membuatku stres adalah susahnya mencari tempat parkir. Sudah memutar beberapa kali, tetap tidak berhasil. Tapi... untung... ada petugas yang baik hati dan menolong tanpa pamrih. Aku sudah berusaha mengingat-ingat namanya yang dibordir dengan benang putih pada baju seragam hitamnya. Kalau tidak salah Ardyansyah tapi kayaknya salah deh,... yang jelas terdiri dari tiga suku kata. .

Anyway.... Klinik Teratai cukup ramai. Ruangannya kecil padahal pasiennya banyak. Waktu aku datang, di ruang tunggu hanya ada 2 bangku yang kosong. Untung ya, masih ada.... Di sebelah kiriku sempat duduk seorang ibu yang keringatnya agak bau menyengat (untung ya hanya ‘agak’, coba kalau ‘sangat’, wah bisa2 aku mabok...)

Setelah menunggu selama 2 jam, barulah aku mendapat giliran. Memang menunggu itu paling menjengkelkan. Tapi aku sudah mengantisipasinya, siap dengan Doomsday Conspiracy, novel lama karangan Sidney Sheldon yang kusambar dari rak buku sebelum berangkat. (Tapi hanya sempat dibaca beberapa halaman karena tertidur...)

Kenapa ya, kalau ke dokter harus menunggu berjam-jam. Waktu aku mengantar ayah berobat ke RS Pondok Indah, kita bahkan menunggu 3 jam.

Meskipun lama menunggu, aku nggak nyesel ke sana. Secara umum, pelayanan di Klinik itu baik. Biaya relatif murah: Rp 100.000 untuk konsultasi dan Rp 20.000 untuk admin, sedangkan di RSPI biaya konsultasi Rp 250.000 dan admin Rp 75.000. Dokternya juga baik, ramah.

“Dok, kita pernah ketemu lho, lima tahun yll, di MMC,” kataku, sok akrab.

“Iya, rasanya saya juga pernah melihat, tapi nggak ingat, di mana,” jawabnya.

Jawaban yang membuatku heran. Masak sih dia beneran ingat aku? Apa istimewanya aku ini sehingga ia ingat? Apa kaena ia tahu bahwa aku pernah ditipu suster ketika kemo di MMC waktu itu? (baca Tertipu).
Setelah memeriksa kondisiku, dokter menduga bahwa rasa sakit itu datangnya dari tulang iga yang tampaknya masih dicokoli sel-sel kanker. Ia menganjurkan agar aku menjalani radiasi, yang juga disebut radiotherapy.

Aku ingat, dokter di NUH dulu juga mengatakan bahwa aku mungkin perlu radiasi.

Waktu aku cerita ke seorang teman bahwa aku perlu radioteraphy, dia bertanya, seperti apa terapinya.
“Apa pake musik?”
Ha..ha..ha.... betul, sambil dengerin radio, disinar dengan cahaya mentari pagi yang hangat....


Sunday, October 17, 2010

Dokter Idaman

“Kalau sudah duduk, lupa berdiri”. Begitu bunyi iklan kursi merek anu.

Yang dialami ayahku berbeda. Kalau sudah duduk, susah berdiri. Apalagi kalau sudah berbaring, susah sekali bangun tanpa merasa sakit. Kalau sakitnya seperti digigit semut sih nggak masalah. Lha ini sakitnya sakiiiitt sekali.

Keadaan ini dipicu oleh rasa lelah yang muncul saat mudik Lebaran naik mobil dari Jakarta ke Solo pp. Tapi itu hanya pemicu. Sejak awal tahun ini kondisi ayahku memang mulai menurun lantaran terlalu banyak aktivitas.

Karena sakit yang tak kunjung hilang, mau tak mau ayah harus ke dokter. Mula2 ke klinik 24 jam di dekat rumah. Dokter memberi beberapa macam obat, termasuk obat anti nyeri. Tapi itu tak menyelesaikan masalah. Seminggu kemudian aku mengantar ayah ke sebuah RS yang kabarnya bagus dalam hal penanganan tulang belulang. Di sana ayah difoto dan hasilnya menunjukkan bahwa tulang belakang sudah keropos. Parah.

“Bapak harus minum suatu jenis obat harganya Rp 200 ribuan per kapsul, diminum seminggu sekali. Atau diinfus setahun sekali, Rp 6.2 juta,” kata pak dokter spesialis tulang yang mengenakan seragam militer, tapi wajahnya tidak garang dan orangnya cukup simpatik.

“Selain itu harus memakai korset yang bisa dipesan khusus, harganya Rp 2.4 juta.”

“Korset apa itu dok,” tanya ayah.

Korset itu untuk menahan supaya tulang tetap pada posisinya apabila badan bergerak, sehingga tidak terasa sakit.

“Kita pikir2 dulu ya, dok,” kataku.

Mahal sekali ya, harga obat dan korsetnya. Padahal biaya konsultasi murah, hanya Rp 75 ribu dan biaya rontgen Rp 120.000 untuk 4 lembar foto tulang belakang.

Tapi ada kejutan yg cukup menyenangkan... Obat yang katanya berharga Rp 200 ribuan itu ternyata “hanya” Rp 93.500 di apotek Kawi. Memang harga obat di apotek ini termasuk murah. (eh, mana yang benar ejaannya? apotek atau apotik?)

Seminggu sudah berlalu, tetapi kondisi ayah belum membaik. Terlintaslah gagasan untuk mencari second opinion alias pendapat kedua dari dokter lain.

Kemana ya enaknya? Setelah dipikir2, aku memutuskan untuk ke RS yang terletak tak jauh dari rumah karena khawatir bahwa perjalanan cukup jauh akan membuat ayah merasa kurang nyaman. RS ini dulu menyandang nama internasional, tetapi predikat itu sudah dicopot atas perintah menteri kesehatan yang baru. (Menurut menkes, hanya ada satu rumah sakit di Jabodetabek yang berhak menyandang gelar internasional, yaitu Siloam).

Di RS tersebut terdapat beberapa dokter spesialis tulang. Dari profilnya yang tercantum di website, kelihatannya mereka cukup mengesankan. Akhirnya aku memutuskan untuk memilih satu dokter yang kelihatannya paling oke.

(Tapi aku sebetulnya kurang yakin. Waktu aku bertanya ke bu dokter langgananku, dr. Win, dia juga mengatakan tidak mengetahui reputasi dokter tsb).

Sehari sebelum ke dokter, aku ngobrol dengan teman renangku. (Ya.. memang aku masih berusaha rajin berenang.)

“Kalau ke RS itu, jangan ke dokter 'anu',” kata temanku. “Aku dulu pernah sama dokter itu. Orangnya nggak serius.”

Teman itu bercerita bahwa dulu ia punya masalah dengan tulang belakang. Dokter itu mengatakan bahwa ia perlu suntik. Sekali suntik Rp 15 juta.

“Aku tanya, ada jaminan ga aku bisa sembuh. Dokternya bilang, kalau nggak sembuh, ya operasi. Dia ngomongnya enteng sekali, kayaknya aku mau dijadikan percobaan,” kata temanku uring2an.

Memang betul, tak ada jaminan bahwa suatu tindakan dapat sukses 100%. Tapi cara penyampaian dokter itu yang kelihatannya kurang tepat.

Temanku kemudian ke dokter lain.

“Kata dokter, aku tak perlu suntik atau operasi,” katanya.

Dokter menyuruhnya banyak berolah raga, jalan kaki dan berenang, dan memakai korset yang dibeli langsung di Spine Center tempat dokter tersebut berpraktik.

“Dokter itu ngomong sama suamiku: Saya jamin istri Anda bisa 70% sembuh,” katanya.

Dalam waktu dua bulan, ia pun sembuh dan tak perlu memakai korset

Dokter itu adalah Prof. dr. Subroto Sapardan, SpOT (K-Spine), Orthopaedic Spine Surgeon.

(Ketika aku menyebutkan namanya dalam SMS yang kukirimkan ke dr Win, ia langsung menyatakan dukungannya).

Kemarin sore (Sabtu, 16 Okt 2010) aku menemani ayah ke Spine Center yang terletak di sebuah RS di di Jakarta Selatan (dan ternyata dokter "anu" yg berinisial LG juga praktik di situ lho). Setelah menunggu 3 jam, akhirnya kami dipanggil masuk ke ruang praktik pak dokter SS.

“Coba pak, berdiri,” kata pak dokter. Lalu ia bertanya “Bapak umurnya berapa?”

“Hampir 84 tahun.”

“Wah, bapak sehat sekali. Lahirnya di Magelang ya? Bisa bahasa Jawa?”

Saged (dapat),” kata ayah dengan tersipu2.

Aku ingin menunjukkan foto hasil rontgen. Tapi dilarang pak dokter. Terlebih dahulu ia meminta ayah mengemukakan keluhannya, yang dengan sabar disimaknya. Lalu menanyakan obat yang tengah diminum Setelah itu barulah ia memeriksa hasil foto.

“Ya, ini sudah sangat keropos,” katanya.

Ia menyuruh ayah meneruskan minum obat yang tengah dikonsumsi dan menambahkan dua jenis obat lain, yaitu untuk mengatasi osteoporosis dan untuk menguatkan tulang. Ia juga berpesan agar ayah selalu menegakkan badan supaya tidak bongkok dan memakai tongkat untuk membantu agar badan tegak.

“Banyak jalan ya,” katanya.

“Berapa menit, dok?” aku bartanya.

“Kok berapa menit. Satu jam,” jawabnya.

“Jalan2 di dalam rumah saja, boleh, dok?”

“Boleh.”

“Mengenai korsetnya bagaimana?”

“Nanti lihat dulu perkembangannya selama sebulan ini.”

“Kalau memang perlu, harganya berapa dok? Mahal ya?”

“Tidak mahal2 amat, ratusan.”

Jelas bahwa dr SS sama sekali tidak komersil. Padahal aku lihat pasien sebelumnya disuruh membeli korset, yang memang tersedia di sana.

Biaya konsultasi Rp 250 ribu plus biaya administrasi sebesar Rp 75 ribu.

(Menurut pasien yang duduk disebelahku, ia sebelumnya berkonsultasi dengan dr SS di RS lain dengan ongkos Rp 200 ribu).

Meskipun ongkosnya sedikit mahal, nggak nyesel deh.

Soal jalan2 itu, memang selama sakit, ayah tak banyak bergerak karena takut kalau tambah sakit.

Tadi pagi ayah mulai berjalan pelan-pelan keliling rumah. Sebetulnya lebih enak ya, kalau jalan2nya di luar rumah sambil mandi sinar matahari pagi, apalagi rumahku keciil mungiil.Tapi untuk sementara tak apalah, yang penting banyak jalan.

“Badan rasanya lebih enteng,” katanya,

Semoga cepat sembuh.

Saturday, October 2, 2010

You are what you eat

 Orang bilang “you are what you eat”. Klise, tapi 100% benar.

Kalau terlalu banyak makan junk food, kita bisa jadi junk… eh, junky… eh.. salah lagi.. Junk itu artinya sampah sedangkan junky adalah drug addict, pecandu narkoba. Junky biasanya kurus kering, tetapi junk food bisa membuat kita tambun….

Bukan sekadar endut, tapi super endut alias obesitas. Itu jelas merepotkan. Baju dan celana jadi kesempitan, kulit jadi sering lecet karena gesekan, gerakan jadi lamban dll. Bahkan bisa terkena penyakit kencing manis, mengalami gangguan ereksi dan meningkatkan risiko keguguran pada ibu hamil (lha iya, masa pada bapak hamil..).

Memang betul, kita semua tahu bahwa makanan sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Makanan tak sehat merupakan salah satu faktor pemicu berbagai macam penyakit.

Sebaliknya, kalau kita setiap hari makan mayur sayur dan buah-buahan serta makanan sehat lainnya, maka tubuh kita tentunya juga bisa lebih sehat. Apalagi kalau dibarengi dengan olah raga teratur…

Orang sehat perlu makanan sehat untuk menjaga agar badan tetap sehat. Jangan mentang2 badan masih sehat, maka kita makan sembarangan. Pandangan itu sangat berbahaya. Namun sayangnya, banyak orang yang tidak menyadarinya. You don’t know what you have until you lose it. Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus dijaga.

Tapi namanya juga manusia… pada saat kita sehat, kita sering mengabaikan prinsip2 hidup sehat. Kita cuek makan apa saja, yang penting enak dan kenyang. Opor ayam, gule dan sate kambing, soto betawi full jerohan, udang, cumi.. dan berbagai santapan berkolesterol tinggi yang membuat lidah asyik bergoyang.

Baru ketika sakit atau ketika hasil check-up menunjukkan tanda-tanda zaman.... , barulah kita mulai merasa perlu untuk mengurangi makanan yang kurang sehat.

Tak ada kata terlambat untuk menghindari makanan tak sehat dan mulai menyantap makanan yang lebih sehat.

Bagi yang sudah sakit, makanan sehat merupakan keharusan yang tak dapat ditawar. Apalagi bagi penderita kanker.

Pada bulan Agustus yll aku ikut acara kumpul-kumpul. Yang jadi MC namanya Anna, seorang ibu muda yang energik.

Dia ini penyintas kanker, lho…

Penyakitnya sempat parah sekali sampai2 dia nggak bisa jalan. Tapi Anna pantang menyerah. Diet ketat pun dilakukan dengan dukungan luar biasa dari keluarganya.

“Saya makan dan minum semua yang disodorkan suami saya,” katanya.

Menunya mencakup jus buah mengkudu, bit, wortel, sirsak dan apel hijau.

Saking cintanya pada Anna, suaminya sampai2 membuka kebun bit di Bogor untuk memperoleh bit segar… Wow… senangnya punya suami seperti itu.
Bravo... Anna. Aku juga diet, tetapi tidak terlalu ketat.

Mau tau diet lengkap Anna?

Trims ya Anna, yang telah bersedia berbagi. Ini resepnya:

MAKAN PAGI
1 gelas Jus Mengkudu
1 gelas SUSU IMMUNOCAL
1 gelas Jus Bit
1 gelas Air Rebusan Mahkota Dewa
1 gelas Jus Wortel
1 gelas Jus Apel Hijau

MAKAN SELINGAN PAGI
Pisang Rebus/ Ubi Rebus
Susu Kacang Kedelai
1 gelas air rebusan daun sirsak

MAKAN SIANG
2 sendok makan Nasi Putih
Brokoli Kukus 300 Gram
Tempe/Tahu Rebus (diselang-seling)
Acar Mentah-mentahan
Daun Selada Mentah

MAKAN SELINGAN SIANG
Kacang Kedelai/ Kacang Tanah Rebus
Snak Creckers (Vegitables - Hi Calsium)
1 gelas jus sirsak

MAKAN MALAM
1 buah Kentang Rebus
Brokoli Kukus 200 Gram
Tempe/Tahu Rebus (diselang-seling)
Acar Mentah-mentahan
Daun Selada Hijau
1 gelas SUSU IMMUNOCAL
1 gelas Jus Mengkudu

MAKAN SELINGAN MALAM
Cingcau Hijau + Madu + Air Seduhan Royal Jeli
1 gelas Air Rebusan Mahkota Dewa
1 gelas air rebusan daun sirsak

ISI ACAR:
Wortel, Kedongdong, Bengkoang, Timun Jepang, Apel Hijau Manalagi. Diiris dadu kecil-kecil. Untuk Rasa asamnya, gunakan air jeruk nipis.
1 gelas Jus Bit berasal dari ½ kg Bit Merah Mentah, di Juicer
1 gelas jus wortel berasal 350 gram wortel, di Juicer
1 gelas jus apel berasal dari 400 gram apel hijau, di juicer
1 gelas air rebusan mahkota dewa, berasal dari 2 gelas yang direbus dengan mahkota dewa, bersisa hanya 1 gelas.

1 minggu sekali makan telur Ayam Kampung rebus.
1 minggu sekali tahu/tempe bisa digoreng tapi menggunakan minyak dari biji bunga matahari. Brokoli kukus bisa dimakan dengan kecap, atau dengan saus kacang, buatan sendiri, kacang disangrai, diulek diberi garam sedikit terus seduh dengan air hangat.

Kukus-kukusan selain brokoli, bisa juga bunga-kol, wortel, kacang panjang, buncis, dll.

Selamat mencoba!

Sunday, September 26, 2010

Setelah kemo selesai, apa lagi?

Penanganan terhadap pasien yang satu berbeda dengan yang lain, tergantung kondisi masing2. Yang jelas, setelah selesai kemo ya..… pulang ke rumah dong… . He..he..he.. Emangnya enak berlama-lama di rumah sakit?)
Untuk mengetahui keberhasilan kemo, biasanya dilakukan berbagai pemeriksaan. Salah satunya adalah tes darah untuk melihat apakah ada dampak negatif kemo terhadap fungsi ginjal, hati dll. Yang tidak kalah pentingnya adalah tes penanda tumor atau tumor marker. Di samping itu ada juga tes lain tergantung kebutuhan.

Terapi kemo, yang sering disingkat kemo saja, merupakan terapi yang ampuh, khususnya untuk mereka yang masih dalam stadium dini. Apabila pasien masih dalam stadium dini, kemo dapat menghajar habis si kanker busuk.

Aku pertama kali didiagnosa menderita kanker beberapa hari setelah lebaran tahun 2004. Setelah menjalani mastektomi pada pada bulan Desember 2004 dan 6x kemo pada bulan Januari – Juni 2005, dokter menyatakan bahwa tak ada sel kanker yang terdeteksi dalam tubuhku.

Apakah aku sudah sembuh?

Tidak. Atau tepatnya, belum…

Setelah kemo, aku harus menjalani mamogram secara berkala. Mula2 setiap 3 bulan, lalu 6 bulan, lalu 1 tahun sekali.

“Kalau selama 5 tahun hasilnya negatif, maka baru boleh dibilang sudah sembuh,” begitu yang aku dengar.

Belakangan, aku mendengar bahwa yang paling aman adalah 10 tahun. Pasien dapat dinyatakan sembuh kalau sudah bebas kanker selama 10 tahun.

Nah, kurun waktu selama 5 atau 10 tahun itu sebetulnya merupakan masa yang sangat menentukan. Usahakan jangan sampai kambuh karena kalau itu terjadi, maka penanganannya akan jauh lebih sulit.

Bagaimana cara mencegah agar tidak kambuh?

Minum obat seperti yang dianjurkan dokter. Banyak makan sayur dan buah. Hindari makanan yang kurang sehat. Lakukan olah raga yang sesuai. Dan jangan lupa berdoa.

Gampang kan?

Memang, teori itu selalu lebih mudah dari praktiknya.

Contohnya, ya aku ini… Baru 3 tahun, eh, kankernya muncul lagi. Kali ini dia menyerang tulang. Dalam istilah kedokteran disebut metastasis ke tulang. Karena itu, maka aku naik kelas. Dulu stadium II B, sekarang sudah stadium IV. Aku lupa, apakah IV A atau B …

Mula2 dokter memberiku aromasin, pil yang harus diminum tiap hari untuk menghambat penyebaran sel-sel kanker. Kemudian tiap bulan aku diinfus zometa untuk menguatkan tulang, lalu disuntik zoladex untuk menghambat produksi hormon estrogen yang dapat memicu penyebaran sel kanker.

Karena kanker makin menyebar, maka akhirnya dokter menyuruhku kemo.

Setelah kemo selesai, aku berkunjung ke tempat praktik bu dokter di NUH hari Jumat kemarin (24 September 2010) dengan membawa hasil tes darah, bone scan dan CT scan, seperti yang diminta.

Untuk bone scan, ga terlalu masalah, meskipun semua proses makan waktu lebih dari 3 jam. Yang bikin stres adalah CT scan. Bukan soal puasanya…. Karena yang akan diperiksa adalah perut, dan perlu “kontras” agar hasilnya dapat dibaca dengan baik, maka suster memberiku obat yang dimasukkan melalui dubur. Rasanya aduuuuuuh.. sangat tidak nyaman.

Untungnya, petugas di ruang CT scan RS PIK sangat cekatan dan baik (nggak judes seperti si mbak berambut panjang yang bertugas di bagian pendaftaran/penerimaan tamu).

Hasil CT scan aku ambil keesokan harinya. Sebelumnya aku sudah minta agar hasil ditulis dalam bahasa Inggris dan hal itu sudah disanggupi oleh petugas. Karena itu aku protes ketika mendapatkan hasil dalam bahasa Indonesia.

“Kalau begitu nanti kita terjemahkan dulu. Tapi hasilnya baru bisa besok siang,” kata petugas. “Apa mau dikirim lewat email?”

“Ya, mas. Tolong kirim lewat email saja,” kataku.

Ketika aku sedang menulis alamat email di secarik kertas yang diberikan oleh mas itu, datanglah atasan si mas. Bapak berbadan tidak tinggi dan perut tidak rata.

“Di fax saja, Bu,” katanya.

“Email saja, Pak. Saya nggak punya fax di rumah.”

“Kalau mau di-email harus bikin surat pernyataan.”

“Ribet amat sih. Pak, boleh saya ketemu dengan dokternya?”

Ketika pak dokter datang, aku bertanya mengenai hasil CT scan. Menurut pak dokter, hasilnya bagus. Mengenai hasil yang seharusnya ditulis dalam bahasa Inggris, karena sifatnya rahasia, dokter menyuruhku membuat surat permohonan agar hasil dikirim melalui email.

“Bapak saja yang menuliskan. Nanti saya tinggal tanda tangan,” kataku dengan nada sangat judes. (nyesel juga judes kayak gitu.. maap ya pak..)

Bukan ke pak dokter lho… tapi ke pak admin yang badannya tidak tinggi dan perutnya tidak rata itu…

Keesokan harinya, pagi2 aku sudah menerima email berisi hasil CT scan yang ditulis dalam bahasa Inggris.

Trims ya pak..

Hasil CT scan memang bagus. Tidak ada penyebaran ke bagian tubuh yang lain seperti paru-paru, hati, ginjal dll.

Hasil tes darah, termasuk tumor marker, juga bagus. Semuanya normal, kecuali Hb yang agak rendah sedikit.

Hasil bone scan juga bagus karena terjadi penurunan aktivitas dibandingkan dengan kondisi sebelum kemo. Tetapi kanker itu masih ada di sana.

“You are doing well,” kata bu dokter.

Tapi gimana ya dok… kenapa kanker itu masih saja bercokol di tulangku?

“Ini kan stadium lanjut. Tapi sudah bagus, ada kemajuan. Dan yang penting adalah tidak ada penyebaran ke organ tubuh yang lain,” kata bu dokter.

“Gimana dok caranya supaya kankernya bisa dibasmi sampai tuntas?”

“Bedoa ya,” katanya.

Iya dok… Memang doa itu penting.

Terus, selain itu apa?

“Mungkin perlu radiasi. Tapi nggak sekarang. Kan ini baru abis kemo,” kata bu dokter.

Masih untung…. Coba kalo harus langsung radiasi… aduuhhh.

Sementara itu, bu dokter menyuruhku melanjutkan suntik bulanan zoladex, infus zometa dan minum obat anastrazole (arimidex).

Konsultasi berikutnya dijadwalkan bulan Januari 2011.

Friday, September 10, 2010

Kemo telah berlalu

Akhirnya… selesai sudah. Proses kemo yang melelahkan telah berakhir dengan aman dan damai tanpa pertumpahan darah.

Memang tak sampai tumpah ruah seperti air bah. Tapi darah sempat menetes-netes ketika jarum infus dicabut seusai kemo yang kesekian sekitar bulan Juli 2010. Seharusnya, begitu jarum ditarik, lubang bekas tusukan jarum di urat nadi ditekan selama beberapa saat supaya darah tidak keluar. Tapi rupanya suster lagi kurang konsentrasi sehingga lupa menekannya..
Ya sudahlah. Biarpun sempat ada sedikit gangguan, secara umum seluruh proses kemo yang dimulai pada tanggal 26 Maret 2010 dan berakhir 28 Agustus 2010 itu boleh dibilang berjalan lancar.

Kemoterapi atau chemotherapy adalah terapi atau pengobatan dengan menggunakan chemicals atau toxic drugs untuk memperlambat atau meniadakan penyebaran kanker. Oabt dimasukkan melalui aliran darah untuk meracuni sel-sel kanker yang tumbuh pesat. Sebagai efek sampingannya, sel-sel dan organ tubuh yang sehat dapat terganggu sehingga pasien bisa mual, kehilangan rambut atau kekurangan darah.

Setelah dicampur dengan cairan infus, obat masuk ke tubuh melalui urat nadi yang ditusuk dengan jarum infus. Selain obat kemo, ada juga obat lain seperti vitamin, obat anti mual dan anti shock serta anti penyok. Salah satu obat mengandung obat tidur sehingga ditengah-tengah proses kemo, aku pasti tertidur, biarpun rata-rata hanya sekitar 30 menit. Proses kemo sendiri berlangsung sekitar 3 jam, tapi biasanya aku menghabiskan waktu minimal 5 jam karena ada persiapan kemo dan proses administrasi, termasuk urusan pembayaran yang biasanya makan waktu agak lama.

Proses kemo yang aku jalani terdiri dari 6 putaran. Setiap putaran lamanya 4 minggu dan terdiri dari 3x kemo yang dilakukan seminggu sekali (kadang2 maju atau mundur sehari, tergantung jadwal dokter). Setelah 3x kemo, minggu ke-4 libur.

Jumlah total kemo mencapai 18. Betul, delapan belas! Kebayang ga sih seperti apa rasanya... Dikemo sekali aja ga enak, apalagi 18x.

Kalau dipikir-pikir dan dibayangin, ngeriiii. Tapi setelah dijalani, ternyata tak sehoror yang dibayangkan... Mula-mula terasa sedikit sakit waktu ditusuk jarum. Setelah itu, rasanya ya seperti diinfus biasa saja, tidak sakit. Bisa sambil ngobrol dan nonton TV.

Yang rada repot, kalau mau ke kamar mandi. Selang infus tidak bisa dicopot, jadi botol berisi cairan infus yang sudah dicampur obat itu harus ikut dibawa berikut tiang infusnya....

Selain itu, tangan kiri yang urat nadinya dimasuki obat juga lumayan pegal karena tak boleh banyak digerakkan. Seringkali aku juga merasa kedinginan, terutama di bagian lengan dan tangan kiri. Kalau beruntung, aku bisa mendapat selimut berbahan flanel atau selimut berisi busa. Tapi biasanya aku hanya kebagian selimut tipis terbuat dari bahan katun putih yang tampaknya juga berfungsi sebagai seprei.

“Nanti jam 2, laundry-nya baru datang,” begitu tanggapan suster pada suatu pagi menjelang siang ketika aku meminta selimut yang agak tebal.

Pada kemo yang terakhir, aku berangkat dari rumah jam 8 lewat dikit. Tak sampai satu jam sudah sampai di RS. Tapi pulangnya makan waktu sekitar 3 jam. Macetnya minta ampun.. . Pasti karena banyak orang berbelanja untuk kebutuhan Lebaran.

Dua minggu telah berlalu.. Secara fisik seringkali badan masih terasa agak lemes. Secara nonfisik, ya jelas lebih baik karena rasa syukur, lega dan gembira yang muncul seiring dengan berakhirnya proses kemo.

Monday, September 6, 2010

Tuhanku Tuhanmu

"Banyak2lah berdoa.” Begitu kata seseorang ketika mengetahui bahwa aku kena kanker stadium 4.

Doa memang perlu. Doa bisa membuat kita lebih tenang. Berkat doa, kanker bisa hilang.

“Di gereja itu ada penyembuhan. Pendetanya hebat. Orang kanker bisa sembuh total..Pergilah ke sana minta didoakan supaya sembuh.” Anjuran semacam itu telah aku dengar berkali-kali.

Doa bisa mendatangkan keajaiban. Hal ini diyakini bukan hanya oleh orang Kristen, tapi juga orang Islam, Buddha, Hindu dan yang lain.

Semua agama pada intinya sama2 baik. Itu kalo kita mau ngomong yg baik2. Yang tidak terlalu baik juga ada. Misalnya kelompok garis keras yang tindak tanduknya dikecam banyak pihak (kayak rusa aja ya, punya tanduk….).

Temanku di kantor pernah mengeluh tentang adiknya yang berubah menjadi aneh dan tidak lagi peduli terhadap keluarga setelah mengikuti aliran tertentu dari agama Islam yang dianutnya. Teman lain bercerita tentang tantenya yang berhenti mengikuti pengajian karena merasa kurang sreg dengan ceramahnya yang pro-teroris.

"Katanya teroris itu tidak bersalah. Mereka malahan menyalahkan polisi yang menangkap teroris," katanya.

Ih, kok bisa ya, punya pemikiran seperti itu.

Ajaran yang dianggap melenceng juga terdapat dalam agama Kristen. Ada sekte di Texas yang menerapkan.poligami. Pendetanya sendiri memiliki 6 istri, puluhan anak dan lebih dari seratus cucu (kalah deh keluarga kelinci). Angka tepatnya aku lupa, tapi ada di majalah National Geographic edisi awal tahun ini. Anak laki-laki pendeta itu juga memiliki beberapa istri. Kenapa anak perempuannya tidak disuruh menganut poliandri? Soalnya sekte itu yakin bahwa salah satu misi mereka adalah beranak pinak sebuanyak-buanyaknya. Mungkin karena itulah ia mendorong poligami, bukan poliandri.

Aku percaya Tuhan tapi bukan orang yg terlalu religious dan tidak rajin mengikuti ritual agamis. Minggu kemarin ketika menemani orang tua ke gereja, aku mendengar bacaan Alkitab yang diambil dari injil Lukas. Isinya kira2 begini: Kalau mau menjadi pengikut Yesus, tingalkanlah istri, anak-anakmu dan orang tuamu.

Apa...???

Menurut pendeta, kalau kita ingin menjadi pengikut Yesus, maka kita harus melupakan keluarga kita, bahkan melupakan diri sendiri.

Lalu disebutkan bahwa ada orang tidak naik pangkat karena ia Kristen. Ada yang hidupnya menderita karena ia Kristen. Hidup sebagai orang Kristen berat karena harus memikul salib. Tapi kita harus yakin bahwa nanti pada akhirnya akan ada perubahan.

Kira-kira begitulah inti kotbah yang aku tangkap. Yach, kurang lebih seperti peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”.

Tapi sebetulnya aku merasa kuatir karena ayat serta kata-kata yang disampaikan pendeta bisa diinterpretasikan secara harafiah dan menimbulkan hal-hal yang hil-hil.

Aku jadi ingat keluhan teman yang adiknya berubah dan tak lagi menghiraukan keluarganya setelah menjadi pengikut aliran tertentu dalam agama Islam.

Sekali lagi, semua agama itu baik dan ajarannya juga tentunya baik. Hanya saja interpretasinya bisa berbeda. Perbedaan itu biasa dan tak perlu dikuatirkan. Yang bikin kuatir adalah kalau mengarah ke hal yang tidak baik sehingga bisa mengganggu bukan saja kerukunan dalam keluarga dan juga dalam skala yang lebih besar...

Karena itu marilah kita berdoa agar semuanya baik2 saja. Amin...

Friday, September 3, 2010

Wanted: (more than) Korek Kuping

Tulisan ini secara langsung tak ada hubungannya dengan kanker. Tapi secara tak langsung, ada juga kaitannya. Kartu kredit bisa digunakan untuk membayar biaya kemo di RS, juga CT Scan, Bone Scan, MRI, pemeriksaan lab dll. (hehehe.. maksa ya)
By the way ... Breast implants and diamond-studded bikinis: Credit cards

Legislators and customer service officers have something in common: many of them need Q-tips for their ears.

Legislators often turn deaf ears to people’s aspirations. Many find it easy to dismiss public criticism while defending their proposal to establish an “aspiration home” in each respective electoral district at a cost to the state of Rp 112 billion (US$12 million) per year.

Like legislators, many customer service officers are also notorious for hearing disabilities. Credit card customer service officers may be one of the best examples. You may talk to them, complaining about why you should not have to pay for things you haven’t even thought of purchasing, such as  breast implants, a diamond-studded bikini or plane tickets to Sierra Leone.

You may have a simple request, like asking them to send your statements to a new postal address. They promise their assistance but time passes and their promises remain unfulfilled.

Who hasn’t heard this line a thousand times before, “Should you need assistance, please contact our 24-hour hotline and our customer service officers will be happy to assist you.”  

But making a simple phone call often takes more time, energy and patience than anticipated. We are told to push this button and then that button and asked to answer personal questions like: When is your birthday? What is your mother’s maiden name? What was your first girlfriend’s (or boyfriend’s) name?

What is your wildest dream? Do you snore or have insomnia?

Credit cards can trigger “shopaholism,” which can lead irresponsible cardholders to bankruptcy even while the bank continues to increase credit limits to several times more than the cardholder’s monthly income, sometimes without approval and without providing information about changing interest rates.   

But credit cards can also make our lives easier, and at times can even be our best friends, as long as we know how to use them wisely. Alas, my 15-year-old relationship with my best friend is now at stake.

Here is the story. Earlier this year, as a responsible and loyal credit card holder, I received an offer to acquire another card which would allow me a 50 percent discount and cashback options on certain products at a particular hypermarket.

But, I decided to cancel it after two or three months because I didn’t shop that much.

Then in mid June, I started receiving phone calls reminding me to pay the outstanding bill for my first credit card account. I explained that I had paid my bill through Internet banking, but agents kept calling my cell phone and I was bombarded by text messages from unknown sources offering me loans. Finally, I realized that I made the payment to my second credit card account. But it was too late. My original card service had already charged me a Rp 50,000 late payment fee and a Rp 334,783 interest charge.

Ok. It was my fault. But why didn’t the bank reject the money transfer to a defunct account? There was nothing I could do other than pay the fees and call the bank.

“Yes, we can help you transfer the money from the defunct account to your other account. Please send proof of your transaction by fax.”

I did what I was told in hopes that soon everything would be rectified. But debt collectors kept calling me and eventually my credit card was blocked.

I was tempted to hire thugs disguised as members of a xenophobic hard-line organization to force the American bank to immediately fix my problem so I could use my credit card to buy a gift for my mom’s birthday.

As a good citizen, however, I called the bank instead.   

I had made many calls and talked to many different people, including Yongyong, Vitvit, Numnum, Chelchel, Bibi and Erer, all of whom promised to accelerate the process of investigating erroneous payments made to my defunct credit card account and transfer them to my other card account.

What I received was a confusing electronic statement.

The total bill for these services reached several million rupiah — the amount of money mistakenly transferred to my defunct credit card account early in June. My available credit limit was also extended by that amount and a Rp 450,974 interest charge printed in the transaction details.

From my conversation with these bank officers, I conclude that there may be something more serious than a hearing impairment — one that cannot be cured with an ear pick. The same thing applies to legislators. They might hear what people say, but they don’t listen. They are insensitive and may have lost their conscience.

— T. Sima Gunawan

Quiz of the day: What is the name of the bank which issues my credit card? 

Ketika suster kecopetan hape

Tingkat kesulitan tusuk-menusuk itu relatif. Ada yang gampang, misalnya menusuk daging buat bikin sate. Yang susah adalah menusukkan jarum infus ke urat nadi yang halus, seperti urat nadi bayi atau urat nadiku.

Kalau suster kurang ahli, bisa saja aku ditusuk sampai 3x sebelum jarum infus berhasil terpasang dengan baik. Dan itu juga berarti aku harus lebih banyak meringis menahan sakit.

Karena itu aku sangat berterima kasih pada suster2 yg jago tusuk. Bu dokter juga sama gembiranya kalau proses penusukan berjalan lancar.

Salah seorang suster di RS yang pandai menusuk dan baik hati adalah Suster Yolanda.

“Suster, bagi nomor hapenya dong,” kata bu dokter ketika aku menjalani kemo ke-17 pada di bulan Agustus kemarin.

“Ga ada dok. Hape saya dicopet di bis,” kata suster, sambil menambahkan sejumlah uang ikut raib.
“Suster, biasanya pake GSM atau CDMA?” aku bertanya.

“Saya pake GSM,” jawabnya.

Aku punya hape yang tidak terpakai. Barangkali suster mau  menerimanya. Tapi sebelum aku sempat mengutarakan maksud tsb, terdengar suara bu dokter.

“Nanti saya kasih. Saya punya Sony Erickson. Masih baru. Baru saya pakai 1x, tapi saya tak pakai. Saya ada yang lain,” katanya bersemangat.

Aku jadi malu.... solnya yg mau aku kasih itu hape Nokia jadul...

Bu dokter memang baik.

Hari itu RS penuh. Hanya ada kamar VIP yang tersisa untuk kemo. Kalau jadwal kemo diubah, agak sulit karena jadwal bu dokter yang padat. Akhirnya dengan berat hati, kemo terpaksa dilakukan di kamar itu.

“Kalau VIP nambah berapa? Pasti mahal. Nanti ongkos dokternya free saja,” kata bu dokter yang memang sering membantu pasien yang kurang mampu.

“Ah, jangan dok...,” kataku. Soalnya kan ga enak juga sama bu dokter yang menghabiskan waktu 3 – 4 jam untuk proses kemo.

Tentu saja bu dokter tidak berubah pikiran.

Bahkan pada kemo yang berikutnya pada tanggal 28 Agustus 2010, yang merupakan kemo terakhirku (horeee...), ia juga tidak meminta bayaran. Hal itu haru aku ketahui ketika akan membayar biaya RS di kasir.

Thank you, doc.