Tuesday, January 27, 2009

Lari Usir Rasa Sakit

Tak ada orang yang mau sakit. Makanya ada pepatah: Lebih baik mencegah daripada mengobati. Tapi kalau sudah sakit, ya mau ga mau mesti kita hadapi dengan tenang.
Beberapa waktu ini kadang-kadang timbul rasa sakit dan pegal-pegal di tubuhku. Tak jelas mengapa. Sebetulnya tidak terlalu sakit, hanya saja ya lebih enak kalau tak sakit dong.
Bulan lalu aku sempat sakit di bagian kanan tubuh. Pada saat tidur, aku harus berhati-hati kalau ingin membalikkan badan ke kanan karena bagian tertentu akan terasa sakit jika tergesek kasur. Rasa sakit itu hilang setelah beberapa hari dengan sendirinya.
Pertengahan bulan ini rasa sakit muncul lagi. Kali ini di bagian panggul kiri. Bahkan kalau aku bersin, rasa sakit pun menyengat. Aktivitas masih berlangsung biasa meskipun kalau naik turun tangga, aku harus lebih waspada. Setelah lima hari, sakitnya berkurang, tetapi belum hilang 100 %. Ada satu titik di panggul kiri yang terasa sakit kalau ditekan.
Bu dokter di NUH menduga bahwa ini disebabkan oleh si kanker busuk yang bercokol di tulangku. Menurut hasil bone scan yang dilakukan di RS Dharmais minggu lalu, dari sekian banyak spot yang terkena kanker, panggul kiri yang tampaknya paling “hitam” (artinya yang paling buruk).
Bu dokter tampak khawatir dan menawarkan koyok .. benar .. koyok dan painkiller semacam panadol. Tapi aku hanya menerima koyok dan menolak minum pain killer.
Meskipun sedikit sakit, aktivitasku tak terganggu. Bahkan ketika aku harus mengejar waktu agar tak terlambat menjalani pemeriksaan di NUH dan tak ketinggalan pesawat ketika kembali ke Jakarta.
Hari Jumat, 23 Januari 2009, dari Jakarta aku langsung ke Singapura. Begitu sampai di Terminal 1 Changi, aku naik Sky Train ke Terminal 2. Berbekal peta MRT yang sudah kutandai, dengan mantap aku melanjutkan perjalanan dengan MRT. Aku turun di Buena Vista dan segera menyeberang jalan. Dari sana aku akan naik shuttle bus menuju ke NUH.
Tapi mana shuttle bus-nya? Malu bertanya sesat di jalan. Maka aku bertanya kepada seorang lelaki yang sedang menunggu bis. Ia menganjurkan agar aku kembali ke seberang. Lumayan juga harus naik turun tangga penyeberangan. Di tanggal ada dua cewe dan satu cowo yang duduk-duduk sambil tertawa keras-keras. Nggak sopan, pikirku. Waktu salah satu cewe berteriak-teriak, aku tersentak. Oh rupanya orang Indonesia… Dasar...
Sampai di seberang jalan, aku sudah ngos-ngosan, tapi shuttle bus tetap tak ada, padahal tadi dalam perjalanan aku sudah melihat gedungnya. Berarti tempatnya tak jauh dari situ. Aku lalu menghubungi NUH.
“The shuttle bus doesn’t stop there. You should take the MRT and get off at the next stop,” kata si mbak penerima telepon.
Ya ampun… Bodohnya aku ini. Ya sudah aku naik taksi saja. Tapi kenapa taksi tak mau berhenti?
“Coba jalan ke sanaan dikit,” seorang perempuan muda menjawab ketika kutanya.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas ke arah yang ditunjuk. Eh, mengapa si mbak itu mengejarku.
“The yellow bag over there, is that yours?” katanya.
Lagi-lagi ya ampun… Kantong kuning berisi hasil bone scan rupanya tertinggal di halte bis.
Akhirnya aku tiba di NUH dengan bercucuran keringat, meskipun taksinya ber-AC. Aku terlambat datang dan para petugas yang menjalankan tes BMD sudah pergi makan siang, tapi tak apa. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian.
Pulang dari Singapura, aku juga harus berlari-lari di airport padahal kami tiba di sana pagi-pagi sebelum check in counter buka.
Meskipun aku datang dari Jakarta sendirian, pulangnya bertiga, bersama teman dari Melbourne yang transit di Singapore sebelum menuju Jakarta.
Karena asyik melihat-lihat, kita sampai lupa waktu.
Last call,” temanku berseru ketika ia melihat papan informasi.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 13:00 sedangkan pesawat Value Air berangkat pukul 13:35.
Segera kami bergegas menuju gerbang pemberangkatan. Ternyata jaraknya jauuuuhh sekali.
Gate closing. Hah… Gate closing,” temanku berteriak sambil melihat papan informasi. Kamipun berlari-lari. Tapi aku tak tahan. Baru lari sebentar sudah terengah-engah, jadi aku berjalan cepat saja.
Sampai di gerbang keberangkatan, ternyata pintu masih terbuka. Ada antrean panjang penumpang yang hendak naik pesawat yang sama. Lega deh.
Dan yang lebih menggembirakan, pinggulku tak sakit meskipun dibawa berlari dan koyok tak sempat aku pakai. Mungkin sakit justru hilang karena banyak bergerak. Memang olah raga itu perlu.

Waspada Dan Kepala Dingin

Membasmi kanker memang tak gampang, tapi bukan berarti tak dapat dikendalikan. Paling tidak, itulah yang aku alami saat ini.
Dibandingkan dengan tiga bulan yll, kondisiku kurang lebih masih sama. Kalaupun memburuk, maka memburuknya hanya sangat sedikiiit sekali, demikian kata bu dokter di NUH setelah membaca hasil bone scan RS Dharmais yang terakhir.
“It’s good,” begitu kata bu dokter membesarkan hati.
Menurut bu dokter, pengobatan yang dijalankan selama ini cukup efektif untuk membantu penahan penyebaran sel-sel kanker.
Bagaimana kita dapat mengendalikan sel-sel kanker agar tak menyebar lebih lanjut? Ya jangan biarkan mereka berkembang biak seenaknya sendiri. Harus dilawan semampu kita.
Berdasarkan pengalamanku, paling sedikit ada tiga cara: Yang pertama melakukan pengobatan dan tindakan medis lain sesuai anjuran dokter. Kedua, banyak-banyak makan sayur dan buah. Ketiga, banyak-banyak berolah raga.
Setahun sekali aku harus menjalani pemeriksaan BDM alias bone mineral density.
Tes ini berbeda dengan bone scan.Bone scan dilakukan untuk melihat apakah ada sel-sel kanker di tulang, sedangkan BMD tes ini untuk mengetahui kepadatan tulangku, apakah tulangku masih bagus atau sudah keropos
Pemeriksaan BMD berlangsung singkat.
“You have to come back a few days later for the result,” kata si mbak dengan ramah.
Aku kaget. “But I have to see the doctor this afternoon.”
“I have to rush for you then,” katanya.
Dalam hitungan menit, hasilnya segera aku terima. Waktu membaca hasil itu, aku hampir menangis. Tertulis bahwa nilaiku di bawah normal, pertanda tulangku sudah hampir keropos. Aduh sedih sekali. Semua usahaku selama ini sia-sia belaka. Hu hu hu.. aku menangis dalam hati. Oh, kerusakan tulangku sudah parah dan aku akan lumpuh….
Hasil BMD test aku bawa ke bu dokter.
“Bagus, hasilnya sama seperti yang sebelumnya,” katanya. “Memang kepadatan tulangnya kan emang nggak normal. Dulu juga begitu,” katanya.
Aku perhatikan, memang nilainya di bawah normal, tapi belum mencapai osteoporosis, jadi masih mendingan. Dibandingkan dengan hasil setahun yll, tak banyak perbedaan.
Plong, aku lega sekali. Rupanya, inilah sebabnya mengapa tak semua petugas mau menyerahkan hasil pemeriksaan langsung ke pasien, seperti petugas bone scan di RS Dharmais. Mereka khawatir kalau pasien akan salah mengartikan hasil tes dan mengalami guncangan. Karena itu kita sebaiknya kita bawa hasil tes pada ahlinya.
Meskipun hasil bone scan dan BMD test cukup baik, aku harus waspada. Dokter menyuruhku melakukan CT scan untuk melihat kondisi organ tubuh yang lain. CT scan ini perlu dilakukan 6 bulan sekali.
Kita harus waspada menghadapi segala kemungkinan, tapi tak boleh panik. Yach, kita jalani saja dengan tenang dan kepala dingin.

Dapatkah penyintas kanker hidup normal?

Pertanyaan itu tiba-tiba saya muncul. Gara-gara seorang teman bertanya: “Kamu makannya gimana?”
Pertanyaan terlontar di akhir pekan pertengahan bulan Januari 2009 dalam suatu obrolan ringan. Pagi itu kita memenuhi undangan bertandang ke rumah barunya yang asyik banget. Menempati tanah seluas 300 meter persegi, satu-satunya bangunan yang ada hanyalah kamar tidur besar berdinding kaca.
Di bawah bangunan itu ada kolam ikan dan ruang santai yang dilengkapi dengan tikar dan bantal anyaman bambu dari Vietnam serta kursi antik yang dibeli langsung dari mantan tetangganya. Di depan kamar tidur ada kolam renang dan beranda terbuka. Pepohonan rindang – termasuk sengon, petai cina bahkan pohon pisang - tumbuh di atas tanah berpermadani rumput hijau. Tak ada TV dan tak ada garasi untuk parkir mobil karena penghuni rumah itu hanya perlu berjalan kaki beberapa menit ke kantornya dan naik taksi jika memang perlu.
Soal makan, aku makannya ya biasa saja, pakai sendok dan garpu, atau cukup pakai tangan, tergantung apa yang dimakan. Tapi bukan itu maksud pertanyaannya. Temanku, yang juga tengah berjuang melawan kista bandel di dubuhnya, ingin tahu apakah aku pantang makan sesuatu dan dietnya seperti apa, begitu kira-kira.
Setiap hari, aku berusaha menyantap makanan rumah, makan banyak sayur dan buah-buahan serta menghindari banyak gorengan. Minyak yang digunakan adalah canola oil yang dapat dibeli di berbagai supermarket karena katanya minyak ini lebih bagus dari minyak jagung atau minyak goreng lainnya. Yang paling bagus sih minyak zaitun dan kemarin aku baru membeli satu botol kecil. Hanya saja harganya berlipat-lipat.
Tapi kalau di luar rumah, misalnya dalam acara makan pagi menjelang siang di rumah baru temanku itu, aku makan apa yang ada, meskipun belum tentu semuanya disikat. Kebetulan kemarin menunya nasi uduk dan ayam goreng. Ya sekali-sekali tak apalah makan enak. Untuk mengurangi rasa bersalah, setelah itu aku makan jeruk. Memang buah-buahan itu bagus lho.
Nah, kembali ke pertanyaan awal. Apakah penyintas kanker dapat hidup normal? Aku yakin banyak orang yang bertanya-tanya dan ingin tahu. Apa sih normal itu? Kalau ga normal ya gila dong…. Hehehehee…
Kalo menurut aku nih, kita para penyintas kanker atau istilah kerennya cancer survivor, hidupnya beyond normal… (apa coba itu).
Kita justru harus menjalani hidup lebih baik dari dulu. Ya memang nggak 100% seperti dulu, tapi lebih berkualitas. Misalnya, kalau dulu kita malas makan sayur dan buah, hobi makan gorengan dan suka minum alkohol dan merokok, sekarang harus mengubah kebiasaan buruk itu.
Kalo dulu kita malas bekerja, sekarang harus rajin.. supaya mampu membeli minyak zaitun… hehehhe..
Kanker bukan vonis mati. Memang ada orang yang didiagnosa terkena kanker dan tak lama kemudian meninggal, seperti ibunya Obama. Tapi banyak juga yang masih tetap hidup produktif hingga lamaaaaaaaaaaa sekali. Lihat saja Rima Melati, semua orang pasti kenal dia dong, yang pada jaman dahulu kala terkena kanker payudara tapi kemarin malahan aku lihat dia jadi bintang iklan di TV (ralat, kayaknya aku salah, yg diiklan itu Leny Marlina yach?). Temanku yang menerjemahkan buku Harry Potter didiagnosa terkena kanker dan beberapa tahun yll dokter mengatakan bahwa usianya hanya tinggal 4 bulan. Tapi sampai sekarang ia masih ngantor, meskipun sempat jatuh bangun dengan proses pengobatan yang berkepanjangan.
Untuk dapat bertahan hidup memang tak mudah. Sering kali kita merasa lelah, susah dan marah. Namanya juga manusia… Tak dapat kita mengenyampingkan emosi. Sah-sah saja kalau kita mempunyai perasaan seperti itu, asalkan jangan berlarut-larut.
Aku acungkan jempol untuk teman-teman para penyintas kanker yang menjalani hidup ini besar hati, tabah dan bahkan dengan suka rela memberikan dukungan bagi sesama cancer survivor, seperti mereka yang tergabung dalam Cancer Information and Support Center (CISC).
Penyintas kanker harus tegar dan berani. Dibandingkan dengan orang lain yang tidak terkena kanker, hidup yang mereka jalani lebih berliku dan penuh lobang. Bahkan mereka bisa tertusuk paku jika tak berhati-hati. Belum lagi kalau ada hujan dan badai. Berat memang. Karena itu kita perlu perlengkapan yang memadai seperti payung, jas hujan, topi, sepatu, perahu karet dan lampu senter. Selain itu juga perlu semangat dan dukungan orang-orang di sekeliling kita.
Ayo mari kita jaga semangat ini agar menyala bagaikan api nan tak kunjung padam…. seperti judul buku terbitan Balai Pustaka yang dijadikan nama patung di bunderan Senayan - tapi lebih dikenal sebagai patung pizza man karena bentuknya seperti orang membawa pizza (pizza dengan api yang menyala-nyala?)

Monday, January 26, 2009

Bunga Pengganti Sabun

Waktu bone scan di RS Dharmais bulan Januari 2009 kemarin, tampak olehku kotak saran terbuat dari bahan transparan. Bagus ya, itu tandanya manajemen RS mempunyai keinginan untuk berbuat lebih baik.
Di kotak itu, terlihat sacarik kertas berisikan pertanyaan mengapa tak ada sabun di toilet, padahal kebersihan itu penting.
Memang tak ada sabun. Tapi ada bunga (plastik) di sana. Kreatif juga ya. Pilih mana...? Sabun atau bunga? Oh ya, aku juga sempat memotret papan informasi tentang daftar tarif kamar rawat inap berikut deposit, tarif kamar rawat singkat (tidak menginap), biaya pendaftaran pasien dan biaya konsultasi dokter. Siapa tahu ada yang memerlukannya.

Thursday, January 22, 2009

Mati Itu Mahal

Kematian membawa kemalangan ganda bagi yang ditinggalkan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Kepergian seseorang untuk selamanya tak hanya menorehkan luka yang pedih tapi juga menguras dompet.
Contoh paling jelas adalah ritual ngaben di Bali, yang dapat menghabiskan entah berapa banyak biaya.
Temanku pernah berkata kalau dalam agama Islam, jenazah harus segera dikebumikan pada hari yang sama, kecuali kalau meninggalnya di malam hari. Tapi untuk agama lain, biasanya disemayamkan beberapa hari sebelum dikuburkan atau dikremasi. Selama masa itu jenazah dapat ditempatkan di rumah keluarganya sendiri atau di rumah duka yang dikelola secara profesional.
Di Jakarta, rumah duka juga dapat dijumpai di berbagai rumah sakit besar seperti RS Carolus, RS Kanker Dharmais atau RS Pluit, yang kabarnya memasang harga cukup tinggi, seperti tarif hotel berbintang.
Bagi yang tak ingin repot, ada yayasan yang memang bergerak dalam urusan kematian ini. Gereja juga memberikan pelayanan bagi mereka yang berduka cita.
Ketika keponakanku meninggal sebulan yang lalu, orang tuanya (kakakku dan istrinya) memutuskan agar jenazah disemayamkan di rumah mereka sebelum memakamkannya tepat pada hari Natal.
Dari segi biaya tentu ada penghematan, tapi tetap saja banyak pengeluaran. Untuk peti mati saja harganya Rp 5.6 juta. Entah bahannya terbuat dari kayu apa. Warnanya putih dengan gambar Yesus beserta murid-muridnya. Mungkin mahal karena ada gambar Yesus? Ah, ga juga. Kata kakakku, ketika itu ia ditawari 2 macam peti mati dan yang satu lagi harganya Rp 7 juta.
Kenapa ya tidak dibungkus kain kafan saja? Siapa yang menciptakan tradisi peti mati ini? Bikin repot saja.
Selain peti mati, banyak lagi keperluan lain seperti menyediakan roti, kacang dan minuman untuk para tamu, menyewa tenda dan kursi, menyewa mobil jenasah dan menyewa bis untuk mengangkut tamu yang ingin ikut mengantar jenazah ke makam di Gremeng, Muntilan, yang dapat ditempuh dengan berkendara selama sekitar 2 jam dari Salatiga.
Mengenai urusan pemakaman, atas saran saudara yang tinggal di Muntilan, aku menghubungi Pak Surip. Ia mengatakan bahwa biayanya berjumlah Rp 2.310.000, termasuk pembelian tanah dan bahan-bahan seperti semen, pasir dan bata yang diperlukan untuk membuat lubang makam.
“Kalau mau dibangun, biayanya tergantung modelnya seperti apa,” kata pak Surip.
Berbeda dengan kebanyakan makam di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, atau di Pondok Rangon, Jakarta Timur, makam di Gremeng bentuknya bermacam-macam, termasuk kuburan Cina seperti di film-film (biasanya itu kuburan lama). Makam yang lebih baru kebanyakan berbentuk segi empat dan dibuat agak tinggi, sekitar 50 cm, sedangkan bagian di ujung makam ditinggikan sampai lebih dari 1 meter. Pada dinding ini terukir salib dan nama almarhum serta keluarga yang ditinggalkannya. Wah gimana menjelaskannya ya, tapi kira-kira seperti gambar di samping ini.
Sementara itu ayahku mengutarakan keinginannya untuk memindahkan makam kakakku yang tertua dari Solo ke Muntilan. Seperti halnya keponakanku yang meninggal di usia 17 tahun, kakakku juga tewas karena kecelakaan lalu lintas dalam usia setahun lebih tua. Karena itu kematian keponakanku itu bagaikan membuka luka lama bagi ke dua orang tuaku.
Ayah ingin memindahkan makam kakakku dari Solo, tempat kami dibesarkan, karena dua hal. Pertama, di pemakaman itu terlalu banyak “preman” – istilah yang dipakai ayahku untuk menyebut para pembersih kubur bersenjata sabit dan sapu lidi yang secara agresif berbondong-bondong mengikuti setiap peziarah, membersihkan makam ala kadarnya, lalu memaksa meminta imbalan. Kedua, banyak saudara yang dimakamkan di Muntilan, termasuk kakek dan nenek, paman dan bibi.
Lokasi makam keponakanku itu ternyata kurang dari 10 meter dari makam adik ayahku.
Untuk memindahkan makam dari Solo ke Muntilan, Pak Surip memasang harga Rp 7 juta. Ini termasuk peti kecil seharga Rp 1 juta untuk memindahkan sisa-sisa jasad, karena peti yang lama diperkirakan pasti sudah hancur.
Ketika aku mencoba menawar, ia berkata: “Makam kok ditawar.”
Oh.. begitu. Memang biasanya pihak yang tengah berduka cita pasrah saja dan katanya pantang menawar. Tak heran kalau banyak pungli di pemakaman, seperti yang pernah ditulis harian Media Indonesia (http://www.aqiel.com/myblog/2006/08/25/pungli-di-tempat-pemakaman-umum-jakarta-merajalela/)
Pak Surip sendiri sebetulnya bukan pejabat tempat pemakaman. Ia hanyalah “pengusaha” yang memang biasa membangun makam di Muntilan dan meskipun hanya mengenakan kaos kumal dan sandal jepit, ia disegani oleh setiap pembersih kubur di sana.
Makam keponakanku akhirnya dibangun sesuai dengan model yang dibuat oleh kakak satu-satunya. Makam itu dibuat agak tinggi dari tanah, sekitar 60 cm, dan pada dinding ujung makam yang ditinggikan terukir salib serta hiasan keramik dengan gambar almarhum. Hiasan ini dipesan dari Yogyakarta karena pak Surip tidak dapat menyediakannya.
Pak Surip minta Rp 18 juta, lalu turun menjadi Rp 16 juta setelah ditawar, demikian kata kakakku.
Kakakku mengusulkan kepada ayah agar makam almarhum kakak sulung yang telah dipindahkan dari Muntilan juga dibangun dengan model yang sama. Ayahku tidak keberatan dengan modelnya, tetapi ia berkata kepada pak Surip bahwa ia hanya sanggup membayar Rp 10 juta.
“Pak Surip mau mengerjakannya dengan harga itu untuk model yang sama,” kata kakakku.
Aku tidak tahu berapa harga dasar pembuatan makam. Yang jelas, konsumen harus membayar mahal.
Karena itu, kalau aku meninggal, mending dikremasi saja. Tapi kremasi kan juga mahal. Jadi mendingan jangan mati ah. Kasihan yang ditinggal.

Monday, January 19, 2009

Lagi-lagi Bone Scan

Hari Sabtu kemarin (17 Januari 2009) aku bone scan lagi di RS Dharmais. Begitu datang, setelah mendaftar, mengisi formulir dan menyerahkan foto kopi KTP (ini peraturan yang mulai diberlakukan beberapa bulan yll), aku disuruh menuju suatu ruang untuk disuntik.
Pelayanannya cepat dan ramah. Seperti biasa, setelah disuntik, aku disuruh kembali 2 jam kemudian.
"Jangan lupa minum air minimal 2 liter," kata petugas.
Tak dijelaskan mengapa harus minum banyak air, tapi setahuku air itu diperlukan untuk menetralisir obat "nuklir" yang disuntikkan ke tubuh. Dengan minum banyak air, maka sisa-sisa radioaktif dapat dikeluarkan melalui air seni.
Obat ini mahal, jadi biayanya juga lumayan, hampir sejuta rupiah.
Proses bone scan hanya 20 menit. Tak perlu berganti baju seperti kalau CT scan atau mamogram. Aku telentang di meja mesin yang dingin, diselimuti dan diikat agar tak dapat begerak.
Tak sakit, tapi sebaiknya mencari posisi yang enak. Kapan itu aku pernah kesemutan ketika di scan, tapi tak berani bergerak. Jadi, kita harus memastikan bahwa kita berada dalam posisi yang nyaman.
Hari ini, Senin, sekitar jam 15:30 aku mengambil hasilnya. Foto dimasukkan dalam amplop besar disertai selembar kertas berisi keterangan dari dokter radiologi. Ketika petugas hendak merekatkan penutup amplop kecil yang berisi keterangan dari dokter itu, aku meminta agar penutup amplop tak usah direkatkan.
"Prosedurnya ini harus direkatkan," katanya sambil merekatkan amplop itu dan memasukkannya ke dalam amplop besar.
Aku tak membantah. Sampai di tempat yang aman, dengan hati-hati aku buka perekat amplop kecil itu agar tidak robek.
Berikut isi surat keterangan dari dr. Kardinah:
Tampak aktivitas patologi pada Th 5, Th 12, L1-2, os, ilium kiri, os pubis kanan dan os. femur kiri, costae 7-8 kanan dan humerus kanan. Tidak tampak aktivitas patologis pada tulang lainnya.
Kesan: Dicurigai lesi metastase pada vertebre thorakal, lumbal, pelvis, femur kiri, costae 7-8 kanan dan humerus kanan.
Anjuran: spot foto.
Spot foto dianjurkan untuk bagian-bagian tertentu yang dicurigai mengandung sel kanker. Tapi aku tidak memenuhi anjuran itu karena memang sudah jelas tampak dalam foto hasil bone scan bahwa beberapa bagian tulang memang sudah digerogoti kanker.
Setiap kali aku menjalani bone scan, petugas selalu meminta agar aku menyerahkan foto lama. Tapi sayangnya, dalam surat berisi hasil bone scan itu tidak disebutkan bagaimana perbedaan antara dulu dan sekarang. Apakah ada perbaikan atau justru ada kemunduran? Nanti aku akan melihat hasil foto lama dan membandingkannya.
Untuk jelasnya, beberapa hari lagi aku akan menemui bu dokter sekaligus untuk membahas mengenai penanganan medis selanjutnya.
.Oh ya, aku sempat mampir ke toilet di lantai dasar, paling ujung. Di sana toiletnya bersih dan ada tisuenya. Seperti yang aku lihat beberapa bulan yll, di sudut toilet terdapat tempat sampah bertuliskan "Sampah Basah".
Aku ingat sampah rumah tangga, sisa-sisa makanan dan daun-daun kering yang dikategorikan sebagai sampah basah vs kertas, plastik dan bahan yang digolongkan sebagai sampah kering. Tapi kalau di toilet, apa ya yang dimaksud dengan "Sampah Basah"? Apa air seni? Nggak mungkinlah.

Obat Murah Belum Tentu Jelek

Baru-baru ini aku kehilangan suara. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku bukan kehilangan suara dalam pilkada, pemilihan lurah atau caleg. Sama sekali ga ada minat bertarung dalam arena politik (lagipula emang ga ada yang mau mencalonkan diriku....).
Suaraku hilang karena terserang radang tenggorokan, yang kemudian diikuti dengan batuk kering. Ini terjadi ketika aku mudik ke Salatiga akhir tahun kemarin.
"Ke dokter saja, biar cepat sembuh," kata ibuku.
Dengan diantar ayah, aku naik becak ke tempat praktek seorang dokter spesialis langganan orang tuaku.
Sampai di sana, ternyata aku beruntung karena tak perlu antre, padahal biasanya kalau pagi hari banyak pasien di sana.
Selain berkonsultasi soal hilangnya suaraku yang merdu itu, aku juga mengeluh soal mata kananku yang mendadak bengkak. Sehari sebelumnya, setelah lewat tengah hari, tiba-tiba saja mata itu sedikit berair. Malamnya semakin terasa kurang nyaman. Begitu bangun, aku kaget melihat mata kanan bengkak. Tapi sudah tidak berair.
"Jangan-jangan glukoma," kata pak dokter. "Tekanan mata kanan dan mata kiri tidak sama," katanya setelah menekan kedua kelopak mataku dan membandingkannya.
Tapi sebetulnya ia sendiri tidak yakin dan menganjurkan agar aku berkonsultasi dengan dokter mata. Ketika aku bertanya apakah untuk sementara bisa diberi obat tetes mata saja, ia mengiyakan sambil menegaskan bahwa apabila tidak membaik dalam waktu dua hari, aku harus segera ke dokter mata.
"Kalau tidak, apa kemungkinan terburuknya, dok?"
"Bisa buta," katanya.
Ih, serem amat.
Pak dokter memberiku resep, yang segera aku bawa ke apotik dekat rumah.
Harga obatnya lebih dari Rp 200 ribu, terdiri dari antibiotik seharga Rp 140 ribu, obat tetes mata seharga Rp 26 ribuan dan kapsul berisi bubuk ramuan obat seharga Rp 59 ribu.
"Antibiotiknya kok mahal sekali? Ada nggak yang murah?" aku bertanya.
Ternyata ada, namanya Levofloxacin dan harganya Rp 13.000 untuk satu strip isi 10 tablet.
"Dokter itu memang obatnya mahal, tapi manjur," komentar ibuku yang merupakan langganan setia pak dokter. "Katanya, ia tidak mau memberi obat yang murah karena banyak yang palsu."
"Tapi kalau obatnya mahal, kita bisa kok minta yang generik di apotik," ayahku menimpali.
Sebelum diapa-apakan, mata kananku membaik dengan sendirinya. Supaya lebih cepat pulih, aku menggunakan obat tetes mata beberapa kali. Dalam tiga hari, kondisi mata sudah normal.
Suaraku masih tersendat dan sesekali aku masih batuk meskipun sudah minum obat seminggu, sampai obat habis. Apakah ini karena obatnya palsu? Belum tentu. Yang jelas, aku baru betul-betul sembuh sekitar dua minggu kemudian. Oh ya, selain menelan obat dari dokter, aku juga rajin minum jeruk nipis. Yang ini obat tradisional, murah meriah dan diyakini manjur juga... :)

Monday, January 12, 2009

Kupu-Kupu Malam

Seringkali kita merasa bernasib malang. Tapi kita tak sendiri. Kalau kita perhatikan sekitar kita, akan terlihat betapa banyak orang yang kurang baik nasibnya, memilukan dan mengenaskan.

Berikut adalah cerita tentang mbak-mbak yang berprofesi sebagai kupu-kupu malam di pinggir jalan tol Bintaro, tak jauh dari rumahku. Tiap malam aku melihat mereka berdiri, duduk atau jongkok menanti pembeli. Dan sungguh ironis, mereka menjadi bulan-bulanan petugas yang tampaknya mengambil keuntungan dari kehadiran mereka.

http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/11/bytheway-the-catandmouse-game-netting-girls-night.html

Wednesday, January 7, 2009

Semua Boleh Ikut

Mau ke mana Sabtu ini? Kalau tak ada acara, bagaimana kalau beramai-ramai merayakan Natal dan Tahun Baru?
Pagi ini aku mendapat SMS, diminta untuk menyebarkan undangan perayaan Natal dan Tahun Baru 1430H & 2009 (boleh juga kalau sekalian Tahun Baru Imlek ya.. ?).
Acara ini digelar oleh CISC & RR - YKI. CISC adalah singkatan dari Cancer Information and Support Center sedangkan RR - YKI adalah Reach to Recovery - Yayasan Kanker Indonesia. Keduanya sama-sama mempunyai misi untuk mendukung para penyintas kanker seperti kita-kita ini.
Menurut Ani dari CISC, acara ini terbuka untuk siapa saja.
“Semua boleh ikut,” katanya.
Perayaan akan diadakan pada:
Hari/ Tanggal: Sabtu, 10 Januari 2009
Waktu : pukul 10.00 - selesai,
Tempat: Jl Imam Bonjol 51, Menteng, Jakarta Pusat
Tema: Dengan semangat & Cinta Kasih kita Sambut Tahun 1430H/2009 dalam damai & rasa syukur.
Harap bawa kado @ Rp 10.000, dibungkus kertas koran.
Acara:
-Pembukaan
-Sambutan Ketua CISC
-Sambutan ketua RR-YKI
-Doa bersama
-Pesan Pergantian Tahun oleh ibu Baramuli
-Nyanyi bersama
-Ramah tamah / makan siang
Bagi yang suka menyanyi, ada organ tunggal yang siap mengiringi. Yang lain boleh bergoyang-goyang atau tepuk-tepuk tangan.

Tuesday, January 6, 2009

Cape Berobat

Siapa suka disuntik? Pasti tak ada. Aku juga bosan disuntik tiap bulan. Maka suatu ketika aku berkata pada bu dokter di NUH : “I am tired of all of this treatment.”
Ia terkesiap dan memandangku dengan penuh simpati.
“I am sorry. You may take a break for the Zometa infusion this month, but for the Zoladex, you have to do it once every four weeks,” begitu ia wanti-wanti (apa bahasa Indonesianya wanti-wanti?) di awal November 2008.
Zoladex itu diperlukan untuk memblokade produksi hormon estrogen yang dapat memicu terbentuknya sel-sel kanker. Sedangkan Zometa diperlukan untuk menguatkan tulang. Soalnya sudah ada sel-sel kanker yang bercokol di beberapa bagian tulangku.
Meskipun bu dokter memberiku libur infus Zometa, aku belum menggunakannya karena takut juga menanggung resiko.
Akhir tahun 2008, jadwal suntik Zoladex dan infus Zometa seharusnya jatuh pada hari Sabtu, tanggal 27 Desember, tapi tertunda karena aku masih di luar kota. Begitu kembali ke Jakarta tanggal 31 Desember, segera aku ke tempat dokter Win untuk suntik Zoladex.
Secara kebetulan terpaksa aku absen infus Zometa karena suster yang biasa menusukkan jarum infus terkena demam berdarah. Dokter Win yang baik hati mengusulkan agar aku menjalani infus di RSPAD, tapi aku memilih libur saja… :)
Obat yang sudah dibeli aku simpan di kulkas untuk digunakan nanti.
Ngomong-ngomong soal obat. Aku teringat bahwa sekarang Zometa dan Zoladex sudah tersedia di YKI, seperti yang disampaikan oleh seorang pembaca blog ini. Tahun 2007 aku pernah ingin membeli Aromasin di YKI, tapi tidak ada. Waktu itu Zometa dan Zoladex juga tak tersedia.
Kemarin aku telepon ke YKI (021-31927464) dan memang betul obat-obat itu ada di sana. Mengenai harganya, jauh lebih murah dibandingkan dengan RS dan apotik pada umumnya. Yang membuatku heran, harga Zometa lebih mahal Rp 2.000 dibandingkan dengan Apotik Prima langgananku. Untuk Femara, satu dos isi 30 tablet harganya Rp 1.719.000 (di Apotik Prima Rp 1.765.000) sedangkan Zoladex dosis 3.6 ml “hanya” Rp 1.246.700 (di Apotik Prima Rp 1.420.000 dan di RS Dharmais Rp 1.506.000).
Syarat untuk membeli obat di YKI adalah menunjukkan kartu RS serta resep dokter. Tetapi ketika aku sebagai pasien RS Dharmais ingin membeli obat di sana, aku diminta membawa surat rekomendasi dari RS tsb yang menyatakan bahwa pasien tidak mampu.
Sekarang ini, kalau aku membeli obat di YKI, aku bisa menghemat sekitar Rp 216.000 per bulan. Tapi aku ragu apakah YKI mau menerima resep dari dokter di NUH? Jika tidak, maka aku harus ke dokter di Dharmais atau MMC (tempat di mana dulu aku menjalani operasi mastektomi) untuk mendapatkan resep. Untuk itu aku harus membayar biaya konsultasi dokter plus administrasi dan antre berjam-jam. Jadi kalau dihitung-hitung, ya sama saja.
Cancer sucks. Dasar kanker, betul-betul bikin kantong kering. Huh!
Biaya pengobatan memang besar sehingga kita harus kerja keras dan tak dapat mengandalkan gaji bulanan saja. Tapi bisa saja datang rejeki, entah dari mana. Believe it or not, miracle happens. Thank you God.

Mau Mamogram?

Kemarin seorang teman bertanya, di mana bisa mamogram dan berapa biayanya? Mamogram atau mamografi dapat dilakukan di banyak tempat. Yang dimaksud dengan banyak tempat ini tentu saja bukan tempat seperti Senayan City atau Pasar Induk Kramat Jati. Lha emangnya mau belanja?
Kita bisa menjalani mamogram di berbagai rumah sakit. Tapi tidak semua RS menyediakan layanan ini, jadi ada baiknya kalau kita menanyakan ke RS yang bersangkutan terlebih dahulu.
Aku menghubungi RS Gading Pluit (021-668 5070, ext 8121), tempat aku pernah menjalani pemeriksaan CT Scan. Dulu temanku juga pernah dimamogram di sana. Petugas yang menerima telepon dengan ramah memberitahu bahwa memang layanan itu tersedia dengan biaya Rp 275.000.
Bagi yang ingin menghemat, sebaiknya ke Yayasan Kanker Indonesia saja (021-31927464). Biayanya hanya Rp 200.000.
Bagaimana dengan RS Dharmais?
Siang itu, Senin, 5 Januari 2009, menjelang pukul 14.00, aku telepon ke RS Dharmais (5681570). Sesuai dengan petunjuk mesin penjawab, kutekan angka 4 untuk deteksi dini kanker. Ternyata tak ada yang mengangkat. Mungkin petugas sedang sibuk sekali.
Tapi aku rasa biayanya pasti tidak lebih murah dari YKI dan tidak lebih mahal dari RS Gading Pluit.
Apa sih sebetulnya mamogram itu? Ini adalah pemeriksaan dengan X-ray untuk melakukan deteksi dini kanker payudara.
Perempuan berusia antara 40 dan 50 tahun dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ini setahun atau dua tahun sekali, terutama apabila ada anggota keluarga yang juga pernah terkena kanker payudara. Mamogram tidak boleh dilakukan dalam keadaan hamil.
Ada yang mengatakan bahwa pemeriksaan ini juga baik bagi perempuan berusia minimal 35 tahun. Bagi yang belum mencapai usia itu, tidak dianjurkan untuk menjalaninya.
Berbeda dengan pemeriksaan X-ray untuk paru-paru atau bagian badan lain, mamogram ini cukup merepotkan.
Mula-mula, dengan bertelanjang dada, kita berdiri di depan mesin. Lalu payudara diletakkan di antara lempengan besi dan ditekan sehingga agak gepeng. Hiii.. ngeri ya? Kedengarannya memang seram, tapi sebetulnya tidak terlalu mengerikan. Memang kurang nyaman dan sedikit sakit. Tapi ya tidak apa dibandingkan dengan manfaatnya. Prosesnya sendiri hanya sebentar, paling-paling beberapa menit selesai sudah.

Saturday, January 3, 2009

Kematian Menjelang Natal

Natalku kali ini muram. Aku tidak ke gereja, tetapi ke kuburan. Keponakanku, Yoseph, meninggal di usia 17 tahun karena kecelakaan dalam perjalanan dari Solo ke rumah orang tuanya di Salatiga dan dimakamkan pada tanggal 25 Desember 2008.
Kepergiannya sungguh mengejutkan. Malam itu, kurang dari satu jam sebelumnya, ia masih sempat berkomunikasi melalui telepon genggam dengan ayahnya dan kakak satu-satunya yang baru saja tiba dari Jakarta. Mereka menunggu Yoseph di sebuah warung wedang ronde, tapi ia tak pernah muncul.
Aku berangkat ke Salatiga hari Senin, 22 Desember 2008, menumpang mobil kakak Yoseph beserta dua kerabat lain. Begitu tiba di Salatiga, aku turun di rumah orang tuaku, tempat aku menginap selama liburan ini. Ketika itu sekitar pukul 21:30.
Lewat tengah malam, HP-ku berdering. Tapi rasa kantuk membuatku mengabaikannya. Sejam kemudian bunyi dering terdengar lagi. Kali ini aku angkat. Kakak lelakiku sambil berurai air mata mengabarkan bahwa anak bungsunya mengalami kecelakaan dan telah tiada.
Hari-hari berikutnya penuh rasa pedih dan pilu serta isak tangis. Tamu datang silih berganti. Banyak juga yang mengirim karangan bunga– baik bunga asli yang memang diserahkan bagi keluarga yang dirundung duka maupun rangkaian bunga kertas yang hanya disewakan dan kemudian diambil kembali oleh toko bunga setelah jenazah diberangkatkan ke pemakaman.
Hari Kamis, keharuan menyelimuti kebaktian pelepasan jenazah menuju pamakaman di Gremeng, Muntilan. Semua masih muram. Tapi suasana sudah lebih terkendali. Orang tua Yoseph telah dapat menerima kenyataan bahwa anak mereka yang tercinta telah tiada. Sebagai orang beriman mereka meyakini bahwa ia memperoleh kehidupan yang lebih baik di sisi Tuhan, kehidupan yang jauh dari duka dan nestapa.
Mereka juga merasa tenang karena sebelum Yoseph menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit, ia sempat menyebut nama Tuhan.
Kematian adalah sesuatu yang tak terduga. Setiap orang bisa pergi setiap saat. Ada yang meninggal di usia sangat muda, ada juga yang masih bertahan hidup hingga usia 80, 90 atau bahkan 100 tahun.
Penyebab kematian juga bermacam-macam. Kecelakaan lalu lintas, banjir, gempa bumi, Tsunami, kurang gizi, stroke, serangan jantung, kanker, atau hal lain.
Siapa yang tahu berapa lama lagi kita akan hidup di dunia ini?
Tak ada yang tahu. Jadi sementara itu, kita jalani saja hidup ini sebaik-baiknya dengan berusaha menjauhi hal-hal yang negatif dan mendekatkan diri kepada YME.