Sunday, September 14, 2008

Despite breast cancer diagnosis, women care for loved ones first

Perempuan yang mengetahui kalau dirinya terkena kanker payudara seringkali enggan memberitahu orang lain, terutama keluarganya.
Mereka bisa menutup-nutupinya keadaan yang sebenarnya hingga berbulan-bulan dengan alasan tak ingin membuat keluarga panik.
Contohnya Claudine. Ketika dokter memberitahu bahwa dirinya positif menderita kanker, ia tidak segera meneruskan kabar itu kepada keluarganya.
Claudine yang ketika itu berusia 34 tahun dan lajang tidak mempunyai asuransi kesehatan dan ia tak ingin membuat mereka khawatir.
“Lebih baik tidak usah mengatakannya demi kebaikan kita semua,” katanya. “Saya hanya ingin melindungi keluarga saya—terutama orang tua.”
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa ketika perempuan membutuhkan dukungan, banyak dari mereka yang justru menyembunyikan diagnose kanker atau tak mengatakan yang sebenarnya untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka tidak sakit atau tidak rapuh walaupun sebetulnya begitulah keadaan mereka.
Meskipun penelitian ini diadakan di Amerika seperti yang dilaporkan The Oregonian edisi hari Minggu, 14 September 2008, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa keadaan seperti ini juga terjadi di Indonesia.
Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa perempuan terlalu sibuk memikirkan bagaimana perasaan orang lain sampai-sampai mereka tidak mendapatkan dukungan emosi yang diperlukan.
“Mereka tidak menyampaikan (diagnosa dokter) apa adanya supaya orang yang mendengarnya tidak kaget,” kata Grace J. Yoo, sosiolog medis dari Biobehavioral Research Center, San Francisco State University.
Kanker payudara dapat memicu berbagai emosi termasuk rasa takut mati, kehilangan kendali, keinginan menyendiri, rasa putus asa dan depresi. Tapi penelitian terhadap 174 perempuan di Bay Area, California, baru-baru ini menunjukkan bahwa mereka sulit sekali menyampaikan apa yang dirasakan—terutama kepada keluarga.
Hal ini berlaku dalam kultur, etnis dan kelompok umur yang berbeda karena dalam setiap masyarakat perempuan diharapkan untuk mendahulukan orang lain. Dan mereka tak ingin menjadi beban, dikasihani dan menghindari stigma.
Karena itu, ada yang menyampaikan informasi tentang kanker yang dideritanya dengan pendekatan “kita dapat mengatasinya.” Ada juga yang mengambil pendekatan “cheerleader” dengan menghimbau semua orang agar menjadikan kabar itu sebagai dorongan bagi mereka untuk menyantap makanan yang lebih sehat, berhenti merokok dan melakukan pemeriksaan mamografi.
Kembali ke soal Claudine, diagnosa dokter cukup berat, ia terkena kanker payudara stadium 2 B dan harus menjalani kemoterapi, operasi dan radiasi.
Beberapa bulan sebelumnya ia mendapati benjolan sebesar kelereng di payudara kanannya.
Ketika pada akhirnya orang tuanya tahu, mereka panik – betapa tidak, seorang tante Claudine meninggal karena kanker payudara. Claudine berusaha menenangkan mereka bahkan ketika kemoterapi menyebabkan ia kehilangan rambut indahnya.
Ia ingin menangis sejadi-jadinya. “Tapi di rumah, saya merasa bahwa saya harus kuat, jadi saya memakai topeng untuk menyembunyikan berbagai emosi”
Ibunya yang tinggal di luar kota datang dan membantunya. Claudine juga bertemu dengan kelompok pendukung (support group) dan berteman dengan sesama penyintas kanker.
Penelitian Grace J. Yoo menunjukkan bahwa hubungan yang paling menguntungkan bagi penderita kanker datang dari kenalan yang membuat mereka dapat bercerita dengan terbuka tanpa beban, dan yang menanggapi dengan baik serta rasa prihatin.
Ia berpendapat bahwa mereka memerlukan lebih banyak orang yang dapat mengulurkan tangan ketika diperlukan.
“Mereka perlu orang yang telah mengalami semua proses ini. Mereka perlu penyintas kanker yang dapat menawarkan dukungan tanpa penghakiman dan teror."
Penderita kanker memerlukan orang untuk berbagi tanpa perlu terbebani oleh peran yang mengharuskan mereka "melindungi", "mengasuh" atau "mendidik" lawan bicaranya.
Claudine mengatakan bahwa meskipun beberapa temannya telah tiada, ia merasakan banyak sekali manfaatnya saling mempedulikan satu sama lain.
“Memang sangat sedih kalau ada yang meninggal,” katanya, “tapi ada pelajaran yang berguna: We need to take care of ourselves. Kita juga perlu memperhatikan diri kita sendiri.

Di Jakarta, ada kelompok pendukung penyintas kanker payudara, CISC (Cancer Information and Support Center), yang dapat memberikan dukungan bagi mereka yang membutuhkan. Alamatnya: http://cancerclubcisc.wordpress.com/

Sumber artikel:
http://www.oregonlive.com/special/oregonian/index.ssf?/base/news/122056351074240.xml&coll=7&thispage=2

Tuesday, September 2, 2008

Obat kanker gratis

Hah? Yang bener aja…. Jaman sekarang mana ada barang gratis. Apalagi obat kanker kan mahal.
Tapi ini beneran. Aku mendapatkan 1 dos Femara berisi 30 tablet dengan cuma-cuma alias gratis.
Ceritanya begini. Tgl. 15 Agustus 2008 ketika bu dokter melihat bahwa ada penyebaran baru di tulang, ia menyuruhku melakukan CT scan untuk melihat apakah ada organ tubuh lain yang kena. Kalau ada yang kena, maka aku harus menjalani kemoterapi. Kalau tidak ada, maka ia menganjurkan aku berhenti minum obat Aromasin dan menggantikannya dengan Femara.
“Kita punya program gratis 1 boks Femara untuk pasien yang baru pertama kali minum obat ini,” kata dr. Tan Sing Huang dari National University Hospital di Singapura.
“Tapi nggak tau ya, apakah ini khusus untuk pasien yang disubsidi (maksudnya, warga Singapura) atau bisa untuk semua,” ia menambahkan.
Untuk memastikannya, ia lalu menelpon bagian farmasi. Ternyata tak ada aturan bahwa program itu hanya ditujukan untuk orang Singapura.
Jadi aku bisa mendapatkan 1 boks gratis.
NUH juga bekerja sama dengan perusahaan obat yang memproduksi Zometa. Setiap pasien yang membeli 2 boks, mendapatkan gratis 1 boks. Sayang sekali, program ini hanya berlaku bagi warga negara Singapura.
Karena hasil CT scan lumayan baik, maka aku tak perlu kemo dan mulai minum Femara.
Selain itu, infus bulanan dengan Zometa untuk menguatkan tulang harus terus dijalankan. Sedangkan suntikan Zoladex yang tadinya dilakukan setiap 3 bulan sekali diubah frekuansinya menjadi sebulan sekali.
“Ada penelitian yang menyebutkan kalau suntikan tiap bulan lebih efektif daripada tiga bulan sekali,” kata bu dokter.
Dosisnya sih sama. Kalau tiga bulan sekali, yang dipakai adalah Zoladex ukuran 10,8 ml. Untuk suntikan sebulan sekali, dosisnya 3,6 ml.
Besok lusa adalah jadwalku untuk infus Zometa, sekalian suntik Zoladex. Aku SMS pak Didit dari Apotik Prima untuk memesan obat.
Harga Zometa masih sama, Rp 3.275.000. Ini paling murah dibandingkan dengan harga di tempat lain, termasuk Apotik Grogol dan apotik di RS Dharmais.
Bulan lalu harga Zoladex dosis 10,8 ml adalah Rp 3.735.000. Jadi kalau dosis 3,6 ml, seharusnya 1/3 juga harganya. Tapi pak Didit memberi aku harga Rp 1.486.000. Wah, kok mahal ya? Aku cek Apotik Grogol, harga di sana Rp 1.420.000. Jadi aku tawar seperti harga di Apotik Grogol, dan pak Didit balas 'ok' (seharusnya aku menawar kurang dari harga Apt Grogol ya? Wah dasar bukan tukang nawar nih… ).
Sedangkan harga Femara di Apt Prima adalah Rp 1.765.000 per boks, lebih murah dari harga yang ditawarkan Apt Grogol, yaitu 1.805.000.
Selain itu aku juga harus minum 2 tablet CDR Fortos tiap hari. Kemarin beli di Giant Rp 26.250. Kalau di Carrefour Rp 28-ribuan. Di Apt Prima, setelah ditawar, harganya turun dari Rp 27 ribu menjadi Rp 26 ribu. Padahal bulan Juni atau Juli yll aku beli di Giant harganya masih Rp 23-ribuan. Cepet juga naiknya ya.
Sayang sekali, obat-obat itu nggak dijual di Yayasan Kanker Indonesia, padahal ia menyediakan obat-obat untuk kemoterapi. Kalau ada, pasti harganya lebih murah karena disubsidi.
Lebih bagus lagi kalau dokter atau RS di sini, seperti halnya kolega mereka di Singapura, bekerjasama dengan perusahaan obat untuk memberikan paket-paket menarik seperti program “beli dua gratis satu” untuk Zometa, dan “gratis satu boks pertama” untuk Femara. Syukur2 bisa “beli satu gratis satu” untuk Zoladex.
He..he..he…maunya sih… begitu…
Malahan kalo bisa sih maunya ya.. gratis semua… Seperti di Cuba atau Brunei Darussalam yang kabarnya semua biaya kesehatan termasuk obat ditanggung pemerintah.