Wednesday, March 26, 2008

Living is easy than dying

Mati. Hidup. Mati. Hidup. Ah, kayak lampu kelap-kelip aja yach. Kalau lampu sih gampang, bisa kita atur, mau mati atau hidup kapan saja. Tapi hidup dan mati seseorang berada di luar kendali manusia.
.
Bulan Februari kemarin ini dua orang rekan anggota milis penerjemah yang aku ikuti meninggal pada hari yang sama. Yang satu menutup mata karena kanker otak, yang satu lagi karena kanker tulang/lutut.
.
Beberapa hari kemudia, ada kakak kelas yang juga meninggal karena kanker (aku lupa, apakah kanker usus atau kanker yang lain).
.
Tapi kalau memang sudah saatnya, siapa saja bisa meninggal dunia, entah itu karena sakit atau sebab lain. Akhir tahun lalu pelawak Basuki mendadak tewas setelah ikut kegiatan olah raga. Rekannya, Taufik Savalas, juga meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
.
Bahkan ada juga orang yang meninggal hanya karena digigit nyamuk, kebetulan nyamuknya membawa virus deman berdarah atau malaria…. .
.
American Cancer Society memperkirakan sekitar 1,3 juta perempuan di seluruh dunia tahun ini diketahui terkena kanker payudara dan hampir 500.000 meninggal. Informasi itu disebut dalam milis breastcancer2@yahoogroups.com yang berpusat di Amerika.
.
Hi… serem ya?
.
Kalau pikiran kita dipenuhi dengan hal yang serem2, ya tentu kita jadi terpengaruh. Jadi khawatir dan stres. Dan keadaan jadi tambah runyam. Daripada memikirkan hal2 yg negatif, mendingan kita mikir yang enak2 aja…
.
Coba kita simak komentar Jan, salah seorang anggota milis di yahoo group itu.
.
“As far as I'm concerned, survival rates are for the insurance companies and statisticians. I hear a line during CSI:Miami last night. One of Horatio's female friends (lead detective) is battling breast cancer. She had a friend shot right in front of her. At the end of the show, Horatio found her gazing out the window. When he asked her what she was thinking, she said, "I have been battling this horrible monster for sometime and battling it to keep from dying. After I saw my friend die right in front of me, it came to me that I have forgotten how to live."
.
"I think this statement is more true that at least I would like to think. We seem to get caught up in the treatments of chemo/radiation to kill the cancer cells so we won't die from bc. We take aromatase inhibitors for 3-5 years or tamoxifen or something similar so we won't die from this disease or so it won't recur. We do all of this so we won't die from this disease.
.
"Wouldn't it be a strange twist to do all of these things so that we can live and enjoy our children, grandchildren, family and friends and our lives with whatever quality of life we have?
It has taken me some time to come to that conclusion and believe me when I say that I have had moments when I do the aromasin so that I won't die. But it seems more positive use of my energy to use it in living rather than worrying about dying. That will come soon enough for all of us naturally and within a timeframe in which we actually have no control. So I say to heck with dying (bahasa gaulnya…. HIV…. Hemang Ikke Vikirin….. ) Living is easy than dying anyway."
.
Sekarang kita dengarkan pendapat Kate:
"Statistics can make your head spin and can make you think negative thoughts. Sure, we all worry about dying, but we can't spend our time worrying. We need to use that precious time to concentrate on living the best lives we can, no matter our "stage" or prognosis or our likely statistical outcome. They are just numbers. I have way too much living to do to worry about dying. My mother died of breast cancer, she just gave in to the negative aspects of her diagnosis and I refuse to do that."
Lalu Jenny berkomentar :
.
"I totally agree with you. It's focusing on the positive instead of the negative. I have a tremendous support system of the entire spiritual community I live in. Focusing on my blessings has made this journey much easier and more pleasant for me. I have so many. Thank you for affirming life instead of death."
.
Nah.. jadi begitulah… Intinya, daripada memkirkan kematian, mending kita pikirkan kehidupan … Buang jauh2 pikiran negatif dan kembangkanlah pikiran positif. Syukuri hal2 yang menyenangkan yang masih bisa kita nikmati … seperti membaca tulisan ini…. Bersyukur karena bisa membaca (menurut WHO, pada tahun 2002 terdapat lebih dari 161 juta orang di dunia yang cacat penglihatan, dengan rincian 124 juta orang dengan penglihatan terganggu dan 37 juta lainnya buta) … Bersyukur karena bisa membaca melalui komputer yang menunjukkan bahwa paling tidak kita masih berada di atas garis kemiskinan (menurut BPS, ada lebih dari 37 juta rakyat miskin di Indonesa di tahun 2007 atau 16,58 persen dari jumlah penduduk)…. Bersyukur karena bisa membaca blog yang mempesona dan tiada duanya di dunia ini…… :)

Saturday, March 15, 2008

Jangan Beli Obat di Rumah Sakit (Part 2)

Sejak selesai menjalani kemoterapi, aku tak lagi disibukkan oleh tamu yang biasanya datang setiap bulan. Bagus juga, jadi hemat softex. Berbulan-bulan kemudian, tiba-tiba tamu itu datang lagi, berbondong-bondong dan tak mau segera pergi.
Aku jadi panik. Soalnya aku sedang menjalani terapi hormon dengan minum obat Aromasin untuk menghambat produksi hormon estrogen yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker. Obat ini hanya manjur untuk orang yang sudah menopause atau berhenti mens. Kalau tamu datang lagi, berarti sia-sia saja minum obat.
Segera aku email bu dokter di Mt. E, yang kemudian menyuruhku tes hormon ke lab. Setelah aku kirim hasilnya, ia bilang aku harus disuntik Zoladex.
“Any gynecologist knows about that,” katanya.
Aku telepon RS Internasional Bintaro untuk menanyakan jam praktek gynecologist.
“Kita sudah tidak menerima pendaftaran lagi. Hanya sampai jam 2,” kata petugas sambil menambahkan bahwa pendaftaran harus dilakukan langsung, tidak dapat melalui telepon.
Aku lihat jam. Lima menit menjelang pukul 2 siang. Waktu itu hari Sabtu, 30 Juni 2007. Untung di RS Pondok Indah ada dokter yang praktek pukul 3 siang. Segera aku meluncur ke sana. Setelah mendaftar dan mendapatkan kartu berobat, aku menuju ke tempat praktek dokter di lantai sekian.
Suster bertanya, apa keluhanku.
“Mau suntik Zoladex,” jawabku mantap.
Seorang suster lain, yang sedang berkemas-kemas untuk pulang, menaruh perhatian besar. Ia menanyakan dengan ramah apakah aku sudah membawa obatnya dan tentu saja aku bilang tidak.
“Sebaiknya beli obatnya dulu, supaya dapat disiapkan,” katanya.
Suster itu lalu mengantarku ke apotik yang letaknya berdekatan. Baik sekali ya.
Petugas di apotik mengatakan bahwa obat harus dipesan dulu. Memang saat itu ada satu ampul, tetapi itu adalah pesanan orang.
“Apakah tidak bisa dipakai dulu? Ada pasien yang memerlukannya sekarang ini,” kata suster yang ramah itu.
Tapi petugas di apotik bersikeras bahwa tidak bisa, karena obat itu adalah jatah orang lain.
“Sudah tau harganya?” ia bertanya padaku.
“Belum, berapa harganya?”
“Yang 3.6 mm harganya Rp 1.465.000, kalau 10.8 mm Rp 4.1 juta,” katanya.
Gedubrak..!!
Kata dokter, aku perlu suntikan dengan dosis 10.8 mm setiap 3 bulan sekali.
Akupun pulang dengan perut mulas, bukan karena mens, tapi karena harga obat yang mahal.
Malamnya, aku teringat dokter Win. Ia adalah dokter umum yang setiap bulan memberiku infus Zometa untuk menguatkan tulang. Aku kirim SMS, menanyakan apakah ia dapat memberikan suntikan Zoladex. Ternyata ia bisa. Wah… aku senang sekali, tidak usah ke RS.
“Beli obat di Apotik Grogol atau dengan ibu Mala di Apotik Wina, lebih murah,” katanya melalui SMS.
Segera aku telepon apotik itu. Tapi tidak ada yang menjawab. Pasti sudah tutup.
Tiba-tiba HP-ku berbunyi, pertanda ada SMS masuk.
“Apotik mungkin sudah tutup. Telepon hari Senin,” begitu SMS dari dokter yang baik hati dan penuh perhatian itu.
Hari Senin aku menghubungi Apotik Grogol dan Apotik Wina. Harga obat dosis 3.6 mm sama, yaitu Rp 1.350.000. Kalau yang 10.8 mm, harga di Apotik Grogol Rp 3,735,000. Berapa harga di Apotik Wina? Ternyata lebih murah Rp 2 ribu.
Kalau harga Zometa, di Apotik Grogol Rp 3.435.000, sedangkan di Apotik Wina tidak ada. Belakangan aku mengetahui dari dr. Win bahwa Zometa dijual di Apotik Prima dengan harga Rp 3.275.000.
“Mereka bisa menjual jauh lebih murah dari RS atau apotik lain karena mengejar omzet,” kata dokter Win.
Berapa harga Zometa di RS Dharmais? Mesti check dulu…
Kalau di NUH, harga Zometa bisa lebih murah, loh. Ini karena NUH bekerja sama dengan perusahaan obat.
If you buy two, the third one is free,” kata bu dokter NUH.
Harga satu Zometa = SGD 540. Kalau beli 2, mendapat gratis 1 dan harganya = SGD 1.080. Dengan kurs saat ini yang sekitar Rp 6.600, berarti harganya adalah Rp 7.128.000 untuk 3 ampul. Lumayan ya bedanya. Sayangnya program itu secara resmi hanya berlaku bagi warga Singapura. Untuk Aromasin, harganya tak beda jauh. Kalau Zoladex, malahan lebih mahal.
Bagaimana dengan RS pemerintah di Indonesia seperti RSCM atau RS Dharmais? Apakah ada kerja sama dengan perusahaan obat?
Aku menanyakan kepada dr. Sjamsuridjal, mantan direktur RS Dharmais yang juga praktek di RSCM. Ia adalah dokter yang baik dan sederhana, salah seorang pendiri Yayasan Pelita Ilmu yang banyak berhubungan dengan HIV/AIDS.
“Kiat murah dapat obat , dapat dibeli di Apotik Roxy atau Grogol biasanya dapat berbeda sekitar 30 % dari apotik biasa terutama untuk obat mahal. karena apotik tersebut ambil keuntungan tipis dengan omzet cepat,” katanya.
“Cara lain dengan bantuan dokter yang merawat diperkenalkan ke perusahaan pembuat obat juga potongan sekitar 20-30 %,” ia menambahkan.

Nomor telepon Apotik Grogol = 567 3393, Apotik Wina = entah di mana, mesti dicari dahulu. Apotik Prima, ada HP pemiliknya, tapi nggak bisa ditulis di sini. Telepon Apotik Roxy, coba tanya ke 108.

Friday, March 14, 2008

Jangan Beli Obat di Rumah Sakit

Why? Kenapa nggak boleh beli obat di RS? Sebetulnya, bukannya nggak boleh… Ya boleh boleh saja… Tapi lihat-lihat RS-nya dan obat yang akan dibeli. Kalau cuma mau beli obat gosok, obat batuk, obat cacing atau obat-obat lain yang harganya nggak terlalu mahal, ya tidak apa-apa. Lain halnya kalau obat kanker yang harganya ratusan ribu rupiah atau bahkan jutaan.
Yang paling baik adalah membeli obat kanker di Yayasan Kanker Indonesia.
Waktu aku menjalani kemoterapi, aku selalu membeli obat di YKI, tepatnya di Jl. Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat. (Telp. 319 27464 ). Dari Januari sampai Juni tahun 2005 aku kemo selama 6x di RS MMC (Metropolitan Medical Center) di Kuningan. Sekali kemo, aku bisa menghemat beberapa ratus ribu rupiah. Dasar RS nggak mau rugi. Mereka mengenakan “biaya verivikasi” bagi pasien yang membawa obat dari luar. Kalau tidak salah ketika itu “biaya verivikasi” sebesar Rp 150.000.
Setelah kemo, dokter menyuruhku minum Tamoplex setiap hari. Untuk obat kanker, tablet ini termasuk murah. Harganya ketika itu hanya sekitar Rp 4.000 per tablet. Tetapi kalau beli di YKI, harganya tak sampai Rp 3.000.
Karena dokterku juga praktek di RS Dharmais, maka aku pindah dari MMC ke Dharmais.
Waktu obat habis, aku bermaksud membeli di YKI. Seperti biasa, aku menyerahkan resep dan menunjukkan kartu RS.
“Tidak bisa,” kata petugas YKI. “Untuk pasien dari Dharmais harus ada surat pengantar khusus.”
Lho. Mengapa, mbak?”
“Tidak tahu. Itu permintaan dari RS Dharmais sendiri. Mereka yang membuat peraturan itu,” kata petugas itu sambil menunjukkan surat pemberitahuan yang tertempel di dinding dekat loket penerimaan resep.
Dalam surat yang ditanda-tangani oleh bos RS Dharmais itu memang tertulis bahwa pasien dari Dharmais yang ingin membeli obat dari YKI harus membawa surat rekomendasi dari RS Dharmais.
Beberapa bulan kemudian, waktu aku kontrol ke dokter di RS Dharmais, aku minta dokter agar memberikan surat rekomendasi
“Emang ada surat seperti itu?” tanya pak dokter ke suster.
“Ada dok,” jawab suster.
“Macam-macam saja,” komentarnya.
Bulan April tahun lalu. Karena kankerku kambuh, obat harus diganti. Nama obat yang baru ini Aromasin padahal pil sebesar biji kacang hijau ini tak mengandung aroma asin sama sekali.
“Harganya cukup mahal,” kata pak dokter. Dokter kali ini beda, bukan yang dulu, karena yang dulu sudah meninggal.
Waktu aku minta surat rekomendasi, ia terheran-heran. Susternya juga tak tahu-menahu.
“Beli aja sama Totok,” kata pak dokter. “Dia itu salesman langsung dari perusahaan obat, dia suka duduk2 di lobi. Tanya aja di sana. Kalau sama Totok, lebih murah.”
Aku bengong. Dan sambil terbengong-bengong, aku ke lobi, celingukan. Yang mana yang namanya Totok? Kalau ada salesman obat di sana, pasti ketahuan dari gayanya, pasti berbaju rapi, berdasi, dan penuh semangat, beda dengan pasien yang rata-rata mukanya kuyu dan sedih. Tak ada tuh orang dengan ciri2 seperti itu. Oh ya, aku ingat dokter juga berkata: “Beli obat jangan di apotik yang di bawah. Kalau di bawah, mahal. Beli aja di atas, lebih murah.”
Lalu aku ke atas (lantai 4?).
“Di sini kita hanya melayani untuk pasien yang dirawat. Kalau yang berobat jalan, di bawah,” kata petugasnya dengan judes.
Aku ingin mencari tahu harga obat dan disuruh menunggu. Akhirnya aku pergi karena tak tahan menunggu terlalu lama. Yach, memang tampaknya sibuk sekali mereka. Lagipula aku nggak yakin kalau di situ harga obat lebih murah dari di bawah.
Lalu aku berpikir keras. Dulu aku mendapat Surat Rekomendasi dari suster yang bertugas di lantai dasar sedangkan tadi aku konsultasi dengan dokter di lantai satu. Nah, kenapa aku nggak ke lantai dasar untuk mencari suster itu?
Maka aku segera ke lantai dasar. Suster yang aku maksud tidak ada. Yang ada adalah suster lain dan dia juga tidak tahu menahu soal Surat Rekomendasi itu.
Untung ada petugas yang baik hati dan dia menelpon temannya untuk menanyakan soal Surat Rekomendasi itu. Akhirnya dengan panduan temannya, ia berhasil menemukan surat tsb.
Wah, aku senang sekali, rasanya tidak sia-sia berjuang… Lalu aku membawa surat sakti itu ke lantai 1 untuk ditanda-tangani oleh pak dokter.
Keesokan harinya aku ke telepon YKI. Ternyata mereka nggak jual Aromasin. Yach… sia-sia deh perjuanganku….
Petugas YKI menganjurkan agar aku beli obat di Apotik Grogol. Harganya Rp 1.668.000. Sedangkan harga obat di RS Dharmais, menurut catatanku yang nggak gitu jelas: Rp 2.000.120. (Aneh ya, mungkin catatanku ini salah. Tolong cek deh ke sana. Tapi yang jelas, memang beda jauh).

(to be continued – di singapura obat bisa lebih murah!)

Tuesday, March 11, 2008

Reiki, the energy healing system, that heals.

Pernah baca buku cerita silat Kho Ping Ho yang terkenal itu? Atau Kisah Pemanah Burung Rajawali yang pernah ditayangkan di TV? Hmm.. itu jadul (jaman dulu)… anak-anak sekarang pasti nggak tau. Bagaimana kalau Crouching Tiger Hidden Dragon? Atau.. paling tidak, tau dong film kartun Avatar yang tiap pagi masih muncul di layar kaca?
Intinya, aku mau bilang kalau dalam cerita-cerita itu digambarkan adanya tenaga dalam yang luar biasa. Dari jarak jauh orang bisa menumbangkan pohon hanya dengan menggerakkan tangan. Ada juga namanya ilmu meringankan tubuh alias ginkang yang membuat orang dengan mudah bisa melompat ke genteng dan berlari-larian di sana dengan lincah. Nggak ada tuh genteng yang pecah atau orang yang jatuh karena gagal meloncat lalu patah tulang.
Percaya nggak? Aku sih cuma mikir, kalau memang benar ada ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang hebat itu, pasti dong mereka yang menguasainya bisa jadi juara Olimpiade, mulai dari lomba lari, angkat besi sampai senam dan tinju.
Tapi beneran loh. Yang namanya tenaga dalam itu memang ada seperti yang pernah disiarkan di TV yang meliput demonstrasi perkumpulan seperti Merpati Putih, bukan Merpati Kuning atau Ungu..
Tenaga dalam ini juga bisa dipraktekkan dalam penyembuhan, seperti yang kita kenal dengan prana, reiki atau chi…
Akhir tahun lalu, ketika teman lamaku Harry mengetahui kalau aku kena kanker, ia mengusulkan agar aku ikut reiki. Lalu teman lain Jo yang di Melbourne pernah cerita kalau saudara temannya yang bernama Diana dan berdomisili di Bandung kena kanker dan belajar reiki.
Bulan lalu, 10 bulan setelah usaha melawan kanker melalui pengobatan modern belum membuahkan hasil yang diharapkan, aku mulai memikirkan reiki. Aku kontak Diana, yang bersaksi kalau temannya yang kena kanker keadaannya membaik setelah reiki dan saat ini dia sendiri juga sedang menjalani terapi reiki.
Nah, kalau begitu, kenapa nggak dicoba? Aku lalu mencari informasi dan di internet aku menemukan beberapa situs, salah satunya adalah Yayasan Cakram Reiki pimpinan pak Wahidin yang merupakan dosen fakultas eksakta di UI. Selain menyelenggarakan lokakarya, ada juga klinik yang memberikan layanan cuma-cuma. Boleh juga nih…
Hari Sabtu siang, tgl. 1 Meret 2008, aku telepon yayasan itu. 421 9245, atau 7086 1292.
“Datang saja ke sini. Kebetulan setiap Sabtu ada pengobatan sampai jam 5 sore,” kata ibu Wahidin.
Aku lihat jam, sudah pukul 15:30. Ok. Kalau ngebut, masih keburu. Klinik itu lokasinya di Kramat, tapi bukan Kramat Tunggak . .. bekas pasar daging alias red light district yg sekarang jadi Islamic Center. Tepatnya kinik itu di Jalan Listrik 5 No.4, Gang Kramat IV, Jakarta Pusat.
Dari arah RSCM atau Salemba, lewat RS Kramat 128 (ini rumah sakit kecil tapi kabarnya bagus) lalu belok kiri, masuk Jl. Kramat IV. Dari situ ada gardu FBR, lalu belok ke .. eh, kiri atau kanan ya, aku lupa. Yang jelas aku nyasar, keterusan sampai jauh, mana jalannya sempit, susah berputar balik.
Akhirnya sampai juga di klinik yang sederhana itu. Waktu itu sudah beberapa menit lewat dari pukul 5 sore. Setelah menjawab beberapa pertanyaan standar, aku disuruh duduk di suatu ruangan. Lalu seorang master reiki mulai melakukan ritual penyembuhan yang diawali dan diakhiri dengan doa menurut keyakinan masing-masing. Beberapa anggota lain juga turut membantu. Mereka semua mengerahkan tenaga dalam memasukkan energi positif untuk menghalau energi negatif dalam tubuhku.
Prosesnya sekitar 20 menit. Tak berasa apa-apa. Malah ketiduran sebentar.
Setelah itu aku mendapat informasi kalau mereka akan mengadakan lokakarya di Hotel Ibis hari Minggu itu dengan biaya Rp 450 ribu dan aku langsung mendaftar dengan memberi DP Rp 100 ribu.
Belakangan Upiet ternyata berminat dan kami berdua mengikuti loka karya yang berlangsung dari pukul 9 pagi hingga 4 sore. Pesertanya tidak banyak, sekitar 15 orang, termasuk peserta untuk tingkat 2.
Reiki berasal dari bahasa Jepang. Rei=alam semesta, Ki=energi kehidupan. Atau disebut juga Ling Chi.
Pada intinya kita belajar menyelaraskan energi positif dari alam semesta. Dalam keadaan pasrah, energi reiki bekerja melakukan penyembuhan dan mencari sendiri sumber penyakit.
Kita belajar melakukan penyembuhan diri sendiri (self-healing) dan menyembuhkan orang lain. Setelah loka karya, kita harus berlatih self-healing selama 21 hari.
Tapi tentu saja semua itu juga tergantung pada keyakinan kita serta kehendak YME.
Kita juga diajari untuk melihat aura orang, yang bisa dilakukan dengan sering berlatih.
Ahli reiki tingkat lanjut dapat mengobati orang dari jarak jauh. Setiap malam, pukul 10, mereka menyalurkan tenaga dalam bagi pasien. Sebetulnya aku juga ingin ikut direiki. Tapi jam 10 malam belum tentu aku sudah sampai di rumah padahal kalau mau efektif, pasien harus siap menerima dalam keadaan pasrah dan kedua telapak tangan terbuka ke atas.
Dengan reiki, kita juga bisa loh menghilangkan energi negatif pada makanan.
“Coba ambil 2 buah tomat. Yang satu direiki, yang satu tidak. Setelah beberapa hari, tomat yang tidak direiki akan busuk, tetapi tomat yang direiki bisa awet sampai lama,” kata pak guru saat loka karya.
Lalu katanya lagi: “Pak Wahidin paling suka makanan Padang yang banyak santannya itu. Tetapi ia tetap sehat karena setelah makan, ia reiki perutnya.”
“Tetapi kalau makanan itu direiki sebelumnya, pada saat dimakan, akan terasa nggak enak. Coba kalau ada teman yang suka merokok, reiki rokoknya, maka saat ia merokok, akan berasa nggak enak.”
Malam harinya aku coba mereiki buah. Bukan tomat, tapi mengkudu yang baru dipetik. Setelah beberapa hari, hasilnya: sama saja, tetap busuk.
Waktu temanku Dewi datang pada hari Selasa, aku bercerita tentang reiki dan mencoba mereiki rokoknya karena dia memang ingin sekali berhenti merokok.
Keesokan harinya waktu aku tanya, dia menjawab: “Agak nggak enak sedikit.” Nggak tau ya, apakah memang beneran dia merasa rokoknya nggak enak, atau dianya merasa nggak enak sama diriku…. (Yach..namanya juga baru belajar, jangan ngeledek ya, awas nanti kalau sudah jago aku akan reiki itu mi instan di supermarket biar rasanya jadi hambar dan anak2 ga ketagihan .. hehehe... ga kok... just kiding... reiki kan ga boleh buat main2...)

Bagi yang tertarik mengikuti pengobatan dengan reiki secara cuma-cuma, dapat datang ke klinik Wahidin setiap hari Sabtu pukul 14:00 sampai 17:00. Nomor telpon 421 9245, atau 7086 1292 seperti yang disebutkan di atas. Atau boleh juga lihat di website
cakram-reiki.com. Kalau ingin tahu lebih lanjut, banyak sekali informasi di Internet, bisa dicari lewat Google.

Mysterious Red Spots

Kalau ada judul film Mendadak Dangdut, maka yang aku alami adalah Mendadak Berbintik-bintik Merah.
Kaget. Itu reaksi pertama waktu aku menemukan ada bintik-bintik merah di bagian dada dan punggung sekitar pukul 15:00 pada hari Sabtu lalu (15 Maret 2008). Padahal aku nggak merasa makan sesuatu yang “aneh-aneh” yang bisa menyebabkan alergi. Tapi itu jelas bukan demam berdarah yang tahun lalu menelan korban 1.380 orang di seantero nusantara karena suhu badanku normal.
Pukul 7 malam, bintik-bintik bukannya berkurang tapi malah menjalar ke paha dan lipatan tangan. Lha gimana mau berkurang, wong nggak aku apa-apain. Mulai agak panik. Yach, kalau besok tambah parah, mau nggak mau mesti ke dokter.
“Minum air putih banyak-banyak,” saran temanku Lia lewat SMS. "Juga susu," ia menambahkan.
Betul, memang air putih dan susu bagus, bisa menghilangkan racun. Maka aku segera minum air putih 3 gelas, sampai perut rasanya begah. Lalu aku ingat ada segepok sereh yang tergantung di dapur. Rencananya tiap hari mau rajin minum air sereh seperti anjuran sebuah artikel pemberian Linda, copy editor di kantor, yang menyebutkan bahwa minum air sereh setiap hari bisa melawan kanker. Dulu sempat rajin, tapi setelah beberapa waktu, lalu malas. Sereh yang sudah berumur seminggu itu segera aku rebus dengan dicampur sedikit jahe dan gula merah. Enak loh, segar…
Setelah itu badan aku gosok dengan minyak kayu putih yang labelnya berbunyi: Minyak Kayu Putih Keluaran Pulau Buru Ambon Cap Kasuari. Sebotol minyak kayu putih ukuran lumayan besar itu aku beli seharga Rp 20 ribu dari abang-abang yang menawarkannya door-to-door beberapa tahun silam. Selain itu aku juga memakai bedak (bukan bedak BB loh…..).
Malamnya sebelum tidur, aku minum susu dan melakukan ritual penyembuhan diri sendiri (self-healing) dengan reiki yang baru aku pelajari.
Waktu bangun, bintik-bintik merah sudah jauh berkurang, hanya tampak samar-samar, sehingga ketika siang itu aku bisa latihan di gymn dengan tenang. Kemarin bintik-bintik itu sudah hilang sama sekali.
Mungkin binti-bintik itu adalah biang keringat karena pada hari Jumat aku banyak mengeluarkan keringat saat berolah raga di gymn. Ketika itu aku ikut latihan semacam yoga yang nama kerennya “hot flow” karena diadakan dalam ruangan tertutup dengan suhu 37 derajad Celcius.
Menurut informasi, penyakit ini biasanya menyerang anak-anak, disebabkan oleh tersumbatnya kelenjar keringat. Keringat yang keluar saat cuaca panas berkumpul di bawah kulit sehingga mengakibatkan munculnya bintil-bintil merah yang terasa gatal.
Kalau hanya biang keringat, memang tak perlu kuatir.Bedak saja juga cukup untuk mengatasinya. Apalagi kalau ditambah dengan yang lain-lain, termasuk reiki. Apakah reiki turut turut andil dalam penyembuhannya yang sangat singkat itu? I hope so.

Wednesday, March 5, 2008

Like a Volcano

Melihat gambar gunung berapi pada sampul National Geographic Indonesia edisi Maret 2008, aku merasakan ada kesamaan dengan penyakit yang menyebalkan ini.
Kanker di tubuhku bagaikan gunung berapi yang dapat meletus setiap saat. Bedanya, kalau letusan gunung berapi menggelegar dan seketika memporak-porandakan lingkungan di sekitarnya, sel-sel kanker dengan diam-diam menyebar ke bagian-bagian tubuh dan menggerogotinya tanpa ampun.
Kanker memang pengecut, ia bergerilya, datangnya mengendap-endap. Saat kita lengah, dengan mudah ia menyerang untuk membobolkan benteng pertahanan dan menyerbu ke segala penjuru.
Dengan bantuan tehnologi, keberadaan sel-sel kanker dapat dideteksi melalui pemeriksaan seperti bone scan, CT scan, dan PET scan. Singkatnya, bone scan untuk mendeteksi apakah ada sel-sel kanker di tulang dan CT scan untuk melihat apakah sel-sel kanker itu ada di organ tubuh tertentu seperti hati, usus dll. PET scan juga sama, tapi pemeriksaannya lebih lengkap dan biayanya juga berlipat-lipat, jauh lebih mahal dari CT scan.
Aku sudah menjalani bone scan 3x (2x di Dharmais, 1x di RSPAD), CT scan 3x (masing2 di Dharmais, Radlink dan RS Pluit), sedangkan PET scan (nggak ada hubungannya dengan PET yang suka gonggong2 dan meong2) 1x di Asiamedic.
Waktu konsultasi ke NUH pada tgl. 26 Februari 2008, semua hasil scan aku masukkan ke dalam tas biru terbuat dari bahan plastik tebal yang kokoh, hadiah dari Dharmais ketika aku CT scan di sana.
Bu dokter membawa semua hasil scan itu untuk dibahas bersama seorang radiologist dan rekannya yang sama-sama oncologist, sebelum menerima aku di ruangannya untuk konsultasi .
“Our radiologist was really impressed with the bag,” katanya membuka pembicaraan.

Come on, doc…! Jangan ngeledek dong.. Masa yang dipuji tas-nya? Memang tas itu bagus, beda dengan kantong plastik dari Radlink atau amplop besar dari RS Pluit...tapi apa nggak ada hal lain yang bisa dipuji?
Ada… Ternyata Bu dokter juga memuji teknologi yang digunakan Dharmais untuk bone scan. Kalau CT scan Dharmais memang kurang canggih tapi tehnologi RS Pluit untuk CT scan bagus (64 slice), "sama dengan di Singapura", katanya.
Ada juga kabar bagus. Kanker itu tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain. Sayangnya, ada kabar buruk. Sel-sel kanker masih bercokol di tulang. Tadinya aku menyangka kalau hanya ada di dua atau tiga titik. Ternyata lebih. Paling tidak ada di 5 titik Iga kanan, leher belakang, tulang belakang, tulang duduk kiri dan tulang duduk kanan.
Selain itu, tampak ada peningkatan aktivitas. Hal ini sebetulnya sudah tertuang dalam hasil laporan hasil bone scan terakhir di Dharmais, yang kemudian ditandaskan oleh bu dokter di NUH.
Untuk mencegah penyebaran kanker, aku minum Aromasin. Kata dokter, ada obat lain, yaitu Femara. Tapi memang tak ada jaminan kalau aku minum Femara, maka keadaannya akan lebih baik.
Aku sudah minum Aromasin sejak penyakit diketahui kambuh pada bulan April 2007 sedangkan batas waktu untuk minum obat itu adalah 16 bulan (kalau aku tidak salah dengar). Artinya, setelah masa itu, maka Aromasin tidak lagi efektif untukku.
Dokter mengusulkan agar aku tetap minum obat itu selama 3 bulan sebelum beralih ke Femara. Dan aku setuju saja.
Aromasin dan Femara adalah obat terapi hormone untuk menekan produksi oestrogen, yaitu hormone yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker. Obat ini hanya manjur untuk mereka yang sudah menopause. Karena aku belum menopause (maklum, masih remaja…) maka setiap tiga bulan sekali, aku disuntik Zoladex supaya benar2 berhenti mens (enak, ga perlu ribet pake softex).
Kalau Aromasin dan Femara tidak manjur, maka baru akan dicoba radioterapi. Tapi pengobatan ini, sama seperti kemoterapi, dapat menghancurkan sel2 yg masih sehat juga.
Mudah2an terapi hormone berhasil yach… Sementara itu, terpikir juga untuk mencoba pengobatan herbal seperti Mahkota Dewa dan pengobatan spiritual melalui meditasi dan reiki… Siapa tahu…bermanfaat…
Dan yang tak kalah pentingnya adalah keaktifan berolah raga. Minggu kemarin diundang temen ke Fitness First di Pacific Place dan diajak ikut menjadi anggota.
Bukan hanya sekedar diajak… bahkan biaya pendaftaran serta iuran bulan pertama juga dibayarin. (Thanks ya, Citra..!) Olah raga itu hukumnya wajib, tapi aku suka malas. Makanya sekarang “dipaksa” agar rajin... Ayo nggak boleh malas olah raga.. Siap.. grak... Maju jalan...Satu dua.. satu dua… kiri kanan kiri kanan… (lho, kok jadi baris-berbaris).