Saturday, March 21, 2009

Femara, Aromasin dan Pizza

Kita paling suka bikin singkatan. Semuanya disingkat, sampai-sampai orang jadi bingung. Mendiknas, Menperindag, parpol, balon (bakal calon), kompol (komisaris polisi), bonyok (bokap nyokap), siskamling dan.... surtaling (kasur bantal guling).
Sebaliknya, kita juga bisa memanjangkan kata. Salah satunya, yang paling populer adalah kanker = kantong kering.
Memang semua penyakit bisa bikin kantong kering kalau tak kunjung sembuh. Tapi obat2an buat penyakit yang satu ini memang keterlaluan mahalnya. Kita mesti bersyukur karena ada Yayasan Kanker Indonesia (YKI) yang menjual obat dengan harga subsidi.
Hari Jumat kemarin (20 Maret 2009) aku ke YKI untuk membeli 40 tablet Femara. Harganya Rp 1.719.000 per kotak isi 30 tablet, atau Rp 57.700 per tablet. Ini jauh lebih murah dari tempat lain yang mematok harga hampir Rp 2 juta per kotak.
Semakin mahal harga obat, semakin besar selisih harga dibandingkan dengan tempat lain.
Misalnya, Zometa yang di RS Dharmais harganya Rp 3.626.000 dapat diperoleh dengan harga Rp 3.277.500 di YKI. Harga pasar memang jauh lebih tinggi karena mengacu pada HET alias Harga Eceran Tertinggi yang ditentukan pemerintah. HET untuk Zometa adalah Rp 4.188.000.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No 069/Menkes/SK/II/2006, harga eceran tertinggi wajib dicantumkan pada kemasan obat untuk menginformasikan harga obat yang transparan kepada masyarakat.
HET ini sudah termasuk harga dasar, pajak pertambahan nilai, dan profit margin bagi apotek sebesar 25 persen.
Apotek yang menjual obat dengan harga agak “miring” adalah apotek Prima. Sebelumnya, aku juga sering membeli obat di apotek Grogol. Aku terpaksa membeli obat di Prima apabila karena satu dan lain hal tak dapat datang langsung ke YKI, dan juga karena dulu YKI tidak menjual Femara dan obat2 lain yang aku perlukan.
“Kemarin ada pasien meninggal. Ia masih punya Femara 10 tablet dan dapat dibeli dengan harga sangat murah,” kata mbak yang melayaniku di YKI.
Oh ya? Terima kasih, mbak.
Sedih juga mendengar ada pasien yang meninggal karena minum Femara. Tapi bukan begitu.... Salah logikanya (tolong dibetulkan). Lalu terbayang harga “sangat murah”. Mungkin separo harga, atau kurang dari itu? Ah salah lagi. Ternyata Rp 50 ribu. Lumayan dong, hemat Rp 77.000, bisa buat beli pizza... yummy...
Oh ya, ngomong2, apakah ada yang memerlukan Aromasin?
Aromasin dan Femara sama2 obat hormonal sebagai pencegah estrogen, yang katanya dapat memicu pertumbuhan kanker.
Setelah aku menjalani operasi dan kemoterapi, aku minum Tamoplex, yang fungsinya juga sama. Tetapi rupanya aku kurang cocok dengan Tamoplex sehingga dokter menganjurkan agar aku minum Aromasin. Beberapa bulan kemudian, dokter menggantinya dengan Femara.
Nah, sekarang aku masih punya Aromasin sebanyak 9 tablet yang akan kadaluwarsa pada bulan Oktober 2009. Harga Aromasin tak beda jauh dengan Femara. Aromasin ini sudah berbulan-bulan tersimpan dalam kulkas.
Apakah ada yang memerlukan? Kalau ada, boleh datang untuk mengambilnya. Harganya? Gratis kok... cukup diganti dengan seloyang pizza saja....

Peraturan yang bikin pusing

Yang namanya peraturan itu dibuat supaya segala sesuatunya “teratur”. Tapi kadang2 aturan bikin pusing.
Ketika aku membeli obat di Yayasan Kanker Indonesia kemarin (Jumat, 20 Maret 2009), aku melihat surat yang ditandatangani oleh pimpinan YKI. Di situ disebutkan bahwa pasien RS Dharmais yang ingin membeli obat di sana harus membawa surat rekomendasi.
Pikiranku langsung melayang.... Teringat pengalamanku pontang panting berburu surat rekomendasi dari RS Dharmais.
Dulu aku adalah pasien RS MMC. Di sana aku menjalani operasi dan kemoterapi. Operasi yang berlangsung bulan Desember 2004 dilakukan dengan sukses oleh dokter Idral (terima kasih dok!) sedangkan untuk kemoterapi mulai bulan Januari sampai Juni 2005, aku berkonsultasi dengan dokter Muthalib dan dokter Lugi.
Setelah kemoterapi selesai, aku kembali berhubungan dengan dr. Idral. Ternyata pada hari –hari tertentu ia juga berpraktek di RS Dharmais. Jadi aku lebih suka datang ke sana karena dekat dengan kantor.
Praktek di RS Dharmais ada dua macam. Yang umum alias bersubsidi dan yang swasta. Yang umum berlangsung di poliklinik lantai satu, dari pagi sampai siang, sedangkan praktek swasa berlangsung di lantai bawah (basement) dari sore hingga malam hari. Ongkosnya juga beda. Kalau kita datang pagi hari, cukup mengeluarkan uang Rp 85 ribu (termasuk biaya administrasi) sedangkan di sore hari, biayanya hampir 2x lipat.
Dr. Idral, yang termasuk dalam kategori dokter swasta di RS Dharmais, menyuruhku minum Tamoplex. Ini adalah satu dari beberapa jenis obat hormonal yang fungsinya untuk memblokir produksi estrogen karena estrogen ini dapat memicu pertumbuhan sel2 kanker.
Selama ini aku selalu membeli obat, termasuk obat-obat untuk kemoterapi di YKI, karena harga di sana lebih murah. Aku hanya perlu menunjukkan kartu pasien yang dikeluarkan oleh RS MMC dan resep dokter.
Tapi ketika aku datang sebagai pasien RS Dharmais, mulai timbul masalah.
“Tidak bisa, harus ada surat rekomendasi,” kata petugas YKI.
Ketika aku protes, ia mengatakan bahwa kebijakan itu diambil YKI atas permintaan dari RS Dharmais sendiri.
Pada kunjungan berikutnya ke tempat praktek dr. Idral di RS Dharmais, aku minta dokter agar memberiku surat rekomendasi.
“Emang ada surat rekomendasi seperti itu?” ia bertanya. "Kenapa sih mesti dipersulit?"
Ia lalu memanggil suster yang kemudian memberikan formulir surat rekomendasi.
Bulan demi bulan berlalu.... dr Idral sakit dan meninggal dunia... Entah apa yang terjadi .... aku tak tahu...
Bulan April 2007 aku pindah ke dr Samuel, dokter muda yang banyak dipuji orang karena baik dan pandai. Ia berpraktek pada pagi dan siang hari di poliklinik umum dan malam hari di poliklinik swasta. Pasiennya buanyaaaaakkkkk sekali. Aku datang di pagi hari dan harus antre berjam-jam sebelum mendapatkan giliran konsultasi dengannya.
Ketika pak dokter mendapati bahwa kanker menyebar ke tulang, ia mengganti obat dengan Aromasin.
Aku lalu meminta surat rekomendasi agar dapat membeli obat di YKI.
“Surat rekomendasi apa ya?” dr. Samuel kebingungan.
Ia menanyakan ke suster, tapi suster mengatakan kalau ia juga tak tahu menahu.
Aku lalu bergegas ke basement, menuju ke poliklinik swasta untuk meminta surat rekomendasi ke suster.
Jawabannya mengecewakan. Ia tak tahu soal keberadaan surat sakti itu.
“Suster yang tahu sudah pulang,” katanya.
Tapi suster ini baik. Ia menelpon rekannya dan kemudian setelah mengorek-ngorek ruangan, akhirnya ia menemukan surat itu.
“Ini dikopi saja,” katanya.
Hah? Masa mesti dikopi? Aku pun protes.
Akhirnya aku diperbolehkan membawa formulir surat rekomendasi itu. Dengan terengah-engah aku kembali ke tempat praktek dr. Samuel di lantai satu. Ia segera menandatangani surat itu.
Keesokan harinya dengan bersemangat aku ke YKI untuk membeli obat.
“Maaf ya... Aromasin tidak tersedia di sini,” kata petugas.
Langsung lemes deh....
Itu dulu... Ternyata sekarang jenis obat yang dijual YKI jauh lebih lengkap. Syukurlah.
Tapi kembali ke soal surat rekomendasi itu. Aku ga habis pikir. Mudah2an saja sekarang ini surat rekomendasi bisa lebih mudah didapat. Dan lebih bagus lagi kalau aturan itu dihilangkan saja.

Thursday, March 19, 2009

Hebat vs Nekad

Orang Indonesia itu hebat. Atau nekad tepatnya.
Mereka berani mengambil resiko. Ya, bagus sih, memang orang harus berani mengambil resiko kalau ingin sukses dalam bisnis.
Jelas-jelas tertulis di bungkus rokok, bahwa merokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, termasuk kanker. Semua orang tahu. Tapi kenapa berjuta-juta orang Indonesia tetap merokok?
Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memang gudangnya perokok. Karena rokok jugalah maka nama Indonesia menjadi “harum”.
Setidaknya ada lima orang Indonesia yang masuk dalam jajaran 1.000 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes yang terbit bulan Maret 2009 ini.
Urutan pertama diduduki oleh Bill Gates dengan Microsoft-nya yang memiliki kekayaan sebesar US$ 40 milyar.
Dari Indonesia ada Michael Hartono dan R Budi Hartono, pemilik grup Djarum. Mereka berada pada peringkat ke-430 dengan kekayaan US$ 1.7 milyar. Selain itu tercantum nama Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Martua Sitorus (Wilmar International) dan Peter Sondakh (grup Rajawali), yang masing-masing memiliki kekayaan US$ 1.6 milyar, US$ 1.4 milyar dan US$ 1 milyar.
Hebat. Grup Djarum yang awalnya hanya memproduksi rokok di tahun 1951 di Kudus, kota kecil di Jateng, kini merambah berbagai bidang termasuk bank dan properti.
Proyek properti yang menonjol adalah Grand Indonesia di Jakarta. Dalam perbankan, grup ini memilki hampir separuh saham BCA, bank kedua terbesar di Indonesia (setelah bank Mandiri) dengan aset Rp 209 triliun tahun 2008.
Meskipun begitu, rokok tetap menjadi bisnis andalan. Tahun lalu majalah Tempo menyebutkan bahwa sekitar 50 persen penghasilan grup Djarum didapat dari rokok.
Rokok. Ah, rokok.
Sementara di negara maju jumlah perokok semakin menurun, di negara berkembang seperti Indonesia, jumlahnya semakin bertambah.
Data WHO yang dilansir beberapa tahun yang lalu menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen perokok ada di negara berkembang. Indonesia disebut sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar ke tiga di dunia setelah Cina dan India.
Survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan tahun 2003 menyebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia mencapai 69 juta orang. Angka itu tampaknya terus meningkat.
Dalam penelitian lain antara tahun 2001-2004, diketahui bahwa jumlah perokok pemula naik dari 0.4 persen menjadi 2.8 persen.
Anak-anak muda senang merokok karena sifat dasar mereka yang memang senang mencoba. Tapi selain itu, yang mendorong mereka merokok adalah iklan rokok yang tersebar di mana-mana, terutama di televisi, yang memberikan gambaran bahwa merokok itu “cool”, keren abis. Perokok adalah jagoan, pahlawan dan kreatif.
Beberapa daerah, termasuk Jakarta, mengeluarkan larangan merokok di tempat umum. Tapi peraturan itu belum berjalan.
Merokok memang hak asasi manusia. Tapi kalau merugikan orang lain, itu soal lain. Hanya sekitar 25 persen asap yang keluar dihisap oleh perokok, selebihnya menjadi beban perokok pasif.
Kebanyakan perokok berasal dari kalangan ekonomi lemah. Mungkin mereka merokok untuk mengurangi stres karena tekanan ekonomi. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah uang yang dihabiskan untuk membeli rokok justru menambah beban eonomi?
Pendidikan kelihatannya memegang peran dalam hal rokok-merokok ini. Penduduk miskin cenderung berpendidikan rendah sehingga kesadaran mereka akan bahaya rokok juga rendah.
Tapi.. tunggu dulu..! Banyak orang berpendidikan tinggi juga merokok. Merokok tak ada hubungannya dengan pendidikan. Tak mungkin mereka tak tahu bahwa merokok tidak baik bagi kesehatan. Meskipun mereka tahu, tetap saja mereka merokok karena mereka tak merasakan dampaknya dengan seketika. Yach, paling-paling batuk-batuk kalau baru pertama kali merokok. Tapi bahaya yang lebih serius baru muncul setelah sekian lama.
Memang kita cenderung berpikiran pendek. Yang penting sekarang merasa nikmat merokok. Dampak buruk di masa mendatang bukan merupakan hal yang ditakuti.
Ini juga sama halnya dengan dampak lingkungan. Orang cuek mencemari lingkungan, misalnya dengan penggunaan plastik yang berlebihan, karena dampaknya juga tak segera terasa. Di negara tertentu toko-toko tak lagi memberikan kantong plastik secara gratis. Tapi di sini, setiap kali kita belanja, mulai dari warung di pinggir jalan sampai ke shopping mall yang megah, budaya plastik tetap melekat.
Kembali ke soal rokok. Banyak perokok yang mengaku ingin berhenti tetapi tidak bisa karena sudah kecanduan. Sori yach, tapi menurutku, itu alasan basi.
Kalau kita mau, pasti bisa kok.
“Dulu aku perokok berat, tapi berhenti karena cewe yang aku suka nggak mau punya pacar perokok,” kata seorang teman.
Tuh kan. Kalau motivasi kuat. Pasti bisa. Ini baru namanya hebat!
Been that. Done that. I used to smoke (albeit not much) but quit totally after I was detected to have cancer. So, if you are a smoker, you'd better put out your cigarette before it is too late. I am serious. I am not saying that if you don't smoke you will be free from cancer from the rest of your life. This will reduce the risk of having cancer.
But if more and more people stop smoking, how about the cigarrette industry? How about hundreds of thousands of people who work in that industry? Many factories will close down and the unemployement rate will increase.
Maybe many people will lose their job, but maybe not. People who run the cigarette industry must be tough and smart businessmen. They are “hebat” (and some are also “nekad”). They can find a way to invest their money to open a new business, a different one, which can also absorb labor intensively. At the beginning it must be painful, but well... No pain, no gain...
Sementara itu pemerintah juga harus menaikkan cukai rokok. Taxation on cigarette in Indonesia is among the lowest in the world. It's only 37 %, much lower than India (72%), Thailand (63%) and even China (40%) and Vietnam (45%). With more revenue generated from this industry, the government should be able to make greater efforts to empower the cigarette company workers, providing them with lifeskill training or capital to run small businesses. Hopefully they will be able to make more money and lead a better and better life. (Not necessarily become as wealthy as those in Forbes' story.)



Wednesday, March 4, 2009

CT Scan and Beyond (judulnya maksa nih)

Hari Selasa kemarin, kembali aku menjalani CT Scan. Pemeriksaan ini rutin dilakukan setiap enam bulan sesuai dengan anjuran bu dokter. Maksudnya untuk melihat apakah ada penyebaran kanker di bagian tubuh selain tulang.
Sejak dioperasi pada bulan Desember 2004 dan dikemo selama 6x mulai dari bulan Januari sampai Juni 2005, sebetulnya boleh dibilang aku sudah sembuh. Kata siapa “boleh dibilang?” Itu adalah kataku sendiri. Aku mengambil kesimpulan itu soalnya sudah tidak ada lagi sel kanker dalam tubuhku.
Salah besar! Sel kanker sebetulnya masih ada, tetapi tak terdeteksi melalui pemeriksaan darah atau foto. Itu adalah kondisi yang disebut dengan NED alias No Existing Disease. Banyak pasien yang terbuai dengan keadaan seperti itu. Mereka mengira sudah sembuh sehingga seringkali terlena. Lengah, tidak menjaga kesehatan dengan baik.
Kalau dalam waktu 5 tahun, eh salah, 10 tahun, kanker tidak muncul, maka pasien baru dapat dikatakan “sembuh”, begitu yang pernah kudengar. Tapi ini juga bukan alasan untuk boleh mengabaikan prinsip hidup sehat, lho.
Dalam kasusku, setelah tak tampak batang hidungnya selama hampir 2 tahun (emang ada hidungnya yach?), kanker kembali itu menunjukkan aktivitasnya dengan menyerang tulang. Ini baru ketahuan pada bulan April 2007.
Dulu aku dikategorikan kanker payudara stadium 2B. Karena ada penyebaran ke organ tubuh lain (disebut metastatic breast cancer) secara medis, aku naik kelas... masuk dalam kategori stadium 4.
Sekilas, meskipun tak jelas, aku ingat bahwa pada jaman dahulu kala, setelah aku menjalani mastektomi dan kemoterapi di MMC, dokter pernah menyinggung bahwa ada pasien penderita kanker payudara yang sudah “bersih” tapi kemudian sel kanker ternyata menyebar ke tulang. Saat itu aku tak terlalu memperhatikan. Aku juga semakin malas kontrol karena pak dokter menunjukkan perubahan dalam sikapnya. Rasanya ia kurang perhatian dan kasar. Belakangan aku sadar, ia berubah karena ia sendiri sedang sakit. Ia meninggal, entah kapan, mungkin akhir 2005 atau awal 2006.
Hubungan pasien dan dokter sangatlah penting. Kalau kita kurang nyaman dengan dokter, maka itu akan mempengaruhi kondisi kita. Kita bisa saja menjadi malas untuk menemuinya dan mengikuti nasehatnya.
Kembali ke soal penyakit. Setelah ketahuan kalau kanker menyerang tulang, aku juga harus menjalani berbagai pemeriksaan agar kalau sampai ada penyebaran baru, hal itu bisa segera terdeteksi.
Menurut dokter, ada kecenderungan bahwa setelah kanker menyebar ke suatu bagian tubuh, ia akan menyebar ke bagian tubuh yang lain. Hih.. serem....
Karena itulah perlu dilakukan pemeriksaan rutin, bukan hanya bone scan, tapi juga CT scan. Bone scan khusus melihat tulang, sedangkan organ tubuh yang lain dilihat melalui CT scan.
Kemarin aku menjalani CT scan untuk ke-5 kalinya. Yang pertama di Radlink yang berlokasi di Paragon, Orchard City, Singapore. Ke-2 di Dharmais, ke-3, ke-4 dan ke-5 di RS Pluit, Jakarta Utara.
Ke-1: proses biasa saja, ga sakit. Ke-2: proses juga biasa, jauh lebih murah, tapi alat kurang canggih. Alat di RS Pluit cukup canggih. Di Radllink dan Dharmais prosesnya sekitar 2 jam (persisnya aku lupa), tapi di Pluit tak sampai selama itu. Hanya saja, prosesnya tidak menyenangkan. Obat dimasukkan selain melalui mulut (alias diminum, sekitar 2 gelas) dan urat nadi di tangan, juga melalui dubur.
Dalam proses CT scan yang terakhir ini, aku merasa tersiksa. Padahal, logikanya, seharusnya karena sudah “pengalaman”, mestinya aku merasa tak terlalu sakit. Kemarin suasana ramai sekali, banyak pasien. Proses jadi lebih lama dan entah kenapa, aku merasa lebih sakit ketika disuntik untuk diambil darahnya dan ketika obat dimasukkan baik melalui urat nadi maupun dubur.
Selain itu, badan juga lemas karena harus puasa. Suster menyuruh puasa 4-6 jam. Pagi2 makan roti dan minum susu. Jam 7:30 makan pisang dan jus wortel + tomat + apel. Janjian CT scan jam 12 siang. Aku sampai di sana jam 12.15. Cari parkir dan proses admin sekitar 15 menit. Keluar dari ruang CT scan jam 15.00 lewat.
Begitu selesai, langsung ke WC karena obatnya memang bikin pingin buang air (besar dan kecil). Trus ke kantor.
Di mobil sempat makan roti hangat yang terpanggang sinar matahari di tempat parkir. Lumayan. Yang bikin kesel, macet banget mulai dari menjelang flyover Grogol sampai lewat perempatan Tomang. Tapi untung...... biar macet begitu, ga sampai 1 jam sudah tiba di kantor.
Langsung cari makan. Tadinya mau ke warung sebelah, tapi kata resepsionis, kalau sore sudah tutup. Maka aku pun menuju kantin seberang.
Belum sampai ke seberang.... gedubraaaakkkkk.... Aku jatuh tersenggol motor. Ajaib, aku bisa langsung berdiri. Motornya juga jatuh. Untung.. pengemudi dan kendaraannya utuh. Dan kita pun saling bermaaf-maafan seperti saat Lebaran.
Sebetulnya aku salah, tidak hati-hati menyeberang. Tapi tentu dia tak berani menyalahkan aku dong soalnya.... satpam kantor yang badannya gede langsung keluar dan menegur dia karena ngebut.
Akhirnya tak jadi beli makanan. Balik badan grak, buru-buru kembali masuk ke kantor sebelum jadi tontonan masyarakat (emangnya sinetron!).
Untung... di kantor ada teman yang hari itu jualan nasi, titipan istrinya. Memang dia sering jualan nasi, tapi tidak setiap hari. Sore itu aku makan nasi, tumis sayur dan telur balado. Enak....Mau?

Monday, March 2, 2009

Kalau kita bisa berdamai dengan sakit

Rencana menulis sebenarnya sudah lama. Tapi karena satu dan lain hal, baru sekarang terlaksana. Itu pun kalau tak ada gangguan..
Ini soal sakit. Awal tahun ini aku sempet merasa sakit 3x di bagian tulang. Waktu sakit yang pertama, aku atasi dengan banyak bergerak. Dan hasilnya memang bagus. Sakitnya hilang. Tapi waktu sakit yang kedua, biarpun dibela-belain yoga, sakitnya tak mau pergi. (Ga bisa reiki karena dah lama ga praktek dan ga konsen.)
Terus, pas lagi merasa sakit aku tiduran di ranjang sambil nonton TV. Pas acaranya tentang orang yang memecahkan rekor piercing. Ada perempuan dari Brazil yang tubuhnya penuh piercing. Jumlahnya ratusan, atau bahkan lebih dari 1.000. Kebayang ga sih... Pokoknya serem deh.
Tapi menurut dia: “pain is beautiful.” Kok bisa ya?
Di saluran lain, ada cowo yang badannya ditoreh. Bukan sekedar ditato dengan jarum, tapi ditoreh dengan pisau. Sakit dong. Tapi dia tenang-tenang saja dan dia melakukan itu juga sebagai tanda cinta pada calon istrinya.
Ada-ada saja... Gimana caranya ya kok mereka ga ngerass sakit.
Maka setelah menarik nafas panjang kupejamkan mata, berusaha untuk meredam rasa sakit. Untuk sesaat, memang bisa. Lalu.. begitu badan bergerak, ya..... sakitnya tetep terasa.
Ah, sakit ya sakit, maunya sakit tapi enak... (Jadi inget bacaan klasik waktu SMP, Sengsara Membawa Nikmat, yg isinya apa..ga tau).
Tapi siapa tahu ya, kalau kita berkonsentrasi penuh dan berdamai dengan rasa sakit, maka rasa sakit akan pergi.
Keesokan harinya aku nyerah. Di sela-sela jam kantor, kabur sebentar ke toko obat di Pasar Palmerah, beli ponstan. Satu strip harganya Rp 16 ribu. Malam sebelum tidur minum satu tablet. Eh.. paginya langsung membaik :)
Waktu sakit yang ke-3, aku ga minum obat karena sakitnya masih bisa ditahan dan kemudian hilang sendiri setelah beberapa hari.
Oh ya, menurut bu dokter, dalam kasusku, memang kadang-kadang bagian yang terkena kanker bisa terasa sakit. Hanya saja belum dapat diketahui faktor apa yang menyebabkannya. Aku sih curiga jangan-jangan ini karena bulan Desember kemarin aku telat suntik Zometa (penguat tulang) sampai 3 minggu. Dokter dulu pernah bilang, kalau memang cape berobat, boleh ambil dispensasi libur suntik Zometa sekali. Dan waktu itu suntiknya sempat tertunda karena aku pulang kampung dan kemudian susternya kena demam berdarah. Tapi sekarang, kayaknya memang ga boleh menunda-nunda pengobatan. Daripada daripada...