Tuesday, April 29, 2008

Langka, buku tentang kanker payudara

Jalan-jalan ke shopping mall memang enak. Di sana kita bisa bersantai. Tak harus belanja barang-barang bermerek yang harganya kurang terjangkau, tapi boleh sekedar duduk-duduk di café menyantap makanan lezat (tapi kebanyakan kurang sehat) dan minum kopi atau jus (kalau mau sehat). Atau cuci mata melirik gaya anak-anak muda berparas menawan dengan dandanan yang trendy.
Orang lebih suka ke mal daripada ke taman. Kayaknya sih nggak ada taman yang menarik, nyaman dan aman untuk dikunjungi. Taman Monas? Hmm.. Rasanya kok nggak kepingin ke sana biarpun sudah ada kiriman rusa tutul yang diimpor dari Istana Bogor. Taman Suropati? Tempatnya memang teduh, aman, karena dekat rumah dinas Gubernur DKI, Wapres dan Dubes AS, tapi nggak bisa cuci mata ya? Taman Lawang? Hehehe.. Itu sih lain lagi... tempat para waria beroperasi di malam hari.
Intronya kepanjangan nih. Singkat cerita, beberapa waktu yang lalu ke Pondok Indah Mall di Jakarta Selatan. Tujuan utamanya: ke Toko Buku Gramedia. Ternyata nggak mudah mencari buku tentang kanker payudara, khususnya karya penulis lokal. Hanya ada satu buku, itupun jurnal ilmiah terbitan universitas. Selain itu ada juga buku yang membahas kanker secara umum, ditulis oleh seorang dokter.
Untung ada buku terjemahan, judulnya Kanker Payudara, Diagnosis dan Solusinya, terbitan Prestasi Pustaka, Jakarta. Buku dengan jumlah halaman persis sama seperti merek rokok 234 ini ditulis oleh Jackie Lincoln-Wilensky, ahli bedah plastik dan internis dari Ohio General Hospital. (Tapi aku tidak berhasil mencari informasi melalui Internet tentang buku ini maupun tentang penulisnya).
Aku beli buku seharga Rp 35.000 itu dan mendapatkan diskon 10 persen dengan menunjukkan kartu karyawan (biar cuma karyawan kontrakan) karena salah satu pemegang saham perusaaan tempatku bekerja kebetulan adalah pemilik toko buku Gramedia.
Sampul buku yang didominasi warna merah muda ini dihiasi foto perempuan berambut pirang yang tengah memeriksa payudaranya dan sekuntum bunga raksasa. Terus terang saja aku kurang suka dengan gambar itu yang kesannya terlalu “memaksa”, tapi isi buku ini bagus, informatif dan dapat dibaca oleh orang awam.
Aku pernah punya buku terjemahan Living with Cancer, dengan kata pengantar dari Olivia Newton-John, penyanyi dan penyintas kanker payudara. Buku ini bagus sekali, tapi sayang, hilang.

Selain itu ada foto-kopian buku Food & Cancer terbitan Cancer Care, Penang, pemberian temanku Amorita, serta buku terjemahan berjudul Kiat Mencegah Kanker Payudara Dengan Menyeleksi Jenis-jenis Makanan dan Mengatur Pola Makan yang Aman, karya Elaine Magee.

Kemarin baru saja aku menerima kiriman buku dari Lenah, teman yang tinggal di London. Buku yang menarik ini berjudul Take Off Your Party Dress, When Life’s Too Busy for Breast Cancer, karya Dina Rabinovitch, kolumnis Guardian yang juga penyintas kanker payudara.
Oh ya, ada juga buku yang direkomendasikan oleh Titah dari Rumah Kanker di Surabaya dan Rini, Cancer Survivor from Lumpia City. Melawan Kanker karya Anne E. Frahm & David J. Frahm, yang dapat dibaca di http://www.geocities.com/melawankanker/melawankanker/index.html. Anne ini vegetarian, tapi masih minum kopi lho. J
Kalau di luar negeri sih memang banyak sekali buku tentang kanker payudara. Tapi kenapa ya sulit mendapatkannya di sini.
Penasaran, aku klik www.gramedia.com untuk mencari buku tentang kanker. Muncul dua buku: Hidangan Sehat Untuk Mencegah Kanker yang ditulis oleh ahli gizi Tuti Soenardi, dan Dokter, Tolong.. Saya Kena Kanker, karya Dr. Ang Peng Tiam, dokter dari Mt. Elizabeth Hospital di Singapura, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Karena gramedia.com hanya menyediakan buku terbitan Gramedia, aku coba klik inibuku.com. Hanya muncul tiga buku: Zikir Menyembuhkan Kankerku, oleh Prof. Dr. Amin Syukur MA., Dokter, Tolong…Saya Kena Kanker dan Mengenal Seluk-beluk Kanker, karya dr Rama Dianandra (sama seperti yang tersedia di TB Gramedia PIM).
Sebetulnya aku punya niatan ingin menulis buku. Belum kesampaian, tapi paling tidak sudah mulai dirintis melalui blog ini. Intinya sih aku mau bilang kalau kena kanker bukan berarti akhir dari segalanya. Eh, tapi kalo bikin buku, nggak bisa dong pakai gambar lucu-lucu yang selama ini dicomot dari Internet. (Aduh, ampun, ngaku salah... hiks hiks... Eh kayak beneran aja mau bikin buku. Emangnya gampang...? Belum lagi risetnya..!)

Monday, April 21, 2008

Cancer, Sexual Abuse and Pope.. and KPK

Kanker merupakan hal yang sangat serius. Saking seriusnya, sampai disebut-sebut di hadapan Paus Benedict XVI yang tengah berkunjung ke Amerika Serikat.
Sayangnya, kanker ini disinggung hanya sebagai perbandingan saja. Dan lha kok ya dibandingkan dengan masalah pelecehan seksual yang kotor dan menjijikkan.
Bukan sekedar pelecehan seksual, tapi pelecehan seksual di Gereja Katolik. Kejadiannya tidak di Indonesia (kalo di sini entah ada apa nggak) melainkan di Amerika dan Eropa. Isu tersebut mencuat setelah beberapa korban menceritakan hal yang menimpa mereka kepada Paus Benedict XVI hari Kamis (17 April 2008) saat berkunjung ke Washington.
"And then I told him that he has a cancer growing in his ministry, and needs to do something about it. And I hope he hears me right, and I touched his heart. And he nodded," kata Bernie McDaid yang mengaku dirinya dicabuli pada usia 11 tahun saat menjadi putra altar, lalu lari ke narkoba . (http://209.85.175.104/search?q=cache:iHQfI85TrzEJ:edition.cnn.com/2008/US/04/18/church.victims/index.html+pope+sexual+abuse+CNN&hl=en&ct=clnk&cd=4&gl=id ) Tadinya aku merasa bersimpati pada Bernie (yang sekarang usianya mungkin hampir setengah abad), tapi begitu mendengar ia menyamakan masalahnya dengan kanker aku jadi sebel.
Kenapa sih mesti bawa-bawa kanker? Huh.
Kayaknya aku terlalu sensi. Setelah dipikirkan kembali, ada benarnya juga. Dia menganggap masalah pelecehan seksual di Gereka Katolik sebagai sesuatu yang sangat mendesak dan harus segera ditangani.
Sebelumnya aku juga pernah mendengar orang menyamakan korupsi di negeri ini sebagai kanker (siapa orang itu, nggak ingat).
Masalah pelecehan seksual (apalagi di gereja) dan korupsi merupakan kejahatan keji yang harus diberantas dan pelakunya harus diberi hukuman seberat-beratnya. Kanker juga penyakit yang sangat kejam dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Bagaimana ya reaksi Paus kalau mendengar ini:
“Masalah kanker ini merupakan hal yang sangat mendesak dan harus segera ditangani, seperti persoalan pelecehan seksual anak-anak di bawah umur di Gereja Katolik.”
Pemerintah juga perlu didorong agar member perhatian besar pada usaha penanggulangan kanker: “Kanker merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius seperti halnya korupsi yang meraja-lela di negeri ini dan merupakan salah satu sumber kemiskinan.”
Kalau begitu, perlu juga dong KPK kedua… yaitu Komisi Pemberantasan Kanker. Iya lah, kira-kira sama seperti Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, gitu loh...

Sunday, April 13, 2008

Is cat dung coffee worth $100 a shot?

Musang ternyata punya andil dalam pengumpulan dana bagi penyintas kanker. Ini terjadi di London.
Jangan bayangkan sang musang mengedarkan kotak sumbangan atau memainkan pertunjukan seperti dalam sirkus. Mungkin hewan itu bahkan tak sadar akan peran mereka dalam aksi pengumpulan dana yang dilakukan oleh toko Peter Jones di kota yang terkenal dengan Big Ben-nya itu.
Menurut CNN hari Jumat (11 April 2008), toko itu menawarkan Cafee Rero, campuran kopi luwak dari Indonesia dan Blue Mountain dari Jamaica seharga $100 per cangkir kepada para dermawan.
Cafee Rero yang amat langka di dunia ini dibuat oleh perusahaan Itali, De Longhi.
Kopi luwak diproduksi di Indonesia hanya 260 kilo per tahun, kata CNN.
Kopi luwak ini diproses dari biji kopi yang ditelan luwak atau musang dan dikeluarkan bersama-sama kotorannya. Hiii.. Geli ya. Tapi memang begitulah ceritanya. Waktu SD aku juga sudah mendengar tentang kopi luwak. Biji kopi yang diambil dari kotoran luwak itu dipercaya sebagai biji kopi pilihan karena luwak hanya mengambil kopi terbaik yang sudah masak.
Kantor berita Reuters sebelumnya pernah menulis mengapa kopi luwak enak sekali.
"As the beans enter the civet's digestive system, an enzyme which breaks proteins into smaller parts interacts with the beans," said Marcone, an assistant professor at the department of food science at Canada's University of Guelph.
"The smaller protein will then react with the beans' carbohydrate or sugar during roasting, giving kopi luwak its famous, chocolaty, earthy and musty flavor," Marcone explained.
Bagi orang Eropa, minum kopi yang diperoleh melalui proses seperti itu merupakan sensasi luar biasa. Mereka tentu terkagum-kagum dengan kehebatan musang dalam mencari biji kopi terbaik dan tentu tak pernah terbayangkan kalau ada kopi yang diproses dengan cara sedemikian “eksotis”-nya.
Sementara mereka memberikan perhatian besar terhadap proses alamiah tradisional, orang Indonesia justru tergila-gila pada hal yang berbau kebarat-baratan. Kopi luwak yang kini banyak digandrungi warga asing, justru sulit diperoleh di kedai kopi papan atas di kota-kota besar di Indonesia.
Tetapi bukan berarti nggak ada lho. Di Sanur ada kopi Bali House yang menjual kopi luwak seharga Rp 200.000 per poci, cukup untuk 3 cangkir.
Di AS kabarnya harga jual sekilo kopi luwak mencapai $1.200.
Kalau memang kopi luwak mempunyai daya jual sedemikian tinggi, kenapa yach tidak dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia? Selain bisa membuka lapangan kerja baru, tentu hasilnya bisa juga dipakai untuk membantu para penyintas kanker yang memerlukannya.
(Mungkin para peternak ayam, kambing atau lele dumbo perlu juga mencoba beternak musang ... hehehhe.. )


CNN http://edition.cnn.com/2008/WORLD/europe/04/10/coffee.dung/index.html
Reuters : http://news.devxstudio.com/world-news/Civet-droppings-add-flavor-to-Indonesian-coffee-Reuters/

Sunday, April 6, 2008

Practicing Reiki while Driving (not recommended!)



I meant to write earlier, but last week I was sooooo busy with a tight deadline to catch. (alasan ya..)
By the way, have I told you that my office had just moved? We moved to a nearby building, a brand new one. Actually the construction is not 100% completed but we must move (maybe it had something to do with hari baik… ?). In the first few days, I could see some people, including the receptionists wearing masks (which reminds me about the time when the city was attacked by SARS) to protect them from the dust that entered the building every time the door opened.
Anyway… everybody complained that it's very cold inside the new office . (“Seperti di kutub”, “perlu beli sarung tangan” and things like that). Last Monday (March 31), it was sooooo cold that I had a terrible headache. On the way home, when I was driving, it got worse and the pain was almost unbearable. Then .. ahhh… I remember reiki. I started to concentrate and pray. When the traffic light turned red, I raised my both hands and opened the cakra above my head, like what my reiki teacher told me. And then as I felt the energy on my hands, I put them on my head. I used one hand to drive and the other hand to exercise reiki, alternatively. (Driving with one hand is dangerous… luckily, the traffic was not that bad that night).
It worked! Hurrray. It really worked. I arrived home safe and sound. But later the headache returned. I again practiced reiki, but this time the headache did not want to go. As I still had lots of work to do, I did not want to be bothered by the headache, and concentrated on my job. And miraculously I did not feel any pain in the head… I was not even sleepy… I worked very late and went to bed at 2 a.m.
On Tuesday night, when I drove home I felt something wrong with my left knee. Actually I have problems with my both knees. I think I have mild arthritis because whenever I go downstairs or upstairs, I often feel a bit painful. This time, however, I felt the pain whenever I stepped the pedal. So, I exercised reiki, sending the energy to the knee. Thank God, it worked again…
You might wonder whether it is true that reiki heals.
This afternoon when I had lunch with my friend, Retno, I told her about my experience.
Percaya. Memang reiki hebat. Aku dulu pernah ‘sakti’,” katanya.
Lalu ia bercerita. Several years ago, when her father was in hospital for a serious disease, Retno learned about reiki.
Setiap kali bokap aku reiki, dia bisa tidur enak sekali,” katanya.
It was too bad her father could not make it.
Reiki could not save his life, but it was proven to bring him peace.
At the end it’s God who decides the time we breathe our last breath.