Sunday, October 17, 2010

Dokter Idaman

“Kalau sudah duduk, lupa berdiri”. Begitu bunyi iklan kursi merek anu.

Yang dialami ayahku berbeda. Kalau sudah duduk, susah berdiri. Apalagi kalau sudah berbaring, susah sekali bangun tanpa merasa sakit. Kalau sakitnya seperti digigit semut sih nggak masalah. Lha ini sakitnya sakiiiitt sekali.

Keadaan ini dipicu oleh rasa lelah yang muncul saat mudik Lebaran naik mobil dari Jakarta ke Solo pp. Tapi itu hanya pemicu. Sejak awal tahun ini kondisi ayahku memang mulai menurun lantaran terlalu banyak aktivitas.

Karena sakit yang tak kunjung hilang, mau tak mau ayah harus ke dokter. Mula2 ke klinik 24 jam di dekat rumah. Dokter memberi beberapa macam obat, termasuk obat anti nyeri. Tapi itu tak menyelesaikan masalah. Seminggu kemudian aku mengantar ayah ke sebuah RS yang kabarnya bagus dalam hal penanganan tulang belulang. Di sana ayah difoto dan hasilnya menunjukkan bahwa tulang belakang sudah keropos. Parah.

“Bapak harus minum suatu jenis obat harganya Rp 200 ribuan per kapsul, diminum seminggu sekali. Atau diinfus setahun sekali, Rp 6.2 juta,” kata pak dokter spesialis tulang yang mengenakan seragam militer, tapi wajahnya tidak garang dan orangnya cukup simpatik.

“Selain itu harus memakai korset yang bisa dipesan khusus, harganya Rp 2.4 juta.”

“Korset apa itu dok,” tanya ayah.

Korset itu untuk menahan supaya tulang tetap pada posisinya apabila badan bergerak, sehingga tidak terasa sakit.

“Kita pikir2 dulu ya, dok,” kataku.

Mahal sekali ya, harga obat dan korsetnya. Padahal biaya konsultasi murah, hanya Rp 75 ribu dan biaya rontgen Rp 120.000 untuk 4 lembar foto tulang belakang.

Tapi ada kejutan yg cukup menyenangkan... Obat yang katanya berharga Rp 200 ribuan itu ternyata “hanya” Rp 93.500 di apotek Kawi. Memang harga obat di apotek ini termasuk murah. (eh, mana yang benar ejaannya? apotek atau apotik?)

Seminggu sudah berlalu, tetapi kondisi ayah belum membaik. Terlintaslah gagasan untuk mencari second opinion alias pendapat kedua dari dokter lain.

Kemana ya enaknya? Setelah dipikir2, aku memutuskan untuk ke RS yang terletak tak jauh dari rumah karena khawatir bahwa perjalanan cukup jauh akan membuat ayah merasa kurang nyaman. RS ini dulu menyandang nama internasional, tetapi predikat itu sudah dicopot atas perintah menteri kesehatan yang baru. (Menurut menkes, hanya ada satu rumah sakit di Jabodetabek yang berhak menyandang gelar internasional, yaitu Siloam).

Di RS tersebut terdapat beberapa dokter spesialis tulang. Dari profilnya yang tercantum di website, kelihatannya mereka cukup mengesankan. Akhirnya aku memutuskan untuk memilih satu dokter yang kelihatannya paling oke.

(Tapi aku sebetulnya kurang yakin. Waktu aku bertanya ke bu dokter langgananku, dr. Win, dia juga mengatakan tidak mengetahui reputasi dokter tsb).

Sehari sebelum ke dokter, aku ngobrol dengan teman renangku. (Ya.. memang aku masih berusaha rajin berenang.)

“Kalau ke RS itu, jangan ke dokter 'anu',” kata temanku. “Aku dulu pernah sama dokter itu. Orangnya nggak serius.”

Teman itu bercerita bahwa dulu ia punya masalah dengan tulang belakang. Dokter itu mengatakan bahwa ia perlu suntik. Sekali suntik Rp 15 juta.

“Aku tanya, ada jaminan ga aku bisa sembuh. Dokternya bilang, kalau nggak sembuh, ya operasi. Dia ngomongnya enteng sekali, kayaknya aku mau dijadikan percobaan,” kata temanku uring2an.

Memang betul, tak ada jaminan bahwa suatu tindakan dapat sukses 100%. Tapi cara penyampaian dokter itu yang kelihatannya kurang tepat.

Temanku kemudian ke dokter lain.

“Kata dokter, aku tak perlu suntik atau operasi,” katanya.

Dokter menyuruhnya banyak berolah raga, jalan kaki dan berenang, dan memakai korset yang dibeli langsung di Spine Center tempat dokter tersebut berpraktik.

“Dokter itu ngomong sama suamiku: Saya jamin istri Anda bisa 70% sembuh,” katanya.

Dalam waktu dua bulan, ia pun sembuh dan tak perlu memakai korset

Dokter itu adalah Prof. dr. Subroto Sapardan, SpOT (K-Spine), Orthopaedic Spine Surgeon.

(Ketika aku menyebutkan namanya dalam SMS yang kukirimkan ke dr Win, ia langsung menyatakan dukungannya).

Kemarin sore (Sabtu, 16 Okt 2010) aku menemani ayah ke Spine Center yang terletak di sebuah RS di di Jakarta Selatan (dan ternyata dokter "anu" yg berinisial LG juga praktik di situ lho). Setelah menunggu 3 jam, akhirnya kami dipanggil masuk ke ruang praktik pak dokter SS.

“Coba pak, berdiri,” kata pak dokter. Lalu ia bertanya “Bapak umurnya berapa?”

“Hampir 84 tahun.”

“Wah, bapak sehat sekali. Lahirnya di Magelang ya? Bisa bahasa Jawa?”

Saged (dapat),” kata ayah dengan tersipu2.

Aku ingin menunjukkan foto hasil rontgen. Tapi dilarang pak dokter. Terlebih dahulu ia meminta ayah mengemukakan keluhannya, yang dengan sabar disimaknya. Lalu menanyakan obat yang tengah diminum Setelah itu barulah ia memeriksa hasil foto.

“Ya, ini sudah sangat keropos,” katanya.

Ia menyuruh ayah meneruskan minum obat yang tengah dikonsumsi dan menambahkan dua jenis obat lain, yaitu untuk mengatasi osteoporosis dan untuk menguatkan tulang. Ia juga berpesan agar ayah selalu menegakkan badan supaya tidak bongkok dan memakai tongkat untuk membantu agar badan tegak.

“Banyak jalan ya,” katanya.

“Berapa menit, dok?” aku bartanya.

“Kok berapa menit. Satu jam,” jawabnya.

“Jalan2 di dalam rumah saja, boleh, dok?”

“Boleh.”

“Mengenai korsetnya bagaimana?”

“Nanti lihat dulu perkembangannya selama sebulan ini.”

“Kalau memang perlu, harganya berapa dok? Mahal ya?”

“Tidak mahal2 amat, ratusan.”

Jelas bahwa dr SS sama sekali tidak komersil. Padahal aku lihat pasien sebelumnya disuruh membeli korset, yang memang tersedia di sana.

Biaya konsultasi Rp 250 ribu plus biaya administrasi sebesar Rp 75 ribu.

(Menurut pasien yang duduk disebelahku, ia sebelumnya berkonsultasi dengan dr SS di RS lain dengan ongkos Rp 200 ribu).

Meskipun ongkosnya sedikit mahal, nggak nyesel deh.

Soal jalan2 itu, memang selama sakit, ayah tak banyak bergerak karena takut kalau tambah sakit.

Tadi pagi ayah mulai berjalan pelan-pelan keliling rumah. Sebetulnya lebih enak ya, kalau jalan2nya di luar rumah sambil mandi sinar matahari pagi, apalagi rumahku keciil mungiil.Tapi untuk sementara tak apalah, yang penting banyak jalan.

“Badan rasanya lebih enteng,” katanya,

Semoga cepat sembuh.

Saturday, October 2, 2010

You are what you eat

 Orang bilang “you are what you eat”. Klise, tapi 100% benar.

Kalau terlalu banyak makan junk food, kita bisa jadi junk… eh, junky… eh.. salah lagi.. Junk itu artinya sampah sedangkan junky adalah drug addict, pecandu narkoba. Junky biasanya kurus kering, tetapi junk food bisa membuat kita tambun….

Bukan sekadar endut, tapi super endut alias obesitas. Itu jelas merepotkan. Baju dan celana jadi kesempitan, kulit jadi sering lecet karena gesekan, gerakan jadi lamban dll. Bahkan bisa terkena penyakit kencing manis, mengalami gangguan ereksi dan meningkatkan risiko keguguran pada ibu hamil (lha iya, masa pada bapak hamil..).

Memang betul, kita semua tahu bahwa makanan sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Makanan tak sehat merupakan salah satu faktor pemicu berbagai macam penyakit.

Sebaliknya, kalau kita setiap hari makan mayur sayur dan buah-buahan serta makanan sehat lainnya, maka tubuh kita tentunya juga bisa lebih sehat. Apalagi kalau dibarengi dengan olah raga teratur…

Orang sehat perlu makanan sehat untuk menjaga agar badan tetap sehat. Jangan mentang2 badan masih sehat, maka kita makan sembarangan. Pandangan itu sangat berbahaya. Namun sayangnya, banyak orang yang tidak menyadarinya. You don’t know what you have until you lose it. Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus dijaga.

Tapi namanya juga manusia… pada saat kita sehat, kita sering mengabaikan prinsip2 hidup sehat. Kita cuek makan apa saja, yang penting enak dan kenyang. Opor ayam, gule dan sate kambing, soto betawi full jerohan, udang, cumi.. dan berbagai santapan berkolesterol tinggi yang membuat lidah asyik bergoyang.

Baru ketika sakit atau ketika hasil check-up menunjukkan tanda-tanda zaman.... , barulah kita mulai merasa perlu untuk mengurangi makanan yang kurang sehat.

Tak ada kata terlambat untuk menghindari makanan tak sehat dan mulai menyantap makanan yang lebih sehat.

Bagi yang sudah sakit, makanan sehat merupakan keharusan yang tak dapat ditawar. Apalagi bagi penderita kanker.

Pada bulan Agustus yll aku ikut acara kumpul-kumpul. Yang jadi MC namanya Anna, seorang ibu muda yang energik.

Dia ini penyintas kanker, lho…

Penyakitnya sempat parah sekali sampai2 dia nggak bisa jalan. Tapi Anna pantang menyerah. Diet ketat pun dilakukan dengan dukungan luar biasa dari keluarganya.

“Saya makan dan minum semua yang disodorkan suami saya,” katanya.

Menunya mencakup jus buah mengkudu, bit, wortel, sirsak dan apel hijau.

Saking cintanya pada Anna, suaminya sampai2 membuka kebun bit di Bogor untuk memperoleh bit segar… Wow… senangnya punya suami seperti itu.
Bravo... Anna. Aku juga diet, tetapi tidak terlalu ketat.

Mau tau diet lengkap Anna?

Trims ya Anna, yang telah bersedia berbagi. Ini resepnya:

MAKAN PAGI
1 gelas Jus Mengkudu
1 gelas SUSU IMMUNOCAL
1 gelas Jus Bit
1 gelas Air Rebusan Mahkota Dewa
1 gelas Jus Wortel
1 gelas Jus Apel Hijau

MAKAN SELINGAN PAGI
Pisang Rebus/ Ubi Rebus
Susu Kacang Kedelai
1 gelas air rebusan daun sirsak

MAKAN SIANG
2 sendok makan Nasi Putih
Brokoli Kukus 300 Gram
Tempe/Tahu Rebus (diselang-seling)
Acar Mentah-mentahan
Daun Selada Mentah

MAKAN SELINGAN SIANG
Kacang Kedelai/ Kacang Tanah Rebus
Snak Creckers (Vegitables - Hi Calsium)
1 gelas jus sirsak

MAKAN MALAM
1 buah Kentang Rebus
Brokoli Kukus 200 Gram
Tempe/Tahu Rebus (diselang-seling)
Acar Mentah-mentahan
Daun Selada Hijau
1 gelas SUSU IMMUNOCAL
1 gelas Jus Mengkudu

MAKAN SELINGAN MALAM
Cingcau Hijau + Madu + Air Seduhan Royal Jeli
1 gelas Air Rebusan Mahkota Dewa
1 gelas air rebusan daun sirsak

ISI ACAR:
Wortel, Kedongdong, Bengkoang, Timun Jepang, Apel Hijau Manalagi. Diiris dadu kecil-kecil. Untuk Rasa asamnya, gunakan air jeruk nipis.
1 gelas Jus Bit berasal dari ½ kg Bit Merah Mentah, di Juicer
1 gelas jus wortel berasal 350 gram wortel, di Juicer
1 gelas jus apel berasal dari 400 gram apel hijau, di juicer
1 gelas air rebusan mahkota dewa, berasal dari 2 gelas yang direbus dengan mahkota dewa, bersisa hanya 1 gelas.

1 minggu sekali makan telur Ayam Kampung rebus.
1 minggu sekali tahu/tempe bisa digoreng tapi menggunakan minyak dari biji bunga matahari. Brokoli kukus bisa dimakan dengan kecap, atau dengan saus kacang, buatan sendiri, kacang disangrai, diulek diberi garam sedikit terus seduh dengan air hangat.

Kukus-kukusan selain brokoli, bisa juga bunga-kol, wortel, kacang panjang, buncis, dll.

Selamat mencoba!