Friday, January 28, 2011

Juara Sakit

Kalau ada lomba sakit, aku mau ikutan. Mungkin pengalamanku berkutetan dengan rasa sakit selama beberapa bulan terakhir ini bisa membuatku jadi juara. Juara sakit.
Dulu kalau aku membaca novel dan menemukan kata-kata “sangat sakit seperti diiris-iris” (emangnya bawang...), “ditusuk-tusuk” (emangnya sate...!) atau “sakit luar biasa seperti dihantam palu godam”, aku merasa biasa-biasa saja. Tapi sekarang aku bisa menghayatinya dengan baik, setelah rasa sakit mulai menyerang dada kiriku bulan September tahun lalu.

Rasa sakit seperti itu sungguh mengganggu. Membuat kita tak berdaya dan menderita.

Pernah suatu pagi aku menerima telepon dari luar kota, dari temannya seorang teman yang istrinya terkena kanker.

“Istri saya sering kesakitan. Mbak minum obat apa untuk menghilangkan rasa sakit?”.

Banyak sekali jenis obat untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit (painkiller). Ada yang bisa dibeli secara bebas di apotik dan di toko obat, ada juga yang hanya dapat dibeli dengan resep dokter.

Dulu, kalau merasa sakit atau nyeri, aku cukup minum 1 ponstan dan badan langsung merasa enak. Tapi belakangan 2 tablet ponstan pun tidak manjur.

Berdasarkan pengalaman, secara sederhana obat penghilang rasa sakit dapat dibagi menjadi tiga: ringan, sedang dan berat.

Untuk nyeri berat, biasanya diberikan morfin. (Ih, serem ya... )

Ponstan termasuk obat penghilang nyeri ringan. Jadi kalau rasa nyeri sudah mencapai tingkat sedang atau berat, kemungkinan tidak lagi manjur, walaupun ada juga yang bisa mengatasi sakit gigi yang berdenyut-denyut..

Ponstan sendiri kalau dikonsumsi terus menerus juga tidak baik karena dapat merusak lambung.

“Yang paling aman adalah paracetamol,” kata bu dokter.

Selain itu, paracetamol murah meriah. Satu strip Ponstan isi 10 tablet yg pernah kubeli harganya Rp 16 ribu - Rp 23 ribu (tergantung apoteknya) sedangkan harga paracetamol tidak sampai sepersepuluhnya !

Banyak obat lain seperti novalgin, antalgin, neuralgin, meloxicam, dexamethasone, panadol dll.

Obat itu biasanya diminum 3 x sehari 1-2 tablet sesudah makan. Tapi untuk lebih jelasnya, sebaiknya dikonsultasikan dulu dengan dokter. Apalagi kalau ada alergi, tidak boleh sembarangan minum obat.

Ketika rasa sakit meningkat, dokter memberiku tramadol 50 mg. Obat ini tidak dapat dibeli tanpa resep dokter. Mula-mula 1 tablet tramadol sudah cukup, tapi kalau rasa sakit bertambah, dosis juga perlu ditambah menjadi 2 tablet atau 100 mg. Dalam sehari tidak boleh minum lebih dari 300 mg.

Harga tramadol juga murah. Aku minum obat generik yang harganya hanya sekitar Rp 5.000 untuk 1 strip (10 tablet/kapsul), sedangkan yang non-generik bisa Rp 20 ribuan.

Obat untuk si A belum tentu cocok untuk si B. Kalau tidak cocok minum jenis obat tertentu, segera sampaikan ke dokter, agar dapat dicarikan alternatif obat yang lain. Atau dapat juga dikombinasikan dua jenis obat atau lebih.

Misalnya, tramadol dapat dipadukan dengan paracetamol atau dexamethasone.

Ada juga obat yang namanya voltadex. Tahun lalu ketika kakiku sakit, aku meminumnya dan ternyata manjur sekali. Tapi obat ini dapat menghatam lambung sehingga sebelum minum voltadex, dokter menyuruhku minum obat maag.

Belakangan ketika dadaku sakit, dokter sempat menyarankan agar aku minum voltadex, tapi ternyata tidak mempan.

Rasa sakit di dada kiriku ini cukup misterius. Yang paling sakit adalah tulang iga tepat di bagian bawah payudara. Hasil rontgen dan pemeriksaan MRI menunjukkan bahwa daerah itu baik2 saja.Yang kena kanker adalah tulang iga kanan dan tulang belakang. Dokter mengatakan bahwa bisa saja dada kiri terasa sakit meskipun yang kena adalah dada kanan, istilahnya adalah “sakit kiriman” (jadi inget "banjir kiriman”... ). Tapi dada kiri bisa juga sakit karena sebetulnya tulang iga kiri sudah terkena kanker, hanya saja belum terdeteksi.

Dari akhir November hingga awal Januari dilakukan radiasi sebanyak 30x di tulang yang terkena kanker, seperti yang tampak dari hasil bonescan, yaitu tulang belakang, tulang panggul, tulang duduk (pelvis) dan tulang dada (iga) kanan.

Meskipun sudah dilakukan radiasi, ternyata sakit di dada kiri tidak berkurang. Malah bertambah. Sakit ini biasanya terasa kalau aku berbaring. Tapi akhir-akhir bisa saja muncul setiap saat dan tak tau entah kenapa.

Dulu, pagi dan siang hari aku cukup minum paracetamol, tapi sekarang perlu ditambah dengan 2 tablet tramadol .Setelah makan malam aku minum tramadol ditambah dengan paracetamol atau dexamethasone plus amitriptyline 25 mg. Amitriptilyne ini adalah obat penenang, yang betul-betul dapat menenangkan alias membuat kita terkantuk-kantuk.

Tapi ternyata tidurku juga tak terlalu nyenyak. Sebelum subuh aku sudah terbangun karena rasa nyeri. Dari konsultasi dengan dokter, barulah sadar bahwa efektivitas obat-obat itu juga terbatas. Biasanya sekitar 6-8 jam.

“Minum obatnya sebelum tidur saja,” kata bu dokter.

Aku berusaha minum obat dan tidur semalam mungkin. Kalau aku bisa tidur jam 12 malam, maka aku akan bangun paling cepat jam 6 pagi, begitu pikirku. Taktik itu cukup berhasil untuk beberapa waktu. Aku memang sering tidur malam kalau banyak tugas, tetapi daya tahan tubuhku tak selalu baik. Maklumlah, aku hanya manusia biasa... bukan wonderwoman... Seringkali jam 9 malam sudah lelah sekali dan ingin tidur.

Ada kalanya aku tetap merasa sakit meskipun sudah minum tramadol dll. Pernah aku coba minum MST Continus 10 mg. Ini adalah obat kelas berat yang mengandung morfin. Aku minum 1 tablet, tapi tidak manjur. Mungkin harus dikombinasikan dengan obat lain agar efektif, tapi aku sendiri sedapat mungkin tidak meminumnya kalau masih bisa menahan rasa sakit.

Obat yang mengandung morfin ada yang bentuknya seperti koyok. Namanya Durogesic atau fentanyl.

“Obat ini hanya boleh dipakai kalau tensinya minimal 100,” kata dokter memperingatkan.

Selembar koyok berukuran 7.5cm x 9 cm ini harganya cukup mahal. Yang dosisnya 2.5 mg harganya Rp 109.000.di apotek RSPAD. Efektivitas koyok ini katanya bisa bertahan selama tiga hari.

Selain Durogesic, ada koyok2 lain yang dapat menghilangkan rasa nyeri seperti Salonpas. Ada juga obat yang berbentuk cream, seperti Voltaren, Counterpain dan Bengay (yang sudah tidak beredar di Indonesia), atau minyak seperti Mipi. Buat aku, yang paling enak adalah minyak kayu putih....

Kalau diserang rasa sakit dan tidak cocok dengan satu jenis obat, jangan ragu2 untuk segera ke dokter. Jangan ditunda-tunda karena semakin sakit, kita akan semakin menderita. Selain jenis obat dan kombinasinya, waktu minum obat juga dapat mempengaruhi efektivitas pengobatan.

Jika sudah minum berbagai macam obat, tetapi belum berhasil, apa yang dapat dilakukan?

1. Menangis. Tapi jangan lama-lama.
2. Berdoa menurut keyakinan masing2.
3. Mencoba obat alternatif. Mulai beberapa hari yll aku minum Propolis, sehari 5x 15 tetes.

4. Meditasi. Atau pengobatan dengan tenaga dalam seperti prana dan reiki. Tadi siang bu dokter bercerita tentang pasiennya yang kalau kemo membawa pasukan kecil terdiri dari beberapa orang. Mereka ini membantu penyembuhan pasien dengan prana.

“Kata pasien saya, setiap hari Minggu, ada pengobatan prana gratis di daerah .... (Jakarta Utara, tapi lupa namanya...... ), kalau mau nanti kapan2 saya antar.”

Aku sendiri beberapa hari yll mulai mempraktekkan reiki yang dulu pernah kupelajari. Lumayan sih, tapi ada gangguan. Semalam CD yang berisi petunjuk reiki untuk menemaniku dalam praktek, nyangkut dalam CD player, nggak bisa bergerak.

5. Menggunakan bantal atau sabuk penghangat elektrik. Aku punya alat pemberian kakak berupa sabuk tebal berukuran 14cm x 45 cm, bertuliskan “Medica Belt Magnetic” dengan tali pengikat. Terdapat kabel pada alat ini untuk dihubungkan ke colokan listrik. Dalam beberapa menit, terasa panas dan kabel dapat dilepas. Meskipun agak repot karena setiap kali harus memasang dan mencopot kabel, enak sekali rasanya memakai alat ini. Sabuk ini dapat dibeli di toko2 yang menjual alat kesehatan. Kakakku dulu beli di Mangga Dua dengan harga sekitar Rp 100 ribu.

Wednesday, January 12, 2011

Serba-Serbi Radiasi

 "Selama ini kamu suka cium bau aneh, nggak.?” aku bertanya pada seorang teman.
“Bau apaan? “
"Bau nggak enak, pokoknya bau2an yang kurang sedap.”
"Nggak ada bau apa2 tuh?”
"Bener nggak bau?”
"Nggak. Emangnya kenapa?”
"Aku sudah satu setengah bulan nggak mandi.”
"Hahahaa... yang bener?”
Bener. Ngaku, sudah lama aku nggak mandi beneran. Selama ini aku hanya mandi2an saja. Soalnya aku sedang menjalani radioterapi.... (bukan terapi sambil dengerin radio, lho). Sebelum terapi, bagian badanku digambari dengan garis lurus, lengkung, plus, minus untuk menandai daerah yang akan diradiasi atau disinar (bukan dengan sinar bulan purnama) melalui mesin radiasi (namanya bukan radiator). Tanda yang dibuat dengan spidol warna putih itu tidak boleh hilang. Jadi kalau sedang mandi, aku harus berhati-hati menjaga supaya gambarnya nggak luntur.

Terapi pertama dimulai tgl. 29 November 2010 di RSCM dan dilakukan selama 30x, setiap hari kerja. Oh ya, pernah juga radiasi dilakukan pada hari libur di awal Desember karena ternyata petugasnya tetap bekerja seperti biasa.

Kemarin, 11 Januari 2011, radioterapi sudah tuntas.. tas...tas.. Pada awalnya, aku sempet merasa stres memikirkan bagaimana harus bolak-balik dari rumah ke RSCM lalu ke kantor sebelum akhirnya kembali ke rumah lagi. Pasti repot sekali, macet, capek dan belum susahnya cari parkir di RSCM.

Tapi setelah dijalani, ternyata kok nggak terasa lho.... Mula-mula aku diantar oleh dr. Winarti yang sudah seperti dokter keluarga, lalu sempat juga diantar kawan dan saudara meskipun pada akhirnya aku lebih sering pergi sendiri.

Ada Mas-Mas baik hati yang membantu mencarikan tempat parkir, resepsionis dan kasirnya ramah2, sebagian besar petugas pelaksana radiasi juga melayani dengan empati.

Senangnya... radioterapi sudah selesai.... dan aku pun bebas mandi.

“Iih nggak kebayang, satu setengah bulan nggak mandi,” ujar temenku. “Pantesan aku mau pingsan,” katanya becanda.

“Dokternya pasti pakai masker ya? Supaya nggak kebauan?” sambungnya lagi.

Memang ada petugas yang suka memakai masker, yaitu petugas kebersihan yang sangat rajin membersihkan lantai beberapa kali sehari sehingga lantai RS selalu bersih dan mengkilat.
Dokter, suster dan para petugas lain di bagian Radioterapi nggak ada yang pake masker. Mereka juga nggak pernah mengeluh tentang pasien yang bau..Kenapa ya? Apakah indra penciuman mereka terganggu?

Aku rasa, bukan itu sebabnya. Pasti ada keajaiban yang membuat, para pasien yang lama tidak mandi, tidak mengeluarkan bau. Oh, terima kasih Tuhan... Terima kasih.. Tak terbayangkan bagaimana jadinya kalau tak ada keajaiban itu. Di mana pun kita berada, bisa terjadi kekacauan karena banyak orang pingsan karena kebauan....

Menjelang berakhirnya radioterapi, aku punya rencana untuk merayakannya sendiri. Nanti setelah selesai, aku mau makan enak ekstra di kafetaria RS (meskipun aku juga membawa sedikit bekal makan dari rumah). Radiasi ini sebetulnya sangat singkat. Kalau beruntung, nggak sampai 1 jam, semuanya beres. Tapi kalau lagi apes, bisa berjam-jam.

Di hari terakhir itu aku datang lebih awal karena selain radiasi, aku juga harus konsultasi dengan dokter. Jam 10:30 aku sudah tiba di sana. Ternyata aku kurang beruntung. Jam 14:30 barulah semuanya selesai. Sebelumnya aku memang sudah menghabiskan bekal makan siang, tapi porsinya tak seberapa karena diam-diam memang punya niatan makan enak untuk merayakan peristiwa yang menggembirakan itu...

Aku pun bergegas ke kafetaria. Eeeh, ternyata makanan sudah habis. Tinggal minuman, es campur dan berbagai jus. Aduh kecewa berat nih. Ya sudah, aku beli jus jambu saja dan aku minta agar dimasukkan ke dalam botol air minumku yang sudah kosong.
Setelah itu aku masih sempat membeli 2 bungkus kecil kacang bawang goreng yang berada dalam toples di meja. Lumayanlah, buat tombo kecelik.

Di warung tenda di halaman RSCM juga banyak dijual makanan dan minuman. Tapi kurang berminat makan di sana Aku pernah beli jus kacang hijau di sebuah warung seharga Rp 5.000. Tidak mahal. Tapi di warung lain, harga barang dagangannya mahal sekali. Contohnya Tolak Angin cair. Di apotek dekat rumahku, harganya Rp 7.000 /dos isi 5 bungkus, di warung yang juga dekat rumahku, harganya Rp 2.000/bungkus, tetapi di warung RSCM Rp 2.500. Harga 1 botol Mizone di Carefour Rp 2.800. Di pinggir jalan dekat lampu merah Slipi Rp 5.000, sedangkan di warung RSCM harganya Rp 7.000.

Di kafetaria, harga jus dan kacang tidak mahal. Jusnya Rp 4.800 sedangkan kacang goreng Rp 1.500 per bungkus.

Dalam perjalanan meninggalkan RSCM, aku ingin minum jus jambu. Pasti nikmat sekali rasanya. Mana ya... aku cari-cari nggak ada... Oooh ... rupanya tertinggal di kafetaria...

Naas benar.... Tapi aku bersyukur, coba kalo dompet atau hape yang tertinggal, kan lebih berabe... Syukur juga sempat beli kacang goreng... yang aku habiskan semuanya sekaligus dalam perjalanan. Hehhee.... Biarin dibilang rakus ...
(Terakhir kali aku makan kacang goreng adalah ketika reunian dengan teman2 ex- Asrama Syantikara Yogyakarta pertengahan November 2010).

Monday, January 3, 2011

Maju terus pantang mundur

Time flies, begitu katanya. Time = waktu, fly / flies = terbang, tapi bisa juga berarti lalat. Terjemahan bebasnya: waktu terbang cepat bagaikan lalat. Pokoknya gitu deh, yg penting maksudnya dapat dipahami … :)

Tak terasa sekarang sudah tahun 2011. Berarti perang melawan kanker sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Berbagai cara sudah dilakukan untuk menghabisi si kanker busuk. Usaha keras yang menguras biaya dan tenaga, darah dan air mata, terus dilakukan. Bahkan panglima dari negara tetangga juga ikut turun tangan membuat strategi untuk mengusirnya.

Musuh yang satu ini bandel banget. Ada saja akal bulusnya untuk terus bercokol di teritori yang bukan merupakan haknya. Ia licik dan licin. Gerakannya seringkali tak terduga. Ia pandai sekali mencuri kesempatan saat kita lengah untuk diam-diam menyerang dan menggerogoti.

Pada bulan November 2004 sel-sel kanker diketahui tertangkap basah masuk ke tubuhku tanpa permisi. Entah sudah berapa lama ia bercokol di sana. Yang jelas, ia sudah menyerang payudara kanan dan membentuk benjolan. Ukuran persisnya aku tak ingat, tapi pasti lebih besar dari 2,25 cm karena kondisi tsb dikategorikan sebagai stadium II B. Jika ukuran kurang dari itu, maka termasuk stadium awal atau stadium I.

Sebetulnya stadium II masih lumayan. Kalau besarnya lebih dari 5 cm, itu sudah memasuki stadium III sedangkan istilah stadium IV diberikan jika kanker sudah menyerang organ tubuh yang lain seperti hati, paru2, tulang dll.

Setelah keberadaan kanker diketahui, genderang perang segera ditabuh. Tanpa menunggu lama, pisau pun disiapkan, diasah tajam dan ...... CIAAATTT...... langsung dimainkan untuk menghabisi musuh melalui mastektomi.

Tapi itu tak cukup.

Untuk memastikan bahwa antek-antek kanker benar-benar tak berkutik, dilakukan kemoterapi. Musuh diserang dengan racun hebat yang mematikan. Berbeda dengan mastektomi yang berlangsung sngkat, kemoterapi bisa berbulan-bulan lamanya. Diperlukan daya tahan tubuh yang kuat dan pengorbanan besar karena racun yang ditujukan untuk membunuh sel-sel kanker juga mengenai sel-sel yang sehat.

Kemoterapi dilakukan selama 6x dalam waktu sekitar 6 bulan. Perjuangan yang melelahkan itu tak sia-sia. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa aku sudah “bersih”. Kanker berhasil diusir dan terompet kemenangan pun ditiup dengan penuh semangat.... Treteteteteeet..tettt.. Nggak kalah dengan bunyi terompet di malam tahun baru...

Hari demi hari berlalu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Semuanya aman dan terkendali. Aku pun terlena dalam suasana tenang dan damai... Sebetulnya ini adalah kondisi yang berbahaya karena bahaya kanker itu masih mengintai, hanya saja tak tampak. Kondisi ini disebut NED atau No Evidence of Disease. Kanker itu masih ada, tapi tak terdeteksi dan sewaktu-waktu bisa muncul.

Pada bulan April 2007, ketika dada terasa sakit, dokter menyuruhku melakukan bonescan dan ternyata diketahui bahwa kanker menyerang beberapa bagian tulang..

Tetreteretetetetettttt... Terompet berbunyi lagi, kali ini merupakan tanda bahaya. Perang kedua segera dimulai.

Strategi pertama adalah memperkuat pertahanan agar gawang tidak kebobolan. Usaha diawali dengan minum obat yang tepat, dilanjutkan dengan infus untuk menguatkan tulang dan suntikan untuk menghambat pertumbuhan sel-sel kanker.

Obat diminum setiap hari sedangkan infus dan suntikan dilakukan setiap bulan.

“Cepat atau lambat, nanti perlu kemo,” kata komandan.

Akhirnya, saat itu pun tiba. Strategi bertahan diubah menjadi strategi menyerang. Pada akhir bulan Maret 2010 kemoterapi dimulai. Kali ini jumlahnya tak tanggung-tanggung, 18x, dan dilakukan sekitar seminggu sekali untuk menggempur si kanker kampret semprul itu. Setelah 6 bulan barulah kemoterapi selesai.

Keringat bercampur darah sudah banyak mengucur dalam perjuangan ini. Entah sudah berapa kali –mungkin lebih dari 100x--aku ditusuk-tusuk jarum, dalam pengambilan darah untuk tes lab, untuk memasukkan obat dalam pemeriksaan CT-scan dan bonescan, untuk infus dan untuk kemoterapi.

Apakah perang sudah selesai? Beluuuummm. Berhubung kanker sudah menyerang tulang, maka aku naik kelas, kondisiku dikategorikan menjadi stadium IV dan penanganannya juga lebih susah.

Meskipun sudah dikemo, tetapi bukan berarti sel-sel kanker sudah hancur. Memang penyebaran mereka dapat dikontrol dan keganasannya berkurang, tetapi mereka benar-benar tak tahu diri. Sudah diusir tapi masih nekad bercokol di beberapa bagian tulang.

Agar mereka kapok, perlu dilakukan serangan baru melalui radioterapi. Jangan mengira bahwa terapi ini menggunakan radio yang disetel keras-keras agar sel-sel kanker tidak betah dengan suara bising dan berisik itu.

Pengobatan ini menggunakan sinar atau radiasi yang dipancarkan melalui mesin pada bagian yang terkena kanker (ini bukan mesin radiator lho, seperti yang pernah ditanyakan oleh seorang teman yg suka becanda).

Sinar adalah senjata yang ampuh. Paling tidak, itulah yang pernah kubaca dalam komik dengan tokoh yang membasmi musuh dengan senjata sinar laser. James Bond 007 juga punya senjata itu.

Kanker ini sadis dan kejam, membuat banyak orang menderita. Karena itu ia harus dilawan dengan sekuat tenaga. 

Agar sel-sel kanker tahu rasa, maka penyinaran dilakukan berulang kali. Tak cukup 10 atau 20x tapi 30x. Sayangnya radiasi ini tidak boleh dirapel atau dilakukan berkali-kali dalam satu hari. Setiap hari hanya boleh radiasi 1x. Jadi aku harus bolak-balik ke rumah sakit selama 30 hari kerja untuk menuntaskan terapi ini.

Hari ini aku sudah menyelesaikan radiasi yang ke-24. Asyik.. tinggal 6x lagi. Perang melawan kanker merupakan perang seumur hidup yang memerlukan semangat tinggi. Kadang kala stamina menurun dan perlawanan mengendor bagaikan celana kolor yg kedodoran. Yach, itu hal yang biasa. Namanya manusia pastilah ada saatnya lelah letih lesu lemah... Kalo celana kolornya terus melorot kan gawat bisa parno... Karen itulah diperlukan dorongan semangat dari kiri dan kanan, depan dan belakang.. eh salah, kalo didorong dari depan, jadi mundur dong... padahal kita kan harus selalu maju terus pantang mundur.

Untuk semua keluarga, teman, dokter, radiator, perawat dll. yang selalu memberi dorongan moral dan moril serta doa, aku ucapkan banyak terima kasih.