Wednesday, July 30, 2008

Serba salah menghadapi penyintas kanker

Reaksi orang bermacam-macam ketika mereka mendengar kalau aku terkena kanker.

Ada yang tertawa, mengira kalau ini hanya lelucon.

“Kantong kering ya?” begitu katanya, yang membuatku tersenyum kecut sambil mengiyakan.

Aku harus bersyukur mendengarnya, karena itu sebetulnya mengandung sisi positif. Orang tak percaya kalau sel-sel kanker masih bercokol ditubuhku karena aku memang tak tampak seperti orang sakit.

Tapi lebih banyak yang serius menanggapi dan bertanya: “Kanker apa?”

Setelah mengetahui jawabannya, mereka akan bertanya:
“Rasanya bagaimana?”
“Bagaimana ketahuannya?”

Ada juga yang melontarkan pertanyaan:

“Payudaranya diangkat?”

“Stadium berapa?”

Mendengar jawaban “dulu stadium 2 tapi sekarang stadium 4”, seorang kawan berkata:

“Agamanya apa? Banyak-banyak berdoa, ya”

Reaksi tsb di atas tertuang dalam tulisan berjudul Cokelat, Infus dan Doa yang kutulis awal bulan ini. Tulisan pendek itu mengundang komentar dari Titah dari Rumah Kanker di Surabaya:

“Walaupun sering berhadapan dengan pejuang kanker, tetap aja aku kaget dan kehilangan kata2 saat mendengarnya pertama kali. Kira2 jawaban dan sikap apa ya, yang paling diterima/diinginkan para pejuang kanker pada situasi seperti ini?”

Ditanya seperti itu, aku jadi merenung.

Bulan Desember 2004 seorang teman yang menjengukku di RS setelah aku menjalani operasi berusaha menghiburku dengan berkomentar: “Memang banyak orang yang terkena kanker.”

Apa..? Bukannya terhibur, tapi aku merasa tersinggung. Kok begitu sih? Masa ia menanggap ENTENG penyakitku ini? Apa dia tidak tahu kalau kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya? Mengapa dengan entengnya ia berkata bahwa banyak orang kena kanker, seperti berkata “banyak orang batuk atau pilek?”

. Yach, begitulah. Pada saat seperti itu penderita kanker bisa menjadi sangat sensi (maksudnya.. sensitif...). Sang teman berusaha menenangkan hati dengan kata-kata yang secara tak langsung mengatakan ini adalah penyakit yang bisa menimpa siapa saja. Ia tidak salah. Tapi jadi serba salah, karena ternyata kata-katanya dapat menimbulkan interpretasi lain.

. Cara menyampaikan kata-kata bisa berpengaruh. Memang sikap tenang perlu, tapi kalau terlalu tenang dan santai dapat membuat pasien mendapat kesan diremehkan, “seolah-olah tidak ada apa-apa”. Jadi, paling tidak tunjukkanlah sedikit ekspresi keprihatinan. Tapi ya jangan berlebihan, karena bisa membuat pasien semakin khawatir.

. Hal lain yang membuat pasien tak nyaman adalah komentar mengenai gaya hidup tak sehat yang dilontarkan dengan nada menggurui, apalagi menyalahkan. Misalnya: “Orang yang kena kanker nggak boleh lho, makan sate, bakar-bakaran.” Atau, “Jangan makan goreng-gorengan dan yang banyak mengandung pengawet.” Bukannya tak boleh mengatakan hal seperti itu, boleh2 saja…. tapi lihat2 sikon kalau akan mengutarakannya, salah2 bisa membuat orang tambah sedih, menyesali pola makannya yang telah memicu keberadaan sel-sel kanker di badannya.

Pertanyaan seperti: “Payudaranya diangkat?” tidak tepat dilontarkan, apalagi pada kesempatan pertama. Itu adalah pertanyaan terburuk, seperti menaburkan garam pada luka.

Ketika orang mengetahui bahwa dirinya kena kanker, yang paling diharapkan adalah dukungan moral (dan doa). Mereka ingin mendengar kata-kata yang menunjukkan simpati dan mendorong semangat.

Mengacu kepada pertanyaan Titah yang kaget dan kehilangan kata-kata saat mendengarnya pertama kali, mungkin sebaiknya biarkan saja lawan bicaranya yang bercerita dan bersikap menjadi pendengar yang baik.

Misalnya, dengan berkata: “Oh ya?” (tunjukkan ekspresi penuh rasa prihatin). Lalu disambung dengan “Terus, gimana.. ?” Pertanyaan ini dilontarkan untuk mengetahui apa saja yang sudah dilakukan oleh lawan bicaranya.

Menanggapi pertanyaan itu, lawan bicaranya mungkin akan menjawab dengan mengemukakan perasaannya, misalnya ia kuatir atau ia sedih atau bingung. Atau ia mungkin menjawab dengan memberitahukan usaha yang sudah dilakukan untuk mengatasinya, misalnya dengan ke dokter.

Setelah itu apa? Biarkan percakapan mengalir ... dan harap dilanjutkan sendiri ya ... soalnya ini kan ..bukan drama sinetron yang dapat dibuat skenarionya…. :)


Monday, July 14, 2008

Selamat Jalan Santi

Hari ini (Juli 14, 2008) ada berita yang mengejutkan di Kompas. Santi meninggal.
Santi, 29, adalah wartawan media itu. Meskipun tidak mengenalnya secara pribadi, aku pernah telepon 1x pada tahun 2004 ketika kanker diketahui bercokol di tubuhku.
Ia memberiku semangat untuk optimis. Santi bercerita kalau ia terkena kanker usus stadium 4, tetapi keadaannya sudah membaik dan ia bahkan sudah bekerja seperti biasa. Resepnya antara lain adalah rajin minum jus dan makan sayur-sayuran segar.
Tahun ini aku mendengar kabar kalau kondisi Santi memburuk. Kanker sudah menyebar ke hati. Pihak RS sudah angkat tangan. Bahkan ketika itu dokter sudah melakukan pembedahan, tetapi tidak berani menjalankan operasi dan menutup kembali bagian tubuh yang sudah dibedah itu. Lalu Santi dianjutkan berobat ke Cina, yang merupakan mitra RS tsb.
Pulang dari Cina, keadaan Santi jauh lebih baik. Bahkan ia sempat muncul di kantor dan bersenda gurau dengan teman2nya, begitu kabar yang aku dengar sekitar bulan Maret atau April tahun ini.
Sungguh tak disangka kalau akhirnya Santi tak tertolong.
Seringkali kita dengar, hidup atau mati seseorang bukan kita yang menentukan, juga bukan dokter.
Memang betul, tapi tak urung, .. hiiii… sempat berdiri bulu kudukku….
Tapi ya sudahlah. Kita memang harus pasrah. Kalau semakin dipikir-pikir, semakin ngeri, bisa stress dan tambah parah.
Kalau sudah saatnya, orang yang segar bugar bisa saja tiba-tiba meninggal. Contohnya, Lady Di, Nike Ardila dan pelawak Basuki, yang mendadak tewas setelah berolah-raga.
Sebaliknya, Rima Melati sampai sekarang masih oke. Olivia Newton John, bintang drama musikal lawas Grease yang terkena kanker payudara tahun 1992, juga masih baik-baik saja.
Yang penting kita jalani hidup ini dengan baik. Kita syukuri apa yang ada dan pasrah pada Yang Maha Kuasa.
Selamat Jalan Santi.

Friday, July 11, 2008

Coklat, Infus dan Doa

Sudah lama tak menulis di blog ini. Selain pekerjaan yang menumpuk, kebetulan selama beberapa hari ada pelatihan yang harus diikuti. Tapi sesibuk apapun, obat dan infus tak boleh lupa.
Hari Kamis kemarin (10 Juli 2008) pukul 5 pagi alarm berbunyi karena pada pukul 7 aku harus sudah berada di tempat dr. Win di daerah Menteng untuk menjalani infus Zometa .
“Sudah makan?” tanya dr. Win setelah mengukur tekanan darah.
“Oh, harus makan dulu ya, dok?” tanyaku dengan nada bloon.
“Ya sebaiknya begitu,” jawabnya.
Maka sambil menunggu kedatangan suster Tum yang tinggal di Depok, aku pun mengunyah coklat renyah pemberian bu dokter. Enak. (memang asli enak, sudah ongkos infus gratis, dapat coklat pula).
Infus kali ini seperti biasa sedikit tersendat karena urat nadi yang halus sehingga baru pada suntikan kedua jarum infus berhasil ditancapkan.
Selesai infus, dr. Win memberi tumpangan untuk kita. Suster turun di stasiun Cikini, sedangkan aku turun persis di seberang PPM, tempat Training for Trainers diadakan. Mobil aku tinggal di tempat bu dokter untuk menghemat waktu karena kalau membawa mobil, aku harus memutar di Monas sedangkan tanpa mobil, tinggal menyeberang saja.
Tanganku yang dihiasi dua buah plester penutup bekas suntikan mengundang pertanyaan rekan di tempat pelatihan.
“Kenapa tangannya?”
“Ini baru diinfus,” jawabku.
“Sakit apa?” lanjutnya.
“Kanker.”
“Stadium berapa?” ia bertanya dengan nada prihatin.
“Empat.”
Ia terdiam sejenak. “Agamanya apa? Banyak-banyak berdoa ya…. “
“Oh, tentu pak. Memang itu perlu,” jawabku sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
Percakapan selesai karena instruktur training sudah memasuki ruangan.