Thursday, January 31, 2008

Second Opinion

Lain padang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Lain dokter lain diagnosanya..
Ah, apa iya seekstrim itu. Masa sih tiap dokter punya diagnosa yang berbeda? Nggak lah.
Tapi, kalau kita kurang yakin dengan kata pak atau bu dokter, apa salahnya bertanya ke dokter lain untuk minta pendapat kedua atau istilah kerennya “second opinion”, atau bahkan “third opinion”?
Kalau ingin minta pendapat kedua, tidak boleh terlalu lama jaraknya dengan saat memeriksakan diri ke dokter pertama, karena kalau agak lama, kondisi badan bisa berubah.
Kalau kita mencari pendapat kedua, lalu ternyata pendapat itu menguatkan pendapat yang pertama, kemungkinan besar berarti memang tak ada yang salah dengan pendapat mereka.
Yang repot kalau pendapat kedua berbeda dengan pendapat pertama. Bisa jadi ini berarti pendapat kedua benar dan pendapat pertama salah. Atau pendapat pertama benar dan pendapat kedua yang salah.

Kalau begini, bingung ya? Untuk mengatasi kebingungan itu bisa mencari pendapat ketiga. Kalau pendapat ketiga berbeda, bagaimana? Wah, tambah pusing… Tapi biasanya sih nggak sampai sebegitu memusingkannya.
Hari Rabu kemarin lusa (30 Januari 2008) mas Anu, rekan sekantor yang duduknya berdekatan denganku bercerita kalau ada benjolan kecil di dadanya.
“Di payudara, mas?” aku bertanya dengan tatapan tak berdosa.
“Bukaaannnn… di bawahnya,” jawabnya sambil memegang bagian yang dirasakan benjol.
Lalu ia bercerita. Kira-kira lima tahun yang lalu ia memeriksakan diri ke RS Kanker Dharmais.
“Dokter bilang ini ganas dan harus segera dioperasi,” katanya.
Tapi dia ragu. Lalu ia ke RS Pelni.
“Dokter di Pelni bilang, ini nggak apa-apa. Ini biasa. Ada beberapa laki-laki yang mempunyai benjolan seperti itu. Menurut saya, tidak perlu operasi. Tapi kalau memang saya disuruh mengoperasi, saya mau saja, kan dapat uang…,.” kata mas Anu.
“Maka saya nggak jadi operasi,” katanya.
Benjolan itu tidak membesar dan tidak sakit. Dan dia nggak pernah ke dokter lagi.
Tapi ketika ia melihat aku bersiap-siap hendak memeriksakan diri ke dokter, mas Anu yang tadinya sudah tenang kelihatan menjadi sedikit ragu.
“Apa saya perlu periksa lagi ke dokter ya?” ia menggumam.
Yach, daripada ragu-ragu, kalau menurut aku sih ya sebaiknya periksa saja, mencari “third opinion.”

Friday, January 25, 2008

Anak-Anak Ceria dan Breast Cancer Barbie



Beberapa anak penyintas kanker *) tampil ceria dan penuh semangat dalam acara Kick Andy di Metro TV semalam (Kamis, 24 Januari 2007) menjelang pukul 23:00.

Ada Anggun, ABG yang salah satu kakinya harus diamputasi karena kanker tulang dan Arif (mudah2an aku ga salah mengingat namanya), siswa kelas 1 SD yang kena kanker darah. Lalu ada lagi Sapta, bocah penyintas kanker otak penggemar Kangen Band yang tanpa diduga mendapat kesempatan tarik suara bersama idolanya dalam acara itu.

Luar biasa. Sungguh hebat. Salut. Bravooo.... Anak-anak itu tampak gembira, bersemangat dan penuh percaya diri menatap masa depan. Kanker tak membuat mereka murung, putus asa dan berurai air mata.

Anggun yakin bahwa hilangnya sebelah kaki tak akan menghalanginya meraih cita-cita menjadi guru ngaji.

“Kan gampang, mengajar bisa sambil duduk,” katanya santai sambil tersenyum manis.

Si kecil Arif yang terpaksa sering bolos sekolah karena sakit berkata kalau kelak ia ingin menjadi dokter. Meski tubuhnya masih tampak lemah, ia kelihatan riang, apalagi ketika menerima boneka-boneka lucu, termasuk Barbie, sumbangan dari sponsor.

“Dulu Arif ini tidak mau minum obat kalau tidak diberi boneka. Ia suka boneka Barbie,” kata Andy, si pembawa acara.

Tak hanya Arif, tapi semua yang hadir di studio, termasuk pengurus Yayasan Onkologi Anak Indonesia dan dokter RS Kanker Dharmais serta belasan (atau sekitar 20-an?) anak penyintas kanker, juga menerima hadiah.

“Boneka Barbie untuk semua anak perempuan dan bola untuk semua anak lelaki,” kata Andy.

Sayang sekali, acara yang bagus kok akhirnya terkesan sexist amat yach…? Lagipula kenapa Andy sama sekali nggak cerita tentang Breast Cancer Barbie yang sempat membuat heboh dunia kanker payudara Amerika?

Ceritanya begini. Tahun 2006 si Mattel memproduksi boneka Pink Ribbon Barbie yang dimaksudkan untuk menggalang dana bagi Yayasan Kanker Payudara Susan G. Komen dengan target paling sedikit US$100,000.

Boneka yang dijual seharga $24.95 ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran anak-anak perempuan mengenai kanker payudara.

"Boneka Barbie Perpita Pink ini menyiratkan kekuatan perempuan, kecantikan dan daya tahan mereka yang luar biasa," kata si Mattel. "Gaun pink berhiaskan pita pink menegaskan dukungan Barbie akan hal itu."
.
Ada yang setuju dan senang karena boneka itu mengandung harapan.

Ada yang menganggap bahwa Mattel nggak serius karena dana yang diberikan ke Yayasan terlalu sedikit dibandingkan dengan biaya pengobatan kanker, apalagi mengingat keuntungan Mattel yang melimpah ruah.

Lalu ada kritikan: Barbie seharusnya ditampilkan lebih nyata sebagai penyintas kanker payudara dengan perlengkapan wig dalam berbagai model, topi, kerudung, payudara palsu dll.

Mestinya Mattel tak perlu takut bonekanya nggak laku kalau Barbie dibuat seperti itu karena penyintas kanker payudara kan juga bisa kelihatan cantik dan menarik.
.
Yang lebih penting, ia juga bisa tersenyum simpul, tertawa gembira, dan bersemangat seperti Anggun dan teman-temannya.

*) Kata penyintas digunakan sebagai padanan survivor, sesuai dengan info dari Rita yang baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa “sintas” termasuk kata sifat, artinya “terus bertahan hidup” atau “mampu mempertahankan keberadaannya”.

Sunday, January 20, 2008

Payudara Benjol


Kepala benjol itu biasa. Kalo payudara benjol? Ehm.. Hati-hati ya...

Semua benjolan yang tidak normal, yang seharusnya tidak ada pada tubuh disebut tumor. Tumor ada yang jinak dan ada yang ganas. Tumor jinak disebut tumor saja , sedangkan tumor ganas disebut kanker.
.
Bila tumor atau kanker itu menyerang payudara maka disebut tumor atau kanker payudara. Untuk memastikan apakah benjolan itu tumor jinak atau kanker, harus dengan pemeriksaan histopatologi atau patologi anatomi (PA).
.
Untuk pemeriksaan histopatologi ini bahan yang diperiksa adalah dari tumornya sendiri, bisa sebagian atau seluruhnya. Tindakan pengambilan bahan contoh (sample) tumor untuk pemeriksaan ini disebut biopsi .
.
Pengobatan atau tindakan operasi pada tumor jinak dan kanker sangat jauh berbeda. Jenis tindakan disesuaikan dengan diagnosis klinis dan hasil PA. Untuk tumor dan kanker yang harus dioperasi , terdapat beberapa jenis operasi .
.
Pengangkatan tumor saja
Pada tumor payudara yang secara pemeriksaan klinis diyakini benar-benar jinak, maka tindakan operasinya adalah pengangkatan tumornya saja, sementara payudaranya tetap utuh. Bila ukuran tumornya tidak terlalu besar , operasi ini tidak memerlukan perawatan lama, dan bila memungkinkan biasanya dapat dengan operasi satu hari pulang (one day surgery).
.
Operasi dilaksanakan umumnya dengan pembiusan total di rumah sakit . Setelah tumor diangkat, tumor diperiksakan ke dokter patologi untuk diperiksa jenis tumornya. Bila hasilnya benar-benar jinak, maka tidak ada pengobatan lanjutan, kecuali untuk penyembuhan luka operasinya .
.
Pengangkatan tumor dan payudara.
Pada tumor payudara yang secara klinis ada dugaan kearah keganasan, maka harus dilakukan tindakan biopsi dulu. Jenis biopsi tergantung pada ukuran tumornya. Bila tumor ukuran kecil, biopsi dilakukan dengan pengangkatan seluruh tumor. Bila ukuran tumor besar, biopsi dilakukan dengan pengangkatan sebagian tumor saja.
.
Setelah dilakukan biopsi, kemudian diperiksakan ke bagian patologi anatomi untuk dipastikan apakah positif kanker atau bukan. Pemeriksaan PA ini bisa dilakukan pada saat penderita masih dibius total, bila sarana pemeriksaan potong beku sudah tersedia di rumah sakit tersebut, dimana hasil PA bisa ditentukan saat itu juga, sehingga cukup satu kali operasi saja. Bila tidak ada sarana potong beku, maka jaringan tumor dikirim ke dokter PA, dan hasilnya baru ada beberapa hari kemudian.
.
Bila hasilnya positif kanker, untuk kanker yang ukurannya tidak terlalu besar, maka jenis operasinya adalah pengangkatan tumor beserta payudaranya disertai pembersihan kelenjar getah bening di ketiaknya. Tindakan operasi seperti ini disebut mastektomi radikal. Operasi ini harus dilakukan di rumah sakit, dan dilakukan dengan pembiusan total, serta .memerlukan waktu perawatan cukup lama setelah operasinya yaitu sekitar satu minggu .
.
Bila ukuran tumornya sangat besar, maka dilakukan kemoterapi terlebih dahulu beberapa siklus, baru kemudian setelah itu dilakukan tindakan operasi mastektomi radikal. Besar kecilnya tumor dinilai oleh dokter dan juga dibandingkan dengan ukuran payudaranya.
.
Operasi penyelamatan payudara
Untuk kanker payudara dengan syarat-syarat tertentu, dapat dilakukan operasi penyelamatan payudara. Operasi ini berupa pengangkatan tumornya saja beserta beberapa cm jaringan sehat disekitar tumor sampai didapatkan jaringan payudara yang benar-benar bebas tumor, disertai pembersihan kelenjar getah bening ketiak, sementara payudara dipertahankan utuh. Jenis operasi ini dilakukan untuk kanker payudara dengan ukuran sekitar 2 cm dan letak tumornya tidak didaerah tengah payudara atau di daerah sekitar puting susu.
.
Sesudah operasi harus dilanjutkan dengan pengobatan radioterapi. Dilakukan di rumah sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan potong beku untuk pemeriksaan PA. Juga ada syarat dan indikasi lainnya. Bila syarat dan indikasi ini tidak terpenuhi, maka tidak dapat dilakukan jenis operasi ini dan sebagai alternatifnya dipilih operasi mastektomi radikal.
.
Rekonstruksi payudara
Bagi penderita kanker payudara yang masih menginginkan payudara tetapi payudaranya tidak mungkin dipertahankan, maka dapat dilakukan operasi rekonstruksi payudara.
.
Rekonstruksi payudara dilakukan dengan syarat dan indikasi tertentu. Rekonstruksi payudara ini dapat dilakukan segera setelah dilakukan operasi mastektomi atau dilakukan beberapa bulan atau tahun kemudian.
.
Salah satu jenis operasi ini adalah dengan mengambil otot dan kulit perut kemudian dipindahkan ke bekas operasi payudara yang telah diangkat dan dibentuk payudara baru. Sementara luka di perut ditutup kembali. Penentuan jenis operasi Apapun jenis operasi yang akan dilakukan , satu prinsip yang harus diutamakan adalah jenis operasi yang dipilih haruslah yang terbaik yang sesuai dengan kondisi penderita , jadi kasus per kasus.
.
Pemilihan tindakan operasi tetap didasarkan pada kaidah onkologi, yaitu menghindari terjadinya kekambuhan lokal di daerah operasi. Hal yang paling penting sedapat mungkin pasien bebas kanker terlebih dahulu. Setelah operasi dilanjutkan dengan pengobatan kombinasi kemoterapi. Bila memerlukan tindakan kosmetik untuk membentuk payudara baru, maka prinsip tersebut tetap diikuti, sehingga kekambuhan kembali kanker ditempat yang sama dapat dihindarkan.
.
Jadi untuk menentukan pemilihan jenis tindakan operasi ini, ditentukan oleh dokter yang akan menangani dengan mempertimbangkan syarat-syarat dan indikasinya. Namun penderita sebaiknya juga mengetahui rencana tindakan yang akan dilakukan, sehingga memahami mengapa tindakan itu dilakukan dengan segala resikonya. Walaupun sama mengidap kanker payudara, tindakan operasi yang dipilih untuk setiap penderita bisa berbeda tergantung pada stadium dan sifat kankernya .
.
Jika merasa ada benjolan, jangan terlalu khawatir berlebihan terlebih dahulu, takut payudara dibuang, sementara tumornya saja belum diperiksa. Sebaiknya segera periksakan ke dokter, untuk ditentukan diagnosisnya apakah tumor jinak atau ganas. Bila tumornya jinak , tumornya saja yang diangkat, payudara tetap utuh. Bila ganas, apa boleh buat, payudara beserta tumornya harus diangkat, bila tidak maka kanker akan menyebar kemana-mana, ke liver, ke tulang dan lainnya, dan akhirnya malah tidak dapat diobati dengan hasil yang baik.
PS: Gambar hasil rekonstruksi payudara dapat dilihat di http://www.msnbc.msn.com/id/22345759/

Sumber: Tulisan di atas ditulis oleh dr. Yusuf Heriady Spb SpBOnk dalam rubrik konsultasi kesehatan di Pontianak Post. Bagus ya. Kalah deh koran Jakarta..!

Alternatif Pengobatan


Kemarin ada email dari pengunjung blog, bertanya tentang pengobatan alternatif.

Pengetahuanku tentang pengobatan alternatif ya sebatas dari apa yang kualami, kudengar dan kubaca.

Banyaaaaaakkk sekali informasi mengenai pengobatan alternatif yang katanya bisa menyembuhkan kanker.

Itu kan katanya.... Kenyataannya bagaimana? Yang bisa mengatakan manjur atau tidak adalah pasien itu sendiri, bukan penjual jasanya. Iya nggak?

Bulan Oktober 2007 aku ikut acara temu pasien kanker payudara yang diadakan oleh Roche dan YKI dan mendengar pengalaman seorang ibu mengenai pengobatan tradisional. Ibu Anu (aku ga tau namanya) bercerita tentang saudaranya yang mencari pengobatan alternatif untuk mengobati kanker yang dideritanya.

Tidak dijelaskan secara rinci bagaimana sistem pengobatannya. Setelah datang beberapa kali dengan menghabiskan biaya yang cukup banyak, kondisinya melemah. Dan alangkah kagetnya si Ibu Anu melihat ada gambar saudaranya ditempel di tempat praktek pengobatan tersebut dengan tulisan SEMBUH TOTAL. Tak lama setelah itu, saudaranya meninggal.

Ada seorang rekan di kantor yang istrinya menderita kanker payudara dan sembuh setelah menjalani pengobatan alternatif di Jateng. Rekan yang lain bernasib buruk. Istrinya tak kunjung sembuh meskipun ia berobat di tempat yang sama. Ia kemudian ke dokter, tapi tak tertolong.
Salah satu dokterku cerita, tantenya meninggal karena kanker. Tantenya itu nggak mau ke dokter beneran, dia memilih pengobatan alternatif dengan lintah.

Tahun 2006 aku pernah ke sinshe untuk tusuk jarum karena dengkul kanan bermasalah, agak bengkak dan sakit kalau jongkok atau naik turun tangga. Hasilnya cukup bagus. Setelah tusuk jarum 10 kali ditambah minum 4 botol obat tradisional Cina, aku ga merasa sakit lagi.

Sekitar minggu ke tiga bulan September 2007 tangan kananku kesemutan dan sakit, bahkan susah mengangkat tempat air minum berkapasitas 2 liter-an. Dokter khawatir, jangan2 ini diakibatkan oleh kanker yang menyerang tulang belakang bagian atas (dekat leher). Untunglah pemeriksaan MRI menunjukkan tak ada penyebaran baru di bagian itu.

Aku sempat ke dokter yang juga ahli tusuk jarum untuk berobat. Setelah ditusuk sekali, rasanya membaik. Hebat ya. Tapi kemudian agak sakit lagi. Dokter itu bilang, proses penyembuhan agak lama karena dia hanya bisa mengobati melalui tusukan di tangan kiri serta kaki kanan dan kiri. Tangan kanan tidak boleh ditusuk karena kanker menyerang payudara bagian kanan. Aku sempat datang beberapa kali, lalu berhenti karena tidak telaten.

Aku percaya dengan obat tradisional dan pengobatan alternatif yang baik. Tapi aku nggak mau ambil resiko. Aku masih banyak bergantung pada obat modern, disamping mengkonsumsi "obat tradisional" berupa jus buah2an (termasuk mengkudu yang katanya anti-kanker) dan tumis jamur (namanya cantik, jamur portabella /lihat gambar, banyak dijual di super market, katanya juga anti-kanker). Selain itu aku juga minum kapsul jamur maitake yang katanya juga anti-kanker (tapi aku sebetulnya rada malas minumnya..). Oh ya, kalau nggak lupa, sebelum berangkat ke kantor, aku memetik satu helai daun tanaman (namanya Penyambung Nyawa, pemberian dari temanku, Ninik, yang setelah membaca tulisan ini menganjurkan agar aku makan 10 helai) dan mengunyahnya (kayak kambing makan dedaunan ….)

Sebelumnya aku pernah minum obat merah dan bubuk sarang semut dari Papua yang katanya juga anti-kanker, tapi aku hentikan karena nggak telaten.

Tiap hari menelan 1 tablet Aromasin, minum susu non-fat dengan kandungan kalsium tinggi dan 1 tablet CDR Fortos. (Dulu pernah minum susu kedelai juga, sempat berhenti karena penjualnya mudik dan sekarang mau mulai minum lagi).

Aku jelas nggak anti pengobatan alternatif. Tapi kalau memang ada yang ingin mencoba pengobatan alternatif, haruslah hati-hati. Cari rekomendasi dari orang yang memang pernah sembuh setelah berobat, bukan rekomendasi dari pemberi jasa atau berdasarkan "katanya..". Dan harus yakin serta telaten.

Friday, January 18, 2008

Stress and Spread of Cancer


Though it's clearly not a simple matter of cause and effect, the theory that stress is somehow related to cancer is a persistent one.
There have been several long-range research studies that investigated a possible connection, but results were contradictory. However, a lab study from cancer biologists at Wake Forest University School of Medicine in Winston-Salem, North Carolina, recently found new evidence on the impact of the stress hormone epinephrine on cancers of the breast and prostate.
Now we may be on the way to understanding this complex relationship better, and learning whether stress may actually cause cancer... or just causes the body to lose its ability to fight it
.
STRESS LETS BAD CELLS TAKE CHARGE
The adrenal glands, which sit on the kidneys, produce epinephrine, also known as adrenaline. The body uses this hormone like a power tool at times of stress, but when stress is prolonged, the adrenals continue to pump out the hormone and levels remain elevated. Wondering how the excess epinephrine affects cancer cells, and by what process, researchers exposed breast and prostate cancer cells to the hormone in the lab.
What's supposed to happen in the body, normally, is that a protein with the peculiar name of "BAD" helps trigger naturally occurring cell death, called apoptosis -- but when epinephrine comes into contact with BAD, as the researchers discovered, it activates enzymes that inactivate BAD and the cells continue to grow.

This might be one way high stress connects to cancer... unchecked by BAD, the cancerous cells continue on their destructive path. This discovery could help explain a previous Canadian study's finding that men who had taken beta blocker drugs for hypertension for at least four years had an 18% lower risk of developing prostate cancer... since beta blockers block the effects of epinephrine.
Also, even more recently, another study published in the Journal of Psychosomatic Research, demonstrated that in patients with metastatic breast cancer, stressful or traumatic life events reduced the "median disease-free interval" to 30 months from 62.

INSIGHTS FROM THE RESEARCH TEAM
George Kulik, PhD, was one of the study's lead authors. When I called him he told me that not all types of cancer cells respond this way to stress hormones, so one priority is identifying which ones do. One reason past studies on stress and cancer have not been able to show a relationship could be because not all cancers are shown to react to epinephrine and Dr. Kulik suspects only 5% to 10% may be affected by the hormone. Dr. Kulik explained that in a large population study, these would be "washed out" in the overall findings. But once researchers know which cancer cells respond, they will have the opportunity to study them more closely.
WHAT CAUSES WHAT?
In some ways it almost seems like a bad joke -- a cancer diagnosis is highly stressful for anyone to have and obviously a time that stress hormones are likely to soar. It's not known whether epinephrine has an impact on the development of cancerous cells but, according to Dr. Kulik, the presence of stress hormones might interfere with cancer care because treatment is designed to trigger apoptosis of the diseased cells. Dr. Kulik and his colleagues are now working to learn more about the impact of stress hormones on individual patients, which he says will be aided by the fact that it is already possible to identify the level of stress hormones people have.

His team has now moved from experiments in the lab to doing them with mice. However, there is no reason to wait to develop better awareness of personal stress levels and to build an arsenal of tools to handle stress more successfully. Immediate responses to the acute stress of, say, receiving disappointing news or being anxious about a big event should include deep breathing, quiet music and other practices that are instantly soothing.
For longer-term stress, such as day-to-day parenting challenges, a difficult job situation, or, for that matter, a cancer diagnosis, it is useful to develop stress management skills, which may include meditation, self-hypnosis, exercise and other techniques that calm the mind and the body. You can learn these in formal classes frequently found at community centers, YMCAs and the like, but there are also many books and CDs that are extremely helpful in practicing these techniques at home. Since stress has certainly been linked to other diseases as well, you can't lose by focusing on managing your stress.
Source(s): George Kulik, PhD, assistant professor of cancer biology, Wake Forest University School of Medicine, Winston-Salem, North Carolina.
The above article was taken from http://groups.yahoo.com/group/breastcancer2

Wednesday, January 16, 2008

Attractions of Sporean Hospitals


Indonesia has many good doctors, but why do so many people seek healthcare abroad? The Jakarta Post's contributing writer T.Sima Gunawan, who recently visited Raffles Hospital upon the latter's invitation, tries to find the answer.


The last day of 2007 was hectic for doctors at the eye center of Raffles Hospital in Singapore as there were a lot of patients while it was only open for half the day.
Many of the patients were foreigners, including an Indonesian family from Jakarta who had apparently worked doctors' appointments into their holiday.
"I have many Indonesian patients even though I am sure that you must have good ophthalmologists in Indonesia," Lee Jong Jian told The Jakarta Post.
As a matter of fact, 35 percent of Raffles' patients are foreigners, mostly Indonesians.
Raffles is not the only hospital in Singapore that has a high number of Indonesian patients. Earlier reports said Indonesians spend around US$600 million a year for healthcare abroad, with most of them or more than 100,000 going to Singapore.
The number of foreigners seeking medical care in Singapore has increased from year to year. In 2003, it was about 230,000 and the figure rose to 320,000 in 2004 and 352,000 in 2005.
Out of the nearly 10 million visitors to Singapore in 2006, approximately 410,000 or 4 percent traveled specifically for healthcare, according to Jason Yap, director of healthcare services, Singapore Tourism Board.
The 380-bed Raffles Hospital, like many other reputable medical centers in Singapore, has centers for international patients, providing special attention to the customs of each nation. For example, the centers serve kim chi to the Koreans or sushi to the Japanese, while the British and Scottish will have muffins and biscuits for their afternoon tea.
As for Muslim patients and their family members, the hospital management will arrange to place prayer mats, direction signs and compasses in their rooms.
The international patient center offers various services, ranging from picking up the patients from the airport to providing them with interpreters and tourist-related information.
"There is no extra charge for that," said Magdalene Lee, a corporate communications executive at the hospital.
The only thing you have to do is make an appointment and you can come as soon as the following day when it is necessary. On the designated day, you can expect to see the doctor soon without having to wait for a long time.
For a new patient, the doctor will allocate about 30 minutes, while, for the next visit, the time usually reduces by half. This, however, can change, depending on the condition of the patient and the disease. A doctor at an aesthetic center, for example, can see up to 40 patients a day.
"But an oncologist will see only 20 patients at the most," Magdalene said.
Officially opened in 2002, Raffles Hospital has a number of specialty clinics from an Aesthetics Center and Eye & ENT (Ear, Nose and Throat) Center to a Heart Center and a Cancer Center. It also has a special center offering traditional Chinese medicine and treatment. Each clinic has a desk that handles your registration, bill and medicine.
"You can do it at just one place, you don't need to go here for the registration and go there to pay the bill or to get the medicine," she said.
Several types of room are available for patients who have to stay at the hospital, from the six-bed room to the presidential suite. As for the patient's family, the hospital has special rooms at an affordable rate starting from $120 per night with a safety deposit box, TV, hot shower, laundry service and room service.
Good service and efficiency are the strong points of hospitals in Singapore that are often overlooked by hospitals in Indonesia.
In Jakarta, it is common for a patient to wait for a long time before they can see a doctor even though they have made an appointment.
A young woman who had skin problems said she had to wait for more than an hour before she could see a dermatologist at an international hospital on the outskirts of Jakarta. After she saw the doctor, she had to pay the bill at a certain counter and then take the prescription to the pharmacy in another part of the hospital. At the pharmacy she had to wait for 90 minutes because the pharmacist said she must prepare the cream by mixing a number of ingredients. Besides which, there were dozens of patients who were all waiting for their medicine.
She paid a Rp 120,000 (less than SDG $20) consultation fee, and another Rp 20,000 administration fee. Jakarta hospitals usually charge the same fees for both old and new patients.
In Raffles Hospital, the consultation fee for the first visit starts at $85, for subsequent visits it starts at $65.
Despite the higher fees, a lot of Indonesian patients prefer to seek healthcare abroad. Some of them might go to Singapore because they have diseases such as cancer or heart conditions and want to make sure they receive the best treatment. Others may come just for a general checkup, spa treatment or surgery that could actually be carried out in Indonesia.
The procedures may only be carried out a little differently in the two countries.
Lee said he used a new technique to perform cataract surgery and surgery for other retina problems. He said that conventionally the surgical treatment for retina problems, known as vitrectomy, required the use of stitches and a long operating time. He applies a new technique without stitches, pain and discomfort while allowing faster vision recovery. Depending on a patient's condition, they can go back to work in about two weeks compared to the usual four to six weeks of medical leave.
As Lee said earlier, Indonesia has many good doctors. This might be true but the patients, especially those with money, need more than that. They want good and friendly service.



The above story was printed in The Jakarta Post, Jan.16, 2007


Dokter Pintar, Pasien Kabur. Mengapa?


Raffles Hospital memiliki fasilitas kesehatan lengkap dengan dokter ahli dalam berbagai bidang. Layanan yang ditawarkan mulai dari spa dan memutihkan gigi sampai berbagai macam operasi bagi pasien penyakit jantung dan morbid obesity. Bahkan untuk pasien kanker payudara dapat dilakukan operasi pengangkatan sekaligus rekonstruksi. Sayang sekali tak ada kesempatan untuk wawancara dengan oncologist.
.
Aku kebagian wawancara Dr. Baladas, ahli bedah yang banyak menangani kasus obesitas, dan Dr. Lee, ahli mata.
.
Dr. Baladas menjelaskan tentang lapbanding atau gastric surgery alias operasi pengikatan lambung. Yang dipakai untuk mengikat bukan tali rafia atau benang Astra tapi silicon. Dengan operasi ini pasien hanya bisa makan sedikit. Kasihan juga yach, biarpun air liur menetes-netes, pasien ga mungkin bisa makan banyak seperti biasanya…
.
“Setelah dua bulan, pasien akan terbiasa dengan pola makan yang baru,” katanya.
.
Metode lapbanding ini memungkinkan pasien untuk mengurangi berat badan secara bertahap, sekitar 2-4 kilogram sebulan hingga mencapai berat tertentu.
.
Sebagai contoh, salah seorang pasiennya yang berbobot 100 kg, berat badan menjadi 54 kg dalam waktu satu tahun empat bulan setelah menjalani operasi
.
Meski operasi ini biayanya Sin$14,500 belum termasuk ongkos bolak-balik ke Singapura untuk kontrol, banyak perempuan yang tertarik untuk operasi ini. Tapi dokter menolak karena mereka tidak memenuhi syarat. Mungkin ada yg protes, .. duit kok ditolak ya…. Aturan mainnya memang ketat. Yang boleh menjalani operasi adalah mereka yang bobotnya dua kali berat badan ideal atau kelebihan paling sedikit 45 kg.
.
“Ini bukan cosmetic surgery,” kata Dr. Baladas tegas.
.
Di Indonesia ada tidak ya?
.
“Kalaupun ada, dokternya tidak berpengalaman,” kata Dr. Baladas yang mengaku telah mengoperasi sekitar 250 pasien.
.
Jadi, pada dasarnya dokter Indonesia nggak kalah pintar dong dengan dokter di Singapura.
.
Emang iya. Dr. Lee dari Eye Center juga mengakui hal itu.
.
“I am sure that you have many good doctors in Indonesia,” katanya.
.
Terus, kenapa orang Indonesia berbondong-bondong berobat ke Singapura? Sebelumya pernah diberitakan bahwa jumlah orang Indonesia yang berobat ke Singapura tiap tahun mencapai 100 ribu per tahun, dan secara keseluruhan biaya pengobatan orang Indonesia di luar negeri mencapai US$600 juta.
.
Seorang teman yang bekerja di UNDP terpaksa membawa suaminya berobat ke Singpura karena kondisinya memburuk akibat salah diagnosa di sebuah rumah sakit ternama (yang sekarang lagi sibuk menangani RI's ex-No.1-man).
.
Teman yang lain membawa mertuanya ke Singapura untuk berobat karena: “Kalau di sini takut.”
.
Lho. Takut apa? Tenyata mertuanya yang tinggal di Surabaya itu takut kalau-kalau kondisinya nggak membaik, tapi justru tambah parah. Hmmm, pasti ia termakan kisah-kisah negatif tentang layanan buruk kesehatan di Indonesia.
.
Kasihan ya, citra dokter di Indonesia jadi jelek...
.
Dr. Lee tentu tidak ada maksud sarkastik dengan mengatakan bahwa banyak dokter Indonesia yang bagus. Indonesia banyak orang pandai, banyak dokter yang bagus. Tentu ada juga dokter yang kurang bagus dan berita jelek itulah yang cepat tersebar. Karena nilai setitik, rusak susu sebelanga.
.
Tapi selain itu layanan yang ramah dan efisien juga penting.
.
RS Raffles tahu betul kebiasaan pasien-pasien mereka. Misalnya pasien dari Jepang akan disuguhin sushi dan pasien Korea akan mendapatkan kim chi. Untuk pasien dari Indonesia yang beragama Muslim, mereka menyediakan alas sembahyang dan arah mata angin. (Kalau pasien dari Jogja boleh pesen gudeg ga ya..?)
.
Urusan pembayaran dan pengambilan obat dapat diselesaikan di meja yang sama dalam waktu singkat di setiap klinik. Pasien juga tak perlu antre lama untuk menemui dokter karena semuanya telah diatur sesuai appointment.
.
Rumah sakit di Singapura tampaknya meyakini bahwa efisiensi dan layanan yang prima merupakan tuntutan pasien. Hal yang tampaknya sepele ini rupanya belum begitu dipahami oleh managemen rumah sakit di Indonesia.
.
Seorang kawan harus menunggu lebih dari satu jam untuk berkonsultasi dengan dokter ahli kulit di RS Internasional Bintaro meskipun sebelumnya ia telah membuat janji. Selesai berkonsultasi, ia harus menyelesaikan pembayaran di loket tertentu sebelum kemudian pindah ke bagian farmasi yang padat oleh puluhan pasien. Untuk mengambil obat, ia menunggu lebih dari satu setengah jam karena menurut petugas, obatnya yang berupa salep itu harus diolah terlebih dahulu.
.
Biaya konsultasi dokter ahli di Jakarta jauh lebih murah dibandingkan dengan harga yang harus dibayar kalau pasien ke Singapur. Kawan yang berobat di RSI Bintaro itu membayar Rp 120.000 (tak sampai Sin$20) ditambah biaya administrasi Rp 20.000.
.
Di Raffels Hospital, misalnya, biaya konsultasi pertama Sin$85 dan untuk kunjungan selanjutnya $65. National University Hospital (NUH) lebih murah karena merupakan RS pemerintah, tetapi di tempat lain seperti Mt. Elizabeth hospital, biaya konsultasi bisa mencapai lebih dari $100.
Sebagian orang tak keberatan membayar lebih demi layanan prima terutama karena kesehatan adalah segala-galanya.

.
Tapi ga semua orang Singapur ramah tamah loh…. Di Mt E yg mahal itu, ada juga yg judes, nyebelin. Tapi tetep aja banyak orang Indonesia yg ke sana, soalnya dia menang lokasi. Pasien yg udah sembuh atau keluarganya tinggal melangkah ke Orchard untuk sekalian belanja…

Sunday, January 13, 2008

New Year’s Eve at Raffles Hospital

Smiles in the Tunnel



Sesaat setelah pergantian tahun dari 2007 menuju 2008 aku terkapar di Raffles Hospital, Singapura.
Jangan kaget. Aku di sana bukan karena sakit. Raffles Hospital mengundang beberapa wartawan Indonesia untuk melihat-lihat fasilitas rumah sakit dan melakukan wawancara dengan dokter. Tujuannya jelas, untuk publikasi supaya lebih banyak orang Indonesia yang datang berobat ke Singapura.
Tadinya aku menyangka kalau kita bakal menginap di Hotel Raffles yang keren itu. Eh… ternyata kita ditempatkan di kamar RS yang memang disediakan bagi keluarga pasien dengan harga SGD$120 semalam. Untung tempatnya nyaman.
Gedung Raffles Hospital yang berdiri tahun 2002 ini megah menjulang di dekat Bugis Junction, tempat belanja yang cukup menyenangkan meskipun tak seheboh Orchard Road. Tak jauh dari situ tampak New 7th Story Hotel yang sederhana, tempat aku pernah menginap.
Seperti rumah sakit lain di Singapura, Raffles Hospital banyak menerima pasien asing. Data dari SingaporeMedicine menunjukkan bahwa pada tahun 2006 lebih dari 400 ribu pasien manca negara berobat di Singapura. Sedangkan jumlah pasien asing di Raffles Hospital sendiri mencapai 35 persen dan dari jumlah itu sebagian besar adalah orang Indonesia.
Ada layanan khusus bagi pasien asing di Raffles International Patients Center yang menyediakan jemputan ke bandara, jasa penerjemah, internet gratis, informasi wisata termasuk tempat-tempat belanja dan juga tempat penitipan barang.
Di lantai dasar dekat lobby terdapat beberapa gerai makanan dan minuman. Yang paling sehat adalah jus segar dengan harga mulai dari $S2.20 per gelas. Ada juga sup yang isinya dapat kita pilih sendiri, mulai dari jamur, brokoli dan tauge sampai bakso, tahu, dan scallop, seharga 50 sen per potong. Nikmat sekali pagi2 makan sup panas2. Oh ya, ada juga lho gerai makanan Padang bagi yang rindu rendang dan ikan balado...
Kita makan siang dijamu oleh staf marketing Raffles Hospital di sebuah ruangan. Jangan bayangkan tempat yang mewah. Ruangannya sederhana, dengan sebuah meja besar di tengah-tengah dengan 20-an kursi di sekelilingnya.
Menunya makanan Vietnam yang dipesan dari rumah makan Vietnam (ya iyalah, masa di McD?), terdiri dari lumpia sebagai makanan pembuka, makan utama berupa mi dan sayur2an, berkuah pedas mirip asinan Betawi, lalu ada buah-buahan dan singkong dengan cairan kental manis. Yang paling enak adalah es serupa selasih.
Selesai makan, staf PR/marketing sibuk membawa kotak bekas pembungkus makanan ke tempat sampah dan mengelap meja hingga bersih. Kalau di Jakarta, boro-boro bersih-bersih …. Paling-paling teriak panggil OB untuk membereskan ruangan.
Malam harinya kita nonton pesta kembang api di tepi Sungai Singapura. Seru deh. Banyak banget orang di sana.
Pulangnya nih yg repot. Kita jalan kaki dan kalau mau nyeberang mesti nunggu lampu hijau, ga boleh sembarangan dong kayak di Ciputat atau di Palmerah. Orang2 Singapur memang terkenal disiplin, jadi mereka mestinya sabar dan ga main dorong2an kayak orang kita.
Ada sih beberapa anak muda yg ga sabaran dan berusaha nyerobot. Tapiiii ya paling bikin sebelllll.. ada rombongan pendatang kulit hitam, sori bukan rasis, tapi kayaknya mereka dari Asia Selatan, entah India, Bangladesh ..yg nyerobot sambil berisik.. Banyak banget mereka itu ...
Di perempatan, setelah nyebrang jalan ada satu cewe Singapur yg tiba2 marah2. Terus dia teriak manggil polisi: “Officer, he molested me!” Cowonya kayak shock gitu, ga nyangka bakal diteriakin. Dia sendirian, temen2nya udah pada duluan. Rasain lu…
Polisi langsung datang dan nanya2 sambil nyatet2. Nggak tau terusannya gimana.. tapi kayaknya sih pasti diproses. Bagus juga.. Makanya Singapur terkenal aman ga kayak Jakarta....




Caption: Rombongan Wartawan Plus & Pesta kembang api (diambil dari tepi Singapore River).

Junk Food Temptation





Kemarin aku makan enaaaak sekali. Mau tau makan apa? Ya, betulll sekali...! Junk food!
.
Sepotong dada ayam dan kentang kriting (maksa ya terjemahannya… aslinya sih curly fries) yang dibeli di AW. Rasanya nikmat sekali setelah lama tak menyentuh makanan seperti itu.
.
Dari sisi kesehatan, jelas kalau makanan itu tidak sehat. Jadi tidak boleh sering-sering ya... Paling bagus sih, ya… jangan sentuh sama sekali. Apalagi buat ohika --orang yang hidup dengan kanker (istilahnya bikin sendiri nih).
.
Lebih dari tiga tahun yang lalu, tepatnya setelah ketahuan kalau ada kanker bercokol ditubuhku di akhir 2004, aku sempat dipusingkan oleh soal makanan. Banyak nasehat dari kiri kanan, jangan makan ini, jangan makan itu.
.
Tidak boleh makan makanan yang mengandung pengawet seperti bakso dan teman-temannya. Mi instan harus stop. Jangan makan gorengan. Jangan makan cemilan yang mengandung MSG. Jangan jajan.
.
Harus banyak makan sayuran. Sayurannya direbus saja. Jangan pakai vetsin. Garam dan gula juga sebaiknya dihindari karena tak ada manfaatnya bagi kesehatan, bahkan dapat berdampak buruk.
.
Pada waktu menjalani kemoterapi, sebetulnya aku nggak mengalami mual-mual. Tetap doyan makan. Tapi aku diet ketat karena takut makan ini dan itu. Akibatnya, berat badan turun drastis. Dari 55 kg menjadi 44 kg.
.
Selama setahun badanku sempat langsing (orang bilang, aku kurus). Wajah tampak kurang segar. Pipi yang tadinya penuh jadi cekung… Ini mungkin saja akibat kemo dan akibat kanker itu sendiri, tapi bisa jadi juga gara-gara stress mikirin makanan.
.
Kalau dokter sih tidak pernah menganjurkan diet super ketat atau menjadi vegetarian. Bahkan aku pernah dengar kalau saat kita kemo justru harus makan banyak. Tentu saja makanan yang bergizi.
.
Diet untuk penyandang kanker tampaknya sama saja dengan diet bagi kebanyakan orang. Kurangi makan daging merah dan makanan lain yang banyak mengandung kolestrol atau lemak. Perbanyak makan sayur dan buah.
.
Soal gorengan, yang berbahaya sebetulnya adalah minyaknya, terutama kalau digoreng dengan minyak yang sudah dipakai berulang kali. Tahu atau ikan yang digoreng sendiri di rumah dengan minyak non kolestrol yang baru pasti lebih sehat daripada gorengan yang dijual di pinggir jalan atau bahkan di restoran mahal.
.
Tapi makanan yang direbus jelas lebih baik daripada gorengan.
.
Aku sendiri sekarang masih diet, tapi tak seketat rok mini yang dipakai Maia waktu tampil perdana bersama Mei Chan di RCTI semalam. Bahkan dietnya pernah ngaco selama beberapa bulan .. Untunglah sekarang sudah lebih teratur. Setiap pagi aku minum 1 gelas susu non fat dengan kandungan kalsium tinggi dan 2 gelas jus (tomat, wortel, apel—belakangan ditambah mengkudu), siang makan nasi plus tumisan jamur dan sayuran. Bahkan dua bulan terakhir ini untuk makan malam cukup segelas jagung manis serta beberapa gelinding kentang rebus mini. Bonusnya buah segar seperti pisang, jeruk, salak, mangga dll.
.
Itu menu pokok sehari-hari. Sesekali ditambah tahu, tempe, telur, teri atau ikan serta crackers. Tapi kalau lagi malas, bisa saja menu berubah. Menu juga bisa berubah kalau ada acara makan di luar atau kalau timbul keinginan untuk makan sesuatu yang lain.
.
Bagaimana menekan kemalasan dan keinginan itu? Nah… itulah tantangan yang harus dihadapi. Ini nggak kalah beratnya dibandingkan dengan tantangan Fear Factor loh…. !
.
Aku sendiri berusaha untuk rajin diet. Kalau suatu saat tiba-tiba ingin makan sesuatu, asalkan masih dalam porsi yang wajar dan tampaknya tidak terlalu berbahaya, bolehlah... Beberapa hari yang lalu Ati beli pizza karena JP dapat award dan aku ikutan nyomot sepotong. Life is already hard, so don't be too hard to yourself. Yang penting jangan berlebihan.