Monday, February 28, 2011

Selamat tinggal, nyeri

  
Ucapan selamat tinggal biasanya diucapkan dengan mimik sedih, bahkan ada yg sampai nangis bombai… Tapi kali ini dengan sangat gembira kuucapkan selamat tinggal pada rasa nyeri yang sudah berbulan2 menyerang dada kiriku.

Namanya orang sakit, ya wislah...., kuterima kenyataan pahit ini... bahwa aku sudah kena kanker. Stadium 4 pula. Tapi bukan berarti diam2 saja lho. Perjuangan masih berjalan terus untuk mengalahkan si kanker busuk. Yang paling menjengkelkan adalah sakit ini juga diikuti dengan rasa nyeri di bagian tertentu yang sakitnya minta ampun.

Rasa sakit atau pain dalam bahasa Inggris merupakan hal yang sangat menjengkelkan (bukan bahasa Perancis, lho, di Paris pain itu enak dimakan.. artinya roti) . Kalau tidak diatasi, rasa sakit itu, atau nyeri, bisa bener2 membuat pasien menderita. Aku masih ingat kesedihan di raut wajah teman sekantorku yang tak sanggup melihat istrinya kesakitan karena kanker.

Baru2 ini kubaca tulisan seorang pasien di Amrik yg menulis sbb:

Pain is BAD. BAD. BAD. Pain interrupts sleep. Pain decreases mobility. Pain decreases endurance and energy. Pain strains resources by producing such symptoms as fatigue, depression, and constipation. Pain can also impair the immune response -- and your ability to get better. Unrelieved pain may cause permanent damage to the nervous system. Pain is bad. Really bad.

Pokoknya PARAH. PARAH. PARAH...deh.....

Karena itu senang hati ini ketika hari Rabu minggu yll. (23 Feb. 2011) aku bangun dan merasakan ada yg lain. Kok nggak sakit ya? Tapi aku nggak mau terlalu senang. Takut kalau itu hanya mimpi. Ternyata, beneran, nggak sakit. Padahal biasanya disentuh saja bisa sakit, sehingga untuk sementara waktu terpaksa bra digantikan dengan kaos singlet.

Hari itu pagi hari aku masih minum tramadol dan paracetamol, tapi karena seharian nggak sakit, malamnya aku puasa obat. Padahal biasanya aku minum 2 tramadol, 2 paracetamol (atau 1 paracetamol dan 1 dexamethasone) plus 1 amipriptyline, dan terakhir ditambah dengan nepatic gabapentin. Sebetulnya pernah juga aku minum MST yg mengandung morfin dan ketesse, tetapi kayaknya kurang cocok.

Hari Kamis, seharian aku tidak minum obat penghilang rasa nyeri. Memang dada kiri tidak terasa sakit lagi. Hanya saja, mungkin karena semua obat dihentikan dengan drastis, maka tidurku terganggu. Malam Kamis dan malam Jumat (entah kliwon apa nggak ya?) aku terbangun sampai 4 kali, gelisah rasanya. Tulang punggung juga terasa sakit. Dan bangun tidur rasanya lemes sekali. Karena itu sekarang sebelum tidur aku minum 1 tablet paracetamol. Gangguan sedikit berkurang, tapi masih ada.

Rasa sakit atau nyeri itu tidak pergi begitu saja. Berbagai usaha sudah dicoba. Yang pertama adalah radiasi. Waktu itu bu dokter mengatakan bahwa rasa nyeri itu bisa saja merupakan“kiriman” dari sel2 kanker yg becokol di tulang iga kanan atau tulang belakang. Setelah 30x radiasi berakhir di awal Januari, bukannya sakit berkurang, tapi malah bertambah. Efek radiasi memang konon kabarnya tidak selalu bisa terasa langsung. Butuh waktu 2 bulan untuk memulihkan tulang yg kena kanker.

Selain radiasi, selama sekitar sebulan terakhir aku rajin minum madu propolis. Kemudian, sejak 12 Feb yll aku minum rebusan air daun sirsak setiap pagi dan sore/malam. Seminggu kemudian aku mencoba berlatih reiki sambil senam nafas/perut, meskipun belum sanggup rutin setiap hari.

Madu propolis ini mahal harganya. Tapi aku mendapatkannya gratis dari teman/saudara yg baik hati.

Daun sirsak juga gratis. Di rumahku banyak pohonnya Tapi masih kecil2. Yg paling tinggi paling2 baru ½ meter. Padahal sekali rebus, diperlukan 10 lembar daun sirsak yg tidak terlalu muda. Untunglah ada teman yg berbaik hati memberiku daun sirsak.

Gabungan pengobatan modern dan tradisional memang bermanfaat, apalagi ditambah dukungan dari kiri dan kanan, atas dan bawah.... maksudnya dari keluarga, saudara, teman dan tentu bu dan pak dokter yg baik...




Monday, February 14, 2011

Mulutmu Harimaumu

Waktu aku masih remaja dan imut2, tak kalah dengan Justin Beiber ... aku suka memasang poster bintang pujaan dan menempelkan berbagai kata2 mutiara di dinding kamar.

Salah satu kata2 mutiara yang menjadi koleksiku ketika itu berasal dari majalah musik Aktuil yang sekarang sudah almarhum. Bunyinya kira2 begini: “Oh Lord, help me to keep my big mouth shut until I know what I am talking about.”

Versi terjemahan bebasnya adalah: Mulutmu, harimaumu. Atau lidah lebih tajam dari pedang. Atau lidah tak bertulang.... eh, kalo itu lain ya, artinya.

Kita harus menjaga mulut kita karena apa yang terlontar dari sana dapat berakibat fatal. Lawan bicara kita bisa sakit hati, marah, jengkel, tersinggung dan menangis. Apalagi kalau dibarengi bau pete dan cipratan hujan gerimis lokal.

Kata2 yang kurang berkenan itu merupakan pil pahit yang harus ditelan oleh kakak perempuan temanku yang juga teman kakak perempuanku. Hahaha... jangan bingung, ya... Ia adalah teman sekelas kakakku waktu SMA sedangkan adiknya sekelas denganku.

Kakak temanku itu tengah berjuang melawan kanker. Ia tinggal di Solo, kota tempat aku dibesarkan. Awal bulan ini aku sempat ke sana untuk mengantar pulang orang tua sekalian berlibur. Kesempatan itu juga aku pergunakan untuk menengoknya.

Meskipun kesehatannya kurang baik, ia tetap tegar dan tak kelihatan stres. Pasti itu karena ia rajin berdoa. Maklumlah, ia memang sangat religious, apalagi pekerjaannya memang berkutetan dengan makanan rohani.

Sambil berbaring di sofa empuk, ia bercerita tentang penyakitnya yang datang tanpa permisi.

“Ini awalnya dari susah beol,” katanya.

Susah BAB alias buang air besar ternyata merupakan hal yang serius. Dari berbagai pemeriksaan akhirnya diketahui bahwa ia menderita kanker usus.

Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasinya, mulai yang tradisional sampai yang modern. Kondisinya sempat membaik tetapi kemudian kembali memburuk. Cobaan yang dihadapinya sungguh berat. Kanker menyebar ke berbagai bagian tubuh, termasuk otak. Tapi ia tak putus asa. Usaha terakhir yang ditempuh adalah radioterapi di sebuah RS di Solo.

Dalam menjalani radiasi itulah hatinya terluka oleh kata2 yang diucapkan oleh bu dokter ahli radiologi

Ceritanya begini. Ia merasa lelah karena harus bolak-balik ke RS untuk memenuhi jadwal radiasi yang memang padat dan harus dilakukan setiap hari secara terus menerus selama 30 kali (kalau tidak salah ). Karena itu ia bertanya pada bu dokter apakah boleh ada jeda dalam pengobatan itu.

Jawabannya sungguh mengerikan.

“Ya terserah kalau mau lumpuh. Kalau saya, tidak masalah situ mau lumpuh,” begitu jawab bu dokter seperti yang diceriterakan oleh kakak temanku.

Ya ampun... bu dokter... Kenapa sih mesti mengucapkan kata2 seperti itu?

Mungkin maksudnya adalah agar pasien tahu bahwa pengobatan itu harus dilakukan setiap hari dan tidak boleh terputus. Kalau pasien tidak mau menurut nasehat dokter, maka akibatnya bisa buruk sekali, bahkan ia ia bisa lumpuh.

Seharusnya dokter memiliki compassion, rasa simpati terhadap pasien dan jangan mengumbar kata2 kasar yang dapat menambah penderitaan pasien yang memang sudah menderita. Banyak dokter yang baik hati, sabar dan penuh perhatian terhadap pasien. Tetapi ada juga yang bersikap sebaliknya. Yach... namanya juga manusia.... Tapi... akibat nila setitik, rusak susu sebelanga (iiiiiiih....besar sekali ya susunya....???)

Mungkin rasa empati bu dokter yang menangani radiasi itu sudah terkikis habis. Sudah bosan, jenuh dan kebal karena tiap hari mendengar keluh kesah, rintihan dan ratapan pasien serta keluarganya. Tak ada lagi barang secuilpun rasa simpati terhadap pasien, tak peduli betapa buruk kesehatannya.

Mungkin juga saat itu emosinya sedang kurang stabil setelah cek-cok dengan suami yang ketahuan berselingkuh. Mungkin juga bu dokter hatinya lagi jengkel dan mendongkol karena sang pembantu memberinya sepiring kol untuk sarapan padahal ia minta jengkol.

Wednesday, February 2, 2011

Telepon dari Dharmais

Kriiiiiing….. Telepon di rumahku berbunyi memecahkan kesunyian di malam hari menjelang pukul 21:00.

 Segera telepon kusambar. Penasaran, siapa yang menelpon malam2 begini? Rasa penasaran langsung berubah menjadi rasa kaget luar biasa setelah mengetahui bahwa itu ternyata telepon dari RS Dharmais.

Si penelpon menanyakan bagaimana kabarku, apakah aku masih mengalami rasa nyeri.

Aku hampir tak mempercayai pendengaranku sendiri. Tumben, seumur-umur baru kali ini dapat telepon dari RS untuk menanyakan keadaanku. Aku sendiri juga beberapa bulan nggak ke RS Dharmais.

“Saya dari paliatif,” katanya.

Oh, paliatif. Layanan paliatif merupakan hal yang relatif baru karena baru dikenal di awal 1990-an dan tidak semua rumah sakit menyediakan layanan ini.

Apa itu paliatif? Menurut WHO, perawatan paliatif adalah perawatan total dan aktif untuk penderita yang penyakitnya tak lagi reponsif terhadap pengobatan kuratif alias yang tidak dapat disembuhkan.

Layanan paliatif diberikan agar pasien lepas dari penderitaan seperti nyeri yang berkepanjangan atau keluhan lain sehingga dapat menjalani hidup yang berkualitas. Ini adalah layanan terpadu yang menyangkut kesehatan jasmani dan rohani alias mental dan spiritual.

Layanan ini baru ada di 6 kota yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar. Di Jakarta, layanan ini diberikan oleh RSCM dan RS Dharmais.

Suster dari unit paliatif RS Dharmais menelpon mungkin merasa khawatir dengan keadaanku karena sudah lama tidak ke sana. Ia menanyakan keluhanku dan menganjurkan agar menyampaikannya ke dokter saat aku melakukan konsultasi. Memang aku sendiri sudah punya rencana untuk ke dokter pada keesokan harinya.

Hari Senin kemarin aku ke Dharmais untuk bertemu dengan dr. Noorwati. Aku masih ingat pertanyaanya ketika aku akan berkonsultasi beberapa bulan yll.

“Bagus?” tanyanya begitu aku memasuki ruangan praktik dan duduk di hadapannya.

Aku bengong. Apanya yang bagus?

“Itu novelnya, bagus? Suka baca ya?”

Oooh iu maksudnya. Memang saat itu aku membawa novel berjudul Killing Me Softly, untuk dibaca-baca sambil menunggu giliran konsultasi.

“Lumayan, tapi ada buku yang jauh bagus. Hanya saja saya lupa pengarangnya. Nanti saya SMS.”

“Iya, boleh, nanti SMS ya, ini nomor HP saya,” kata bu dokter yang hobi baca itu seraya menuliskan nomor HP-nya di atas secarik kertas.

Dalam konsultasi singkat kemarin, aku mengutarakan soal nyeri yang belum teratasi dengan tuntas. Bu dokter menyarankan agar obat diganti dan menyuruhku ke dokter lain.

“Rasa nyeri ini harus dicari penyebabnya. Nanti konsultasi ya dengan dokter syaraf,” katanya. “Ini tidak usah bayar.”

Wah, baik banget ya, bu dokter ini. Ia membebaskan aku dari biaya konsultasi sebesar Rp 150 ribu.

Ngomong2 soal nyeri. Aku punya teori sendiri. Rasa nyeri itu mulai bertambah dalam dua minggu terakhir ini, bertepatan dengan perubahan sementara dalam sistem kerjaku.

Sejak dua minggu yll aku bekerja dari rumah. Asyik kan, nggak usah bermacet ria di jalanan. Dengan sistem itu, dari jam 8 pagi sampai 4 sore praktis aku selalu berada di depan komputer. Jarang bergerak. Mungkin itulah pemicu peningkatan rasa sakit.

Pada hari Senin, aku ke sana ke mari, mampir ke kantor sebelum ke Dharmais, dan rasa sakit itu berkurang. Memang aku harus lebih banyak bergerak, apalagi sejak diradiasi, aku jarang olah raga....

Hari ini aku banyak melakukan gerakan2 ringan, meskipun dilakukan sambil duduk, atau mondar-mandir dari kamar ke kebun atau ke dapur... Hasilnya memang menakjubkan, seharian ini boleh dibilang rasa sakit jauh berkurang. Padahal semalam sempat merasa sakit sekali meskipun obatnya sudah diganti dan ditambah, sehingga hari ini aku kembali minum obat yang lama.

Semoga keadaan semakin aman dan terkendali... apalagi dengan adanya dukungan layanan paliatif yang pro-aktif itu.