Friday, December 19, 2008

Segar Bugar Setelah Kemo dan Radiasi

Sudah lama aku tidak bertemu dengan Anas. Tahun ini ia menjalani kemoterapi dan radiasi di Surabaya, tak jauh dari Kediri, kota tahu tempat ia dilahirkan. Pengobatan yang berlangsung berbulan-bulan itu berjalan lancar dan sejak akhir Oktober ia sudah kembali ngantor di Jakarta.
Jangan bayangkan kalau ia kurus kering dan loyo.
Anas kelihatan segar bugar kemarin (Jumat, 19 Desember 2008). Rambutnya yang masih pendek tersisir rapi dengan belahan pinggir.
“Berat badanku malah naik,” katanya sambil tersenyum.
Ia tidak menerapkan diet super ketat, tapi mengurangi kolestrol dan menghindari makanan yang tidak sehat.
Pada saat menjalani kemo, terkadang ia merasa mual. Tapi selera makan tak banyak berkurang.
“Yang parah itu sariawannya. Sakit banget,” katanya.
Emang sih, waktu kemo, aku juga merasakan sakitnya sariawan. Kata bu dokter, salah satu cara mencegah sariawan adalah dengan berkumur-kumur setiap habis makan. Ini bagus untuk mencegah tertinggalnya sisa makanan di mulut (masa di piring?), yang dapat mengakibatkan terjadinya sariawan.
Setelah menjalani kemo yang ke-2, rambut Anas mulai rontok, tapi ia menerima kenyataan itu dengan besar hati.
Begitu kemo selesai, pengobatan dilanjutkan dengan radiasi selama 30 kali (kalo ga salah nih) yang dijadwalkan setiap hari, kecuali kalau kondisi kurang fit.
Dari tempat tinggalnya ke rumah sakit, ia menumpang mobil jemputan anak sekolah yang tak ber-AC. Biar jendela sudah dibuka lebar-lebar, tetap terasa panas. Namanya juga Surabaya….(sama panasnya dengan Jakarta ya?)
“Tapi aku nggak tahan kalau pakai wig atau topi. Rasanya malah pusing,” cerita Anas yang tak ambil pusing dengan pandangan orang.
Biarpun rambut belum banyak tumbuh, karena secara fisik Anas merasa sehat, ia juga sering membantu adiknya melayani pembeli di warung miliknya
“Ada yang memanggil aku Pak atau Om. Mungkin aku dikira laki-laki. Tapi aku cuek saja,” kata Anas yang senang bergaya sportif sambil tertawa.
Ketika ditanya soal radiasi, menurut Anas, prosesnya cepat sekali dan tidak sakit.
“Yang lama itu nunggunya,” katanya.
Radiasi juga menimbulkan efek panas. Kalau diguyur air dingin, pasti enak sekali rasanya, tapi itu dilarang dokter. Bekas radiasi tak boleh kena air, sampai seluruh proses radiasi yang berjalan hampir dua bulan itu selesai.
“Rasanya nggak enak sekali karena nggak bisa mandi dengan bebas,” ujarnya.
Sekarang ini kondisi Anas sudah pulih. Untuk menjaga kondisinya setiap hari Anas harus minum tablet Tamoplex dan berbagai vitamin.
Oh ya, selain itu tentu saja Anas sekarang juga bebas mandi sepuasnya setiap hari.

Monday, December 15, 2008

Anger at breast cancer charity's wine

Maksudnya sih baik, menggalang dana untuk riset mengenai kanker. Tapi ternyata banyak yang marah.
Ini gara-gara kegiatan penggalangan dana yang berlangsung di Selandia Baru tersebut dianggap mendorong orang untuk minum anggur. Padahal alkohol bisa meningkatkan resiko kena kanker.
Harian Sunday Star Times edisi 14 Desember 2008 melaporkan bahwa Breast Cancer Research Trust (BCRT) mengirim email kepada para pendukungnya berisi promosi Vintage Wines & Spirits yang menawarkan anggur Vavasour Rose seharga $100 / botol. Dari setiap botol yang terjual, perusahaan itu menjanjikan sumbangan $40.
BCRT menganggap enteng hubungan antara alkohol dan kanker payudara. Penasehat medis badan riset itu, dokter bedah John Harman, mengatakan alkohol hanyalah satu dari 200 faktor kemungkinan terkena kanker dan faktor utamanya adalah “usia dan jenis kelamin”.
Tetapi seorang peneliti, Sue Claridge, dari Breast Cancer Network, berpendapat lain. “Saya tak percaya mereka tak menyadari hubungan itu … mungkin mereka memutuskan bahwa uang lebih penting.”
Ia juga khawatir karena adanya peningkatan konsumsi minuman keras secara berlebihan di kalangan perempuan muda.
Soal minum anggur ini memang cukup kontroversial. Ada yang mengatakan bahwa minum segelas anggur sehari bagus untuk kesehatan. Tapi ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa minum anggur segelas atau dua gelas sehari dapat meningkatkan resiko terkena kanker payudara hingga 50%.
Pendapat NZ Cancer Society sendiri cukup tegas. Organisasi ini akan menyarankan agar kelompok-kelompok anti kanker memutuskan hubungan mereka dengan perusahaan minuman keras.
Kepala eksekutif Dalton Kelly mengatakan sudah tiba saatnya untuk menangani dengan serius persoalan sponsor yang melibatkan alkohol.
“Ini adalah pengulangan hal yang terjadi 15 tahun yang lalu. Ketika itu banyak perusahaan rokok menjadi sponsor acara sosial, tapi sekarang ini sudah tidak lagi,” ujarnya.
Sebagian negara Eropa kabarnya bahkan melarang sponsor rokok untuk beberapa peristiwa olahraga.
Di Indonesia tak ada larangan semacam itu. Tapi pertengahan tahun ini penyanyi R&B Alicia Keys keberatan dengan keterlibatan perusahaan rokok yang menjadi sponsor terbesar dalam konsernya di Jakarta. Ia tak mau konser tunggalnya menjadi sarana promosi rokok bagi masyarakat dan bertentangan dengan kiprahnya sebagai juru bicara Campaign for Tobacco-Free Kids.

http://www.stuff.co.nz/sundaystartimes/4792250a6442.html

Why party poopers, corruptors are alike

(The following story has nothing to do with cancer… I wrote this because I was upset towards the condition surrounding us. Everything seemed to go wrong with many people being unethical, dishonorable and corrupt. )

http://www.thejakartapost.com/news/2008/12/14/why-party-poopers-corruptors-are-alike.html

Wedding receptions have different meanings for different people.

To the bride and groom, it is a public deceleration of ever-lasting love, even though some might find that their till-death-do-us-apart vow blows with the wind. To an event organizer, its a routine part of a multi-billion rupiah business, while for some guests it may just mean a free meal.

Last month I got a glaring pink wedding invitation from my cousin, he was going to throw a party for his youngest son's wedding at a five-star hotel in the city.

"With all due respect please bring this to be shown at the reception desk. Thank you for your cooperation." The words were written on a small card attached. Maybe the card could be exchanged for a wedding souvenir, or maybe if I brought the card, I would get a chance to win a door prize, I thought.

I was wrong -- totally.

The guests were required to bring the card to prevent gate-crashers from intruding on the party. "I have a relative who used to be one. Sometimes on the weekends he and his friends would dress up and go to a wedding at a hotel. They would bring envelopes as gifts," a friend commented.

Giving money in envelopes is a relatively new tradition. People used to give practical household items like dinner sets, cooking utensils, a blender or a clock.

But the newly-wed couple might not need these things and instead keep them in a cupboard until its their turn to go to a wedding and a present is needed.

Until several years ago, I found written requests on wedding invitations asking guests to give money instead of other present. For most people, of course, money is more appealing than a toaster.

So, uninvited guests could also bring an envelope as a wedding gift, but who's to know what's inside?. My friend said that when they crashed a wedding they would put as little Rp 1,000 (less than a dime) in each envelope.

The party poopers must laugh, imagining how shocked the bride and bridegroom will be when they open their envelope.

They think it is funny, but its actually really awful.

Those intruders are not poor people who are starving, they show up at the hotel in a nice car wearing their best suits and shoes. They come from wealthy families and are well educated. Indeed, this has nothing to do with education or class.

Educated, rich people can do shameful things. There are many stories about this. My Indonesian friend, who lives in Melbourne, was telling me one when visiting Jakarta recently.

A man from Jakarta who got a scholarship for a three-month post-graduate course in Melbourne brought along his wife and their baby. He bought a cheap, old car, which would allow them to get around during their stay in the country and could be sold later when they were done with it.

He also bought a baby seat to be put onboard, as required by local law.

In Australia and some other developed countries, customers are able to return goods they buy within a certain period of time, let's say 30 days, if they are not satisfied. So, the man bought a baby seat for the car, but after a month he returned it to the shop, and bought another one in another shop; he did this three times.

"And he told us his story proudly. He thought he was really smart," my cheesed-off friend told me.

The fact that the man was awarded a scholarship indicated that he must have some brains, which he unfortunately used in the wrong way.

People like him and the wedding crashers have something in common: A lack of ethics. But they are more than just unethical, they are selfish, inconsiderate and insensitive. They are not smart, but sly and tricky. They would do anything just for their own benefit, no matter how bad the impact on other people is. They are sick and dangerous people.

They are the kind who, if businessmen, bribe government officials to secure permits to exploit natural resources, clear forests and mine destructively. They cheat whenever they can and exploit workers, forcing them to work hard for low wages.

If they are government officials, there is no doubt they are corrupt. They abuse their power, show little care for the people and violate human rights. They are against democracy and run things without a conscience.

As law enforcers they discriminate. They give some criminals special treatment and lenient sentences. Worse, they drop corruption cases for bribes at the right price.

If they are legislators, they do not listen to their constituents, let alone fight for them. They only think about their interests and how to secure them.

As lawmakers, they bow to special political interest groups, like those who endorsed the controversial anti-porn law. For the sake of money, they do not hesitate to approve shortsighted policies and act as brokers for multi-million dollar projects at government ministries.

Unfortunately there are so many people like this around us.

I wonder if they have a habit of going to weddings, without being invited, just for a free meal.

I would not be surprised if one day I receive a wedding invitation that says: "Please bring your ID card to be shown at the reception."

--T. Sima Gunawan

Monday, December 8, 2008

Kisah Wortel

Pilih mana? Yang kiri atau yang kanan? Keduanya sama-sama wortel. Dibeli dari tukang sayur langganan yang tiap pagi lewat depan rumah.

Bedanya, yang kiri adalah wortel impor dan yang kanan wortel lokal. Mungkin wortel impor itu didatangkan dari Australia atau Thailand yang sejak tahun 2007 menyusul Cina memasuki Jakarta sehingga sempat membuat khawatir petani Cianjur yang banyak memasok sayuran ke ibu kota. Betapa tidak, wortel impor itu jauh lebih gemuk dan bersih, warnanya lebih cerah, banyak mengandung air dan rasanya juga lebih manis. Cocok untuk jus.

“Tapi kalau untuk sayur, banyak yang lebih suka wortel lokal karena tidak mudah lembek,” kata si mas tukang sayur yang berasal dari Purwokerto.

Soal harga, jelas lebih tinggi, karena ongkos kirimnya juga lebih mahal. Tapi bedanya tak begitu banyak. Satu kantong plastik wortel impor seberat ½ kg dihargai Rp 4.000, sedangkan wortel lokal Rp 3.000, naik Rp 500 dari harga sebelum lebaran.

“Kalau beli dua kantong yang impor ini boleh Rp 7.500,” kata tukang sayur. “Ngambilnya dari pasar Rp 7.000 sekilo. Saya cuma ambil untung Rp 500 nih,” katanya.

Barang dagangannya memang tergolong murah. Selain wortel, hari itu aku juga membeli sekilo apel lokal (yang bentuknya kecil-kecil tapi cukup manis), sekilo tomat, setengah kilo kacang tanah, jagung manis, pete, tempe dan sawi seperti yang tampak di gambar. Semua itu hanya Rp 30.000.


Hari minggu kemarin (7 Desember 2008) aku ke Carrefour di Bintaro. Di hypermarket yang dulunya adalah Alfa ini kulihat wortel impor diobral dari harga Rp 750 menjadi Rp 540 per 100 gram. Kebanyakan wortelnya sudah tidak segar, jadi harus teliti memilih untuk mendapatkan yang masih baik.

Tidak jauh dari situ, terdapat wortel lokal. Ada dua macam wortel lokal, yang satu bentuknya tidak terlalu kurus, agak besar dan panjang (tapi masih lebih gemuk wortel impor) sedangkan yang satu lagi penampilannya sangat mengenaskan: kurus sekali dan dekil. Keduanya juga sudah tidak segar lagi, kusam.

Herannya, wortel lokal yang agak besar harganya Rp 9.000 -an per kg, sedangkan yang kurus harganya Rp 7.000-an. Jauh lebih mahal dari wortel impor. Kok bisa, ya?

Egois Bikin Emosi

Hari Minggu kemarin hujan lebat mengguyur ketika aku tiba di Carrefour untuk membeli buah-buahan dan berbagai keperluan.

“Hujan-hujan begini enaknya makan yang anget-anget,” kata teman yang menemaniku belanja.

Maka kami pun mampir dahulu di deretan gerai makanan untuk menyantap baso Afung yang terkenal enak itu. Tempat makan ini letaknya menempel di emperan bangunan utama, menghadap ke areal parkir.

Tak lama setelah kami duduk, hujan mereda. Tiba-tiba semua dikagetkan oleh bunyi petir yang menggelegar.... eh salah, ternyata ada yang sedang marah besar. Seorang bapak yang tergesa-gesa hendak pulang gusar bukan buatan karena mobilnya terhalang oleh Daihatsu Xenia warna silver yang parkir seenak udelnya sendiri. Usaha untuk mendorongnya sia-sia belaka.

Petugas pun datang untuk mencatat nomor mobil tsb dan mengumumkan agar pengemudi segera memindahkannya .

Tunggu punya tunggu, sang pemilik tak juga datang.

“Mobil bagus tapi yang otaknya nggak bagus!” ujar si bapak dengan nada sengit. Wajahnya merah padam dibakar amarah.

Ketika sebuah mobil yang diparkir agak jauh di depannya keluar, munculah suatu gagasan. Ditendangnya tiang-tiang besi penyangga rantai yang berada di samping mobilnya. Tiang-tiang yang sengaja dipasang untuk memberi ruang bagi pengunjung agar leluasa berjalan kaki menuju pintu masuk Carrefour itu terguling dan rantainya tercerai-berai. Lalu ia memundurkan mobil dan sengaja menabrakkannya sedikit ke Xenia yang parkir sembarangan, kemudian dengan sigap dibantingnya stir ke kiri dan meliak-liuk dengan susah payah sebelum akhirnya berhasil meninggalkan areal parkir.

Siapa sih orang yang parkir seenaknya itu? Lagipula, terlalu sekali dia, kenapa tidak segera keluar untuk memindahkan mobilnya?

Kami menyantap baso pelan-pelan dan ketika sudah hampir habis, barulah datang si pemilik mobil. Seorang ibu berjilbab modis dengan anak perempuan ABG yang menenteng kantong plastik belanjaan.

“Tadi hujan lebat sih,” katanya kepada petugas yang menegurnya.

Dengan santai ia masuk mobil, tak sadar kalau bagian bawah mobil di dekat pintu sedikit penyok. Juga tak sadar kalau perbuatannya itu tidak etis dan sangat egois.

Tak ada kata maaf, tak ada rasa sesal. Tak ada rasa malu.