Wednesday, December 30, 2009

Dr. Alvita Dewi Siswoyo: Cancer warrior


Cancer is deadly but a young doctor who underwent five operations on different parts of her body, six rounds of chemotherapy and 70 rounds of radiotheraphy, has proved through the journey of her life that the disease can be beaten.
Meet Alvita Dewi Siswoyo, also known as Vita, who will turn 27 next month. She defeated cancer when she got the disease not only once, but twice – as a baby and a teenager.
It all began when her parents were celebrating her first birthday in the family house in Semarang, Central Java. When an electricity black out occurred, prompting her family to use the light from a Petromax pressurized kerosene lamp, one of her eyes glittered, just like a cat’s eye. Her father, a general practitioner, sensed something was wrong. He took her to an eye doctor and found out his daughter suffered from retinoblastoma.
She underwent surgery in Jakarta in due time, allowing her to escape death despite losing her left eye.
Vita grew up just like any other child. She never felt inferior, thanks to her parents, who always encouraged her to keep her chin up.
“There were times, however, when I broke into tears as my friends mocked me,” said Vita, a member of the Cancer Buster Community, a support group for children who survived cancer.
Having only one eye motivated Vita to study harder. She wanted to show the others that she could do things as well as they did, and even better – she became an outstanding student.
“Mama once told me, ‘If people are successful because they are rich, physically perfect and intelligent, that is common. But if one who is modest, has a physical handicap, and is born with average intelligence can be successful, that is what you call extraordinary. Make your limitation a challenge, not an obstacle’,” Vita said.
Vita, however, faced another blow. When she was 16, her legs caused her so much pain she could not walk. Her condition worsened after a month. As local doctors gave up, her parents took her to Singapore to seek advice from other doctors, who told her she was in stage-3B of a rare bone soft tissue cancer.
As well as undergoing several operations, she was subject to six rounds of chemotherapy in Singapore, a horrible experience she would never forget throughout her life. Not only did it make her hair fall out, the drugs “burnt” her whole body, causing her to cry and scream, rolling back and forth on the floor with pain.
Following the treatment, she did radio therapy – 30 sessions in Jakarta and 40 others in her hometown of Semarang, Central Java.
Her ordeal inspired her to dedicate her life to helping cancer patients, so she went to the medical school of Tarumanegara University in Jakarta and graduated at the age of 25. Vita is also specializing in nuclear medicine at the School of Medicine in Padjajaran University – Dr. Hasan Sadikin Hospital in Bandung, West Java, the only hospital in Indonesia with a Department of Nuclear Medicine.
“When people hear the word ‘nuclear’, they tend to think about bombs. But nuclear does not necessarily entail something bad,” Vita said, smiling.
Nuclear medicine can be used to treat cancer and heart disease patients. Vita said that once she finished her specialist study, she wanted to learn about Positron Emission Tomography (PET) scan technology. Unfortunately, it is not possible to study this kind of technology in Indonesia.
“Maybe I should go to the Philippines or Germany,” said the slender, bespectacled young woman.
PET scanning, the most advanced medical diagnostic imaging technology available today for the early detection of cancer and its recurrence, is more sensitive that the widely known Computerized Tomography (CT) scan.
Cancer, once it has been detected, is still hard to fight off. Unhealthy lifestyle and a family history of the disease are believed to be trigger factors, but the real cause of cancer remains a mystery.
“Anyone can get cancer,” she said.
“My father is one of 10 children and my mother one of 13. None of them or their children has cancer, except me. How can you explain this?” said Vita.
While cancer is said to be incurable, patients can live with it and lead a productive life for many years. Some even live longer than others who do not have cancer.
“I have been free from cancer for more than 10 years. Even though I had to go through various painful experiences, I don’t want to be a cancer victim. I am a cancer warrior,” Vita said.
In addition to medical treatment, she ate many fruits and vegetables to fight the disease.
“I made juice each day using one kilogram of apples, one kilogram of carrots and one kilogram of tomatoes,” she said.
“God has provided us with natural medicines available in the nature in the form of plants, including fruits and vegetables,” she added.
Vita actively supported the Indonesian Cancer Foundation (YKI) in Jakarta from when she was an undergraduate student, and worked there soon after she finished her study. But her parents, who missed her dearly, asked her to return to Semarang, so she resigned and made her way home.
“It must be God’s will because upon my return, I met my future husband,” she said.
One day, Vita’s empathy towards cancer patients somehow gave a woman the idea to cheat her. The woman pretended to be a poor cancer patient who lived out of town and had to undergo chemotherapy in Bandung.
Vita allowed her to stay in her room at the boarding house and gave her some money. The woman took off with Vita’s valuables and jewelries. But Vita didn’t flinch.
“I remain thankful to God and will support those who need help,” she said.

The above story was printed by The Jakarta Post on Wednesday, Dec.30, 2009.

Wednesday, December 9, 2009

Misteri kehidupan

Di dekat ruang praktik bu dokter, kulihat seekor anak kucing tidur bergelung merapat ke dinding.
Kucing kecil itu tidur lelap, tak terusik oleh pasien serta karyawan poliklinik yang lalu lalang.
Kemana yach.. sang induk dan saudaranya?
Aku tak tahu di mana mereka. Tapi aku tahu pasti bahwa ia mempunyai ibu dan seorang, eh seekor saudara. Kebetulan aku pernah melihat mereka beberapa hari setelah sang induk melahirkan dua ekor bayi kucing sekitar dua bulan yang lalu.
Ketika aku kembali ke tempat bu dokter sebulan kemudian, aku melihat mereka lagi. Sang ibu tengah menyusui kedua anaknya. Yang satu tampak sehat dan gemuk. Warnanya belang tiga, seperti ibunya. Pokoknya cakep sekali, deh. Yang satu lagi berwarna kuning, kurus dan matanya sakit, berair dan penuh kotoran.
Kondisi mata anak kucing kuning yang malang itu semakin parah sehingga ia akhirnya harus merelakan satu matanya. Ah, untung masih ada satu mata yang dapat diselamatkan.
Kucing kuning itu kelihatan sudah lebih sehat meskipun masih agak kurus saat aku melihatnya tertidur pulas pada hari Jumat, 4 Desember 2009 itu.
Iseng-iseng aku bertanya ke bu dokter, kemana anak kucing yang belang tiga.
Jawabannya sungguh di luar dugaan.
“Ia mati. Keracunan,” katanya.
Oh. Kok bisa? Aku kaget.
Lalu aku sadar bahwa memang terlalu banyak misteri dalam kehidupan ini. Banyak hal yang tak terduga, yang sering kali tak kita pahami.
Anak kucing belang tiga yang sehat mendadak mati. Sedangkan saudaranya yang sempat berada dalam kondisi mengenaskan justru dapat bertahan hidup.
Belum lama ini aku menerima email dari seseorang. Usianya 25 tahun. Setahun yang lalu ia didiagnosa menderita kanker payudara. Ia harus menjalani operasi pengangkatan salah satu payudara serta kemoterapi, yang berhasil ia lalui dengan tegar.
Sempat muncul tanda tanya besar. Bagaimana bisa kanker menyerang ia yang masih begitu muda dan selalu menjaga pola makan serta gaya hidup sehat?
Yach… memang banyak hal dalam hidup ini yang merupakan misteri. Kadang kita tahu apa yang akan terjadi dan mengapa. Misalnya kalau nggak makan, pasti lapar… Kalau kebanyakan makan cabe, bisa sakit perut… Tapi bisa juga sudah makan sepiring penuh masih lapar…. Kalo itu sih namanya rakus atau cacingan ya.. hehehhee….
Banyak hal yang tak kita mengerti. Banyak yang terjadi tanpa diduga. Cuaca yang cerah bisa tiba-tiba berubah mendung dan turun hujan deras. Mobil yang baru diservis bisa mendadak mogok di jalan…. Bank yang tampaknya sehat bisa ambruk….
Hal yang tak terduga tak selamanya buruk. Bisa saja kita mendapatkan kejutan manis. Mungkin kita bisa mendapatkan mobil mewah hadiah dari bank. Ah.. mimpi…… Atau kejutan kecil yang menyenangkan. Misalnya bertemu teman lama yang sudah sekian tahun tak berjumpa… Atau ditraktir makan pizza oleh kawan yang baru mendapat rejeki. Bisa juga teman yang judes setengah mati tiba2 saja memberi kita senyum manis… Tanaman di halaman yang tampaknya sudah sekarat bisa hidup kembali …
Kejutan yang menyenangkan atau yang menyedihkan memang dapat terjadi sewaktu-waktu. Itulah bagian dari kehidupan yang memang penuh misteri ini.
Semuanya harus kita hadapi. Ya.. kita jalani saja… Bukan berarti tak ada usaha. Tentu kita harus selalu berusaha untuk mendapatkan yang terbaik. Tapi kita juga harus berserah karena pada akhirnya Tuhan juga yang menentukan.

Tuesday, December 1, 2009

Ada Obama di Ultahku

Hari ini aku berulang tahun. Bukan ulang tahun kelahiran. lho. Ini adalah ulang tahun mastektomiku yang kelima.
Wah, ga terasa ya sudah lima tahun…. Ya, aku menjalani mastektomi alias operasi pengangkatan payudara kanan pada tanggal 1 Desember 2004 di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center yang lebih dikenal dengan MMC di Jakarta Selatan.
Lima tahun adalah masa yang lumayan lama. Pinginnya sih dalam kurun waktu lima tahun ini tak ada hal-hal yang hil-hil. Namun apa daya, pada bulan April 2007, diketahui bahwa terjadi penyebaran ke tulang. Akibatnya, aku jadi naik kelas. Kalau pada tahun 2004 aku dikategorikan sebagai pasien kanker stadium 2, sekarang jadi stadium 4.
Tapi untung juga lho, penyebaran itu cepat diketahui sehingga dapat segera ditangani meskipun sampai sekarang memang belum dapat diatasi sampai tuntas.
Hari ini kebetulan aku berkesempatan bertemu Yiyik, teman lama yang tinggal di Perth dan sedang berkunjung ke Jakarta.
“Nanti kita sekalian merayakan ultah mastektomiku ya?” aku becanda.
“Eh, udah 5 taun ya? Asiiik… iyah, kita rayakan ultah masektominya,” ia menimpali
Bersama seorang teman lain, Devi yang berprofesi sebagai instruktur yoga, kita melewatkan siang hari itu dengan gembira. Yiyik ingin menyantap masakan Padang yang sudah lama diidam-idamkannya. Maklumlah, di Australia mana ada warung Padang yang enak. Kalaupun ada, jangan-jangan yang dijual itu rendang dan balado kangguru… Hehehehe…
Kitapun sepakat bertemu di restoran Padang yang terkenal, yaitu Natrabu, di depan Kris Gallery, Menteng, yang letaknya tak jauh dari tempat Yiyik menginap. Mula-mula aku menjemput Yiyik, dan kita berjalan kaki mencari restoran Natrabu setelah mobil di parkir di depan sekolah yang ternyata adalah SDN 01 Besuki-nya Obama. Di gerbang sekolah terdapat plakat bergambar Obama. Tentu saja tidak menggambarkan anak kecil berkulit hitam dan rambut keriting yang sempat menjadi murid di sana, tetapi Obama setelah secara mengejutkan terpilih sebagai presiden AS.
Devi sudah duluan tiba di lokasi tempat kita akan makan siang, tepat di samping mesjid Al Hakim. Tapi.. lho, mana Natrabu-nya? Kita bertiga celingukan.
“Itu…di situ..,” kata seseorang yang tengah duduk santai di depan mesjid.
Di balik pintu papan tanpa ada tanda-tanda keberadaan tempat makan, di situlah tersembunyi Natrabu yang kita cari. Tempatnya sama sekali tak meyakinkan, tak sesuai dengan nama besarnya.
Rupanya sekarang Natrabu itu hanya melayani pembelian makanan untuk dibungkus dibawa pulang.
Akhirnya kita berganti halauan menuju tempat makan berjudul Dua Nyonya di Cikini. Sebelumnya, ketika mencari Natrabu, aku dan Yiyik sempat melihat restoran Tiga Nyonya di Jl. Kebon Sirih.
Nggak jelas apakah mereka ini bersodaraan. Nggak jelas juga apakah ada restoran lain yang namanya Satu Nyonya, Empat Nyonya apa Sepuluh Nyonya.
Yang jelas, makanannya enak lho. Yiyik dan Devi pesan nasi bakar yang disajikan bersama ikan dan teman2nya, sedangkan aku memilih nasi rawon bertoge. Aku mengurangi makan daging. Tapi kalau sekali2, nggak apalah, pikirku. Apalagi ini kan ulang tahun… hehehhe…
Selesai makan, kita melanjutkan perjalanan menuju Bakoel Kofie yang terletak tepat di samping Dua Nyonya.
Selain memesan kopi, Yiyik membeli sepotong kue untuk kita santap bersama.
“Ini untuk merayakan mastektomi,” katanya sambil tertawa.
Hahahaha….
Trims ya, temans … Sungguh perayaan yang berkesan.

Tuesday, November 24, 2009

Sepatu Ajaib

Aku bukan orang yang mudah termakan iklan. Tapi yang satu ini sungguh menggoda. Bayangkan. Ada sepatu yang bisa banyak membantu menguatkan otot-otot kaki, terutama pada bagian betis, paha dan panggul..
Nah… ini dia yang aku cari.
Kebetulan kaki kananku memang bermasalah. Agak sakit kalau dipakai berjalan. Tadinya sakit pada bagian lutut dan pangkal paha, kemudian sakit pada lutut sudah hilang, tinggal nyeri pada pangkal paha yang masih sering muncul.
“Ganti dong sepatunya. Coba pakai sepatu yang bagus, yang nyaman,” komentar seorang teman. Dalam beberapa waktu ini aku sudah 3x berganti sepatu. Yang pertama bikinan Scholl yang nyaman sekali dan yang kedua buatan Yongki Komaladi yang juga enak dipakai. Tapi entah kenapa makin lama rasanya kok makin kesempitan, bahkan ketika aku tidak memakai kaus kaki. Akhirnya aku memakai sepatu sandal Geox obralan yang dibeli di Mall of Indonesia, Kelapa Gading.
Rumahku jauh sekali dari Kelapa Gading dan aku nggak bakalan ke sana kalau bukan karena tergiur hadiah berupa termometer yang diberikan cuma-cuma untuk para pemegang kartu Citibank.
Sepatu Geox enak dipakai, tetapi itu “hanya” sekedar sepatu, bukan “sepatu ajaib” yang dapat menguatkan otot.
Sepatu “ajaib” itu adalah produk terbaru Reebok yang diberi nama Easytone. Infonya aku peroleh ketika diminta teman untuk menulis tentang manfaat berjalan dan berlari. Dengan embel-embel, agar dimasukkan juga sedikit keterangan tentang Easytone.
Easytone is an innovative technology introducing by Reebok which allows the female consumer to literally “take the gym” with her. Easytone uses balance pods in the shoes to create natural instability, much like walking on the beach, which encourage toning through increased muscle activation in 3 key areas – the calves, hamstrings and gluteus maximus.
Sayang, harganya mahal: Rp 1.199.000.
“Boleh juga nih kalau honor tulisannya diganti dengan sepatu saja,” aku mengirim email ke teman yang memberi order tulisan.
“Bener nih? Ntar ya ditanyain dulu,” katanya.
Setelah beberapa hari, ada kabar sbb:
“Maaf, mbak, nggak bisa. Tapi kalau mau beli, dapat diskon 30%.”
Ia lalu memberiku nama dan nomor HP seseorang di sebuah mal di bilangan Senayan.
Pada hari sebelumnya aku pernah sekilas melihat iklan Easytone di Kompas. Kalau tidak salah baca, ada diskon 50% bagi pemegang kartu kredit Mandiri. Tapi aku hanya punya kartu kredit Citibank.
Hari demi hari berlalu… Masih penasaran. Seperti apa sih sepatu itu?
Hari Rabu, 18 November 2009, aku ke Pondok Indah Mall untuk menyaksikan sepatu itu bersama Livia, yang dulu tinggal di Surabaya dan merupakan sahabat penaku di masa SMA.
Produk Easytone ada di Planet Sports. Sebetulnya aku ingin warna hitam, tapi di sana hanya ada 2 jenis, yang pertama warnanya putih dengan kombinasi pink, yang kedua berwarna coklat.
Aku coba yang coklat. Enak. Nyaman sekali dipakai. Rasanya mentul-mentul… (apa tuh bahasa Indonesianya?.. pokoknya empuk, deh)
Dan yang penting, kayaknya rasa sakit itu berkurang. Apa betul begitu, atau hanya sugesti?
“Coba lihat, jalanku lebih bagus ya kalo pake ini? Nggak gitu kelihatan terpincang-pincang?”
Temanku mengangguk.
Soal model, menurutku biasa aja.
“Kok nggak kelihatan seperti sepatu mahal ya?”
Lagi-lagi temanku mengiyakan.
Ada diskon entah 10% atau 15%, aku lupa, untuk sepatu putih tapi itu nggak penting karena aku nggak minat dengan yang itu. Sedangkan yang coklat diskon 30% plus ekstra 10% kalau ada kartu kredit bank yg tadi aku sebutkan di atas.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku beli juga. Apalagi hari Jumatnya aku rencananya akan ke dokter di Singapura. Jadi cocok sekali dong kalau memakai sepatu ini.
Bener lho, sepatunya enak sekali.
Di Singapura, kita banyak jalan. Di rumah sakit sih nggak, tapi di airport dan di subway, aku dan Retno, teman yang menemaniku “berlibur” ke sana, mesti jalan ke sana ke mari. Apalagi pada malam harinya.
Lewa, teman lama kita yang kini tinggal di Singapura, berbaik hati memberi tumpangan tidur malam itu. Sebelumnya, ia dengan antusias mengajak kita makan ice cream dan camilan di Café Jepang yang trendy, menyaksikan peluncuran buku mengenai peranakan beadwork di museum peranakan, dan makan malam dengan menu ayam panggang enak plus tahu empuk dan sayur bayam yang hangat.
Di Jakarta, kita terbiasa naik taksi ke mana2 karena kondisi ibukota tidak memungkinkan untuk berjalan kaki dengan nyaman—panas, polusi, kurang aman dan trotoar untuk pejalan kaki seringkali disikat pengendara motor dan pedagang kaki-5. Tapi Singapura beda. Pejalan kaki mendapat tempat terhormat.
“Deket kok museumnya. Cuma di situ,” kata Lewa.
Biarpun “dekat”, lumayan juga jaraknya. Pokoknya, kalau dihitung-hitung, malam itu mungkin ada lebih dari sejam kita berjalan kaki.
Jujur ya. Tanpa sepatu ini, mungkin aku nggak bisa mencapai garis finish ….
(Moga-moga orang Reebok baca tulisan ini trus duit gw di-reimbursed krn dah bantu promosiin, plus dikasih vocer buat beli baju2 olahraganya… hehehehe)
Eh, tapi ada lho yang aku kurang suka. Aku kan pake sepatu ini juga buat kerja—kebetulan di kantor banyak yang penampilannya kasual. Nah kalo dipake jalan, sepatunya bunyi.. dug.. dug…karena lantainya ga pake karpet. Aku ga suka sepatu yang bersuara, tapi ya sudahlah. Biar semua orang tau kalo sepatuku baru. Hehehehe…

Saturday, November 21, 2009

Abad 21

Hari Jumat (20 November 2009) kemarin kembali aku berjalan-jalan ke Singapura.
Jam 10 pagi waktu setempat, pesawat mendarat di Terminal 1 Bandara Changi. Dari sana kita naik Skytrain ke Terminal 2 dan perjalanan kemudian dilanjutkan dengan MRT. Dengan ongkos 2 dolar plus 1 dolar deposito yang dapat diambil kalau tiket yang berbentuk kartu magnetik itu dikembalikan setelah selesai digunakan, kita menuju Dover. Di sana terdapat free shutle bus ke NUH.
Sebelum bertemu dengan bu dokter yang bernama Tan Sing Huang, aku memasuki blood room terlebih dahulu untuk diambil darahnya. Hiii, serem ya. Tapi susternya tidak seseram nama ruangan itu.
“Kapan ulang tahunnya?” itu adalah pertanyaan rutin yang diajukan sebelum pengambilan darah.
Waktu pertama kali mendengar pertanyaan itu, aku GR. Kalau kita ultah, mungkin suster itu akan memberi kita kado ya? Hehehehe... Ternyata itu adalah cara untuk memastikan identitas pasien.
Setelah pengambilan darah, seperti biasa kita makan dulu di food court yang menawarkan berbagai menu. Kebanyakan makanan Oriental, tapi ada juga nasi Padang dan gado-gado. Aku paling suka makan sup yang... hmmm segar sekali rasanya...
Dengan perut kenyang kita menunggu dokter di ruang tunggu yang luas dan dingin. Kalau ingin minuman hangat, bisa membuat sendiri. Di dekat pintu masuk, ada mesinnya. Tinggal kita taruh gelas dan pencet tombol, maka jadilah Milo, Teh Tarik, Nescafe atau minuman lain yang tersedia. Di sudut ruangan juga terdapat fasilitas komputer dengan jaringan internet yang boleh digunakan siapa saja. Hanya satu sih, tapi lumayanlah.
Aku menghabiskan waktu untuk tidur. Ngantuk sekali. Bukan hanya karena kekenyangan, tapi juga karena pagi itu aku bangun jam 3:30 dan sejam kemudian sudah duduk di belakang setir mengarah ke Bandara Soekarno-Hatta.
Tiiba-tiba suster menghampiriku, menanyakan apakah aku membawa “slide” untuk ditunjukkan ke dokter.
Sebetulnya dokter memang pernah menyuruhku bone scan setelah aku mengeluh tentang kakiku yang suka sakit dan badan yang gampang merasa lelah.
Tapi aku malas dan tidak segera melakukannya. Baru pada hari Selasa aku menelpon RS Dharmais untuk mendaftar. Harus antre karena banyak pasien. Aku mendapat giliran hari Kamis dan hasilnya baru bisa diambil hari Jumat. Batal, nggak keburu.
Bu dokter tidak marah. Memang dia orangnya baik dan sabar. Ia lalu melakukan pemeriksaan, termasuk menguji kekuatan otot-otot kakiku. Dia curiga, jangan2 kakiku sakit dan lemah karena syaraf di bagian tulang belakang bagian bawah sudah termakan sel-sel kanker busuk.
You need to do MRI on your spine,” katanya.
Bukan cuma itu, tapi juga X-ray di bagian panggul, CT scan dada, perut, dan juga bone scan. Tapi ia menggaris bawahi bahwa MRI itu yang harus cepat-cepat dilakukan.
Ya ampun..... banyak banget sih, Dok pemeriksaannya.
Bu dokter ingat bahwa dalam CT scan yang terakhir, terdapat kontroversi soal penebalan di dinding paru-paru yang oleh ahli radiologi RS PIK dicurigai sebagai metastasis atau penyebaran kanker. Bercak hitam itu sudah ada lama sebelumnya dan oleh dokter radiologi dari RS Pluit dan juga dari NUH, itu bukan penyebaran kanker.
Tetapi kemarin bu dokter menganjurkan aku melakukan CT scan lagi untuk memastikannya sekalian untuk melihat ada tidaknya penyebaran di tempat lain.
Oh ya, mengenai tes darah, hasilnya tidak jauh berbeda dari 3 bulan yang lalu.
Bu dokter mengatakan bahwa pengobatan yang sudah kujalani sementara ini akan terus dilanjutkan sampai ada hasil pemeriksaan MRI, CT scan, X-ray dan bone scan. Dalam skenario terburuk, dapat dilakukan operasi dan kemoterapi jika diperlukan.
Aku menunjukkan kepada bu dokter pain killer yang pernah aku minum, yaitu Piroxicam dan Dexamethasone. Menurut bu dokter, Dexamethasone tidak bagus, tetapi Piroxicam boleh diminum. Panadol juga aman, katanya.
Lalu aku bercerita kalau saat ini aku melakukan terapi chi.
Come on. We live in the 21st century,” katanya sambil tertawa.
Coba bu dokter denger soal Ponari, bisa ketawa sampai terkencing-kencing... ! Ponari ini bocah yg mendadak jadi terkenal setelah menemukan batu ajaib yang konon dapat mengobati segala macam penyakit. Selama sebulan lebih, setiap hari ribuan orang mengantre berobat sampai polisi turun tangan menutup tempat prakteknya akhir bulan Februari tahun ini. Ga tau sekarang gimana perkembangannya.
Bu dokter jelas nggak percaya dengan yang namanya pengobatan dengan menggunakan tenaga dalam.
Dengan bersemangat aku mengatakan bahwa bagian dada dan dekat ketiak yang telah mati rasa selama bertahun-tahun akibat operasi sudah hidup rasa berkat terapi itu.
Tapi bu dokter yang bergelar MBBS, MRCP (UK), Mmed (S’pore) itu tak berminat menanggapi. Memang, dunia kedokteran modern sering kali berbenturan dengan pengobatan alternatif. Dalam hal ini, aku sendiri masih tetap menjalani terapi chi itu sampai ada perkembangan lain.
Ngomong-ngomong, bu dokter ini usianya masih 30-an dan berperawakan kecil. Hari itu ia mengenakan jas dokter putih dengan bordiran “Tan” berbenang merah dan blus putih tanpa kerah yang juga dihiasi dengan bordiran.
“Cocok sekali dok, bordirannya,” aku iseng berkomentar.
Selama berkonsultasi dengan bu dokter, sudah beberapa kali aku melihat ia memakai blus itu. Aku juga melihatnya selalu memakai gelang warna-warni yang sama.
“Sepatunya juga sama,” kata teman yang datang bersamaku ketika kita meninggalkan ruang prakteknya. Temanku ini memang sebelumnya sudah pernah menemaniku ke bu dokter.
“Aku ingat sepatunya karena aku suka modelnya yang simple,” ia menambahkan.
Sama seperti model sepatunya, bu dokter ini orangnya memang sederhana. Serius tapi bisa tertawa, lho. Dan yang penting, dia juga komunikatif. Ia tidak keberatan ditanya melalui email dan pasti membalasnya di tengah-tengah kesibukannya.
Kemarin ia bahkan wanti-wanti agar aku segera memberitahukan hasil pemeriksaan MRI lewat email.
Siap, Dok... !

Thursday, November 19, 2009

Kejamnya Dunia

Eh, sebetulnya dunia nggak kejam. Yang kejam itu orang-orangnya. Dan orang kejam ada di mana-mana. Di Jakarta, di Bandung, di Texas….
Texas? Ya. Dan ceritanya memang bikin kita semua kesel. Mungkin juga bukan cuma kesel, tapi keseeeeeeeellllll banget, bikin kita pingin nyekek orang itu.
Orang jahat itu pura-pura kena kanker payudara dan berhasil mengumpulkan dana sebesar US$10.000 yang lantas dipakai untuk…. memperbesar payudaranya.
Perempuan bernama Trista Joy Lathern, 24, itu membotaki rambutnya supaya kelihatan seperti pasien yang tengah menjalani kemoterapi.
Seperti apa sih tampangnya? Ini nih.. kayak gini…
Tindakan busuknya terungkap setelah dokter yang melakukan operasi plastik curiga karena ia tak pernah menyebut-nyebut soal kemoterapi atau kanker payudara.
Tukang tipu memang banyak di sekeliling kita. Aku sendiri pernah dibohongi oleh salesman yang dengan manis menjanjikan bonus obat melalui program “buy three get one free”. Setelah membeli obat 3x, bonus tak pernah diberikan. Belakangan baru ketahuan kalau salesman itu memang bermasalah dan bahkan dipecat dari kantornya.
Pernah juga ditipu suster ketika akan menjalani kemoterapi di RS Dharmais. Suster itu mengatakan bahwa obat yang aku beli dari Yayasan Kanker Indonesia kurang dan aku harus mengeluarkan uang ekstra untuk pembelian obat fiktif.
Tapi itu bukan apa-apa dibandingkan pengalaman Alvita, seorang penyintas kanker berusia 25 tahun yang berhasil menjadi dokter dan kini tengah mengikuti program spesialis kedokteran nuklir di Bandung. Vita yang sedang menyelesaikan buku tentang perjuangannya melawan kanker pernah ditipu habis-habisan oleh seorang perempuan. Ia mengaku terkena kanker, datang dari luar kota dan akan menjalani pengobatan tetapi tak punya uang. Vita menampungnya di tempat kosnya dan memberinya uang untuk berobat. Ternyata ia malahan membawa kabur semua barang berharga Vita.
Meskipun demikian, Vita tidak berubah. Ia tetap siap membantu orang-orang yang memerlukan pertolongan.
Memang banyak orang jahat di sekeliling kita. Tapi banyak juga lho yang baik… Bahkan jumlah orang baik lebih banyak daripada orang jahat. Aku bersyukur memiliki banyak teman yang baik. Thank you… Matur nuwun…. Terima kasih. teman-teman atas dukungannya.

Thursday, November 12, 2009

Ooooobat

Mau kaya? Juallah obat.
Sebetulnya aku juga ga tau sih berapa untungnya orang jualan obat. Tapi kalo menilik banyaknya apotik yang beterbaran di sekeliling rumahku, ya aku mengambil kesimpulan sendiri bahwa itu adalah bisnis yang menguntungkan.
Dalam jarak beberapa puluh meter saja terdapat 3 apotik, dua di antaranya saling berseberangan. Yang satunya lagi hanya beda beberapa rumah di belakang.
Kalau mau berjalan sedikit lebih jauh menyusuri jalan utama di kompleks perumahan ini, maka di kiri dan kanan jalan yang panjangnya beberapa kilometer itu kita juga akan melihat sejumlah apotik.
Kayaknya hanya usaha restoran dan laundry saja yang mengungguli keberadaan apotik ini.
Kalau malas ke luar rumah, obat juga dapat dipesan melalui telepon dan dikirim sampai tujuan. Apotik yang buka 24 jam juga ada.
Harga obat tidak selalu sama. Dan anehnya, banyak juga yang lebih tinggi dari HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditentukan pemerintah. Tapi apotik bukan pasar yang barang dagangannya bisa ditawar-tawar dan biasanya konsumen, biarpun terkadang sambil ngomel, tetap membayar sesuai dengan jumlah yang ditentukan. . .
Meskipun di sekitar rumah banyak apotik betebaran, tetapi tak satupun yang menjual obat kanker. Memang obat ini konsumennya terbatas sehingga hanya apotik tertentu yang menjualnya.
Kalau ingin membeli obat kanker dengan harga miring, sebaiknya ke Yayasan Kanker Indonesia di Jl. Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat. Sebelumnya, telepon dahulu (021- 3192 7464) untuk mengecek ketersediaannya.
Seperti yang sudah pernah aku ceritakan sebelumnya, setiap bulan aku manjalani suntikan Zoladex. Aku pernah diiming-imingi oleh si “Amin”, seorang salesman dari produsen obat tsb yang pertama kali menyapaku ketika aku membeli obat di YKI. Ia menjanjikan bahwa setelah membeli 3 dus yang masing-masing berisi 1 botol cairan 3.8 ml, maka aku akan mendapatkan gratis 1 dus. Ternyata janji itu palsu.
“Oh, dia itu bermasalah, mbak. Sudah dipecat dari kantornya,” kata seorang mbak di YKI ketika aku mengadukan soal si Amin itu.
Awal bulan ini aku menghubungi produsen obat tsb. dan mendapatkan referensi nama salesman lain, eh, salesgirl, eh medical representative (ini istilah kerennya). Singkat cerita, si mbak itu lalu menghubungi aku. Harga obat yang ditawarkan adalah Rp 1.385.000, sedangkan harga YKI adalah Rp 1.246.700. Masih aja mahal yach… Sigh.
Waktu aku menanyakan apakah ada program bonus, ia mengiyakan.
“Beli dua gratis satu,” katanya.
Hah?
Aku hampir tak percaya. Bener ga nih. Kok rasanya “too good to be true”.
Setelah berkonsultasi dengan bu dokter, akhirnya aku sepakat untuk membeli 2 dus sekaligus agar mendapakan 1 bonus gratis.
Aku bertanya apakah obat akan diantar ke kantor atau ke rumah, dan si mbak memilih mengantar ke rumah.
Pada pagi hari yang ditentukan… “ting tong…” bel berbunyi. Kirain si mbak yang datang. Ternyata mas-mas yang naik motor dengan banyak bawaan. Ia menyerahkan obat dan bon. Aku lihat bonnya dikeluarkan oleh apotik yang letaknya tidak jauh dari rumahku, tapi di luar kompleks.
Sampai sekarang, aku masih belum paham, bagaimana sih liku-liku penjualan obat itu. Bagaimana bisa beli 2 gratis 1? Dengan perhitungan 1 bonus gratis, maka harga obat itu menjadi jauh lebih rendah. Nah, berapa sebetulnya untung dari penjualan obat? Entahlah (sirik mode: ON)

Wednesday, November 4, 2009

Setetes embun di gurun Sahara

“Sudah dua minggu nggak update ayomari, kenapa?” seorang kawan bertanya melalui YM.
“Siang Sima, apa kabar? Lama ga senam. Senam lagi yuk, dicariin sama teman2,” begitu bunyi SMS yang aku terima minggu lalu.
Perhatian, sekecil apa pun, sungguh merupakan hal yang menyejukkan. Bagaikan setetes embun di gurun Sahara. He..he..he.. sok puitis …. padahal, nyambung nggak, ya?
Yang jelas, siapa sih orang yang nggak suka diperhatiin? Semua orang pasti senang kalo ada yg kasih perhatian, apa pun bentuknya. Coba senyum sama tukang bakso yang lewat depan rumah. Pasti si abang senang, meskipun kita nggak beli... dan gigi kita tonggos alias tuwan sinyo (untune kedawan, gusine menyonyo). Atau tanyakan ke satpam yang baru menjadi bapak, gimana kabar anaknya. Tentu dia senang sekali.
Nah, apalagi kalau yang dikasih perhatian itu orang yang lagi mengalami kesusahan, entah abis diomelin si bos karena kerjaan salah mlulu, lagi dikejar2 debt collector karena lama nunggak tagihan kartu kredit, lagi sakit gigi, sakit panu atau sakit lainnya, termasuk kanker.
Perhatian tak segera menyelesaikan masalah. Kemarahan si bos tak akan otomatis berkurang, utang tak langsung terbayar dan penyakit tetap bercokol. Tapi paling tidak perhatian itu bisa menumbuhkan semangat.
Semangat merupakan hal yang sangat diperlukan bagi semua orang, terlebih lagi, penyintas kanker yang harus berjuang untuk terus dapat menikmati segarnya tiupan angin dan hangatnya sinar matahari pagi, untuk terus dapat beraktivitas dan produktif, untuk terus dapat tersenyum dan tertawa gembira.
Tanpa semangat, hidup akan suram dan hampa.
Semangat jugalah yang aku perlukan ketika kondisi kesehatan menurun. Tak jelas apa sebabnya, beberapa hari belakangan ini badan terasa rapuh dan lemas. Kadang-kadang rasanya kok seperti sudah 80 tahun mskipun belum ompong.
Sejak awal bulan Oktober aku berhenti senam karena kaki sakit, padahal olah raga itu perlu. Bahkan wajib hukumnya jika kita ingin sehat. Seharusnya aku bisa berolah raga sendiri sebisanya di rumah, tetapi malas….
Hari Senin (Nov.2, 2009) sebetulnya aku berniat ikut senam. Bukan senam aerobik yang banyak jingkrak-jingkraknya itu melainkan senam ringan saja. Tapi kenapa ya, bangun tidur badan rasanya tak ada tenaga. Ya sudah, aku di rumah saja.
Eh, siangnya aku mendapat ajakan senam melalui SMS. Hanya beberapa kata, tapi efeknya cukup besar. Ok. Aku bertekad untuk berusaha kembali rajin berolah raga.
Hari Selasa, aku penuhi janjiku. Kebetulan badanku juga tidak selemas hari sebelumnya.
Jam 6 pagi aku sudah siap di lapangan parkir Carrefour dekat rumah, tempat senam diadakan. Tunggu punya tunggu… kegiatannya tak juga dimulai gara-gara listrik padam …. Akhirnya senam dilakukan tanpa musik… Kurang seru ya…. apalagi karena peserta aktif yang suaranya paling keras sedang absen karena jatuh pingsan dari panggung ketika meramaikan suatu acara.
Meski tanpa musik, tak masalah. Yang penting bisa olah raga. Tentu saja aku juga tahu diri, kalau ada gerakan yang terasa sulit, aku tidak mengikutinya.
Badanku terasa lebih enteng. Tapi anehnya, di siang hari badan pegal setengah mati. Dalam posisi duduk, bagian pinggang dan pinggul terasa sangat tidak nyaman. Karena itu, di kantor aku bolak balik ke toilet sekedar untuk menggerakkan badan agar tak terlalu pegal.
Aku mengeluh pada suhu chi, yang menanggapi dengan mengirimkan energi untuk menghilangkan rasa pegal itu. Sejenak, rasa pegal agak berkurang. Tak jelas apakah ini karena sugesti atau betul2 berkurang sakitnya. Yang jelas, tak lama kemudian rasa pegal kembali menyerang.
Sampai di rumah, aku terpaksa minum painkiller sebelum tidur.
Tadi pagi badan masih sedikit kurang enak. Tapi aku bisa ikut senam. Setelah sarapan, aku putuskan untuk minum obat lagi sebagai pencegahan rasa sakit.
Sekarang sudah malam dan badanku terasa cukup enak. Tidak sakit, tidak pegal. Eh, agak pegal di pinggang, tapi hanya sedikiiiit.
Mudah-mudahan besok pagi dan seterusnya aku bisa terbebas dari rasa sakit dan yang tak kalah pentingnya adalah bebas dari pil penghilang rasa sakit.
Semoga saja harapan itu segera menjadi kenyaataan dengan dukungan doa, kegiatan olahraga yang rutin, terapi chi yang tengah aku jalani dan obat yang tepat sesuai saran dokter. Dan … tentunya juga semangat yang tak boleh pudar serta pikiran yang positif dan jauh dari stres.

Tuesday, October 20, 2009

Hebat

Benar-benar hebat. Luar biasa. Bukan sulap bukan sihir. Bagian tubuhku yang telah mati rasa selama bertahun-tahun akibat mastektomi tiba-tiba hidup rasa.
Banyak penyintas kanker payudara yang mengalami mati rasa di daerah dekat ketiak setelah menjalani mastektomi alias operasi pengangkatan payudara.
Operasi itu aku jalani pada bulan Desember 2004 dan masih mengalami mati rasa hingga minggu lalu. Tak terlalu mengganggu sih, jadi aku tak begitu peduli.
Tapi ada kejadian luar biasa pada suatu sore di hari Jumat, tanggal 16 Oktober 2009, ketika aku menjalani terapi chi alias tenaga dalam karena kakiku tambah sakit kalau berjalan.
Aku nggak bilang pada Pak Suhu mengenai bagian tubuh yang mati rasa itu. Tapi ia bisa menebaknya.
Dari jarak satu meter, ia menggerak-gerakkan ke dua tangannya. Hanya sekitar satu menit.
“Gimana rasanya sekarang?” ia bertanya.
Aku pegang bagian dekat ketiak sebelah kanan. Dan alangkah takjubnya diriku ini. Sudah tidak mati rasa lagi. Wowww. Sumpah. Ini sungguh luar biasa.
Bagaimana dengan kakiku?
Soal sakit ini memang aneh. Tak menentu. Kayak harga BBM yang dulu sempat naik turun…Naik turun kayak ingus yang disayang-sayang… Iiiih sori… jorok ya…
Dulu sih sakitnya ga terlalu terasa. Sejak akhir bulan lalu, baru deh nyut… nyut.. nyut… Kaki kananku sakit kalau jalan. Bahkan kalau mau duduk atau kalau bangkit dari duduk.
Penyebabnya adalah kanker yang sudah mengerogoti tulang bagian bawah tubuh dan osetoarthritis “ringan” di lutut, yang disimpulkan melalui hasil rontgen pada hari Kamis, 8 Oktober 2009.
Dokter memberiku obat anti nyeri Moxam dalam dosis kecil, hanya ½ tablet, untuk diminum 2x sehari. Tapi nggak mempan. Pada hari berikutnya, tambah pain killer lain, yaitu Zaldiar ½-1 tablet.
Hari Minggu kondisi kakiku enak sekali. Hanya sakit sedikit.
Tapi hari Senin, rasa sakit kembali menyengat. Selasa… Rabu… juga tambah sakit sampai-sampai tidur tak nyenyak karena kalau kaki kanan digerakkan tidak dengan hati-hati, terasa ngilu di tulang. Padahal kalau tidur aku suka bolak balik ke kiri dan ke kanan…. .
Lalu aku ingat cerita temanku yang terkena myom dan kanker leher rahim dan menjalani terapi chi. Ia baru berobat satu kali, dan katanya cocok.
Tak ada salahnya mencoba, kan?
Mula-mula aku telepon suhu chi itu. Tak diangkat. Lalu aku SMS. Setelah sekian jam, baru ada balasan. Ia menyuruhku datang hari Jumat, 16 Oktober 2009, sore bersamaan dengan waktu yang dijadwalkan untuk temanku itu.
Sore itu ternyata macet gila-gilaan di jalur lambat Sudirman. Aku yang memang “sense of direction”-nya buruk, sempat nyasar pula. Sekitar sejam kemudian, barulah aku sampai di Jl. Suryo yang merupakan terusan Jl. Senopati, terasa mobil sedikit bergoyang selama beberapa detik, padahal kelihatannya nggak ada angin kencang. Di kiri kananku juga tak tampak truk besar yang melaju. Kalaupun ada, juga nggak bisa ngebut, kan lagi macet... Mungkin goyangan itu akibat perasaanku yang kurang enak karena terlambat berobat... Eh, tiba2 ada kabar di radio mengenai gempa di Ujung Kulon.
Terlambanya memang nggak kira-kira. Lebih dari satu jam.
Tempat praktik yang kutuju sangat sederhana. Sang suhu juga jauh dari bayangan kita akan orang yang pendiam dan serius.
Ia senang ngobrol dan sering tertawa besar. Perawakannya besar dan rambutnya agak gondrong. Bajunya biasa saja, kemeja dan celana panjang, bukan jubah seperti suhu yang kita lihat di film-film kung fu atau silat.
Ia lalu memeriksa lututku dan sambil menekan bagian yang sakit, ia menyalurkan tenaga dalam sementara aku berdoa.
Hal yang sama dilakukan pada bagian pangkal paha.
“Nah, sekarang sudah bisa main bola,” katanya berseloroh.
Aku berdiri dan duduk kembali tanpa rasa sakit. Lalu berjalan keliling ruangan. Rasa nyeri sudah jauh berkurang. Kaki kanan sekarang sudah dapat digerakkan ke samping dengan mudah. Juga dapat digerakkan ke atas, meskipun masih agak sulit.
“Wah, Sima sudah bisa lompat-lompat,” komentar temanku kemudian.
Hiperbol. Soalnya kalau melompat kan harus menggunakan dua kaki. Aku belum bisa. Berdiri tegak di atas kaki kanan saja juga masih sakit. Padahal dulu waktu latihan yoga (yang sekarang sudah tidak aku jalani lagi), aku sudah bisa melakukannya dengan kedua tangan di atas kepala selama beberapa saat.
Tapi memang kondisi kakiku jauh lebih baik. Hanya saja begitu keluar dari ruangan, mulai terasa agak sakit di pangkal paha meskipun kadarnya telah berkurang dibandingkan dengan sebelumnya.
Menurut Suhu, sakit di lutut itu juga disebabkan oleh kanker dan ia akan berusaha untuk “membakar” sel-sel kanker dengan chi. Tetapi ia juga mengakui bahwa itu bukan hal yang mudah karena penyebarannya sudah cukup banyak. Pengobatan ini juga akan memakan waktu agak lama dan ia sendiri tak menjanjikan kesembuhan.
“Kita lihat saja nanti,” katanya.
Aku lalu teringat seseorang yang belum lama ini menelponku tentang adiknya yang terkena kanker tulang sehingga dokter menganjurkannya untuk diamputasi. Ketika aku menceriterakan hal itu pada Suhu dengan harapan agar ia bersedia mengobatinya, ia menolak dengan halus karena pasiennya sudah terlalu banyak.
Sebelum pulang, aku menanyakan mengenai biaya pengobatan dan konsultasi, termasuk ngobrol, yang totalnya memakan waktu lebih dari satu setengah jam. .
“Terserah saja,” katanya sambil menunjuk ke keranjang bambu di sudut ruangan.

Penkiler jenerik


Cara termudah untuk mengatasi rasa sakit adalah dengan minum obat anti nyeri alias painkiller. Tapi hati-hati! Jangan sering-sering meminumnya. Banyak efek sampingan yang dapat menimpa kita, antara lain sakit maag jika obat diminum saat perut kosong, atau gangguan jantung kita mengkonsumsi dalam dosis tinggi. Selain itu kita juga bisa kebal terhadap obat itu.
Ada yang mengatakan bahwa painkiller dapat diganti dengan aromateraphy, minum wedang jahe dicampur cengkeh dan ramuan tradisional lainnya. Tapi aku belum pernah mencobanya, kecuali minum wedang jahe yang memang membuat badan hangat.
Sebetulnya aku tidak suka minum obat. Tapi apa boleh buat. Kalau tak tahan sakit, aku terpaksa menelannya juga.
Pernah aku minum Ponstan, yang katanya bukan merupakan obat keras. Dokter juga pernah memberiku ramuan campuran antara panadol dan entah apa namanya, yang juga termasuk ringan.
Ketika rasa sakit semakin menyengat, hari Kamis, 15 Oktober 2009, aku sempat minum Moxam dalam dosis kecil, hanya ½ tablet, 2x sehari. Tapi nggak mempan. Sehari setelah itu, ditambah dengan painkiller lain, yaitu Zaldiar ½-1 tablet.
Hari Minggu enakan, tapi hari-hari berikutnya sakit lagi. Sampai akhirnya aku menjalani terapi chi (tenaga dalam). Rasa sakit berkurang, tapi masih ada. Jadi aku belum berani meninggalkan painkiller.
Setelah Moxam dan Zaldiar habis, aku minum obat anti nyeri yang masih tersisa beberapa biji, yaitu Ponstan dan campuran Panadol.
Si empok yang merupakan ratu dapur dan penguasa mesin cuci serta meja setrika merangkap pencuci mobil dan pembersih rumah rupanya prihatin dengan kondisiku.
Ia juga sering mengalami rasa sakit pada kaki, terutama ketika bangun tidur. Ketika sakit tak tertahankan, ia ke dokter dan diberi obat murah meriah yang manjur.
“Tetangga-tetangga pada minta contoh obatnya. Mereka kalo sakit juga minum obat itu,” kata empok.
“Mau coba? Kali-kali cocok,” katanya.
Keesokan harinya ia membawa bungkus obat itu. Ada dua macam. Dexamethasone 0.5 mg dan Piroxicam 10 mg
Aku lalu mengirimkan SMS ke dokter, yang ternyata tidak menunjukkan keberatan terhadap obat itu.
Harga Panstan tidak mahal. Seingatku, dulu aku pernah membelinya di toko obat di Pasar Palmerah seharga belasan ribu rupiah, tetapi di apotik bisa lebih dari Rp 20.000 untuk satu strip berisi 10 tablet. Sedangkan Moxam dan Zaldiar jauh lebih mahal.
Meskipun dalam kemasannya tertulis HET (Harga Eceran Tertinggi) sebesar Rp 80-an ribu, tetapi di apotik harganya Rp 90-an ribu per strip berisi 10 tablet.
“Kalo obat saya sih hanya Rp 2.500,” kata mpok.
Masa sih? Murah amat. Aku minta mpok membelinya dengan memberikan uang Rp 20.000. Kembaliannya Rp 17.500. Jadi Rp 2.500 itu untuk kedua macam obat itu, masing-masing 10 tablet.
Murah karena itu adalah obat generik.
“Biarpun obat generik, kalau memang cocok, ya bisa aja,” demikian komentar bu dokter.
Pagi ini untuk pertama kalinya aku minum obat generik itu. Syukur alhamdullilah. Puji Tuhan. Haleluya. Kakiku tidak terasa begitu sakit. Obat itu aku minum sekitar jam 6:30 pagi dan sekarang sudah hampir jam 8 malam.
Mungkin juga itu karena terapi chi yang aku jalani. Dan yang pasti juga karena kuasa Tuhan. Oh ya, sudah hampir setahun tidak berlatih reiki, dua malam ini aku mulai latihan lagi lho...

Thursday, October 15, 2009

Bingung

Aku bingung. Ke mana aku harus pergi? Siapa yang harus aku temui?
Kebingungan memenuhi kepalaku yang pusing memikirkan kaki kananku yang sakit. Tidak parah, tetapi cukup menjengkelkan.
Gaya berjalanku sekarang seperti nenek-nenek yang kakinya kesleo karena main bola. Sudah jalannya pelan, terpincang-pincang pula.
Tak dapat berjalan cepat, apalagi berlari. Padahal seringkali aku perlu segera mencapai tempat tujuan, misalnya kalau ingin buang air, atau kalau akan antre di kasir supermarket pada akhir pekan yang sibuk. Dan bagaimana aku akan melarikan diri kalau terjadi gempa? Kalau ada meja, aku tak akan lari keluar tapi cukup meringkuk di bawahnya. Itu juga harus pelan-pelan karena kalau kaki ditekuk sembarangan bakal sakit rasanya.
Tadinya aku berharap bahwa rasa sakit akan hilang seiring dengan berjalannya waktu… Maunya sih begitu… Tapi sudah beberapa bulan ini sakitnya tak mau pergi. Kalau diam saja, memang tidak apa-apa. Ah, mana mungkin diam saja seharian? Emangnya patung…. Kalau berjalan, mulai terasa kurang nyaman. Awalnya hanya sakit sedikit. Dikit-dikit lama-lama jadi bukit… Dan sejak awal bulan ini bukitnya terasa makin berat.
Sebetulnya aku sudah pernah ke dokter umum di klinik 24 jam dekat rumah pada akhir bulan Juli. Setelah mendengarkan keluhanku, dokter berkesimpulan bahwa kakiku terserang nyeri sendi. Dan aku gembira karena sakitnya ternyata bukan karena kanker.
Kesimpulan itu sebetulnya patut diragukan.
Lha, mana mungkin dokter itu dapat menyimpulkan kalau itu disebabkan oleh sel-sel kanker yang bercokol di beberapa bagian tulangku?
Ya, tak mungkin. Karena aku tidak memberitahu.
Aku sendiri tadinya berpikir bahwa mungkin kakiku sakit karena kanker. Pikiran semacam itu sering muncul kalau aku merasa capai atau kurang fit. Jangan-jangan itu terjadi karena ulah si kanker busuk?
Tapi aku juga berusaha menyingkirkan pikiran itu. Kakiku sakit pasti bukan karena kanker. Ini "hanya" sekedar nyeri sendi seperti kata dokter klinik 24 jam itu dan aku juga menuruti nasehatnya untuk tidak memakan kacang-kacangan dan jerohan, yang memang sudah lama aku hindari. Aku juga mengurangi makan sayuran hijau seperti kangkung, bayam, daun melinjo dan pare yang sebetulnya merupakan pantangan penderita asam urat.
Setelah sekian lama kakiku tambah sakit saja rasanya. Dokterku di NUH pernah mengatakan bahwa pasien yang tulang pada bagian bawah tubuh sudah digerogoti kanker memang seringkali akan merasakan sakit pada kakinya. Tapi aku masih berusaha mengingkarinya. Malahan aku berpikir, mungkin kakiku sakit karena syarafnya terjepit karena terlalu bersemangat senam dengan gerakan yang salah.
Sebetulnya aku sudah pernah ke Rumah Sakit Internasional Bintaro untuk menjajaki kemungkinan berobat di sana. Yang aku perlukan adalah kepastian penyebab sakit ini. Tetapi aku masih ragu apakah aku harus ke dokter syaraf atau dokter tulang.
Mula-mula aku ke bagian informasi untuk menanyakannya. Aku dianjurkan agar berkonsultasi dengan petugas di bagian klinik. Di pintu masuk klinik, aku disambut ramah oleh seorang Mbak cantik berseragam merah cerah.
Apa iya aku harus berkonsultasi dengan Mbak yang lebih mirip seorang pramugari pesawat udara daripada konsultan medis ini?
Ternyata aku salah. Mbak itu membawaku ke sebuah ruangan di mana terdapat seorang Mbak lain yang tak kalah cantiknya. Tak jelas apakah ia dokter atau bukan. Tapi cara berbicaranya cukup meyakinkan.
Aku hanya mengatakan bahwa kakiku sakit dan bertanya apakah aku harus ke dokter syaraf atau dokter tulang. Aku tidak bercerita kalau aku terkena kanker. Ia lalu menganjurkan aku ke dokter syaraf dahulu dan memberiku daftar dokter di RSIB serta jam praktiknya.
Tapi aku tidak langsung berobat ke sana. Ketika aku menjalani suntik dan infus bulanan dengan dr. Winarti, aku meminta sarannya sambil menunjukkan daftar dokter itu.
“Ke dokter ini saja. Dr. Juwono. Pasien saya pernah ke sana dan ia bilang dokternya baik, orangnya sosial,” kata dr. Win.
Setelah tertunda sekian lama, pada hari Kamis, 8 Oktober 2009 itu aku bermaksud untuk berobat ke RSIB.
Sebelumnya, pagi itu aku ikut senam terlebih dahulu. Itu adalah senam yang pertama setelah absen cukup lama karena libur lebaran dan kesibukan lain.
Aku mengikuti senam sebisanya dengan kaki yang bermasalah ini. Kabar tentang kakiku yang sakit itu segera tersebar di antara semua peserta senam yang jumlahnya belasan orang itu. Ketika aku menanyakan tempat berobat yang bagus, merekapun segera beramai-ramai memberikan sarannya.
“Dengan dokter itu saja di Sektor IX, belakang Mc D. Bagus lho,” kata seorang bapak.
“Ada juga ahli urut yang bagus sekali. Coba saja ke sana,” kata yang lain.
“Di Bintaro Permai saja, ada dokter yang bagus. Saya dulu juga pernah sakit, nggak bisa jalan. Setelah berobat sama dia, sebulan sembuh.”
“Kalau saya, dulu pernah berobat di Senen. Dokternya pintar.”
“Ngapain ke RSIB. Mahal. Ke RS di Jl. Veteran aja. Dokternya sama, kok. Di sana juga bagus.”
Lalu ada yang berkomentar: “Jangan ke dokter yang itu. Istri saya berobat ke sana, nggak cocok.”
Gimana nggak bingung? Tiba-tiba saja aku dihujani dengan sedemikian banyak saran dan pendapat.
“Aduh nyesel nih gua pake nanya2 mereka,” kataku kepada teman yang akan mengantarku berobat.
“Ya udah, mana yang lu mantep aja. Ga usah dengerin mereka,” katanya.
C o c o k
Sebelum ke dokter, sebaiknya memang kita bertanya dulu ke kiri dan ke kanan. Bukankan ada peribahasa “malu bertanya sesat di jalan”? Tapi terlalu banyak saran akhirnya malah membuat bingung. Apalagi kalau saran itu diberikan oleh orang yang tak betul-betul mengerti kondisi kita. Apalagi kalau pertanyaan kita tidak jelas.
Aku juga percaya bahwa dokter itu “cocok-cocokan” dalam arti bahwa dokter ini mungkin cocok untuk si A, tetapi tidak cocok untuk si B. Atau sebaliknya, di A cocok dengan dokter itu, tetapi si B tidak.
Dalam berobat, kita harus yakin dan mantap dengan dokter-- atau tabib, sinshe, dukun atau entah siapa pun orangnya. Setelah kunjungan pertama, ke dua atau ke sekian, kalau kita tidak yakin atau tidak merasa nyaman karena satu dan lain hal, tak ada salahnya jika kita pindah ke dokter lain. Hanya saja, mungkin kita bakal rugi kalau gonti-ganti dokter karena dokter yang baru tidak memiliki catatan medis kita. Boleh nggak sih catatan medis itu kita foto kopi?
Ada baiknya kalau kita, terutama yang akan berobat dalam jangka waktu panjang, memiliki catatan medis sendiri. Kita sediakan buku khusus yang berisi semua catatan yang berkaitan tentang kondisi kita serta pengobatan yang sudah kita jalani, termasuk semua obat serta hasil pemeriksaan medis. Kalau perlu buku catatan pengeluaran.
Kalau aku sih, nggak punya catatan rapi selengkap itu… Kalau hasil lab atau pemeriksaan medis, memang aku simpan, tetapi ada juga catatan lain yang betebaran dan bon-bon pengeluaran juga berceceran.
Pernah aku mencoba menghitung pengeluaran secara kasar dan menjumlahkannya. Aku tercengang sendiri. OOOhhh, ternyata aku ini sebetulnya kaya raya… Hahahahaa..…. Ya ampun…. Nggak nyangka kalo aku bisa punya duit segitu banyak… Dari mana datangnya rejeki? Kalau mengandalkan gaji, jelas tidak cukup. Tuhan memang baik…
Singkat cerita, akhirnya aku ke RSIB untuk memeriksakan kaki yang sakit.
Dokternya baik dan sabar. Aku mencertakan semua soal penyakitku dan juga menunjukkan hasil bone scan dan rontgen terakhir.
Ia lalu menyimpulkan bahwa rasa sakit yang menyerang pangkal paha disebabkan oleh kanker yang bercokol di tulang selangkangan dan menduga bahwa sakit di lutut diakibatkan oleh pengapuran.
Untuk memastikannya, ia menyuruhku rontgen.
“Kalau di sana sepi dan hasilnya bisa segera diperoleh, saya bisa langsung lihat,” katanya.
Sebelum meninggalkan ruangan, ia menyarankan agar aku membaca buku “The Miracle of Enzym” karya Hiromi Shinya.
“Ini buku bagus, coba ikuti dietnya. Buku ini judulnya dalam bahasa Inggris, tapi isinya bahasa Indonesia. Ada di Gramedia. Harganya 60 atau 80-an ribu,” katanya sambil menuliskan judul buku serta nama penulis pada secarik kertas.
Ketika menunggu giliran untuk rontgen, mendadak aku teringat bahwa besok aku akan membeli obat di Yayasan Kanker Indonesia, tetapi belum punya resepnya.
“Sini gua mintain ke dokter itu,” kata temanku. “Pasti dikasih, kan dia orangnya baik.”
Beberapa menit kemudian ia kembali sambil membawa resep yang kuperlukan.
Proses rontgen, mulai dari menunggu giliran sampai mengambil hasil, ternyata lama sekali karena banyak pasien. Sekitar dua jam baru selesai. Dokter yang baik itu telah meninggalkan ruang praktiknya.
Hasil rontgen menyebutkan bahwa lututku terkena osteoarthritis alias pengapuran yang mengakibatkan nyeri sendi.
Keesokan harinya ketika aku menemui dr. Winarti untuk infus dan suntik, aku menunjukkan hasil rontgen.
“Ini hanya sedikit. Ringan,” katanya.
Untung tidak parah ya?
Ringan saja sakitnya lumayan… Yach.. yang bikin lumayan itu karena ada bonus nyeri di pangkal paha.
Untuk mengatasinya, sementara ini aku minum tablet anti nyeri serta obat suplemen yang mengandung glukosamin dan kondroitin.
Tak ada obat yang dapat menyembuhkan pengapuran. Tetapi latihan yang tepat dapat meningkatkan dan mempertahankan lingkup sendi, menguatkan otot, meningkatkan ketahanan dan fungsi sendi serta meningkatkan kepadatan tulang

Saturday, October 10, 2009

Jalan Santai dari Mal ke Mal

Suka jalan-jalan? Tentu. Apalagi kalau jalan-jalan di mal…
Nah, kebetulan. Hari Minggu, tanggal 18 Oktober 2009, jam 6 – 10 pagi, bakal digelar acara jalan santai alias Fun Walk dari mal ke mal.
Maksudnya itu bukan dari satu mal ke mal yang lain. Tapi berangkat dari mal yang namanya Plaza Semanggi dan kembali ke mal yang sama.
Rutenya: Plaza Semanggi (Lobi Utara) – Polda Metro Jaya – Sudirman – Bunderan Senayan – Ratu Plaza – Atma Jaya – Plaza Semanggi (Lobi Utara).
Tema acara yang dimeriahkan dengan berbagai permainan dan door prize ini adalah “smiles and hope”. Apa maksudnya supaya kita senyum-senyum sambil berharap agar mendapatkan hadiah? Boleh juga kalau mau diartikan begitu.
Tapi sebetulnya kegiatan ini diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran akan kanker payudara. Bukan hal yang kebetulan kalau diadakan Minggu depan karena bulan Oktober memang merupakan breast cancer awareness month alias bulan sadar kanker payudara.
Berbagai kegiatan diadakan di seluruh dunia untuk tujuan yang sama: membuat orang sadar dan waspada akan bahaya kanker payudara dan perlunya deteksi dini serta upaya penanganan dan pencegahannya. Waspada bukan berarti takut setengah mati. Kita tak boleh kehilangan senyum dan harapan.
Memang kanker payudara perlu mendapat perhatian serius. Di Amerika, sekitar 250.000 orang didiagnosa menderita kanker payudara setiap tahunnya. Tak diketahui angka untuk Indonesia, tetapi jelas bahwa kita semua harus waspada.
Acara jalan santai yang bakal berlangsung tgl. 18 Oktober ini diselenggarakan oleh Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta, Yayasan Kanker Indonesia, Reach to Recovery, Yayasan Onkologi Anak Indonesia, Cancer Information and Support Center dan Sports Station. Sponsornya banyak, termasuk Femina.
Pendaftaran dibuka sampai tanggal 16 Oktober dengan biaya Rp 50.000 per orang. Peserta akan mendapatkan kaos Reebok dengan catatan kalau masih ada. Maklum, persediaan terbatas.
Dari biaya tersebut, sebanyak Rp 10.000 akan disumbangkan untuk membantu deteksi dini kanker…
Eeeehhh ralat… ralat… Maap… Maappp… Ternyata aku salah baca. Dalam brosur yang aku peroleh di YKI, terdapat tulisan sbb:
“Donasi Rp 10.000 akan diberikan untuk membantu deteksi dini kanker bagi setiap pembelian produk REEBOK seharga minimal Rp 500.000.”
Hmm…banyak juga ya yang mesti dibelanjakan. Bisa-bisa kantongku jadi ROBEEK.
Nggak belanja nggak apa kok… Yang penting ayo ikutan meramaikannya.
Aku sendiri…. kayaknya ga bisa ikutan… soalnya kaki lagi sakit. Tapi aku dukung 100% melalui tulisan pendek ini.
Tempat pendaftaran:
Reebok Shops di Plaza Indonesia Extension, Plaza Senayan, Supermal Karawati, Mal Puri Indah dan Mal Ciputra.
Sports Station: Wisma BNI 46, Senayan City, Plaza Semanggi, Blok M Plaza, Pluit Village, Supermal Karawaci, Mal Puri Indah, Matahari dept store Taman Anggrek Mal, Pondok Indah Mal, Plaza Cibubur, Depok Mal, Kelapa Gading Mal, Mal Metropolitan dan Kemang.
YKPJ: Tel. 5696 7762
YKI/RR : 315 2603, 3192 7464, 750 7447
YOAI : 5681612
CISC : 530 7662, 532 8149
Untuk informasi lebih lanjut, harap hubungi 0813 1732 6292.

Mau pisang, dok?

Dokter di daerah terpencil kabarnya sering kali dibayar tidak dengan uang oleh pasiennya, melainkan dengan hasil kebun seperti pisang atau singkong.
Bagaimana dengan dokter di Jakarta?
Mau nggak ya mereka dibayar dengan pisang atau singkong? Hehehehe.. Jangan coba-coba datang ke rumah sakit sambil membawa setandan pisang. Bisa-bisa diusir satpam, dikira mau dagang …
Dokter di kota besar itu komersil. Ongkos ke dokter itu mahal, begitu yang sering kita dengar.
Berapa sih tarif dokter di Jakarta?
Tak ada tarif yang pasti. Sangat beragam. Kemarin (Kamis, 8 Oktober 2009) aku memeriksakan kakiku yang sakit ke dr. T. Juwono, dokter spesialis syaraf di Rumah Sakit Internasional Bintaro. Biaya konsultasi Rp 175.000 plus administrasi Rp 25.000. Syukurlah, dokternya baik.
Tadi aku suntik Zoladex dan infus Zometa di tempat lain. Berapa rupiah yang harus aku keluarkan untuk jasa dokter yang menanganiku?
Tak sesen pun. Gretong alias gratis….
Suntik dan infus itu merupakan pengobatan rutin selama lebih dari dua tahun ini, yang aku jalani sedapat mungkin setiap empat minggu. Yang menangani adalah dokter Winarti yang baik hati.
Sejak bu dokter mengetahui bahwa aku harus membanting tulang untuk membeli obat, ia tak pernah mau dibayar. Pasti ia tak sampai hati mendengar tulangku yang sudah kena kanker itu masih harus dibanting-banting.
“Jam 12 pakai Emla cream, ya,” begitu SMS dr. Win, yang akan aku temui pada jam 13:00.
Bu dokter mengingatkan aku untuk mengoleskan krim pada bagian yang akan disuntik. Bagian yang diolesi krim ini akan mati rasa sekitar 1-3 jam kemudian. Jadi ini semacam obat bius, yang diperlukan agar suntikan tak terasa sakit. Maklumlah, jarum suntik Zoladex ukurannya super jumbo, sebesar sedotan Aqua gelas…
Meskipun secara resmi ia adalah dokter umum, dr. Win banyak tahu tentang kanker karena pengalamannya merawat pasien kanker, termasuk ibu dan beberapa sanak familinya serta pejabat tinggi tempat ia bertugas.
Siang itu, dr. Win mengurungkan niatnya untuk menyuntik aku. Ini karena kesalahan teknis dalam mengoleskan krim gara2 salah tempat dan plester penutup bagian yang diolesi kurang rapat. Karena itu krim harus dioles ulang.
“Nggak apa. Nanti suntiknya setelah infus,” katanya dengan sabar.
Kami lalu menuju ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari poliklinik tempat dr. Win bertugas. Infus dilakukan di ruang gawat darurat RS tsb. Meskipun ada dokter jaga di sana, dr. Win tak mau lepas tangan. Ia sendiri yang mengawasi suster menyuntikkan jarum infus ke nadiku dan dengan sabar menunggu sampai seluruh proses berakhir.
"Kita pinjam dapurnya saja. Yang masak ya tetap kita," katanya sambil tersenyum.
Dari RS, kami kembali ke poliklinik dan di sana aku baru disuntik Zoladex.
Kalau pasien di daerah terpencil membayar dokter dengan singkong atau pisang, maka aku memberi dr. Win yang gemar menyelam itu majalah National Geographic Indonesia. Lho, katanya nggak keluar sesen pun. Kan perlu uang buat beli majalah? Nggak tuh.. majalah itu aku dapatkan secara cuma-cuma karena kebetulan aku menjadi salah seorang penerjemah di sana.
Ditengah-tengah banyaknya berita negatif tentang dokter yang terlalu komersil, yang ceroboh, yang pelit informasi dan yang arogan, kehadiran sosok seperti dr. Win merupakan hal yang sangat disyukuri.
Asal tahu aja, banyak juga lho dokter yang baik hati….. Misalnya dr. Kartono Mohamad dan dr. Samsuridjal Djauzi, yang kebetulan pernah aku wawancarai. Selain itu ada juga dr. Alvita yang kisahnya bisa dibaca dalam blog ini . Lalu masih ada dokter yang aku kenal baik … yaitu adik ayahku sendiri…. Bukan nepotisme lhooo … Paman yang sekarang sedang berjuang melawan tumor otak ini memang baik hati.
Contoh konkret dokter yang mulia juga dapat kita dengar dari cerita seorang teman virtualku. Adiknya menderita kanker tulang dan dirawat oleh Prof. Teguh yang kliniknya terletak di daerah Menteng.
Begini katanya:
“... kalau tengah malam sakit banget, dia bisa bangun untuk bantuin kasih suntik atau obat. Dia juga bisa ditelpon dan datang.
“Saya terharu, ternyata ada dokter di Jakarta yang baik banget. Di Singapure kayaknya belum pernah dengar ada dokter seperti itu,” kata teman yang berdomisili di Singapura itu.

Monday, October 5, 2009

Heboh Batik

Kalo ditanya apa kita bangga dengan budaya negeri sendiri, pasti semua beramai-ramai menjawab: yaaaa…. Begitu juga dengan batik, songket, tenun ikat atau kain tradisional lainnya. Pasti banyak yang mengangguk-angguk.
Tapi seberapa sering kita mengenakannya? Berapa banyak koleksi kita? Nah, itu soal lain. Setidaknya, demikianlah yang kualami.
Aku turut gembira karena UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya Indonesia, bukan negara lain seperti Malaysia yang hobi ngeklaim ini dan itu sehingga ada yang memlesetkannya menjadi Malyngsia.
Ketika aku membaca email dari HRD kantor yang menghimbau agar kita semua memakai batik pada Jumat, 2 Oktober 2009, aku menyambut baik. Tapi eh, tunggu dulu, aku cuma punya satu baju batik… Bukan batik mahal, tapi kayaknya sayang kalo dipake ngantor… Ada juga saputangan batik yang aku buat waktu kursus di Museum Tekstil. Kalo lagi santai di rumah, aku juga suka pake celana pendek batik . Tapi… himbauannya kan memakai baju batik bukan saputangan batik.. apalagi celana pendek batik… Hmmm.. kayaknya aku perlu beli baju batik nih…
Dasar pikun, hari Kamis sore aku baru ingat rencana itu. Tak mungkin pulang kantor berburu batik, pasti toko2 sudah pada tutup karena jam kerjaku yang tidak biasa. Satu-satunya harapan adalah pasar Palmerah yang letaknya tak jauh dari kantor. Buru-buru aku ke sana. Ada sih batik, tetapi sayang, tak ada yang berkenan di hati.
Jumat pagi, aku lari ke ITC BSD. Larinya pake mobil…. Nggak pake sepatu kets.
Mula2 aku ke lantai 2, lalu ke lantai 1. Semua toko yang menjual batik aku jelajahi. Hasilnya kurang memuaskan.
“Kemarin banyak yang nyari batik. Yang ada tinggal ini. Ini juga stok sisa Lebaran,” kata si Mbak penjaga kios.
Di lantai 3, di sebuah toko yang sebagian besar dagangannya adalah kebaya, aku melihat ada beberapa potong baju batik. Salah satunya sangat unik. Seumur hidup belum pernah aku melihat baju seperti itu. Modelnya sederhana, tapi motifnya ramai. Pakai aksara Jawa segala…
Akhirnya aku beli juga. Bagian depan dekat krahnya jatuhnya kurang bagus, agak terbuka. Aku akalin aja pake button (pin) biar rapet.
Singkat cerita, jadilah aku berbatik ria ke kantor.
Sore-sore telepon di meja berdering.
“Mbak ini dari bagian foto. Ntar mbak mau difoto.”
Hah..??? Sebegitu mempesonanyakah diriku dengan baju batik ini? Darimana dia tau kalo aku pake batik unik ini?
Rupanya fotoku diperlukan untuk menemani tulisanku tentang undang-undang rumah sakit yang besok akan dimuat di koran. Ini baru pertama kalinya lho fotoku masuk koran.
Pasti karena baju batikku yang unik….Hehehhee.. GeEr…! Padahal di koran, batiknya nggak kelihatan.

Thursday, October 1, 2009

New hospital law should not be paper tiger

Horeee….. Ada kabar gembira. Kita sekarang memiliki undang-undang mengenai rumah sakit yang berpihak pada pasien.
UU ini mewajibkan tenaga kesehatan memberikan informasi mengenai jenis tindakan pelayanan kesehatan yang diberikan beserta efek dan besaran biayanya. Pengaturan pola tarif akan dilakukan dengan memerhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan mutu pelayanan rumah sakit.
Setelah mengendap selama tiga tahun di DPR, perangkat hukum ini akhirnya disahkan pada hari Senin (28 Sep. 2009), beberapa bulan setelah mencuatnya kasus Prita Mulyasari yang menghebohkan. Prita dijebloskan ke tahanan menyusul pengaduan RS Omni Internasional yang geram gara-gara beredarnya email Prita di dunia maya perihal layanan buruk yang ia alami ketika menjadi pasien di RS tsb.
Layanan medis yang buruk bukanlah hal yang luar biasa. Sering kita mendengar keluhan pasien tentang berbagai masalah, mulai dari komersialisasi layanan medis dan kurangnya komunikasi antara pasien dan dokter sampai salah diagnosa dan bahkan malpraktik.
Akibatnya, banyak pasien yang terpaksa berobat ke luar negeri, terutama Singapura, Malaysia dan Cina.
Aku sendiri mempunyai pengalaman buruk dengan tenaga medis di Jakarta. Pernah menjadi korban penipuan suster ketika akan menjalani kemoterapi. Pernah juga kesal karena sikap dokter yang kasar.
Tapi yang membuatku sampai memutuskan untuk berobat ke Singapura adalah ketika dokter menyuruhku memakai “brace” yang sangat menyakitkan setelah diketahui bahwa kanker mulai menggerogoti tulangku. Brace berkerangka besi harus dipakai selama tiga bulan untuk menopang punggung dan tak boleh dilepas kecuali kalau mandi atau tidur.
Aduuuuhhhh… sakitnya minta ampun. Baru 3 jam saja sudah sakit, apalagi 3 bulan. Ampun deh, ampun. Nyerah…
Ceritanya belum selesai nih. Pengalaman buruk kembali aku alami akhir bulan Agustus kemarin. Karena tumor marker yang tinggi, dokter menyuruhku CT scan. Kali ini aku memilih untuk CT scan di RS PIK yang kabarnya memiliki alat yang sangat canggih.
Hasil CT scan mengejutkan. Dokter spesialis radiologi mengatakan bahwa ada penebalan di dinding paru-paru dan menduga bahwa itu adalah metastasis awal. Kesimpulan itu diambil karena ada bintik-bintik di sekitar paru-paru.
Malam itu juga aku mengirim email untuk bu dokter di Singapura, yang kemudian meminta aku datang dengan membawa hasil CT scan tsb dan juga hasil CT scan sebelumnya untuk dibandingkan.
Ketika aku menemuinya, bu dokter menyampaikan kabar yang melegakan.
“Tak ada penyebaran di paru-paru,” katanya.
Ia lalu membentangkan hasil CT scan yang baru dan yang sebelumnya dan memperlihatkan bahwa bintik-bintik itu juga ada dalam hasil CT scan yang lama, yang aku jalani pada bulan Maret tahun ini di RS Pluit. Dibandingkan dengan yang lama, justru bintik-bintik itu sekarang tampak lebih terang, yang berarti “lebih baik”.
Dokter radiologi di RS PIK sama sekali tidak membandingkannya dengan hasil CT scan yang lama, padahal hasil CT scan yang lama aku sertakan ketika menjalani CT scan di sana pada akhir bulan Agustus.
Soal alat, tak diragukan. Memang canggih.Tapi sayang hal itu tak diimbangi dengan kemampuan untuk membaca hasilnya dengan baik. Bahkan yang terjadi adalah kecerobohan. Seandainya dokter specialis radiologi itu mau membandingkannya dengan hasil yang sebelumnya, paling tidak tentu ia tak akan secepat itu mengambil kesimpulan yang sempat membuatku kalang kabut.
“Kamu bisa menuntut rumah sakit itu,” komentar seorang teman.
Bagus juga ya, idenya, menuntut dan minta ganti rugi milyaran rupiah. Kalau dikabulkan, uangnya bisa untuk biaya pengobatan. RS juga akan lebih berhati-hati.
Tapi proses hukum sangat melelahkan. Selain itu, biarpun kita berada pada pihak yang benar, belum tentu kita menang. Yach.. tau sendirilah betapa bobroknya penegak hukum negeri ini.
“Jangan sampai ditahan seperti Prita,” kata teman yang lain.
Kita sudah memiliki UU mengenai rumah sakit. Menurut UU itu, pasien bebas berkeluh kesah ke media masa jika merasa kurang nyaman dengan layanan RS. Pihak RS juga dituntut untuk selalu memperhatikan kualitas layanan dan profesionalisme karena akan ada kewajiban audit medis dan kinerja secara berkala.
Di atas kertas, undang-undang itu bagus. Tapi tak ada gunanya jika tidak ditegakkan.
Kalau dilaksanakan dengan konsisten, alangkah indahnya. Pasien akan merasa lebih tenang dan terhindar dari berbagai persoalan terkait dengan komersialisasi layanan medis, layanan yang buruk, kurangnya profesionalisme dll. Jika mereka merasa nyaman, tentu mereka juga tak akan jauh-jauh berobat ke Singapura. Dengan demikian, rumah sakit lokal juga akan diuntungkan.

Tuesday, September 29, 2009

Alvita: Kebahagiaan adalah Pilihan

Mati lampu yang menyebalkan itu ternyata bisa disyukuri juga, lho. Gara-gara mati lampu, si kecil Alvita jadi ketahuan menderita kanker.
Alvita sedang merayakan ulang tahunnya yang pertama pada tahun 1984 ketika listrik tiba-tiba padam. Dalam kegelapan, mata kirinya bersinar seperti mata kucing.
Bagaimana bisa? Orang tua Alvita adalah manusia biasa, bukan manusia harimau...
Ayah Alvita yang kebetulan seorang dokter di Jawa Tengah tahu kalau itu adalah suatu kelainan yang perlu diwaspadai.
Ia segera membawanya ke dokter spesialis mata yang memberikan diagnosa bahwa Alvita menderita retinoblastoma, yaitu tumor ganas di mata kiri. Dokter menganjurkan agar segera dilakukan operasi pengangkatan mata untuk mengantisipasi penyebaran kanker ke bagian tubuh lainnya.
Alvita pun segera dibawa ke RS Mata Aini di Jakarta. Operasi.berjalan lancar meskipun suasana sempat diliputi rasa khawatir dan hujan air mata.
Kehilangan satu mata sempat membuat Alvita minder karena ejekan teman di SD tapi rasa rendah diri segera sirna berkat dukungan kedua orangtua yang sangat menyayanginya. Alvita pun bertekad untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter dan juga penulis.
”Jika seseorang sukses dengan segala kelebihan, kepintaran dan kekayaan itu biasa tetapi bila seseorang sukses dengan segala kekurangan , kelemahan bahkan kesederhanaan itu baru dinamakan luar biasa,” begitu mereka berkata untuk menguatkan Alvita.
Semuanya kelihatan baik-baik saja sampai ia menginjak usia 16 tahun. Ia merasakan nyeri pada kaki kiri akibat jatuh dan terkilir. Rasa sakit tak kunjung hilang hingga hampir setahun lamanya. Bahkan nyeri itu kian menghebat, kaki membengkak, kulit kemerahan dan terasa panas.
Ternyata Alvita didiagnosa menderita kanker yang disebut Limfoma non Hodgkins stadium 3.
“Kanker pertama merupakan misteri tapi kanker kedua merupakan bencana buat saya,” kata Alvita dengan berurai air mata.
Orangtua Alvita lalu membawanya ke Singapura untuk mencari second opinion. Berbagai pemeriksaan menghasilkan berbagai diagnosa yang berbeda. Melalui operasi tulang, muncul dugaan bahwa ia menderita primitive neuroectodermal tumour (PNET) stadium 3 meskipun dokter tak yakin sepenuhnya.
Di tengah pergulatan emosi yang sempat membuat ia marah pada Tuhan, Alvita menjalani kemoterapi sebanyak 6 kali di Singapura. Efek sampingan dari kemoterapi segera tampak. Timbul rasa nyeri, mual, lemah dan rambut berguguran.
Dalam penderitaan itu Alvita mendapatkan semangat hidupnya kembali melalui sapaan dengan seorang ibu yang sangat tegar meskipun anak perempuannya yang berusia 3 tahun terkena kanker otak. “Gadis kecil, jangan bersedih, Tuhan selalu bersamamu,” katanya. “Jangan kuatir... berjuanglah!”
Saat ia tengah didera rasa sakit yang membuatnya berguling-guling sambil berteriak kesakitan: “Mama.. panas.. mama... sakit...”, tiba-tiba seorang perempuan datang, memeluk dan mendoakannya. Ia juga membawa biji-bijian (barley) yang kemudian direbus dan airnya diminum Alvita.
“Entah kenapa tiba-tiba saya menjadi tenang. Kemudian saya meminum obat rebusan dan menjadi tertidur,” kata Alvita.
Sampai sekarang ia tak pernah melihat kedua perempuan yang baik hati itu. Pasti mereka adalah malaikat, ya?
Setelah kemoterapi, Alvita juga harus menjalani radioterapi sebanyak 30 kali di Jakarta dan 40 kali di Semarang.
Bagaiman keadaannya sekarang?
Alvita yang nama lengkapnya adalah Alvita Dewi Siswoyo sudah berhasil menjadi dokter dan kini sedang mengambil program pendidikan dokter spesialis.
Ia juga tengah menyelesaikan bukunya yang pertama. Judulnya Aku Mau Sembuh.
Berikut cuplikan buku Alvita yang menolak disebut sebagai korban kanker.
”Saya adalah seorang pejuang kanker! Ada banyak hikmah kehidupan yang saya dapatkan ketika saya berjuang melawan kanker. Pada saat saya mendekati kematianlah, saya baru dapat lebih mengerti dan mensyukuri tentang arti kehidupan. Hidup bukanlah untuk menjalani hari tapi hidup untuk memberi arti. Belajarlah menghargai dan mensyukuri hal-hal kecil (termasuk orang-orang disekeliling) dalam hidup Anda karena disitulah terpendam harta karun kebahagiaan Anda,” katanya.
”Kebahagiaan bukanlah ditentukan oleh keadaan, tetapi merupakan suatu pilihan. Pilihan kita untuk menjadi seorang ’korban’ dari keadaan dengan selalu mengasihani diri kita atau kita memilih menjadi seorang ‘pejuang’ melawan keadaan.
”Jangan hanya melihat suatu peristiwa dari baik- buruknya keadaannya namun petiklah hikmah dan makna yang terkandung didalamnya. Tetaplah semangat dan bergembira, nikmatilah hidup Anda seakan-akan hari ini hari terakhirmu didunia ! Dalam nasib yang paling buruk terdapat peluang terbaik bagi perubahan yang membahagiakan.”