Thursday, June 19, 2008

Halo pasien, di sini suster

Ada rumah sakit di London yang mempunyai layanan baru untuk pasien kanker berupa nasehat dan informasi cuma-cuma melalui telepon.

Layanan yang diluncurkan hari Jumat (23 Mei 2008) ini diperuntukkan bagi penderita kanker payudara dan prostat yang telah menjalani pengobatan di Guy's Hospital dan St Thomas' Hospital. Tujuannya adalah membantu mereka pada masa transisi dari “pasien” menjadi “penyintas” (survivor).

Melalui layanan bernama Surviving Cancer – Living Life ini, suster khusus kanker yang merupakan tenaga medis profesional, siap memberi dukungan bagi pasien berkenaan dengan aspek spesifik pengobatan mereka atau hal-hal lain terkait soal kesehatan.

Suster akan menghubungi pasien melalui telepon pada jam yang telah ditentukan. Tetapi pasien juga dapat menghubungi mereka jika memerlukan dukungan ekstra.

Program ini sesuai dengan Strategi Reformasi Kanker yang belum lama ini dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan.

Prof. Arnie Purushotham, konsultan kanker payudara dari Guy's dan St Thomas' berkata: "Layanan ini akan memberdayakan pasien dalam pemulihan kondisi mereka sendiri dan, sedapat mungkin, membantu mereka untuk kembali menjalani hidup secara normal.”

Kapan layanan seperti ini tersedia di Indonesia?

Tulisan lengkap;
http://www.medicalnewstoday.com/articles/108601.php

Obat Kanker bikin Kantong Kering

Harga berbagai macam barang dan jasa, termasuk obat, kian mahal saja. Ketoprak yg tadinya sepiring Rp 4.000 sekarang Rp 5.000. Biasanya tambah angin ban mobil hanya Rp 1.000 per ban. Tapi bulan kemarin eh…. naik jadi Rp 1.500. Katanya sih itu karena kenaikan harga BBM…..
Tiga bulan yang lalu harga Zoladex 10.8 mg = Rp 3.735.000. Kemarin Pak Didit dari Apotek Prima memberi harga Rp 3.920.000. Setelah ditawar, akhirnya harga turun menjadi Rp 3.826.500.
Harga Zometa 4mg yang tadinya Rp 3.275.000, sekarang naik menjadi Rp 3.435.000. Tetapi Pak Didit memberiku harga lama karena sudah langganan… (langganan kok langganan beli obat, coba langganan ke salon atau langganan makan bakso gitu ya…..).
Tapi lumayan. Soalnya di tempat lain, harganya labih tinggi. Apotik RS Dharmais, misalnya. Tadi aku telepon dan mendapat informasi bahwa harga Zometa = Rp 3.626.000 dan Zoladex Rp 4.016.500.
Aromasin yang dulu aku beli di Apotik Grogol(bukan RSJ Grogol lho) seharga Rp 1.1668.000 per dos (isi 30 tablet) , sekarang menjadi Rp 1.750.000. Kalau di RS Dharmais, harganya Rp 67.500 per tablet.
Harga di tempat lain mungkin bisa saja lebih mahal karena memang HET-nya juga tinggi. Misalnya, di dos Aromasin tertulis HET = Rp 2.084.074. Zoladex = Rp 4.666.420, dan Zometa = Rp 4.188.000. Soal HET ( oh ya.. HET = Harga Eceran Tertinggi, bagi yg belum tau…) ini diatur dalam Keputusan Menkes No.069/Menkes/SK/II/2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang kewajiban mencantumkan HET pada label obat yang berlaku efektif 7 Agustus 2006. SK Menkes itu menetapkan bahwa HET sebagai harga jual apotek, rumah sakit serta layanan kesehatan lainnya dirumuskan HET=harga netto apotek+PPN 10 persen+margin apotek 25 persen.

Semakin tinggi harga obat, semakin besar untungnya … Tapi untuk pasien, semakin mahal obat, semakin kering kantongnya.

Apotik Prima – Kelapa Gading, Telp 70323278
Apotik Grogol- 567 1357
RS Dharmais – 568 1570
- Apotik Prima dan Apotik Grogol menyediakan layanan antar obat tanpa biaya tambahan.

Wednesday, June 11, 2008

Will you go to Spore to remove warts?

Warts are ugly and annoying, but do you need to go as far as Singapore to remove them?
That was a question asked up by Vice President Jusuf Kalla at a seminar held by the Indonesian Medical Association to observe the 100th National Awakening Day in Jakarta last week.
He had to have been joking. Well, in a way he was, but he was actually talking about a very serious matter: the need for Indonesian doctors to improve their services to build patients' trust. "I am sure it is not because of different brains (between Indonesian and Singaporean doctors)," Kalla said, commenting on the fact that many Indonesians seek health care abroad.
He then called on Indonesian doctors to put a smile on their faces, treat patients in a friendly manner and learn to communicate better with them.
"When it comes to smiles, we lose," he said, referring to the hospitality of Singaporean medical providers.
Five percent of rich patients in Indonesia prefer to go to Singapore, according to the Vice President.
It is not a new phenomenon. It was reported that Indonesians -- mostly high-ranking government officials and businessmen -- started to seek medical care in Singapore in the 1970s following the country's oil boom.
Indonesia, indeed, is the biggest market for Singapore tourism, and apparently the highest number of medical travelers also comes from Indonesia.
More than 400,000 foreigners sought health services in Singapore last year. They were part of the 10.3 million people visiting the country, mostly from Indonesia (1,956,000), followed by China (1,114,000), Australia (768,000), India (749,000) and Malaysia (646,000).
Singapore, with a population of 4.5 million, had about 6,500 doctors in 2004, according to Britannica Online Encyclopedia.
As for Indonesia, the medical association said last year there were about 50,000 general practitioners and 20,000 specialists in the country, while the population reached more than 220 million people.
Indonesia definitely has many good physicians. But there are also many who fail to perform well in their jobs. The shortage of doctors might be a contributing factor that affects the quality of medical services in Indonesia. This is aggravated by complaints from patients about the lack of compassion among doctors and other medical workers, as well as health care commercialism.
There is no guarantee that patients who receive medical treatment abroad will be cured. But professional health care offered by Singapore builds hope in patients' hearts while medical providers do their best to make Indonesians feel "at home". Many of them have Indonesian or Indonesian-speaking doctors and medical staff, and their international patient centers are ready to help patients with services that include appointments for specialist consultations, accommodation, travel planning, translation and airport transfer.
Some even have representatives in Indonesia. The Raffles Hospital, for example, has offices in Jakarta, Semarang, Yogyakarta and Makassar. Mount Elizabeth Hospital's Parkway Cancer Center has information centers in 17 cities in Indonesia, including Jakarta, Bali and Medan.
Dieta Setiabudi, marketing specialist for oncology at the cancer center, said that before patients go to Singapore, they could ask doctors for advice on cost estimates as well as the expected length of stay in Singapore.
Most importantly, patients can make sure that they receive proper attention from the doctors.
"Our focus is on the patient and not the disease ...; and always remembering to treat every cancer patient with dignity," Dieta quoted the center's medical director, Dr. Ang Peng Tiam, as saying.
Singapore has 13 private hospitals, 10 government hospitals and several specialist groups, which all welcome foreign patients warmly.
The National University Hospital has a cancer center that is especially dedicated to foreign patients. At this center, located on the eight floor of the Kent Ridge Wing, now and then you will hear patients chatting in Indonesian in the comfortable spacious waiting lounges.
Indeed, patients are indulged with comfort. In addition to sweets, magazines and newspapers, there is a machine in a corner that allows patients and their family or friends to enjoy hot chocolate, teh tarik or other drinks at any time.
With its professional health care and friendly service, Singapore hopes to attract one million medical travelers in 2012.
Forget about last week's fuel price hike that rocked Indonesia. Even though it has resulted in the weakening of the rupiah against the Singaporean dollar, this will apparently have no impact on medical tourism.
Currently, medical travelers are seeking a wide range of health-care services, from basic screening and wellness services, to cosmetic and commoditized surgeries to high-end surgical procedures and cancer care, according to Singapore Medicine.
If Indonesian doctors do not follow Kalla's advice and Singapore persists with its determination to meet its target in medical tourism, maybe one day there will be people traveling to Singapore simply to remove their warts.



The Jakarta Post, Friday, May 30, 2008
T.Sima Gunawan, Contributor, Jakarta

Nadi Halus, Infus tak Mulus

Halus tidak selalu bagus. Contohnya mahluk halus. Atau urat nadi di tangan kriku ini. Saking halusnya, maka tenaga medis terkadang kesulitan waktu akan mengambil darah, terlebih lagi waktu akan memasukkan obat melalui pembuluh darah.
Tak jarang mereka harus menyuntik sampai dua atau bahkan tiga kali sebelum akhirnya jarum menembus dengan sempurna.
Dalam setahun terakhir ini aku sudah ditusuk banyaaaak kali. Mungkin ada 50 kali, termasuk suntikan yang gagal. Suntikan itu untuk:
-infus Zometa (penguat tulang) sebulan sekali
-suntikan hormon dengan Zoladex tiga bulan sekali
-pengambilan darah untuk lab test minimal 3 bulan sekali
-suntikan untuk memasukkan obat sebelum CT scan, PET scan dan bone scan
Dr. Win yang biasa menginfusku bercerita kalau pasiennya yang berurat nadi teramat halus terpaksa dilubangi pada bagian atas dadanya untuk memudahkan pemberian infus melalui pembuluh darah.
“Setelah infus selasai, lubangnya ditutup kembali,” katanya.
Wah, kedengarannya kok serem sekali.
Kalau terpaksa, bisa juga sih diinfus melalui kaki. Tapi yang paling ideal adalah melalui tangan, mungkin karena lebih dekat dengan jantung yang berfungsi sebagai tukang pompa darah ya?
Urat nadi atau pembuluh darah di tangan kananku sebetulnya lebih besar, tetapi karena aku pernah menjalani mastektomi pada bagian kanan, maka jaringan pembuluh darah di sebelah kanan tidak terlalu bagus.
Kalau otot kan bisa tuh dibesarkan dengan latihan angkat beban seperti yang dilakukan Ade Ray. Nah, siapa tahu urat nadi yang halus bisa dilatih sehingga menjadi lebih besar dan menonjol?
Waktu ke Batam 2 bulan yll aku beli hand grip seharga Rp 75.000 di ACE hardware yang pas baru dibuka. Hand grip ini aku taruh di mobil dan kalau lagi macet, aku suka melatih otot tangan dengan alat ini. Sehari seratus kali atau lebih (itu kalau rajin).
Kemarin (Senin, 9 Juni 2008) aku ke tempat praktek dr. Win di daerah Senen, Jakarta Pusat, untuk suntik hormon dan infus.
Aku tunjukkan tanganku, tapi menurut dr. Win, tak ada perubahan dengan urat nadiku.
“Ini sih bawaan. Kalau mau latihan juga mesti bertahun-tahun,” katanya.
Wah… nggak bisa ya dok.
Suster yang akan memasang jarum infus bukan suster yang biasa menanganiku. Tetapi ia sudah berpengalaman selama 8 tahun di RS. Dengan pengawasan dr. Win, ia menyiapkan jarum infus. (lihat gambar)
Sebelum ditusuk, seperti biasa tanganku digerak-gerakkan dahulu, dan ditepuk-tepuk, pergelangan tangan juga diikat. Dengan harapan agar urat nadi yang menjadi sasaran, yaitu urat nadi di bagian atas telapak tangan, dekat jari manis, menjadi kelihatan menonjol.
Suntikan pertama, gagal.
“Wah, nggak bisa, nggak jalan,” kata dr. Win. Yang nggak jalan adalah cairan infusnya, bukan jarumnya.
Lalu sasaran dialihkan ke urat nadi dekat jempol.
“Maaf ya,” kata suster dengan sopan sebelum menusukkan jarum.
“Sakit?” tanya dokter ketika jarum sudah masuk.
Yach, begitulah, sakit sedikit. Tapi tak apa. Yang penting jarum bisa menembus urat nadi dengan sempurna. Aku sendiri selama ditusuk selalu membuang pandangan ke tempat lain, ngeri melihat prosesnya.
“Stop. Stop,” terdengar suara bu dokter. “Tidak bisa, ini bengkak.”
Aku melihat urat nadiku yang ditusuk, memang bengkak sedikit. Jarum segera dicabut. Bekas tusukan ditekan kuat-kuat agar darah tak mengalir, dan diplester.
Suster lalu memeriksa lenganku, di bagian tekukan siku. Dipijit-pijit dan ditepuk-tepuk. Tapi tak kelihatan urat nadi yang menonjol.
“Tidak bisa, lain kali saja. Nanti saya hubungi Suster Tum,” kata dr. Win.
Suster Tum memang biasa menanganiku, tapi suster ini sibuk bekerja di RS yang cukup jauh jaraknya dari tempat dokter berpraktek dan seringkali ia datang dengan tergopoh-gopoh.
Oh ya, untuk suntikan hormon Zoladex tidak ada masalah karena obat tidak dimasukkan melalui pembuluh darah.
Untunglah… Nggak kebayang deh kalau harus memasukkannya melalui pembuluh darah, wong jarumnya aja segede batang korek api… !

Saturday, June 7, 2008

"Keajaiban" buah merah

Merah itu berani. Begitu kata bu guru ketika menjelaskan tentang arti warna merah dan putih bendera kebangsaan Indonesia. Merah yang satu ini juga berani. Berani melawan kanker, begitu kata orang.
Apa lagi kalau bukan buah merah asal Papua yang sempat membuat heboh karena dikabarkan memiliki khasiat luar biasa untuk menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk kanker.
Akhir pekan lalu dalam perjalanan ke Bintan via Batam, aku mendapatkan cerita tentang "keajaiban" buah merah dari Tika. Saat Garuda terbang tinggi Tika menuturkan kisah nyata yang mencengangkan.
Ibu Tika yang tinggal di Klaten, Jawa Tengah, mempunyai keluhan pada matanya. Terjadi pembengkakan di sekitar mata yang kian lama kian membesar. Secara fisik, keadaan itu tampak menakutkan.
“Kalau ibu bicara, matanya kayak keluar masuk,” kata Tika.
Sekitar bulan Oktober tahun 2004, Ibu Tika diperiksa di RS Kanker Dharmais. "Dokter mengatakan bahwa ibu harus dioperasi saat itu juga.” Karena takut, ibu Tika tidak bersedia dioperasi dan memilih pengobatan alternatif.
Mula-mula ibu Tika pernah berobat di Jogja dan mencoba mengkonsumsi obat ramuan daun mahkota dewa yang juga diyakini manjur untuk melawan tumor atau kanker. Tapi ternyata tidak cocok karena penyakit ibu Tika menyerang mata.
Pilihan berikutnya jatuh pada buah merah. "Waktu itu banyak cerita tentang buah merah yang berkhasiat untukmenyembuhkan kanker,” kata Tika.
Sari buah merah ternyata sulit didapat. Mungkin karena permintaan pasar yang sangat tinggi menyusul gencarnya pemberitaan tentang buah merah sementara pasokan terbatas.
Tapi Tika tak kurang akal. Sebagai wartawan yang pandai bergaul, Tika banyak mengenal para petinggi. Salah satunya adalah Doddy yang ketika itu menjabat sebagai kapolda Papua. Dari Doddy, Tika berhasil mendapatkannya.
Ibu Tika minum empat botol sari buah merah dan hasilnya luar biasa. Dalam waktu setahun, kondisinya pulih..
Selain obat merah, ibu Tika juga pernah minum jamu dari “orang pintar” di Bandung atas saran kenalan Tika yg mantan orang kuat di Riau, Hoezrin Hoed.
“Di samping itu ibu juga menjalani pengobatan tusuk jari alias acupressure supaya tenang,” ia menambahkan. Bagaimana keadaan ibu Tika sekarang ini?
“Baik-baik saja,” kata Tika.
Ketika ditanya apakah sudah diperiksakan kembali ke RS Dharmais atau ke dokter lain, Tika segera menggelengkan kepala.
“Nggak ah, takut….”