Thursday, March 19, 2009

Hebat vs Nekad

Orang Indonesia itu hebat. Atau nekad tepatnya.
Mereka berani mengambil resiko. Ya, bagus sih, memang orang harus berani mengambil resiko kalau ingin sukses dalam bisnis.
Jelas-jelas tertulis di bungkus rokok, bahwa merokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, termasuk kanker. Semua orang tahu. Tapi kenapa berjuta-juta orang Indonesia tetap merokok?
Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memang gudangnya perokok. Karena rokok jugalah maka nama Indonesia menjadi “harum”.
Setidaknya ada lima orang Indonesia yang masuk dalam jajaran 1.000 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes yang terbit bulan Maret 2009 ini.
Urutan pertama diduduki oleh Bill Gates dengan Microsoft-nya yang memiliki kekayaan sebesar US$ 40 milyar.
Dari Indonesia ada Michael Hartono dan R Budi Hartono, pemilik grup Djarum. Mereka berada pada peringkat ke-430 dengan kekayaan US$ 1.7 milyar. Selain itu tercantum nama Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Martua Sitorus (Wilmar International) dan Peter Sondakh (grup Rajawali), yang masing-masing memiliki kekayaan US$ 1.6 milyar, US$ 1.4 milyar dan US$ 1 milyar.
Hebat. Grup Djarum yang awalnya hanya memproduksi rokok di tahun 1951 di Kudus, kota kecil di Jateng, kini merambah berbagai bidang termasuk bank dan properti.
Proyek properti yang menonjol adalah Grand Indonesia di Jakarta. Dalam perbankan, grup ini memilki hampir separuh saham BCA, bank kedua terbesar di Indonesia (setelah bank Mandiri) dengan aset Rp 209 triliun tahun 2008.
Meskipun begitu, rokok tetap menjadi bisnis andalan. Tahun lalu majalah Tempo menyebutkan bahwa sekitar 50 persen penghasilan grup Djarum didapat dari rokok.
Rokok. Ah, rokok.
Sementara di negara maju jumlah perokok semakin menurun, di negara berkembang seperti Indonesia, jumlahnya semakin bertambah.
Data WHO yang dilansir beberapa tahun yang lalu menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen perokok ada di negara berkembang. Indonesia disebut sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar ke tiga di dunia setelah Cina dan India.
Survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan tahun 2003 menyebutkan bahwa jumlah perokok di Indonesia mencapai 69 juta orang. Angka itu tampaknya terus meningkat.
Dalam penelitian lain antara tahun 2001-2004, diketahui bahwa jumlah perokok pemula naik dari 0.4 persen menjadi 2.8 persen.
Anak-anak muda senang merokok karena sifat dasar mereka yang memang senang mencoba. Tapi selain itu, yang mendorong mereka merokok adalah iklan rokok yang tersebar di mana-mana, terutama di televisi, yang memberikan gambaran bahwa merokok itu “cool”, keren abis. Perokok adalah jagoan, pahlawan dan kreatif.
Beberapa daerah, termasuk Jakarta, mengeluarkan larangan merokok di tempat umum. Tapi peraturan itu belum berjalan.
Merokok memang hak asasi manusia. Tapi kalau merugikan orang lain, itu soal lain. Hanya sekitar 25 persen asap yang keluar dihisap oleh perokok, selebihnya menjadi beban perokok pasif.
Kebanyakan perokok berasal dari kalangan ekonomi lemah. Mungkin mereka merokok untuk mengurangi stres karena tekanan ekonomi. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah uang yang dihabiskan untuk membeli rokok justru menambah beban eonomi?
Pendidikan kelihatannya memegang peran dalam hal rokok-merokok ini. Penduduk miskin cenderung berpendidikan rendah sehingga kesadaran mereka akan bahaya rokok juga rendah.
Tapi.. tunggu dulu..! Banyak orang berpendidikan tinggi juga merokok. Merokok tak ada hubungannya dengan pendidikan. Tak mungkin mereka tak tahu bahwa merokok tidak baik bagi kesehatan. Meskipun mereka tahu, tetap saja mereka merokok karena mereka tak merasakan dampaknya dengan seketika. Yach, paling-paling batuk-batuk kalau baru pertama kali merokok. Tapi bahaya yang lebih serius baru muncul setelah sekian lama.
Memang kita cenderung berpikiran pendek. Yang penting sekarang merasa nikmat merokok. Dampak buruk di masa mendatang bukan merupakan hal yang ditakuti.
Ini juga sama halnya dengan dampak lingkungan. Orang cuek mencemari lingkungan, misalnya dengan penggunaan plastik yang berlebihan, karena dampaknya juga tak segera terasa. Di negara tertentu toko-toko tak lagi memberikan kantong plastik secara gratis. Tapi di sini, setiap kali kita belanja, mulai dari warung di pinggir jalan sampai ke shopping mall yang megah, budaya plastik tetap melekat.
Kembali ke soal rokok. Banyak perokok yang mengaku ingin berhenti tetapi tidak bisa karena sudah kecanduan. Sori yach, tapi menurutku, itu alasan basi.
Kalau kita mau, pasti bisa kok.
“Dulu aku perokok berat, tapi berhenti karena cewe yang aku suka nggak mau punya pacar perokok,” kata seorang teman.
Tuh kan. Kalau motivasi kuat. Pasti bisa. Ini baru namanya hebat!
Been that. Done that. I used to smoke (albeit not much) but quit totally after I was detected to have cancer. So, if you are a smoker, you'd better put out your cigarette before it is too late. I am serious. I am not saying that if you don't smoke you will be free from cancer from the rest of your life. This will reduce the risk of having cancer.
But if more and more people stop smoking, how about the cigarrette industry? How about hundreds of thousands of people who work in that industry? Many factories will close down and the unemployement rate will increase.
Maybe many people will lose their job, but maybe not. People who run the cigarette industry must be tough and smart businessmen. They are “hebat” (and some are also “nekad”). They can find a way to invest their money to open a new business, a different one, which can also absorb labor intensively. At the beginning it must be painful, but well... No pain, no gain...
Sementara itu pemerintah juga harus menaikkan cukai rokok. Taxation on cigarette in Indonesia is among the lowest in the world. It's only 37 %, much lower than India (72%), Thailand (63%) and even China (40%) and Vietnam (45%). With more revenue generated from this industry, the government should be able to make greater efforts to empower the cigarette company workers, providing them with lifeskill training or capital to run small businesses. Hopefully they will be able to make more money and lead a better and better life. (Not necessarily become as wealthy as those in Forbes' story.)



3 comments:

Pucca said...

setuju sim! gua juga gak suka deket2 orang merokok. asepnya itu loh mengganggu. semoga makin banyak orang sadar aka kesehatannya sendiri.

T Sima Gunawan said...

iya, mudah2an mereka sadar ya, jadi lebih sehat dan nggak bikin orang disekitarnya jadi perokok pasif.

obat kanker said...

saya juga setuju....memang harus ada tekad yang nekad untuk berhenti merokok