Monday, November 5, 2007
Cheating Nurse (Tertipu)
Sudah jelas kemoterapi bukan hal yang menyenangkan. Apalagi kalau ditambah dengan layanan yang buruk, seperti yang aku alami.
Sebulan setelah operasi mastektomi, aku harus menjalani kemoterapi selama 6 kali. Untuk kemo yang pertama, dokter mengharuskan aku menginap di rumah sakit dengan alasan khawatir akan akibat sampingan negatif yang ditimbulkan.
Aku memilih kelas III di RS MMC dan membeli obat dari Yayasan Kanker Indonesia yang memberikan harga jauh dibawah harga pasaran. Pihak Rumah Sakit tidak mau rugi. Aku harus membayar “biaya klarifikasi” karena membawa obat dari luar. Meskipun demikian, tetap saja jatuhnya lebih murah dibandingkan kalau membeli obat di rumah sakit tsb.
Hari Sabtu, 8 Januari 2005, sebelum pukul 11 aku sampai di RS MMC. Aahh… ternyata surat pengantar dari dokter Thalib tertinggal. Tapi tak masalah. Setelah mengisi formulir dan menyelesaikan masalah administrasi pendaftaran lainnya, aku segera aku mendapat tempat untuk menjalani kemoterapi.
Ruangannya bersih dan nyaman. Yang tidak nyaman adalah pelayanannya. Aku dibiarkan menunggu berjam-jam sebelum akhirnya datang seorang perawat laki-laki (apakah boleh disebut suster lelaki?) untuk mengambil darah dan memeriksa tekanan darah.
Sore hari suster datang.
“Obatnya kurang,” katanya.
Hari Sabtu YKI tutup, apalagi saat itu sudah sore. Jadi mau tak mau aku harus mau membeli obat dari rumah sakit. Tentu saja pasien tidak perlu turun langsung ke apotik RS untuk membelinya. Semua sudah diatur oleh suster.
Sudah banyak aku mendengar tentang efek sampingan kemoterapi, terutama rambut rontok dan mual-mual. Aku sama sekali tidak merasa mual, apalagi muntah-muntah. (Belakangan aku mengalami sariawan hebat dan sedikit mual yang mungkin diakibatkan oleh usaha untuk diet ketat yang membuatku kehilangan selera makan). Tetapi sungguh tak nyaman tidur semalaman dengan jarum infus tertancap di tangan dan selang yang terhubung dengan kantong berisi cairan infus yang tergantung pada alat penopangnya.
Ini adalah pengalaman infusku yang pertama. Aku memang jarang sekali sakit dan selama ini aku belum pernah dirawat di rumah sakit karena suatu penyakit. Sekitar tahun 1980-an aku pernah menjalani operasi ringan, pembuangan daging tumbuh di ketiak kiri dan kanan. Aku menginap dua malam, tetapi tidak perlu diinfus. Dokter mengatakan daging tumbuh itu adalah tumor jinak yang tak perlu dikhawatirkan dan tak menganjurkan aku untuk datang kembali setelah operasi.
Jadi, malam itu memang sungguh merupakan saat yang tidak menyenangkan. Dan aku senang sekali ketika pagi tiba. Tetapi meskipun aku merasa baik-baik saja, aku baru bisa meninggalkan rumah sakit pada siang hari karena menunggu kedatangan dokter. Yach, yang penting pulang.
Pada bulan berikutnya kemudian, menjelang kemotrapi yang kedua, aku berkonsultasi dengan dokter Lugi (nama lengkapnya tak ingat) sebagai pengganti dokter Thalib yang sedang berhalangan, dan minta agar resep obat untuk kemoterapi lebih diperhatikan.
‘Jangan sampai kurang seperti kemarin dok,’
‘Ah, nggak,’ katanya.
Percakapan berhenti sampai disitu. Aku tak menanyakan lebih lanjut karena dokter ini bukan dokter yang menulis resep obat yang pertama.
Untuk kemoterapi yang kedua, aku tak perlu menginap. Ketika aku minta kelas III, pihak rumah sakit mengatakan kalau fasilitas rawat tanpa inap ODC (One Day Care) hanya ada di kelas II ke atas.
Di kelas II ada suster Hikmat yang melayani pasien dengan ramah dan sabar (belakangan aku dengar bahwa suster Hikmat juga menderita tumor di bagian hidung). Ketika aku menanyakan apakah obatnya kurang, ia menjawab tidak. Aku juga mendapat informasi bahwa obat yang digunakan kali ini sama dengan sebelumnya. Tapi mengapa waktu itu dikatakan bahwa obatnya kurang?
Akhirnya terbongkar juga penipuan yang dilakukan oleh suster pada waktu aku menjalani kemoterapi yang pertama. Ada suster yang mengaku bahwa “ada kelebihan uang” dari aku. Suster itu sedang cuti tetapi ia akan menghubungi aku, demikian kata suster Hikmat yang baik itu.
Waktu aku tanyakan hal ini ke dr. Thalib, ia membela suster penipu itu. “Mungkin susternya waktu itu bingung.”
Keesokan harinya suster penipu menelpon aku, minta maaf dan segera mentransfer “uang kelebihan” sebesar Rp 300 ribu sekian.
Sungguh terlalu!
Sebulan setelah operasi mastektomi, aku harus menjalani kemoterapi selama 6 kali. Untuk kemo yang pertama, dokter mengharuskan aku menginap di rumah sakit dengan alasan khawatir akan akibat sampingan negatif yang ditimbulkan.
Aku memilih kelas III di RS MMC dan membeli obat dari Yayasan Kanker Indonesia yang memberikan harga jauh dibawah harga pasaran. Pihak Rumah Sakit tidak mau rugi. Aku harus membayar “biaya klarifikasi” karena membawa obat dari luar. Meskipun demikian, tetap saja jatuhnya lebih murah dibandingkan kalau membeli obat di rumah sakit tsb.
Hari Sabtu, 8 Januari 2005, sebelum pukul 11 aku sampai di RS MMC. Aahh… ternyata surat pengantar dari dokter Thalib tertinggal. Tapi tak masalah. Setelah mengisi formulir dan menyelesaikan masalah administrasi pendaftaran lainnya, aku segera aku mendapat tempat untuk menjalani kemoterapi.
Ruangannya bersih dan nyaman. Yang tidak nyaman adalah pelayanannya. Aku dibiarkan menunggu berjam-jam sebelum akhirnya datang seorang perawat laki-laki (apakah boleh disebut suster lelaki?) untuk mengambil darah dan memeriksa tekanan darah.
Sore hari suster datang.
“Obatnya kurang,” katanya.
Hari Sabtu YKI tutup, apalagi saat itu sudah sore. Jadi mau tak mau aku harus mau membeli obat dari rumah sakit. Tentu saja pasien tidak perlu turun langsung ke apotik RS untuk membelinya. Semua sudah diatur oleh suster.
Sudah banyak aku mendengar tentang efek sampingan kemoterapi, terutama rambut rontok dan mual-mual. Aku sama sekali tidak merasa mual, apalagi muntah-muntah. (Belakangan aku mengalami sariawan hebat dan sedikit mual yang mungkin diakibatkan oleh usaha untuk diet ketat yang membuatku kehilangan selera makan). Tetapi sungguh tak nyaman tidur semalaman dengan jarum infus tertancap di tangan dan selang yang terhubung dengan kantong berisi cairan infus yang tergantung pada alat penopangnya.
Ini adalah pengalaman infusku yang pertama. Aku memang jarang sekali sakit dan selama ini aku belum pernah dirawat di rumah sakit karena suatu penyakit. Sekitar tahun 1980-an aku pernah menjalani operasi ringan, pembuangan daging tumbuh di ketiak kiri dan kanan. Aku menginap dua malam, tetapi tidak perlu diinfus. Dokter mengatakan daging tumbuh itu adalah tumor jinak yang tak perlu dikhawatirkan dan tak menganjurkan aku untuk datang kembali setelah operasi.
Jadi, malam itu memang sungguh merupakan saat yang tidak menyenangkan. Dan aku senang sekali ketika pagi tiba. Tetapi meskipun aku merasa baik-baik saja, aku baru bisa meninggalkan rumah sakit pada siang hari karena menunggu kedatangan dokter. Yach, yang penting pulang.
Pada bulan berikutnya kemudian, menjelang kemotrapi yang kedua, aku berkonsultasi dengan dokter Lugi (nama lengkapnya tak ingat) sebagai pengganti dokter Thalib yang sedang berhalangan, dan minta agar resep obat untuk kemoterapi lebih diperhatikan.
‘Jangan sampai kurang seperti kemarin dok,’
‘Ah, nggak,’ katanya.
Percakapan berhenti sampai disitu. Aku tak menanyakan lebih lanjut karena dokter ini bukan dokter yang menulis resep obat yang pertama.
Untuk kemoterapi yang kedua, aku tak perlu menginap. Ketika aku minta kelas III, pihak rumah sakit mengatakan kalau fasilitas rawat tanpa inap ODC (One Day Care) hanya ada di kelas II ke atas.
Di kelas II ada suster Hikmat yang melayani pasien dengan ramah dan sabar (belakangan aku dengar bahwa suster Hikmat juga menderita tumor di bagian hidung). Ketika aku menanyakan apakah obatnya kurang, ia menjawab tidak. Aku juga mendapat informasi bahwa obat yang digunakan kali ini sama dengan sebelumnya. Tapi mengapa waktu itu dikatakan bahwa obatnya kurang?
Akhirnya terbongkar juga penipuan yang dilakukan oleh suster pada waktu aku menjalani kemoterapi yang pertama. Ada suster yang mengaku bahwa “ada kelebihan uang” dari aku. Suster itu sedang cuti tetapi ia akan menghubungi aku, demikian kata suster Hikmat yang baik itu.
Waktu aku tanyakan hal ini ke dr. Thalib, ia membela suster penipu itu. “Mungkin susternya waktu itu bingung.”
Keesokan harinya suster penipu menelpon aku, minta maaf dan segera mentransfer “uang kelebihan” sebesar Rp 300 ribu sekian.
Sungguh terlalu!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment