Awalnya sederhana. Akhir bulan November 2004, beberapa hari setelah Lebaran, secara tidak sengaja teraba benjolan di payudara kanan. Benjolan itu kira-kira sebesar kelereng, agak keras dan sama sekali tidak terasa sakit, kecuali kalau ditekan.
Deg..! Langsung jantung berdegup keras. Aku kaget dan khawatir. Sudah banyak kudengar hal tentang kanker payudara dan aku segera tahu bahwa itu adalah salah satu tanda-tandanya. Segera aku mengambil majalah bulanan yang dibagikan secara gratis bagi warga tempat aku tinggal di Bintaro. Aku ingat, di situ ada iklan pemeriksaan mamografi di RSI Bintaro, dan yang tak kalah pentingnya adalah adanya diskon 50% yang ditawarkan -- kalau tidak ada tawaran potongan harga sebesar itu, mungkin aku tak ingat.
Keesokan harinya aku ke sana dan menjalani pemeriksaan mamografi. Baju dilepas, diganti dengan baju rumah sakit, kalau tak salah berwarna hijau. Memang rasanya tidak nyaman karena payudara ditekan dengan mesin yang dingin. Tapi prosesnya cepat dan rasa tak nyaman yang hanya sebentar itu bukanlah apa-apa dibandingkan dengan pentingnya pemeriksaan ini.
Memang deteksi dini kanker payudara sangat penting karena semakin lama diketahui, semakin sulit pengobatannya. Katanya… menurut survei, di dunia ini setiap tiga menit ditemukan penderita kanker payudara, dan setiap 11 menit ditemukan seorang perempuan meninggal akibat kanker payudara.
Aku tidak kaget ketika mengetahui bahwa hasilnya jelek. Aku memang sudah menduganya dan mempersiapkan mental. Tapi tetap saja ada rasa ngeri –siapa tidak? Petugas radiologi yang memeriksa aku tampak merasa prihatin dan ia mengajurkan agar aku segera berkonsultasi dengan dokter ahli kanker.
Dokter mana, siapa? Aku ingat seorang teman baik. Ibunya pernah terkena kanker payudara dan sampai saat in masih sehat. Ternyata ibunya berobat di Singapura. Aku merasa belum saatnya berobat di sana dan memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter di Jakarta saja.
Kemudian aku dianjurkan agar bertemu dengan dokter Novi di Kebayoran Baru. “Dia ini dokter yang mempunyai indra ke-enam,” kata teman.
Pada hari berikutnya, aku sudah berada di ruang praktek dokter Novi yang asri. Mula-mula aku diterima oleh asisten dokter Novi, kalau tak salah namanya dokter Yudha. Ia menanyakan beberapa data pribadi yang sifatnya umum, seperti nama dan usia, melihat foto hasil mamografi, lalu mulai bermain-main dengan pulpennya.
Dalam hati aku merasa agak kesal karena merasa tak diacuhkan. Masa ada pasien, ia bukannya melayani dengan baik, malahan memutar-mutar pulpen?
Tak lama kemudian dokter Novi datang dan menyambut dengan ramah. Ia juga melihat hasil mamografi dan menggerak-gerakkan pulpennya.
Ooh… ya ampun… Rupanya begitulah cara kedua dokter itu bekerja dengan indra keenam. Mereka adalah murid Romo Lukman dari Purworejo, Jawa Tengah, yang dikenal dengan penggunaan kekuatan magnetik dalam melakukan penyembuhan.
“Nggak takut kan dioperasi?” begitu kata dokter Novi setelah memeriksa hasil mamografi.
“Kalau memang harus dijalani, ya apa boleh buat,“ aku hanya bisa pasrah.
Dokter Novi lalu memberi aku kapsul kunyit putih agar sel-sel kanker tidak menyebar ke bagian lain.
Ketika aku meminta rekomendasi siapa dokter ahli kanker yang dapat aku datangi, ia tidak menyebut nama, tetapi berjanji akan mencarikan dokter yang cocok untukku. Menurut dia, dokter yang cocok bagi A, belum tentu cocok bagi B.
Dalam waktu beberapa hari selanjutnya aku berusaha mencari tahu dokter yang kira-kira cocok untukku hanya dengan cara menghubungi beberapa rumah sakit seperti Dharmais, Carolus, MMC dan Pertamina. Aku sudah mendapatkan beberapa nama yang “rasanya” cocok, tapi ketika aku putuskan untuk datang berkonsultasi pada hari Sabtu, saat Jakarta tidak terlalu macet, hanya ada satu dokter yang praktek, yaitu dokter Idral di MMC.
Lalu aku menghubungi dokter Novi dan menanyakan pendapatnya tentang beberapa dokter dan dijawab dengan “jangan”. Baru ketika aku sebut dokter Idral, dokter Novi langsung memberi tanggapan positif.
Koq bisa pas ya? Begitu pikirku. Padahal aku tidak memberi tahu dokter Novi kalau aku sebetulnya sudah membuat janji untuk bertemu dengan dokter Idral. Tapi ya, kebetulan. Aku merasa lebih mantap untuk berkonsultasi pada hari Sabtu, yang akan segera tiba.
Konsultasi pertama dengan dokter Idral berjalan lancar. Dokter Idral sudah berusia agak lanjut dan penampilannya lebih tampak seperti pak haji dalam sinetron-sinetron di TV daripada dokter rumah sakit swasta yang cukup elit. Perawakannya pendek, agak gemuk, mengenakan kopiah dan baju koko warna putih. Orangnya tegas, tidak berbasa-basi.
Ia menawarkan dua pilihan. Pertama langsung operasi, kedua biopsi. Jika hasil biopsi positif, berarti ini mengkonfirmasikan adanya kanker ganas dan operasi harus dilakukan. Kalau hasil biopsi negatif, ini tidak menjamin bahwa memang kondisinya betul-betul aman. Mengherankan, kalau begitu, apa gunanya biopsi? Jadi aku putuskan agar operasi saja.
No comments:
Post a Comment