Gara-gara berita bahwa di Jakarta banyak beredar obat palsu, Dr. Whang dari Mt. Elizabeth Hospital di Singapura menyangka kalau aku mengkonsumsi obat aspal.
Huh! Enak aja…. Aku beli obat bukan di pinggir jalan, dok. Tapi di apotik yang cukup bonafid.
Bagaimana Dr. Whang sampai menuduhku minum obat palsu? Aku harus memulai cerita ini dari awal.
Dengan membawa hasil bone scan dari RS Dharmais yang menunjukkan bahwa kanker bercokol di dua titik, yaitu di tulang belakang dan di tulang rusuk kanan, pada tanggal 9 Mei 2007 aku menemui Dr. Whang.
Lega sekali ketika ia mengatakan kalau aku tak perlu memakai brace, seperti yang dianjurkan oleh dokter-dokter RS Dharmais.
Atas permintaan Dr. Whang, aku menjalani pemeriksaan CT scan, yang menunjukkan bahwa tak ada penyebaran di bagian lain tubuh seperti hati atau usus.
Dengan santai Dr. Whang mengatakan kalau keadaanku mudah ditangani.
“It’s easy,” katanya. “Cancer cannot be cured, but you can live with it.”
Ia menyuruhku meneruskan minum Aromasin, sesuai ajuran Dr. Samuel dari Dharmais. Berulang kali ia memuji Aromasin, yang menurutnya sangat bagus. Tapi ia menggaris-bawahi bahwa obat itu hanya manjur bagi orang yang sudah post-menopause.
Sejak dikemo, bulan enggan mendatangiku (enak, ngirit ga perlu beli softex). Tapi menurut Dr. Whang, itu bukan berarti post-menopause. Jadi ia menyuruhku tes hormon terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Ini membuktikan betapa telitinya dokter itu sementara di Jakarta, belum pernah ada anjuran seperti itu.
Hasil tes menunjukkan bahwa aku memang belum post-menopause, tetapi sudah pada tahap yang memungkinkan untuk mengkonsumsi Aromasin.
Selain itu Dr. Whang mengatakan kalau aku harus di-infus dengan Zometa sebulan sekali untuk memperkuat tulang. Untungnya aku tak harus datang ke Singapura setiap bulan karena infus dapat ditangani oleh rekan Dr. Whang di Jakarta, yaitu Dr. Winarti.
Akhir bulan Juni tiba-tiba ada kejadian tak terduga, kedatangan tamu tak diundang. Aku sempat panik karena setelah beberapa hari, tamu tak kunjung pergi. Aku lalu menghubungi Dr. Whang melalui email dan telepon.
Ia menyuruhku melakukan tes hormon dan mengirimkan hasilnya ke Singapura. Kemudian Dr. Whang mengatakan aku harus disuntik Zoladex (suntikan hormon).
Tgl. 2 Juli 2007 aku mulai menerima suntikan Zoladex yang pertama dari Dr. Win yang ramah dan baik hati.
Tgl. 6 Agustus 2007 aku kembali menemui Dr. Whang.
Sebelumnya aku menjalani bone scan di RSPAD Gatot Subroto, yang tarifnya paling murah (jebul ukuran foto hasil scan hanya setengah dari foto di Dharmais… pantesan murahan..). Wah.. ternyata ada penyebaran baru, di tulang panggul. Jadi, sekarang ada 3 titik.
Aku kaget. Kok bisa ya? Padahal aku sangat optimis dengan keadaanku karena aku merasa sehat-sehat saja, tak ada bagian yang sakit.
Dr. Whang juga heran. Ia menduga kalau Aromasin yang aku beli di Jakarta bermasalah.
“There are many fake drugs in Indonesia,” katanya. Lalu ia mengatakan kalau aku sebaiknya membeli obat dari dia saja.
Aku menolak karena harganya mahal sekali.
Dr. Whang juga mengemukakan kemungkinan bahwa obat baru efektif setelah aku menerima suntikan Zoladex. Berarti pengobatan selama 2 bulan pertama sia-sia.
Aku kurang puas dengan penjelasan Dr. Whang, terutama tuduhan bahwa aku minum obat palsu, dan mulai mencari informasi untuk second opinion.
Atas rekomendasi Dr. Win, aku menulis email ke Dr. Robert Lim, kepala oncology unit di National Universiy Hospital. Tanggapannya positif. Ia bersedia menerimaku, tapi dengan jujur ia mengatakan kalau ia jarang menangani pasien kanker payudara dan lebih sering berurusan dengan kanker usus. Ia menganjurkan agar aku menemui Dr. Tan.
Tgl. 12 September 2007 aku kembali ke Singapura. Kali ini aku menjalani PET scan (hasilnya bagus, tak ada penyebaran baru). Pada keesokan harinya, setelah berkonsultasi dengan Dr. Whang, aku lalu menuju ke NUH untuk menemui Dr. Tan.
Oh ya, baik Dr.Whang maupun Dr. Tan sama-sama perempuan loh.
Dr. Tan baru thirtysomething, dan penampilannya sangat sederhana. Sambil mencorat-coret kertas di atas meja, ia menjelaskan panjang lebar mengenai keadaanku serta berbagai kemungkinan yang bisa terjadi, tanpa ada maksud menakut-nakuti.
Aku senang dengan keterbukaan dan ketelatenannya. Biarpun ia masih muda, aku percaya kok… I know I am in the good hands.
.
Photo caption: Three-dimensional (3D) conformal radiation therapy facility at Mt.E.