Monday, January 19, 2009
Obat Murah Belum Tentu Jelek
Baru-baru ini aku kehilangan suara. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku bukan kehilangan suara dalam pilkada, pemilihan lurah atau caleg. Sama sekali ga ada minat bertarung dalam arena politik (lagipula emang ga ada yang mau mencalonkan diriku....).
Suaraku hilang karena terserang radang tenggorokan, yang kemudian diikuti dengan batuk kering. Ini terjadi ketika aku mudik ke Salatiga akhir tahun kemarin.
"Ke dokter saja, biar cepat sembuh," kata ibuku.
Dengan diantar ayah, aku naik becak ke tempat praktek seorang dokter spesialis langganan orang tuaku.
Sampai di sana, ternyata aku beruntung karena tak perlu antre, padahal biasanya kalau pagi hari banyak pasien di sana.
Selain berkonsultasi soal hilangnya suaraku yang merdu itu, aku juga mengeluh soal mata kananku yang mendadak bengkak. Sehari sebelumnya, setelah lewat tengah hari, tiba-tiba saja mata itu sedikit berair. Malamnya semakin terasa kurang nyaman. Begitu bangun, aku kaget melihat mata kanan bengkak. Tapi sudah tidak berair.
"Jangan-jangan glukoma," kata pak dokter. "Tekanan mata kanan dan mata kiri tidak sama," katanya setelah menekan kedua kelopak mataku dan membandingkannya.
Tapi sebetulnya ia sendiri tidak yakin dan menganjurkan agar aku berkonsultasi dengan dokter mata. Ketika aku bertanya apakah untuk sementara bisa diberi obat tetes mata saja, ia mengiyakan sambil menegaskan bahwa apabila tidak membaik dalam waktu dua hari, aku harus segera ke dokter mata.
"Kalau tidak, apa kemungkinan terburuknya, dok?"
"Bisa buta," katanya.
Ih, serem amat.
Pak dokter memberiku resep, yang segera aku bawa ke apotik dekat rumah.
Harga obatnya lebih dari Rp 200 ribu, terdiri dari antibiotik seharga Rp 140 ribu, obat tetes mata seharga Rp 26 ribuan dan kapsul berisi bubuk ramuan obat seharga Rp 59 ribu.
"Antibiotiknya kok mahal sekali? Ada nggak yang murah?" aku bertanya.
Ternyata ada, namanya Levofloxacin dan harganya Rp 13.000 untuk satu strip isi 10 tablet.
"Dokter itu memang obatnya mahal, tapi manjur," komentar ibuku yang merupakan langganan setia pak dokter. "Katanya, ia tidak mau memberi obat yang murah karena banyak yang palsu."
"Tapi kalau obatnya mahal, kita bisa kok minta yang generik di apotik," ayahku menimpali.
Sebelum diapa-apakan, mata kananku membaik dengan sendirinya. Supaya lebih cepat pulih, aku menggunakan obat tetes mata beberapa kali. Dalam tiga hari, kondisi mata sudah normal.
Suaraku masih tersendat dan sesekali aku masih batuk meskipun sudah minum obat seminggu, sampai obat habis. Apakah ini karena obatnya palsu? Belum tentu. Yang jelas, aku baru betul-betul sembuh sekitar dua minggu kemudian. Oh ya, selain menelan obat dari dokter, aku juga rajin minum jeruk nipis. Yang ini obat tradisional, murah meriah dan diyakini manjur juga... :)
Suaraku hilang karena terserang radang tenggorokan, yang kemudian diikuti dengan batuk kering. Ini terjadi ketika aku mudik ke Salatiga akhir tahun kemarin.
"Ke dokter saja, biar cepat sembuh," kata ibuku.
Dengan diantar ayah, aku naik becak ke tempat praktek seorang dokter spesialis langganan orang tuaku.
Sampai di sana, ternyata aku beruntung karena tak perlu antre, padahal biasanya kalau pagi hari banyak pasien di sana.
Selain berkonsultasi soal hilangnya suaraku yang merdu itu, aku juga mengeluh soal mata kananku yang mendadak bengkak. Sehari sebelumnya, setelah lewat tengah hari, tiba-tiba saja mata itu sedikit berair. Malamnya semakin terasa kurang nyaman. Begitu bangun, aku kaget melihat mata kanan bengkak. Tapi sudah tidak berair.
"Jangan-jangan glukoma," kata pak dokter. "Tekanan mata kanan dan mata kiri tidak sama," katanya setelah menekan kedua kelopak mataku dan membandingkannya.
Tapi sebetulnya ia sendiri tidak yakin dan menganjurkan agar aku berkonsultasi dengan dokter mata. Ketika aku bertanya apakah untuk sementara bisa diberi obat tetes mata saja, ia mengiyakan sambil menegaskan bahwa apabila tidak membaik dalam waktu dua hari, aku harus segera ke dokter mata.
"Kalau tidak, apa kemungkinan terburuknya, dok?"
"Bisa buta," katanya.
Ih, serem amat.
Pak dokter memberiku resep, yang segera aku bawa ke apotik dekat rumah.
Harga obatnya lebih dari Rp 200 ribu, terdiri dari antibiotik seharga Rp 140 ribu, obat tetes mata seharga Rp 26 ribuan dan kapsul berisi bubuk ramuan obat seharga Rp 59 ribu.
"Antibiotiknya kok mahal sekali? Ada nggak yang murah?" aku bertanya.
Ternyata ada, namanya Levofloxacin dan harganya Rp 13.000 untuk satu strip isi 10 tablet.
"Dokter itu memang obatnya mahal, tapi manjur," komentar ibuku yang merupakan langganan setia pak dokter. "Katanya, ia tidak mau memberi obat yang murah karena banyak yang palsu."
"Tapi kalau obatnya mahal, kita bisa kok minta yang generik di apotik," ayahku menimpali.
Sebelum diapa-apakan, mata kananku membaik dengan sendirinya. Supaya lebih cepat pulih, aku menggunakan obat tetes mata beberapa kali. Dalam tiga hari, kondisi mata sudah normal.
Suaraku masih tersendat dan sesekali aku masih batuk meskipun sudah minum obat seminggu, sampai obat habis. Apakah ini karena obatnya palsu? Belum tentu. Yang jelas, aku baru betul-betul sembuh sekitar dua minggu kemudian. Oh ya, selain menelan obat dari dokter, aku juga rajin minum jeruk nipis. Yang ini obat tradisional, murah meriah dan diyakini manjur juga... :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
wah kalo urusan batuk aku angkat tangan deh, karena aku itu kalo sudah terserang batuk bukan perkara seminggu atau dua minggu...tapi bisa sebulan lebih! Apalagi dengar2 akhir Januari ini Jakarta bakal kebanjiran lagi, malah lebih hebat dari tahun sebelumnya...gosipnya. Aku itu kalau kena udara lembab terlalu lama seperti banjir dulu pasti deh ujung2nya batuk. Duh mudah2an gak kejadian ya!
betul juga, walaupun murah , yang pasti bukan murahan...
Just info:
Levofloxacin(generik)/biji: Rp. 1.200,-(produk kimia farma)
tetapi Levofloxacin yg bukan generik/biji: Rp. 36.000(produk Sanbe ato tevox-actavis 500 mg)
Post a Comment