Thursday, January 22, 2009

Mati Itu Mahal

Kematian membawa kemalangan ganda bagi yang ditinggalkan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Kepergian seseorang untuk selamanya tak hanya menorehkan luka yang pedih tapi juga menguras dompet.
Contoh paling jelas adalah ritual ngaben di Bali, yang dapat menghabiskan entah berapa banyak biaya.
Temanku pernah berkata kalau dalam agama Islam, jenazah harus segera dikebumikan pada hari yang sama, kecuali kalau meninggalnya di malam hari. Tapi untuk agama lain, biasanya disemayamkan beberapa hari sebelum dikuburkan atau dikremasi. Selama masa itu jenazah dapat ditempatkan di rumah keluarganya sendiri atau di rumah duka yang dikelola secara profesional.
Di Jakarta, rumah duka juga dapat dijumpai di berbagai rumah sakit besar seperti RS Carolus, RS Kanker Dharmais atau RS Pluit, yang kabarnya memasang harga cukup tinggi, seperti tarif hotel berbintang.
Bagi yang tak ingin repot, ada yayasan yang memang bergerak dalam urusan kematian ini. Gereja juga memberikan pelayanan bagi mereka yang berduka cita.
Ketika keponakanku meninggal sebulan yang lalu, orang tuanya (kakakku dan istrinya) memutuskan agar jenazah disemayamkan di rumah mereka sebelum memakamkannya tepat pada hari Natal.
Dari segi biaya tentu ada penghematan, tapi tetap saja banyak pengeluaran. Untuk peti mati saja harganya Rp 5.6 juta. Entah bahannya terbuat dari kayu apa. Warnanya putih dengan gambar Yesus beserta murid-muridnya. Mungkin mahal karena ada gambar Yesus? Ah, ga juga. Kata kakakku, ketika itu ia ditawari 2 macam peti mati dan yang satu lagi harganya Rp 7 juta.
Kenapa ya tidak dibungkus kain kafan saja? Siapa yang menciptakan tradisi peti mati ini? Bikin repot saja.
Selain peti mati, banyak lagi keperluan lain seperti menyediakan roti, kacang dan minuman untuk para tamu, menyewa tenda dan kursi, menyewa mobil jenasah dan menyewa bis untuk mengangkut tamu yang ingin ikut mengantar jenazah ke makam di Gremeng, Muntilan, yang dapat ditempuh dengan berkendara selama sekitar 2 jam dari Salatiga.
Mengenai urusan pemakaman, atas saran saudara yang tinggal di Muntilan, aku menghubungi Pak Surip. Ia mengatakan bahwa biayanya berjumlah Rp 2.310.000, termasuk pembelian tanah dan bahan-bahan seperti semen, pasir dan bata yang diperlukan untuk membuat lubang makam.
“Kalau mau dibangun, biayanya tergantung modelnya seperti apa,” kata pak Surip.
Berbeda dengan kebanyakan makam di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, atau di Pondok Rangon, Jakarta Timur, makam di Gremeng bentuknya bermacam-macam, termasuk kuburan Cina seperti di film-film (biasanya itu kuburan lama). Makam yang lebih baru kebanyakan berbentuk segi empat dan dibuat agak tinggi, sekitar 50 cm, sedangkan bagian di ujung makam ditinggikan sampai lebih dari 1 meter. Pada dinding ini terukir salib dan nama almarhum serta keluarga yang ditinggalkannya. Wah gimana menjelaskannya ya, tapi kira-kira seperti gambar di samping ini.
Sementara itu ayahku mengutarakan keinginannya untuk memindahkan makam kakakku yang tertua dari Solo ke Muntilan. Seperti halnya keponakanku yang meninggal di usia 17 tahun, kakakku juga tewas karena kecelakaan lalu lintas dalam usia setahun lebih tua. Karena itu kematian keponakanku itu bagaikan membuka luka lama bagi ke dua orang tuaku.
Ayah ingin memindahkan makam kakakku dari Solo, tempat kami dibesarkan, karena dua hal. Pertama, di pemakaman itu terlalu banyak “preman” – istilah yang dipakai ayahku untuk menyebut para pembersih kubur bersenjata sabit dan sapu lidi yang secara agresif berbondong-bondong mengikuti setiap peziarah, membersihkan makam ala kadarnya, lalu memaksa meminta imbalan. Kedua, banyak saudara yang dimakamkan di Muntilan, termasuk kakek dan nenek, paman dan bibi.
Lokasi makam keponakanku itu ternyata kurang dari 10 meter dari makam adik ayahku.
Untuk memindahkan makam dari Solo ke Muntilan, Pak Surip memasang harga Rp 7 juta. Ini termasuk peti kecil seharga Rp 1 juta untuk memindahkan sisa-sisa jasad, karena peti yang lama diperkirakan pasti sudah hancur.
Ketika aku mencoba menawar, ia berkata: “Makam kok ditawar.”
Oh.. begitu. Memang biasanya pihak yang tengah berduka cita pasrah saja dan katanya pantang menawar. Tak heran kalau banyak pungli di pemakaman, seperti yang pernah ditulis harian Media Indonesia (http://www.aqiel.com/myblog/2006/08/25/pungli-di-tempat-pemakaman-umum-jakarta-merajalela/)
Pak Surip sendiri sebetulnya bukan pejabat tempat pemakaman. Ia hanyalah “pengusaha” yang memang biasa membangun makam di Muntilan dan meskipun hanya mengenakan kaos kumal dan sandal jepit, ia disegani oleh setiap pembersih kubur di sana.
Makam keponakanku akhirnya dibangun sesuai dengan model yang dibuat oleh kakak satu-satunya. Makam itu dibuat agak tinggi dari tanah, sekitar 60 cm, dan pada dinding ujung makam yang ditinggikan terukir salib serta hiasan keramik dengan gambar almarhum. Hiasan ini dipesan dari Yogyakarta karena pak Surip tidak dapat menyediakannya.
Pak Surip minta Rp 18 juta, lalu turun menjadi Rp 16 juta setelah ditawar, demikian kata kakakku.
Kakakku mengusulkan kepada ayah agar makam almarhum kakak sulung yang telah dipindahkan dari Muntilan juga dibangun dengan model yang sama. Ayahku tidak keberatan dengan modelnya, tetapi ia berkata kepada pak Surip bahwa ia hanya sanggup membayar Rp 10 juta.
“Pak Surip mau mengerjakannya dengan harga itu untuk model yang sama,” kata kakakku.
Aku tidak tahu berapa harga dasar pembuatan makam. Yang jelas, konsumen harus membayar mahal.
Karena itu, kalau aku meninggal, mending dikremasi saja. Tapi kremasi kan juga mahal. Jadi mendingan jangan mati ah. Kasihan yang ditinggal.

4 comments:

Unknown said...

Mbak Sima,

Sereem ah kalau ngomongin kematian. Yang penting sebelum sampai titik itu masih banyak yang bisa kita explore, enjoy and share kan. GBU

Yuniko

Anonymous said...

Memang Mbak, pemakaman ternyata jg tak lepas dari belenggu bisnis. Semua UUD, ujung-jungnya uang..:(

Elyani said...

Waktu mami meninggal November 2007 untung saja dimakamkan-nya di Lampung. Mami dulu memang pernah bilang ingin dimakamkan disamping kuburan papi. Padahal papi meninggalnya sudah sejak tahun 1988. Jaraknya jauh banget...hampir 20 tahunan. Tapi karena masih di kampung kok ya bisa2nya tempat yang diincar mami dari dulu masih tersedia. Padahal kita gak pernah membeli tanah kuburan tersebut. Yang mahal adalah biaya peti dan rumah duka di Bogor, termasuk ambulance untuk membawa mami dari Bogor ke Lampung. Selebihnya urusan pemakaman sampai konsumi kok ya ada saja yang berbaik hati membantu sampai semuanya selesai. Kita hanya bayar sekedarnya pada para pengurus yang baik hati itu, kalau nominalnya sih ya sekitar 5 juta`an (untuk di Lampung) sudah bersih. Teman SD ciciku yang dulu pernah nginap di rumah waktu dia masih kecil, dengan baiknya menyediakan ratusan roti kotak dengan air mineral dan makanan buat kita (mie ayam dan nasi tim) yang dia pesan dan bawa dengan berkendaraan selama 2 jam. Duh ditengah segala sesuatu yang berbau kalau gak ada uang gak jalan, ternyata ada kebaikan seperti itu yang membuatku terharu. Tukang sate ayam Madura langganan almarhum papi dan mami (sekarang generasi anaknya)..waktu layat malah menawarkan apakah kita mau sate ayam, nanti dibuatkan. Dia bilang gak usah mikir berapa. Kita juga gak aji mumpung dong...begitu diantar ya kita bayar sesuai harga yang berlaku meski ditolak sampai lari2 orangnya.

Aku sendiri kalau mati kepengen-nya dikremasi saja. Kalaupun mahal kan cuma sekali dan gak usah ditengok-tengok. Abunya mau dibuang ke laut/danau dan gak dikunjungi juga gak apa2. Toh kalau kita sudah mati masak sih masih minta ini itu. Syukur2 aku bisa kremasi sendiri pakai remote:)

Ah jadi ngelantur nih ...sori ya panjang banget ceritanya :)

T Sima Gunawan said...

haha.. betul, serem ya ngomongin kematian.. mending ngomong yang enak2 aja...