Tuesday, July 21, 2009

Minimalis

Seorang teman yang berhasil mengelola myomnya berbaik hati berbagi pengalaman untuk kita semua dalam lima cerita. Ini adalah kisahnya yang keempat.

Arsitek yang membangun rumahku mengatakan, “Beberapa klienku mengatakan ingin rumah yang minimalis, tetapi sebenarnya gaya hidup mereka maksimalis. Baru sekarang ini aku punya klien yang cara hidupnya sangat minimalis.” Saat itu aku juga baru tahu, aku termasuk dalam jajaran orang langka karena memiliki kebutuhan yang super minim.

Saat kecil, setiap minggu, saat orangtuaku tak ada di rumah, aku selalu memanggil simbok rombeng (ibu-ibu yang membeli barang-barang rongsokan dengan mendatangi rumah-rumah). Kedua orangtuaku adalah kolektor sampah. Mulai dari karet gelang hingga kaos robek, bagi mereka, semuanya pasti akan berguna di masa depan! Jadi, hari minggu adalah hari yang kutunggu.

Mulai dari kaleng, botol hingga baju, aku rombengkan alias kujual. Baju ayahku saat jaman dia pacaran dengan ibuku, kulego juga. Aku senang karena bisa bernegosiasi tawar menawar menjual barang-barang ‘kesayangan’ yang tak berguna itu. Uangnya kutabung – aku gemar menabung karena tak tahu uangnya harus kuapakan. Jadi celenganku yang dari tanah liat itu makin mantap saja rasanya. Lebih berat!

Setiap kali ada barang hilang, almarhum ayahku menengok ke arahku sambil mengatakan, “Aneh ya, kok rasanya barang-barangku menghilang!” Aku bilang, “Ah, itu hanya perasaan papa saja,” sembari ngeloyor menjauh. Simbok rombeng sangat senang, akupun juga riang. Kebiasaan ini kubawa hingga ke rumah baruku. Rumah kubangun dengan open space dan hampir tak punya gudang.

Prinsipku, jika barang tak ditengok selama setengah tahun, barang tersebut tak diperlukan. Lemari pakaianku kukelola dengan rutin menyumbang ke mereka yang membutuhkan. Jadi aku hanya memiliki segelintir pakaian. Pakaian yang kumiliki kupilih yang berbahan enteng dan tak perlu diseterika setelah dicuci. Jadi jika tak ada pembantu, aku tak terlalu repot. Buku-buku yang habis kubaca dan tak lagi kusentuh, banyak juga yang kusumbangkan pada perpustakaan sekolah atau siapa saja yang mau. Piring, cangkir, hingga handuk, aku hanya punya masing-masing 2 biji. Kalau ada tamu? Yah, beli saja air mineral atau softdrink di warung depan. Gampang!

Kata temanku, aku tinggal di rumah berdesain 21st century, tetapi dengan cara jaman batu. Tidak memiliki barang-barang elektronik yang normalnya dimiliki oleh manusia jaman sekarang, khususnya TV!

Ini yang selalu jadi bahan tertawaan teman-teman. Sima bilang, “Jangan ke rumah dia, dia tak punya TV.” Teman yang lain bilang, “Kamu bisa masuk ke Guinness Book of Record atau minimal MURI.” Well, aku tak punya waktu untuk nonton TV. Hingga kini, aku tak punya DVD player, radio, microwave, mesin cuci, dan ah… entah apalagi... Intinya, barang-barang tersebut tak kubutuhkan. Yang jelas, karena rumahku minim barang elektronik, tak ada kekhawatiran meninggalkan rumah kosong. Tanpa beban!

Cara hidup yang senantiasa kusederhanakan ini membuat hidupku lebih nyaman dan enteng. Rumahku kubuat low maintenance. Kebunku seluas 150 m2 kubuat simple. Hanya kutanami pohon-pohon yang mampu mencari ‘makan’ sendiri, misalnya pohon pisang, petai cina, sengon, ketapang. Eh, pohon-pohonku punya fungsi tambahan juga: untuk menjemur pakaian. Tinggal kugantung di pohon-pohon itu seluruh jemuranku. Praktis, tak membutuhkan alat jemuran.

Ikanku pun tak kumanjakan untuk makan setiap hari. Kuajari mereka untuk berdiet! Makan tiga hari sekali dariku, selebihnya mereka makan lumut-lumut di tepian kolam. Toh, mereka tetap gendut-gendut. Apalagi? Mobil? Aku tak punya. Aku pilih naik taksi. Dan masih banyak hal lain yang kuusahakan kusederhanakan semampunya.

Bagiku, cara hidup minimalis ini adalah latihan terus menerus untuk senantiasa fokus terhadap hal-hal yang penting. A lifetime process untuk senantiasa melepaskan hal-hal yang tidak diperlukan. Simplifying all complications guna meningkatkan kualitas hidup. Itu tujuan utamanya. Latihan ini tak kuhentikan pada kepemilikan terhadap materi saja tetapi juga ke pikiran-pikiran yang tidak terlalu penting.

Oleh karena itu, nonton TV adalah sesuatu yang kuhindari sejak beberapa tahun terakhir. Bagi kebanyakan orang ini hal yang ekstrim. Tetapi, ada banyak kegiatan yang jauh lebih berguna untuk kuprioritaskan. Film-film drama yang mengaduk-aduk emosi, film-film laga yang penuh kekerasan yang sering tak masuk akal, kini tak menarik minatku lagi. Walhasil, aku tidak memiliki TV.

It’s a boring life, kata seorang teman. Tetapi, hatiku enteng, riang.

Jadi, gaya hidup minimalis, kurasa mungkin bisa cocok dan bermanfaat untuk penderita myom sepertiku…

3 comments:

amd said...

ya ampyun, jadi sampai skarang itu bokap en nyokap enggak tahu dong siapa dalang penghilang barang-barang itu? sungguh anak yg nakal ini sobatnya mbak Sima yang satu ini :D

Elyani said...

hihihi...setuju banget! aku juga paling malas ngoleksi barang2 gak kepake...cuma jadi sarang debu dan ngengat saja! Tapi aku belum sehebat Sima, aku masih suka nonton TV karena disini acaranya banyak yg menarik...mau film2 tempo dulu yg masih hitam putih ada, food network punya channel sendiri, mau nonton history juga ada...jadi gak melulu kayak sinetron kita yg menjual kemewahan semu, gontok2an tujuh turunan yg gak masuk akal, atau acara buser yg sering menayangkan maling lagi digebukin. Bikin capek hati aja!
Salut deh sama Sima...aku sih betah dirumah Sima...enak, adem!

T Sima Gunawan said...

Hi Ely..
aku jg ga sehebat itu.... yg hebat temenku itu ya. kalo aku sih, ga bs hidup tanpa TV.. soalnya lumayan buat hiburan biarpun banyak acara yg norak, dan juga seringkali ada kabar penting dari TV.
kapan main ke rumahku lagi? dulu rencana ke bogor belum terlaksana.. eh tau2 ada kabar kl Ely sudah berada nun jauh di sana... di seberang lautan... dan benua...