Saturday, August 9, 2008

Nobody Happy With Cancer, Be Brave and Smart.

Satu buku bagus telah terbit. Judulnya Nobody Happy With Cancer, Be Brave and Smart.
Buku ini ditulis oleh Siti Aniroh, 31, seorang penyintas kanker yang tahun lalu menjalani kemoterapi dan mastektomi.
Meskipun judulnya berbahasa Inggris, tapi isinya ditulis dalam bahasa Indonesia dengan gaya bertutur yang santai dan mudah dicerna.
Dalam buku ini kita dapat mengikuti kisah Ani melawan kanker, mulai dari saat ia mencari dokter yang pas, saat kemoterapi dan saat pemulihan. Semuanya diungkapkan dengan jujur dan lugas. Menyentuh dan memberdayakan.
. Kita dapat merasakan betapa marah dan frustrasinya Ani saat ia menghadapi dokter yang memperlakukannya dengan kasar dan dingin tanpa rasa empati sedikitpun.
. “Saya bukan hanya merasakan sakit kepala, tapi perut saya juga mules, wajah saya terasa sangat panas karena menahan marah, dan ini yang teramat tidak masuk akal saya dengar dari mulut seorang dokter ahli kanker,” tutur Ani.
. Tujuh dokter telah dijumpainya, tapi Ani masih belum mendapatkan titik terang akan penyakit yang dideritanya. Ia baru memperoleh informasi yang jelas dan layanan medis yang tepat dari dokter ke delapan. Sayangnya, dokter ini praktiknya di Singapura.
. Pengalaman Ani merupakan cambuk bagi tenaga medis di Indonesia. Jelas bahwa Indonesia mempunyai banyak dokter yang baik, tapi di sisi lain masih perlu adanya peningkatan layanan, baik dari sisi personal maupun professional.
. Membaca buku ini, kita juga dapat merasakan keharuan ketika Ani berkisah tentang rambutnya yang gugur karena kemoterapi dalam bab berjudul “Botak tapi Keren”.
. “Banyak hal yang membuat saya menangis dan tertawa karenanya,” tulisnya.
Ia tersenyum saat anaknya yang berusia 6 tahun, Awan, berkata: “Wah… keren Bunda.”
. Tapi suatu saat Awan marah sekali setelah Ani menyambutnya tanpa penutup kepala ketika ia pulang sekolah dengan mobil jemputan.
. “Awan tidak suka Bunda botak, teman-teman di mobil mengejek dan aku malu…”
. Dengan sedih, Ani mencoba memberikan pengertian bahwa tak perlu ia risau karena teman-teman itu mengatakan demkian tanpa mengerti apa yang terjadi pada kita.
. Kesedihan Ani tak menyurutkan semangatnya dalam menghadapi semua ini. Ia tabah, berpikir positif dan memiliki rasa humor yang tinggi.
. Hal lain yang digarisbawahi oleh Ani adalah hak-hak pasien. Ia menekankan bahwa pasien kanker harus memperjuangkan hak-hak mereka, yaitu:
1. Hak atas informasi.
2. Hak memberikan persetujuan
3. Hak memilih dokter
4. Hak memilih Rumah Sakit
5. Hak atas rahasia kedokteran
6. Hak menolak pengobatan
7. Hak menolak tindakan medis tertentu
8. Hak untuk menghentikan pengobatan
9. Hak atas second opinion
10. Hak melihat rekam medis (medical report).
. Buku ini perlu dimiliki oleh pasien dan keluarganya, dokter dan semua orang yang peduli akan kanker.

Pada hari Sabtu, 16 Agustus 2008 bertempat di The Peak, Sudirman Apartment, Jl. Setiabudi Raya 9, Jakarta, akan diadakan acara Bedah Buku dengan menampilkan penulis, dr. Walta Gautama, SpB.Onk, dan Yuniko Deviana.
Yuniko adalah penyintas kanker, pendiri Cancer Information Support Center dan penulis buku I Have Cancer, It Doesn’t Have Me.
Untuk informasi harap hubungi 021 98672298, 08129926719 atau 0816822868.



English Version:

Breast cancer survivors write inspiring books

T. Sima Gunawan, The Jakarta Post, Jakarta

Nobody Happy With Cancer, Be Brave and Smart
Siti Aniroh
PT Awan Tisani
2008

I Have Cancer It Doesn't Have Me
Inspirasi yang membangkitkan Daya Hidup
R. Yuniko Deviana
Penerbit Obor
2007

Books on breast cancer written by local authors are hard to find despite the fact breast cancer is a real problem facing millions of women all over the world, including many in Indonesia.

One of these rare books, Nobody Happy with Cancer, Be Brave and Smart, has just been launched and is available in bookstores. The 32-year-old author, Siti Aniroh, underwent chemotherapy and a mastectomy in 2007.

Ani, as she is fondly called, writes about her experiences with courage, right from the first moment when she found a lump in her left breast. She tells her touching and empowering story with clarity and honesty.

We feel how frustrated and distressed Ani became when she met a cold-blooded oncologist who treated her rudely.

Instead of responding to her questions about her disease, the doctor denigrated her, saying a housewife like her was not supposed to ask critical questions

"Not only did I have a headache, I also had butterflies in my stomach. My face became hot because I was holding back my anger; it was unthinkable such words could come out of an oncologist's mouth," said Ani.

Ani is a housewife. She also used to work as a lawyer before she resigned and becomes active as a cancer volunteer.

After seeing seven doctors, she still did not really know what the matter was. With her eighth doctor's visit, she finally got clear information and the right treatment.

Unfortunately, the doctor practices in Singapore.

Reading Ani's account, we empathize when she relates how her hair falls out from the chemotherapy in the chapter "Bald but Cool".

"So many things made me cry and laugh," said the author, who has never lost her great sense of humor.

She laughed when her six-year-old son commented on her bald head, "Wow, that's cool, Mom".

But one day her son got mad at her after some of his friends saw her without any head covering.

"I don't like your bald head. My friends made fun of me and I was embarrassed."

Ani tried to make him understand he should not have been upset because his friends did not know what happened to her.

The difficulties did not discourage her fighting spirit. She remains strong and persists with her efforts to lead a healthy and positive life.

Losing hair is one of the negative side effects of chemotherapy because the drugs kill not only cancer cells but also healthy cells. Other side effects include nausea, mouth ulcers, fatigue, diarrhea, and increased perspiration.

In Ani's case, she felt extreme pain in her bones, especially her molars, and general body aches which made her groan and cry. Somehow she managed to cope with the torturing pain.

Ani does not mention in her book that different people may react differently to chemotherapy. This writer is also a cancer survivor who dealt with hair loss and mouth ulcers but continued to work and even drove to the hospital for the regular chemotherapy treatments.

This account gives no scientific explanation about cancer. It is purely about a cancer survivor's experiences. In telling how she struggled against the disease, Ani underlines the importance of patients knowing their rights. Those rights include the right to clear information, the right to choose the best doctor, the right to ask for a second opinion and the right to reject medical treatment.

Ani is the second cancer survivor in Indonesia to have written a book about it. Yuniko Deviana is the author of I Have Cancer, It Doesn't Have Me and the founder of the Cancer Information and Support Center. Aniroh has followed in her step, taking an active part in the organization as well.

Even though both books have titles in English, they were written in plain Indonesian, in the first person to be easy to understand.

Like Ani's story, Yuniko's is also informative and inspiring. Diagnosed with breast cancer in 2002, Yuniko offers many useful, practical tips every cancer patient needs to know.

The book gives answer to many questions like "Why me?" and "Can I be cured?"

She opens her book with: "'How happy are those people who are healthy. Not like us.' I often hear my cancer survivor friends saying this to themselves."

Her experiences as a cancer survivor who is constantly helping others with the disease makes her understand how they feel and what they need.

"Learn to accept cancer as something ordinary, not to reduce the seriousness of the treatment but to prevent ourselves from overreacting," she said.

Both of these books can help cancer patients, their families and friends as well as doctors and others who care about cancer.

http://old.thejakartapost.com/detailfeatures.asp?fileid=20080831.H14&irec=14



7 comments:

Elyani said...

Sima, harusnya temanku hadir diacara ini ya. Dia itu sekarang bingung sebetulnya dia kena kanker indung telur atau bukan, karena kok dia tetap mens. Hasil PA menyatakan indung telur kiri kanan sudah diangkat, tapi kata dia waktu check dengan dokter lain di Bandung, si indung telur masih ada. Lalu bagaimana hasil PA bisa dibuat kalau bukan berdasarkan hasil potong beku sesudah operasi? Apanya dong yg diangkat kalau bukan indung telur?

Waktu aku lihat nama2 obat yg digunakan selama dia dioperasi dan rawat inap, aduh aku kaget bukan kepalang. Bukan saja obat2 yg dikasih mahal2, tapi obat2 tersebut adalah obat Golongan O (keras). Mana jumlahnya gak kira2 lagi. Dia dioperasi Senin sore, tapi paginya sudah dikasih Flagyl. Berdasarkan hasil pengecekanku di internet, Flagyl ini obat untuk infeksi jamur pada vagina. Padahal dia yg bermasalah dibagian dalam perut dan tidak mengalami gangguan keputihan. Menurut invoice yg saya lihat ada pemakaian Flagyl sebanyak 8x, Kalnex (gangguan pembekuan darah) sebanyak 12x, Taxegram (infeksi dalam perut termasuk peritonitis /radang selaput perut) sebanyak 9x.

Kecuali obat diatas yg harus ditebus tunai selama rawat inap, dia juga di infus darah dan sempat ditempatkan di ICU selama sehari setelah operasi. Saya betul2 curiga telah terjadi ketidakberesan disini. Pantas saja sampai minggu keempat luka operasi masih bernanah, teman saya pun diserang rasa sakit hebat dan kondisi badan lemah tidak berdaya. Padahal dokter yg menanangani bergelar Spog K, Onk. atau ahli bedah kanker kandungan.

Sekarang teman saya ini hanya berpasrah diri, menolak diobati, menjalani pola hidup vegetarian dan berdoa saja. Dia sungguh tidak tau sebetulnya apakah dia kena kanker seperti yg dibilang dokter (stadium 4) atau cuma sakit lain?

Maaf, kepanjangan postingnya. Saya cuma ingin tau kira2 untuk masalah seperti ini pasien bisa mengadu kemana ya? Apakah ada lembaga konsumen yg mau membela hak pasien seperti teman saya?

Anonymous said...

Hi Sima,
Sepuluh hak itu memang harus di fight agar para dokter tidak lagi menganggap mereka Tuhan berbaju putih dan seolah punya otoritas tertinggi. Tentu tidak semua dokter seperti itu, namun patut juga digarisbawahi bahwa informasi sudah terbuka dengan lebar terutama di internet. Dokter tidak bisa lagi menanggap bahwa pasien tidak tahu apa2. Dengan uang beberapa dolar kita sudah bisa membeli sebuah artikel mutakhir di jurnal kedokteran bergengsi seperti New Englad Medical Journal yang mungkin para dokter sendiri juga tidak pernah mengakses informasi seperti ini.

Harus ada perubahan dalam paradigma pendidikan kedokteran kita yang seakan memandang pasien sebagai objek semata, revisi UU Kedokteran serta Etika Kedokteran yang sering menjadi tameng untuk berlindung

Saya seringkali berdebat dengan dokter yang memberikan informasi seadanya dan menganggap pasien sok tahu kalau banyak bertanya. Itu baru hak akan informasi, jangan tanya dengan hak2 lainnya.

BTW, thanks for sharing undangannya.

Anonymous said...

Hi Ely,
Ada, ini alamatnya : dr Marius Widjajarta SE, Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Jl Senayan 39, Blok S, Keb.Baru, Jakarta, Telp. : (021) 7267207.
Kalau bisa datang ke acaranya, pasti bermanfaat. Oh ya, bisa juga diinformasikan ke teman itu soal CISC, telp.5328149.

Hi Toni, setuju sekali, pasien perlu menyadari hak-hak mereka dan juga berusaha mencari sendiri informasi melalui berbagai media, terutama internet, sebelum berhadapan dengan dokter.

Anonymous said...

waduh... resensinya keduluan sima. ngapain aja sih aku seminggu ini, kok kayak sibuk banget? :D

Elyani said...

Sima makasih ya infonya. Belum tau nih bisa pergi ke bedah buku atau nggak. Sudah ngajakin Toni tapi dia juga lagi lihat schedulenya dulu. Oh ya, Toni juga ingin kopdar dengan Sima kapan2. Nah pertanyaan-nya kapan nih Sima gak sibuk?

Mudah2an hasil bone scan di S'pore nanti baik2 saja ya :)

Anonymous said...

hi Titah... ,
apa kabar? masih sibuk.. ? aku dah baca resensinya di rumah kanker. wah bagus sekali tulisannya.. :)

hi Ely,
bone scan nggak di spore, tapi di RSKD, hari Sabtu kemarin. hasilnya kalo dibandingkan dg yg sebelumnya/ Mei, lebih jelek, tapi dibandingkan dg scan bulan Feb. kayaknya nggak beda jauh.

boleh nih kapan2 kita kopdar sama Toni juga ... kalo weekeday sambil makan siang bisa nggak? atau mesti weekend?

Anonymous said...

Hi colleagues, pleasant paragraph and nice arguments commented at this
place, I am in fact enjoying by these.

Here is my blog ... how to get your ex back