Saturday, October 10, 2009
Mau pisang, dok?
Dokter di daerah terpencil kabarnya sering kali dibayar tidak dengan uang oleh pasiennya, melainkan dengan hasil kebun seperti pisang atau singkong.
Bagaimana dengan dokter di Jakarta?
Mau nggak ya mereka dibayar dengan pisang atau singkong? Hehehehe.. Jangan coba-coba datang ke rumah sakit sambil membawa setandan pisang. Bisa-bisa diusir satpam, dikira mau dagang …
Dokter di kota besar itu komersil. Ongkos ke dokter itu mahal, begitu yang sering kita dengar.
Berapa sih tarif dokter di Jakarta?
Tak ada tarif yang pasti. Sangat beragam. Kemarin (Kamis, 8 Oktober 2009) aku memeriksakan kakiku yang sakit ke dr. T. Juwono, dokter spesialis syaraf di Rumah Sakit Internasional Bintaro. Biaya konsultasi Rp 175.000 plus administrasi Rp 25.000. Syukurlah, dokternya baik.
Tadi aku suntik Zoladex dan infus Zometa di tempat lain. Berapa rupiah yang harus aku keluarkan untuk jasa dokter yang menanganiku?
Tak sesen pun. Gretong alias gratis….
Suntik dan infus itu merupakan pengobatan rutin selama lebih dari dua tahun ini, yang aku jalani sedapat mungkin setiap empat minggu. Yang menangani adalah dokter Winarti yang baik hati.
Sejak bu dokter mengetahui bahwa aku harus membanting tulang untuk membeli obat, ia tak pernah mau dibayar. Pasti ia tak sampai hati mendengar tulangku yang sudah kena kanker itu masih harus dibanting-banting.
“Jam 12 pakai Emla cream, ya,” begitu SMS dr. Win, yang akan aku temui pada jam 13:00.
Bu dokter mengingatkan aku untuk mengoleskan krim pada bagian yang akan disuntik. Bagian yang diolesi krim ini akan mati rasa sekitar 1-3 jam kemudian. Jadi ini semacam obat bius, yang diperlukan agar suntikan tak terasa sakit. Maklumlah, jarum suntik Zoladex ukurannya super jumbo, sebesar sedotan Aqua gelas…
Meskipun secara resmi ia adalah dokter umum, dr. Win banyak tahu tentang kanker karena pengalamannya merawat pasien kanker, termasuk ibu dan beberapa sanak familinya serta pejabat tinggi tempat ia bertugas.
Siang itu, dr. Win mengurungkan niatnya untuk menyuntik aku. Ini karena kesalahan teknis dalam mengoleskan krim gara2 salah tempat dan plester penutup bagian yang diolesi kurang rapat. Karena itu krim harus dioles ulang.
“Nggak apa. Nanti suntiknya setelah infus,” katanya dengan sabar.
Kami lalu menuju ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari poliklinik tempat dr. Win bertugas. Infus dilakukan di ruang gawat darurat RS tsb. Meskipun ada dokter jaga di sana, dr. Win tak mau lepas tangan. Ia sendiri yang mengawasi suster menyuntikkan jarum infus ke nadiku dan dengan sabar menunggu sampai seluruh proses berakhir.
"Kita pinjam dapurnya saja. Yang masak ya tetap kita," katanya sambil tersenyum.
Dari RS, kami kembali ke poliklinik dan di sana aku baru disuntik Zoladex.
Kalau pasien di daerah terpencil membayar dokter dengan singkong atau pisang, maka aku memberi dr. Win yang gemar menyelam itu majalah National Geographic Indonesia. Lho, katanya nggak keluar sesen pun. Kan perlu uang buat beli majalah? Nggak tuh.. majalah itu aku dapatkan secara cuma-cuma karena kebetulan aku menjadi salah seorang penerjemah di sana.
Ditengah-tengah banyaknya berita negatif tentang dokter yang terlalu komersil, yang ceroboh, yang pelit informasi dan yang arogan, kehadiran sosok seperti dr. Win merupakan hal yang sangat disyukuri.
Asal tahu aja, banyak juga lho dokter yang baik hati….. Misalnya dr. Kartono Mohamad dan dr. Samsuridjal Djauzi, yang kebetulan pernah aku wawancarai. Selain itu ada juga dr. Alvita yang kisahnya bisa dibaca dalam blog ini . Lalu masih ada dokter yang aku kenal baik … yaitu adik ayahku sendiri…. Bukan nepotisme lhooo … Paman yang sekarang sedang berjuang melawan tumor otak ini memang baik hati.
Contoh konkret dokter yang mulia juga dapat kita dengar dari cerita seorang teman virtualku. Adiknya menderita kanker tulang dan dirawat oleh Prof. Teguh yang kliniknya terletak di daerah Menteng.
Begini katanya:
“... kalau tengah malam sakit banget, dia bisa bangun untuk bantuin kasih suntik atau obat. Dia juga bisa ditelpon dan datang.
“Saya terharu, ternyata ada dokter di Jakarta yang baik banget. Di Singapure kayaknya belum pernah dengar ada dokter seperti itu,” kata teman yang berdomisili di Singapura itu.
Bagaimana dengan dokter di Jakarta?
Mau nggak ya mereka dibayar dengan pisang atau singkong? Hehehehe.. Jangan coba-coba datang ke rumah sakit sambil membawa setandan pisang. Bisa-bisa diusir satpam, dikira mau dagang …
Dokter di kota besar itu komersil. Ongkos ke dokter itu mahal, begitu yang sering kita dengar.
Berapa sih tarif dokter di Jakarta?
Tak ada tarif yang pasti. Sangat beragam. Kemarin (Kamis, 8 Oktober 2009) aku memeriksakan kakiku yang sakit ke dr. T. Juwono, dokter spesialis syaraf di Rumah Sakit Internasional Bintaro. Biaya konsultasi Rp 175.000 plus administrasi Rp 25.000. Syukurlah, dokternya baik.
Tadi aku suntik Zoladex dan infus Zometa di tempat lain. Berapa rupiah yang harus aku keluarkan untuk jasa dokter yang menanganiku?
Tak sesen pun. Gretong alias gratis….
Suntik dan infus itu merupakan pengobatan rutin selama lebih dari dua tahun ini, yang aku jalani sedapat mungkin setiap empat minggu. Yang menangani adalah dokter Winarti yang baik hati.
Sejak bu dokter mengetahui bahwa aku harus membanting tulang untuk membeli obat, ia tak pernah mau dibayar. Pasti ia tak sampai hati mendengar tulangku yang sudah kena kanker itu masih harus dibanting-banting.
“Jam 12 pakai Emla cream, ya,” begitu SMS dr. Win, yang akan aku temui pada jam 13:00.
Bu dokter mengingatkan aku untuk mengoleskan krim pada bagian yang akan disuntik. Bagian yang diolesi krim ini akan mati rasa sekitar 1-3 jam kemudian. Jadi ini semacam obat bius, yang diperlukan agar suntikan tak terasa sakit. Maklumlah, jarum suntik Zoladex ukurannya super jumbo, sebesar sedotan Aqua gelas…
Meskipun secara resmi ia adalah dokter umum, dr. Win banyak tahu tentang kanker karena pengalamannya merawat pasien kanker, termasuk ibu dan beberapa sanak familinya serta pejabat tinggi tempat ia bertugas.
Siang itu, dr. Win mengurungkan niatnya untuk menyuntik aku. Ini karena kesalahan teknis dalam mengoleskan krim gara2 salah tempat dan plester penutup bagian yang diolesi kurang rapat. Karena itu krim harus dioles ulang.
“Nggak apa. Nanti suntiknya setelah infus,” katanya dengan sabar.
Kami lalu menuju ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari poliklinik tempat dr. Win bertugas. Infus dilakukan di ruang gawat darurat RS tsb. Meskipun ada dokter jaga di sana, dr. Win tak mau lepas tangan. Ia sendiri yang mengawasi suster menyuntikkan jarum infus ke nadiku dan dengan sabar menunggu sampai seluruh proses berakhir.
"Kita pinjam dapurnya saja. Yang masak ya tetap kita," katanya sambil tersenyum.
Dari RS, kami kembali ke poliklinik dan di sana aku baru disuntik Zoladex.
Kalau pasien di daerah terpencil membayar dokter dengan singkong atau pisang, maka aku memberi dr. Win yang gemar menyelam itu majalah National Geographic Indonesia. Lho, katanya nggak keluar sesen pun. Kan perlu uang buat beli majalah? Nggak tuh.. majalah itu aku dapatkan secara cuma-cuma karena kebetulan aku menjadi salah seorang penerjemah di sana.
Ditengah-tengah banyaknya berita negatif tentang dokter yang terlalu komersil, yang ceroboh, yang pelit informasi dan yang arogan, kehadiran sosok seperti dr. Win merupakan hal yang sangat disyukuri.
Asal tahu aja, banyak juga lho dokter yang baik hati….. Misalnya dr. Kartono Mohamad dan dr. Samsuridjal Djauzi, yang kebetulan pernah aku wawancarai. Selain itu ada juga dr. Alvita yang kisahnya bisa dibaca dalam blog ini . Lalu masih ada dokter yang aku kenal baik … yaitu adik ayahku sendiri…. Bukan nepotisme lhooo … Paman yang sekarang sedang berjuang melawan tumor otak ini memang baik hati.
Contoh konkret dokter yang mulia juga dapat kita dengar dari cerita seorang teman virtualku. Adiknya menderita kanker tulang dan dirawat oleh Prof. Teguh yang kliniknya terletak di daerah Menteng.
Begini katanya:
“... kalau tengah malam sakit banget, dia bisa bangun untuk bantuin kasih suntik atau obat. Dia juga bisa ditelpon dan datang.
“Saya terharu, ternyata ada dokter di Jakarta yang baik banget. Di Singapure kayaknya belum pernah dengar ada dokter seperti itu,” kata teman yang berdomisili di Singapura itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
6 comments:
Semoga kita makin sering menemukan Dokter Win-Dokter Win berikutnya, saya yakin jumlah mereka sebenarnya banyak sekali.
Biasanya siih...karena nila setitik rusak susu sebelanga. Walau sedikit dokter kurang baik akibatnya yang baik kena getahnya juga. hehehe. pribahasa zaman SD dulu.
mbak Yuniko, itu guru SD ngajarinnya ga bener ya. mana ada susu sebelanga? besar amat...ya?
hehehhee....
betul Rita, dan mbak Yuniko, aku jg yakin bahwa banyak sekali dokter yg baik...
cuma saja kenapa ya kita suka apes ketemu dokter yang kebetulan kurang ok. dan aku jg percaya kalau dokter itu cocok2an...
setuju....
saya juga mengenal dokter yang sangat baik hati, namanya dr rebecca dari yayasan kanker indonesia.
entah terbuat dari apa hatinya.....
kita bersyukur dengan adanya dokter2 yg baik hati itu.
hatinya terbuat dari apa ya.... emas.. ?
Post a Comment