Thursday, October 15, 2009

Bingung

Aku bingung. Ke mana aku harus pergi? Siapa yang harus aku temui?
Kebingungan memenuhi kepalaku yang pusing memikirkan kaki kananku yang sakit. Tidak parah, tetapi cukup menjengkelkan.
Gaya berjalanku sekarang seperti nenek-nenek yang kakinya kesleo karena main bola. Sudah jalannya pelan, terpincang-pincang pula.
Tak dapat berjalan cepat, apalagi berlari. Padahal seringkali aku perlu segera mencapai tempat tujuan, misalnya kalau ingin buang air, atau kalau akan antre di kasir supermarket pada akhir pekan yang sibuk. Dan bagaimana aku akan melarikan diri kalau terjadi gempa? Kalau ada meja, aku tak akan lari keluar tapi cukup meringkuk di bawahnya. Itu juga harus pelan-pelan karena kalau kaki ditekuk sembarangan bakal sakit rasanya.
Tadinya aku berharap bahwa rasa sakit akan hilang seiring dengan berjalannya waktu… Maunya sih begitu… Tapi sudah beberapa bulan ini sakitnya tak mau pergi. Kalau diam saja, memang tidak apa-apa. Ah, mana mungkin diam saja seharian? Emangnya patung…. Kalau berjalan, mulai terasa kurang nyaman. Awalnya hanya sakit sedikit. Dikit-dikit lama-lama jadi bukit… Dan sejak awal bulan ini bukitnya terasa makin berat.
Sebetulnya aku sudah pernah ke dokter umum di klinik 24 jam dekat rumah pada akhir bulan Juli. Setelah mendengarkan keluhanku, dokter berkesimpulan bahwa kakiku terserang nyeri sendi. Dan aku gembira karena sakitnya ternyata bukan karena kanker.
Kesimpulan itu sebetulnya patut diragukan.
Lha, mana mungkin dokter itu dapat menyimpulkan kalau itu disebabkan oleh sel-sel kanker yang bercokol di beberapa bagian tulangku?
Ya, tak mungkin. Karena aku tidak memberitahu.
Aku sendiri tadinya berpikir bahwa mungkin kakiku sakit karena kanker. Pikiran semacam itu sering muncul kalau aku merasa capai atau kurang fit. Jangan-jangan itu terjadi karena ulah si kanker busuk?
Tapi aku juga berusaha menyingkirkan pikiran itu. Kakiku sakit pasti bukan karena kanker. Ini "hanya" sekedar nyeri sendi seperti kata dokter klinik 24 jam itu dan aku juga menuruti nasehatnya untuk tidak memakan kacang-kacangan dan jerohan, yang memang sudah lama aku hindari. Aku juga mengurangi makan sayuran hijau seperti kangkung, bayam, daun melinjo dan pare yang sebetulnya merupakan pantangan penderita asam urat.
Setelah sekian lama kakiku tambah sakit saja rasanya. Dokterku di NUH pernah mengatakan bahwa pasien yang tulang pada bagian bawah tubuh sudah digerogoti kanker memang seringkali akan merasakan sakit pada kakinya. Tapi aku masih berusaha mengingkarinya. Malahan aku berpikir, mungkin kakiku sakit karena syarafnya terjepit karena terlalu bersemangat senam dengan gerakan yang salah.
Sebetulnya aku sudah pernah ke Rumah Sakit Internasional Bintaro untuk menjajaki kemungkinan berobat di sana. Yang aku perlukan adalah kepastian penyebab sakit ini. Tetapi aku masih ragu apakah aku harus ke dokter syaraf atau dokter tulang.
Mula-mula aku ke bagian informasi untuk menanyakannya. Aku dianjurkan agar berkonsultasi dengan petugas di bagian klinik. Di pintu masuk klinik, aku disambut ramah oleh seorang Mbak cantik berseragam merah cerah.
Apa iya aku harus berkonsultasi dengan Mbak yang lebih mirip seorang pramugari pesawat udara daripada konsultan medis ini?
Ternyata aku salah. Mbak itu membawaku ke sebuah ruangan di mana terdapat seorang Mbak lain yang tak kalah cantiknya. Tak jelas apakah ia dokter atau bukan. Tapi cara berbicaranya cukup meyakinkan.
Aku hanya mengatakan bahwa kakiku sakit dan bertanya apakah aku harus ke dokter syaraf atau dokter tulang. Aku tidak bercerita kalau aku terkena kanker. Ia lalu menganjurkan aku ke dokter syaraf dahulu dan memberiku daftar dokter di RSIB serta jam praktiknya.
Tapi aku tidak langsung berobat ke sana. Ketika aku menjalani suntik dan infus bulanan dengan dr. Winarti, aku meminta sarannya sambil menunjukkan daftar dokter itu.
“Ke dokter ini saja. Dr. Juwono. Pasien saya pernah ke sana dan ia bilang dokternya baik, orangnya sosial,” kata dr. Win.
Setelah tertunda sekian lama, pada hari Kamis, 8 Oktober 2009 itu aku bermaksud untuk berobat ke RSIB.
Sebelumnya, pagi itu aku ikut senam terlebih dahulu. Itu adalah senam yang pertama setelah absen cukup lama karena libur lebaran dan kesibukan lain.
Aku mengikuti senam sebisanya dengan kaki yang bermasalah ini. Kabar tentang kakiku yang sakit itu segera tersebar di antara semua peserta senam yang jumlahnya belasan orang itu. Ketika aku menanyakan tempat berobat yang bagus, merekapun segera beramai-ramai memberikan sarannya.
“Dengan dokter itu saja di Sektor IX, belakang Mc D. Bagus lho,” kata seorang bapak.
“Ada juga ahli urut yang bagus sekali. Coba saja ke sana,” kata yang lain.
“Di Bintaro Permai saja, ada dokter yang bagus. Saya dulu juga pernah sakit, nggak bisa jalan. Setelah berobat sama dia, sebulan sembuh.”
“Kalau saya, dulu pernah berobat di Senen. Dokternya pintar.”
“Ngapain ke RSIB. Mahal. Ke RS di Jl. Veteran aja. Dokternya sama, kok. Di sana juga bagus.”
Lalu ada yang berkomentar: “Jangan ke dokter yang itu. Istri saya berobat ke sana, nggak cocok.”
Gimana nggak bingung? Tiba-tiba saja aku dihujani dengan sedemikian banyak saran dan pendapat.
“Aduh nyesel nih gua pake nanya2 mereka,” kataku kepada teman yang akan mengantarku berobat.
“Ya udah, mana yang lu mantep aja. Ga usah dengerin mereka,” katanya.
C o c o k
Sebelum ke dokter, sebaiknya memang kita bertanya dulu ke kiri dan ke kanan. Bukankan ada peribahasa “malu bertanya sesat di jalan”? Tapi terlalu banyak saran akhirnya malah membuat bingung. Apalagi kalau saran itu diberikan oleh orang yang tak betul-betul mengerti kondisi kita. Apalagi kalau pertanyaan kita tidak jelas.
Aku juga percaya bahwa dokter itu “cocok-cocokan” dalam arti bahwa dokter ini mungkin cocok untuk si A, tetapi tidak cocok untuk si B. Atau sebaliknya, di A cocok dengan dokter itu, tetapi si B tidak.
Dalam berobat, kita harus yakin dan mantap dengan dokter-- atau tabib, sinshe, dukun atau entah siapa pun orangnya. Setelah kunjungan pertama, ke dua atau ke sekian, kalau kita tidak yakin atau tidak merasa nyaman karena satu dan lain hal, tak ada salahnya jika kita pindah ke dokter lain. Hanya saja, mungkin kita bakal rugi kalau gonti-ganti dokter karena dokter yang baru tidak memiliki catatan medis kita. Boleh nggak sih catatan medis itu kita foto kopi?
Ada baiknya kalau kita, terutama yang akan berobat dalam jangka waktu panjang, memiliki catatan medis sendiri. Kita sediakan buku khusus yang berisi semua catatan yang berkaitan tentang kondisi kita serta pengobatan yang sudah kita jalani, termasuk semua obat serta hasil pemeriksaan medis. Kalau perlu buku catatan pengeluaran.
Kalau aku sih, nggak punya catatan rapi selengkap itu… Kalau hasil lab atau pemeriksaan medis, memang aku simpan, tetapi ada juga catatan lain yang betebaran dan bon-bon pengeluaran juga berceceran.
Pernah aku mencoba menghitung pengeluaran secara kasar dan menjumlahkannya. Aku tercengang sendiri. OOOhhh, ternyata aku ini sebetulnya kaya raya… Hahahahaa..…. Ya ampun…. Nggak nyangka kalo aku bisa punya duit segitu banyak… Dari mana datangnya rejeki? Kalau mengandalkan gaji, jelas tidak cukup. Tuhan memang baik…
Singkat cerita, akhirnya aku ke RSIB untuk memeriksakan kaki yang sakit.
Dokternya baik dan sabar. Aku mencertakan semua soal penyakitku dan juga menunjukkan hasil bone scan dan rontgen terakhir.
Ia lalu menyimpulkan bahwa rasa sakit yang menyerang pangkal paha disebabkan oleh kanker yang bercokol di tulang selangkangan dan menduga bahwa sakit di lutut diakibatkan oleh pengapuran.
Untuk memastikannya, ia menyuruhku rontgen.
“Kalau di sana sepi dan hasilnya bisa segera diperoleh, saya bisa langsung lihat,” katanya.
Sebelum meninggalkan ruangan, ia menyarankan agar aku membaca buku “The Miracle of Enzym” karya Hiromi Shinya.
“Ini buku bagus, coba ikuti dietnya. Buku ini judulnya dalam bahasa Inggris, tapi isinya bahasa Indonesia. Ada di Gramedia. Harganya 60 atau 80-an ribu,” katanya sambil menuliskan judul buku serta nama penulis pada secarik kertas.
Ketika menunggu giliran untuk rontgen, mendadak aku teringat bahwa besok aku akan membeli obat di Yayasan Kanker Indonesia, tetapi belum punya resepnya.
“Sini gua mintain ke dokter itu,” kata temanku. “Pasti dikasih, kan dia orangnya baik.”
Beberapa menit kemudian ia kembali sambil membawa resep yang kuperlukan.
Proses rontgen, mulai dari menunggu giliran sampai mengambil hasil, ternyata lama sekali karena banyak pasien. Sekitar dua jam baru selesai. Dokter yang baik itu telah meninggalkan ruang praktiknya.
Hasil rontgen menyebutkan bahwa lututku terkena osteoarthritis alias pengapuran yang mengakibatkan nyeri sendi.
Keesokan harinya ketika aku menemui dr. Winarti untuk infus dan suntik, aku menunjukkan hasil rontgen.
“Ini hanya sedikit. Ringan,” katanya.
Untung tidak parah ya?
Ringan saja sakitnya lumayan… Yach.. yang bikin lumayan itu karena ada bonus nyeri di pangkal paha.
Untuk mengatasinya, sementara ini aku minum tablet anti nyeri serta obat suplemen yang mengandung glukosamin dan kondroitin.
Tak ada obat yang dapat menyembuhkan pengapuran. Tetapi latihan yang tepat dapat meningkatkan dan mempertahankan lingkup sendi, menguatkan otot, meningkatkan ketahanan dan fungsi sendi serta meningkatkan kepadatan tulang

5 comments:

Pucca said...

trus pengapuran itu karna apa sim? kayanya cewe sering deh kena pengapuran begitu.. apa gak boleh sering2 jalan ya hihi..

Once in a Lifetime said...

Kalau dugaan asam urat sebaiknya berdasarkan hasil lab mbak, kan rugi udah pantang segala macam makanan he he.. OA tuh emang menganggu sekali ya, tp klinisnya biasanya justru bgn pagi rasanya kaku dan nyeri, nanti sdh dibw jln agak mendingan, mungkin krn tbhan pengapuran. Mdh2an dgn resep2 tsb nyerinya berkurang ya biar bs ngemol lg:)

My Jurney said...

Bit,
Moga2x cepat berkurang sakitnya yah

Cheers

sima said...

@vie, kalo ga salah sih itu maksudnya ada yg aus.. biasa menyerang perempuan lanjut usia.. ooohhh baru sadar kl ternyata gw udah tua.. hiks hiks...
kalo banyak jalan dan olah raga sih justru dianjurkan sebagai pencegahan. tp kl udah terserang, harus hati2.
@alisa, hehehe.. memang betul rugi. sebetulnya kadar asam uratnya msh blm mencapai garis merah... kemarin diet begitu saking dah desperate...
tp sebetulnya yg paling masalah itu adalah nyeri yang diakibatkan oleh kanker yg sudah menyerang tulang di bagian bawah tubuh.
@inge, trims, sakit agak berkurang berkat suhu chi...
dulu kalo duduk trus berdiri dan berdiri trus duduk, rasanya sakit, sekarang ga sakit.
tp kl jalan, bagian pangkal paha msh nyeri, meskipun kadarnya sdh berkurang.
kata suhu, sakit di dengkul itu bukan krn OA, tapi kanker.
yg hebat, bekas operasi yg mati rasa, langsungggg ga mati rasa lagi, diobati dg tenaga dalam. kayak di buku cersil kho ping ho itu lhoooo..... luar biasaaaa...

sima said...

@elisa, sori yach ada salah tipo dlm penulisan nama di atas ...

@my jurney.. eh sori jg, ini inge apa bukan.. sori kl salah, abis ga ada namanya sih ...