Banyak penyintas kanker payudara yang mengalami mati rasa di daerah dekat ketiak setelah menjalani mastektomi alias operasi pengangkatan payudara.
Operasi itu aku jalani pada bulan Desember 2004 dan masih mengalami mati rasa hingga minggu lalu. Tak terlalu mengganggu sih, jadi aku tak begitu peduli.
Tapi ada kejadian luar biasa pada suatu sore di hari Jumat, tanggal 16 Oktober 2009, ketika aku menjalani terapi chi alias tenaga dalam karena kakiku tambah sakit kalau berjalan.
Aku nggak bilang pada Pak Suhu mengenai bagian tubuh yang mati rasa itu. Tapi ia bisa menebaknya.
Dari jarak satu meter, ia menggerak-gerakkan ke dua tangannya. Hanya sekitar satu menit.
“Gimana rasanya sekarang?” ia bertanya.

Bagaimana dengan kakiku?
Soal sakit ini memang aneh. Tak menentu. Kayak harga BBM yang dulu sempat naik turun…Naik turun kayak ingus yang disayang-sayang… Iiiih sori… jorok ya…
Dulu sih sakitnya ga terlalu terasa. Sejak akhir bulan lalu, baru deh nyut… nyut.. nyut… Kaki kananku sakit kalau jalan. Bahkan kalau mau duduk atau kalau bangkit dari duduk.
Penyebabnya adalah kanker yang sudah mengerogoti tulang bagian bawah tubuh dan osetoarthritis “ringan” di lutut, yang disimpulkan melalui hasil rontgen pada hari Kamis, 8 Oktober 2009.
Dokter memberiku obat anti nyeri Moxam dalam dosis kecil, hanya ½ tablet, untuk diminum 2x sehari. Tapi nggak mempan. Pada hari berikutnya, tambah pain killer lain, yaitu Zaldiar ½-1 tablet.
Hari Minggu kondisi kakiku enak sekali. Hanya sakit sedikit.
Tapi hari Senin, rasa sakit kembali menyengat. Selasa… Rabu… juga tambah sakit sampai-sampai tidur tak nyenyak karena kalau kaki kanan digerakkan tidak dengan hati-hati, terasa ngilu di tulang. Padahal kalau tidur aku suka bolak balik ke kiri dan ke kanan…. .
Lalu aku ingat cerita temanku yang terkena myom dan kanker leher rahim dan menjalani terapi chi. Ia baru berobat satu kali, dan katanya cocok.
Tak ada salahnya mencoba, kan?
Mula-mula aku telepon suhu chi itu. Tak diangkat. Lalu aku SMS. Setelah sekian jam, baru ada balasan. Ia menyuruhku datang hari Jumat, 16 Oktober 2009, sore bersamaan dengan waktu yang dijadwalkan untuk temanku itu.
Sore itu ternyata macet gila-gilaan di jalur lambat Sudirman. Aku yang memang “sense of direction”-nya buruk, sempat nyasar pula. Sekitar sejam kemudian, barulah aku sampai di Jl. Suryo yang merupakan terusan Jl. Senopati, terasa mobil sedikit bergoyang selama beberapa detik, padahal kelihatannya nggak ada angin kencang. Di kiri kananku juga tak tampak truk besar yang melaju. Kalaupun ada, juga nggak bisa ngebut, kan lagi macet... Mungkin goyangan itu akibat perasaanku yang kurang enak karena terlambat berobat... Eh, tiba2 ada kabar di radio mengenai gempa di Ujung Kulon.
Terlambanya memang nggak kira-kira. Lebih dari satu jam.
Tempat praktik yang kutuju sangat sederhana. Sang suhu juga jauh dari bayangan kita akan orang yang pendiam dan serius.

Ia senang ngobrol dan sering tertawa besar. Perawakannya besar dan rambutnya agak gondrong. Bajunya biasa saja, kemeja dan celana panjang, bukan jubah seperti suhu yang kita lihat di film-film kung fu atau silat.
Ia lalu memeriksa lututku dan sambil menekan bagian yang sakit, ia menyalurkan tenaga dalam sementara aku berdoa.
Hal yang sama dilakukan pada bagian pangkal paha.
“Nah, sekarang sudah bisa main bola,” katanya berseloroh.
Aku berdiri dan duduk kembali tanpa rasa sakit. Lalu berjalan keliling ruangan. Rasa nyeri sudah jauh berkurang. Kaki kanan sekarang sudah dapat digerakkan ke samping dengan mudah. Juga dapat digerakkan ke atas, meskipun masih agak sulit.
“Wah, Sima sudah bisa lompat-lompat,” komentar temanku kemudian.
Hiperbol. Soalnya kalau melompat kan harus menggunakan dua kaki. Aku belum bisa. Berdiri tegak di atas kaki kanan saja juga masih sakit. Padahal dulu waktu latihan yoga (yang sekarang sudah tidak aku jalani lagi), aku sudah bisa melakukannya dengan kedua tangan di atas kepala selama beberapa saat.
Tapi memang kondisi kakiku jauh lebih baik. Hanya saja begitu keluar dari ruangan, mulai terasa agak sakit di pangkal paha meskipun kadarnya telah berkurang dibandingkan dengan sebelumnya.
Menurut Suhu, sakit di lutut itu juga disebabkan oleh kanker dan ia akan berusaha untuk “membakar” sel-sel kanker dengan chi. Tetapi ia juga mengakui bahwa itu bukan hal yang mudah karena penyebarannya sudah cukup banyak. Pengobatan ini juga akan memakan waktu agak lama dan ia sendiri tak menjanjikan kesembuhan.
“Kita lihat saja nanti,” katanya.
Aku lalu teringat seseorang yang belum lama ini menelponku tentang adiknya yang terkena kanker tulang sehingga dokter menganjurkannya untuk diamputasi. Ketika aku menceriterakan hal itu pada Suhu dengan harapan agar ia bersedia mengobatinya, ia menolak dengan halus karena pasiennya sudah terlalu banyak.

“Terserah saja,” katanya sambil menunjuk ke keranjang bambu di sudut ruangan.