Tuesday, September 29, 2009
Alvita: Kebahagiaan adalah Pilihan
Mati lampu yang menyebalkan itu ternyata bisa disyukuri juga, lho. Gara-gara mati lampu, si kecil Alvita jadi ketahuan menderita kanker.
Alvita sedang merayakan ulang tahunnya yang pertama pada tahun 1984 ketika listrik tiba-tiba padam. Dalam kegelapan, mata kirinya bersinar seperti mata kucing.
Bagaimana bisa? Orang tua Alvita adalah manusia biasa, bukan manusia harimau...
Ayah Alvita yang kebetulan seorang dokter di Jawa Tengah tahu kalau itu adalah suatu kelainan yang perlu diwaspadai.
Ia segera membawanya ke dokter spesialis mata yang memberikan diagnosa bahwa Alvita menderita retinoblastoma, yaitu tumor ganas di mata kiri. Dokter menganjurkan agar segera dilakukan operasi pengangkatan mata untuk mengantisipasi penyebaran kanker ke bagian tubuh lainnya.
Alvita pun segera dibawa ke RS Mata Aini di Jakarta. Operasi.berjalan lancar meskipun suasana sempat diliputi rasa khawatir dan hujan air mata.
Kehilangan satu mata sempat membuat Alvita minder karena ejekan teman di SD tapi rasa rendah diri segera sirna berkat dukungan kedua orangtua yang sangat menyayanginya. Alvita pun bertekad untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter dan juga penulis.
”Jika seseorang sukses dengan segala kelebihan, kepintaran dan kekayaan itu biasa tetapi bila seseorang sukses dengan segala kekurangan , kelemahan bahkan kesederhanaan itu baru dinamakan luar biasa,” begitu mereka berkata untuk menguatkan Alvita.
Semuanya kelihatan baik-baik saja sampai ia menginjak usia 16 tahun. Ia merasakan nyeri pada kaki kiri akibat jatuh dan terkilir. Rasa sakit tak kunjung hilang hingga hampir setahun lamanya. Bahkan nyeri itu kian menghebat, kaki membengkak, kulit kemerahan dan terasa panas.
Ternyata Alvita didiagnosa menderita kanker yang disebut Limfoma non Hodgkins stadium 3.
“Kanker pertama merupakan misteri tapi kanker kedua merupakan bencana buat saya,” kata Alvita dengan berurai air mata.
Orangtua Alvita lalu membawanya ke Singapura untuk mencari second opinion. Berbagai pemeriksaan menghasilkan berbagai diagnosa yang berbeda. Melalui operasi tulang, muncul dugaan bahwa ia menderita primitive neuroectodermal tumour (PNET) stadium 3 meskipun dokter tak yakin sepenuhnya.
Di tengah pergulatan emosi yang sempat membuat ia marah pada Tuhan, Alvita menjalani kemoterapi sebanyak 6 kali di Singapura. Efek sampingan dari kemoterapi segera tampak. Timbul rasa nyeri, mual, lemah dan rambut berguguran.
Dalam penderitaan itu Alvita mendapatkan semangat hidupnya kembali melalui sapaan dengan seorang ibu yang sangat tegar meskipun anak perempuannya yang berusia 3 tahun terkena kanker otak. “Gadis kecil, jangan bersedih, Tuhan selalu bersamamu,” katanya. “Jangan kuatir... berjuanglah!”
Saat ia tengah didera rasa sakit yang membuatnya berguling-guling sambil berteriak kesakitan: “Mama.. panas.. mama... sakit...”, tiba-tiba seorang perempuan datang, memeluk dan mendoakannya. Ia juga membawa biji-bijian (barley) yang kemudian direbus dan airnya diminum Alvita.
“Entah kenapa tiba-tiba saya menjadi tenang. Kemudian saya meminum obat rebusan dan menjadi tertidur,” kata Alvita.
Sampai sekarang ia tak pernah melihat kedua perempuan yang baik hati itu. Pasti mereka adalah malaikat, ya?
Setelah kemoterapi, Alvita juga harus menjalani radioterapi sebanyak 30 kali di Jakarta dan 40 kali di Semarang.
Bagaiman keadaannya sekarang?
Alvita yang nama lengkapnya adalah Alvita Dewi Siswoyo sudah berhasil menjadi dokter dan kini sedang mengambil program pendidikan dokter spesialis.
Ia juga tengah menyelesaikan bukunya yang pertama. Judulnya Aku Mau Sembuh.
Berikut cuplikan buku Alvita yang menolak disebut sebagai korban kanker.
”Saya adalah seorang pejuang kanker! Ada banyak hikmah kehidupan yang saya dapatkan ketika saya berjuang melawan kanker. Pada saat saya mendekati kematianlah, saya baru dapat lebih mengerti dan mensyukuri tentang arti kehidupan. Hidup bukanlah untuk menjalani hari tapi hidup untuk memberi arti. Belajarlah menghargai dan mensyukuri hal-hal kecil (termasuk orang-orang disekeliling) dalam hidup Anda karena disitulah terpendam harta karun kebahagiaan Anda,” katanya.
”Kebahagiaan bukanlah ditentukan oleh keadaan, tetapi merupakan suatu pilihan. Pilihan kita untuk menjadi seorang ’korban’ dari keadaan dengan selalu mengasihani diri kita atau kita memilih menjadi seorang ‘pejuang’ melawan keadaan.
”Jangan hanya melihat suatu peristiwa dari baik- buruknya keadaannya namun petiklah hikmah dan makna yang terkandung didalamnya. Tetaplah semangat dan bergembira, nikmatilah hidup Anda seakan-akan hari ini hari terakhirmu didunia ! Dalam nasib yang paling buruk terdapat peluang terbaik bagi perubahan yang membahagiakan.”
Alvita sedang merayakan ulang tahunnya yang pertama pada tahun 1984 ketika listrik tiba-tiba padam. Dalam kegelapan, mata kirinya bersinar seperti mata kucing.
Bagaimana bisa? Orang tua Alvita adalah manusia biasa, bukan manusia harimau...
Ayah Alvita yang kebetulan seorang dokter di Jawa Tengah tahu kalau itu adalah suatu kelainan yang perlu diwaspadai.
Ia segera membawanya ke dokter spesialis mata yang memberikan diagnosa bahwa Alvita menderita retinoblastoma, yaitu tumor ganas di mata kiri. Dokter menganjurkan agar segera dilakukan operasi pengangkatan mata untuk mengantisipasi penyebaran kanker ke bagian tubuh lainnya.
Alvita pun segera dibawa ke RS Mata Aini di Jakarta. Operasi.berjalan lancar meskipun suasana sempat diliputi rasa khawatir dan hujan air mata.
Kehilangan satu mata sempat membuat Alvita minder karena ejekan teman di SD tapi rasa rendah diri segera sirna berkat dukungan kedua orangtua yang sangat menyayanginya. Alvita pun bertekad untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter dan juga penulis.
”Jika seseorang sukses dengan segala kelebihan, kepintaran dan kekayaan itu biasa tetapi bila seseorang sukses dengan segala kekurangan , kelemahan bahkan kesederhanaan itu baru dinamakan luar biasa,” begitu mereka berkata untuk menguatkan Alvita.
Semuanya kelihatan baik-baik saja sampai ia menginjak usia 16 tahun. Ia merasakan nyeri pada kaki kiri akibat jatuh dan terkilir. Rasa sakit tak kunjung hilang hingga hampir setahun lamanya. Bahkan nyeri itu kian menghebat, kaki membengkak, kulit kemerahan dan terasa panas.
Ternyata Alvita didiagnosa menderita kanker yang disebut Limfoma non Hodgkins stadium 3.
“Kanker pertama merupakan misteri tapi kanker kedua merupakan bencana buat saya,” kata Alvita dengan berurai air mata.
Orangtua Alvita lalu membawanya ke Singapura untuk mencari second opinion. Berbagai pemeriksaan menghasilkan berbagai diagnosa yang berbeda. Melalui operasi tulang, muncul dugaan bahwa ia menderita primitive neuroectodermal tumour (PNET) stadium 3 meskipun dokter tak yakin sepenuhnya.
Di tengah pergulatan emosi yang sempat membuat ia marah pada Tuhan, Alvita menjalani kemoterapi sebanyak 6 kali di Singapura. Efek sampingan dari kemoterapi segera tampak. Timbul rasa nyeri, mual, lemah dan rambut berguguran.
Dalam penderitaan itu Alvita mendapatkan semangat hidupnya kembali melalui sapaan dengan seorang ibu yang sangat tegar meskipun anak perempuannya yang berusia 3 tahun terkena kanker otak. “Gadis kecil, jangan bersedih, Tuhan selalu bersamamu,” katanya. “Jangan kuatir... berjuanglah!”
Saat ia tengah didera rasa sakit yang membuatnya berguling-guling sambil berteriak kesakitan: “Mama.. panas.. mama... sakit...”, tiba-tiba seorang perempuan datang, memeluk dan mendoakannya. Ia juga membawa biji-bijian (barley) yang kemudian direbus dan airnya diminum Alvita.
“Entah kenapa tiba-tiba saya menjadi tenang. Kemudian saya meminum obat rebusan dan menjadi tertidur,” kata Alvita.
Sampai sekarang ia tak pernah melihat kedua perempuan yang baik hati itu. Pasti mereka adalah malaikat, ya?
Setelah kemoterapi, Alvita juga harus menjalani radioterapi sebanyak 30 kali di Jakarta dan 40 kali di Semarang.
Bagaiman keadaannya sekarang?
Alvita yang nama lengkapnya adalah Alvita Dewi Siswoyo sudah berhasil menjadi dokter dan kini sedang mengambil program pendidikan dokter spesialis.
Ia juga tengah menyelesaikan bukunya yang pertama. Judulnya Aku Mau Sembuh.
Berikut cuplikan buku Alvita yang menolak disebut sebagai korban kanker.
”Saya adalah seorang pejuang kanker! Ada banyak hikmah kehidupan yang saya dapatkan ketika saya berjuang melawan kanker. Pada saat saya mendekati kematianlah, saya baru dapat lebih mengerti dan mensyukuri tentang arti kehidupan. Hidup bukanlah untuk menjalani hari tapi hidup untuk memberi arti. Belajarlah menghargai dan mensyukuri hal-hal kecil (termasuk orang-orang disekeliling) dalam hidup Anda karena disitulah terpendam harta karun kebahagiaan Anda,” katanya.
”Kebahagiaan bukanlah ditentukan oleh keadaan, tetapi merupakan suatu pilihan. Pilihan kita untuk menjadi seorang ’korban’ dari keadaan dengan selalu mengasihani diri kita atau kita memilih menjadi seorang ‘pejuang’ melawan keadaan.
”Jangan hanya melihat suatu peristiwa dari baik- buruknya keadaannya namun petiklah hikmah dan makna yang terkandung didalamnya. Tetaplah semangat dan bergembira, nikmatilah hidup Anda seakan-akan hari ini hari terakhirmu didunia ! Dalam nasib yang paling buruk terdapat peluang terbaik bagi perubahan yang membahagiakan.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 comments:
Great!
Wah, gini deh kalo Great Sima ketemu Great Alvita. Ada cerita langsung jadi tulisan. :-)
Bukan main.... tulisanmu sangat menggugah dan menyemangati bagi mereka yg saat ini sedang mengalami sakit sejenis. Kamu telah memberi warna dan asa bagi mereka yg sempat mengambil manfaat dari tulisan2mu, salut dan terimakasih buat Sima.
CW
Bukan main.... tulisanmu sangat menggugah dan menyemangati bagi mereka yg saat ini sedang mengalami sakit sejenis. Kamu telah memberi warna dan asa bagi mereka yg sempat mengambil manfaat dari tulisan2mu, salut dan terimakasih buat Sima.
CW
hikshiks..sedih sim, aku nangis2 di kantor bacanya T_T
@Titah - trims ya sudah berbagi bukunya Alvita.
@Ano - syukurlah kalau tulisan2 itu ada manfaatnya... aku senang mendengarnya.
@Pucca - tulisan aslinya memang menguras air mata. gw ada soft copynya. kl minat, email aja.
Post a Comment