Wednesday, February 2, 2011

Telepon dari Dharmais

Kriiiiiing….. Telepon di rumahku berbunyi memecahkan kesunyian di malam hari menjelang pukul 21:00.

 Segera telepon kusambar. Penasaran, siapa yang menelpon malam2 begini? Rasa penasaran langsung berubah menjadi rasa kaget luar biasa setelah mengetahui bahwa itu ternyata telepon dari RS Dharmais.

Si penelpon menanyakan bagaimana kabarku, apakah aku masih mengalami rasa nyeri.

Aku hampir tak mempercayai pendengaranku sendiri. Tumben, seumur-umur baru kali ini dapat telepon dari RS untuk menanyakan keadaanku. Aku sendiri juga beberapa bulan nggak ke RS Dharmais.

“Saya dari paliatif,” katanya.

Oh, paliatif. Layanan paliatif merupakan hal yang relatif baru karena baru dikenal di awal 1990-an dan tidak semua rumah sakit menyediakan layanan ini.

Apa itu paliatif? Menurut WHO, perawatan paliatif adalah perawatan total dan aktif untuk penderita yang penyakitnya tak lagi reponsif terhadap pengobatan kuratif alias yang tidak dapat disembuhkan.

Layanan paliatif diberikan agar pasien lepas dari penderitaan seperti nyeri yang berkepanjangan atau keluhan lain sehingga dapat menjalani hidup yang berkualitas. Ini adalah layanan terpadu yang menyangkut kesehatan jasmani dan rohani alias mental dan spiritual.

Layanan ini baru ada di 6 kota yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar. Di Jakarta, layanan ini diberikan oleh RSCM dan RS Dharmais.

Suster dari unit paliatif RS Dharmais menelpon mungkin merasa khawatir dengan keadaanku karena sudah lama tidak ke sana. Ia menanyakan keluhanku dan menganjurkan agar menyampaikannya ke dokter saat aku melakukan konsultasi. Memang aku sendiri sudah punya rencana untuk ke dokter pada keesokan harinya.

Hari Senin kemarin aku ke Dharmais untuk bertemu dengan dr. Noorwati. Aku masih ingat pertanyaanya ketika aku akan berkonsultasi beberapa bulan yll.

“Bagus?” tanyanya begitu aku memasuki ruangan praktik dan duduk di hadapannya.

Aku bengong. Apanya yang bagus?

“Itu novelnya, bagus? Suka baca ya?”

Oooh iu maksudnya. Memang saat itu aku membawa novel berjudul Killing Me Softly, untuk dibaca-baca sambil menunggu giliran konsultasi.

“Lumayan, tapi ada buku yang jauh bagus. Hanya saja saya lupa pengarangnya. Nanti saya SMS.”

“Iya, boleh, nanti SMS ya, ini nomor HP saya,” kata bu dokter yang hobi baca itu seraya menuliskan nomor HP-nya di atas secarik kertas.

Dalam konsultasi singkat kemarin, aku mengutarakan soal nyeri yang belum teratasi dengan tuntas. Bu dokter menyarankan agar obat diganti dan menyuruhku ke dokter lain.

“Rasa nyeri ini harus dicari penyebabnya. Nanti konsultasi ya dengan dokter syaraf,” katanya. “Ini tidak usah bayar.”

Wah, baik banget ya, bu dokter ini. Ia membebaskan aku dari biaya konsultasi sebesar Rp 150 ribu.

Ngomong2 soal nyeri. Aku punya teori sendiri. Rasa nyeri itu mulai bertambah dalam dua minggu terakhir ini, bertepatan dengan perubahan sementara dalam sistem kerjaku.

Sejak dua minggu yll aku bekerja dari rumah. Asyik kan, nggak usah bermacet ria di jalanan. Dengan sistem itu, dari jam 8 pagi sampai 4 sore praktis aku selalu berada di depan komputer. Jarang bergerak. Mungkin itulah pemicu peningkatan rasa sakit.

Pada hari Senin, aku ke sana ke mari, mampir ke kantor sebelum ke Dharmais, dan rasa sakit itu berkurang. Memang aku harus lebih banyak bergerak, apalagi sejak diradiasi, aku jarang olah raga....

Hari ini aku banyak melakukan gerakan2 ringan, meskipun dilakukan sambil duduk, atau mondar-mandir dari kamar ke kebun atau ke dapur... Hasilnya memang menakjubkan, seharian ini boleh dibilang rasa sakit jauh berkurang. Padahal semalam sempat merasa sakit sekali meskipun obatnya sudah diganti dan ditambah, sehingga hari ini aku kembali minum obat yang lama.

Semoga keadaan semakin aman dan terkendali... apalagi dengan adanya dukungan layanan paliatif yang pro-aktif itu.

11 comments:

sewa laptop surabaya said...

tetap jaga kesehatan gan, supaya bisa terima telppon lagi :D

Titah said...

nah, betul, memang nyeri gak selalu berhubungan langsung dengan penyakit. mungkin akibat kurang gerak, atau akibat tekanan psikologis tertentu. btw aku suka gambarnya: bersemangat betul, ceria betul, kayak sima. hope so, honey! :)

sima said...

makasih gan.. sudah mampir.
@ titah - gambar itu nyomot, entah dari mana, aku juga ga ingat.... memang kita perlu semangat dan ceria dan gembira. katanya hati yg gembira adalah obat yang manjur... :)

Pucca said...

sering jalan2 sim jadi gak sakit lagi, kalo di kantor sih sering jalan ya dipanggil ke sini ke sana kalo di rumah otomatis jadi kurang jalan, sering2 minum jadi sering pipis jadi sering jalan ^^

sima said...

betul Vie, mesti banyak gerak supaya peredaran darah lancar dan sakitnya berkurang. kalo kerja di rumah, yg banyak bergerak cuma jari2nya..... :)

yik said...

Tuh kan... aku kan sudah bilang, jangan lupa olahraga, nggak berenang juga nggak apa2, yg penting gerak sedikit, jalan pagi/sore di sekitar kompleks misalnya *gaya ibu2 sok tau* Pokoke terus semangat ya mbak (semangat olahraga, maksudnya).

sima said...

Iya,bu Yik, nasehatnya memang tepat dan perlu diikuti. aku juga suka jalan2, tapi di sekitar kamar doang... dari kamar tidur ke kebun, ke dapur, ke WC, ke ruang makan... (Paling semangat tuh kalo ke tempat yg disebut paling akhir itu.. hehehehe)

Anonymous said...

Salam kenal...

saya sedang surfing internet, terkait kanker, mampir ke situs ini, ternyata dokter kita sama ya, dr.Noorwati S.

Salam

sima said...

salam kenal juga pak Anton,
dunia sempit ya.. :)

ps: saya sdh mampir ke blog pak Anton yg bagus, pasti banyak memberi manfaat bagi pembaca.

salam,
sima

Unknown said...

Salam kenal Pak Anton.
Kisah Bapak sangat menghibur dan memberikan secangkir air sejuk bagi para penderita kanker. Selamat berjuang !

Rostia
Typhonium Plus - 100% natural,
mengurangi efek samping kemoterapi
www.CancerHelps.com

ma_tilla said...

Halo Kak Sima. Semoga masih terus jaga kesehatan. Saya sampai ke blog ini krn sedang cari no hp dokter Noorwati. Beliau minta ibu sy utk telf ttg penyakit kanker paman saya, tp saya baru sadar ibu saya gak punya no hp dr. Noorwarti. Would be grateful if you could share. Thanks sblmnya ����