Monday, February 14, 2011

Mulutmu Harimaumu

Waktu aku masih remaja dan imut2, tak kalah dengan Justin Beiber ... aku suka memasang poster bintang pujaan dan menempelkan berbagai kata2 mutiara di dinding kamar.

Salah satu kata2 mutiara yang menjadi koleksiku ketika itu berasal dari majalah musik Aktuil yang sekarang sudah almarhum. Bunyinya kira2 begini: “Oh Lord, help me to keep my big mouth shut until I know what I am talking about.”

Versi terjemahan bebasnya adalah: Mulutmu, harimaumu. Atau lidah lebih tajam dari pedang. Atau lidah tak bertulang.... eh, kalo itu lain ya, artinya.

Kita harus menjaga mulut kita karena apa yang terlontar dari sana dapat berakibat fatal. Lawan bicara kita bisa sakit hati, marah, jengkel, tersinggung dan menangis. Apalagi kalau dibarengi bau pete dan cipratan hujan gerimis lokal.

Kata2 yang kurang berkenan itu merupakan pil pahit yang harus ditelan oleh kakak perempuan temanku yang juga teman kakak perempuanku. Hahaha... jangan bingung, ya... Ia adalah teman sekelas kakakku waktu SMA sedangkan adiknya sekelas denganku.

Kakak temanku itu tengah berjuang melawan kanker. Ia tinggal di Solo, kota tempat aku dibesarkan. Awal bulan ini aku sempat ke sana untuk mengantar pulang orang tua sekalian berlibur. Kesempatan itu juga aku pergunakan untuk menengoknya.

Meskipun kesehatannya kurang baik, ia tetap tegar dan tak kelihatan stres. Pasti itu karena ia rajin berdoa. Maklumlah, ia memang sangat religious, apalagi pekerjaannya memang berkutetan dengan makanan rohani.

Sambil berbaring di sofa empuk, ia bercerita tentang penyakitnya yang datang tanpa permisi.

“Ini awalnya dari susah beol,” katanya.

Susah BAB alias buang air besar ternyata merupakan hal yang serius. Dari berbagai pemeriksaan akhirnya diketahui bahwa ia menderita kanker usus.

Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasinya, mulai yang tradisional sampai yang modern. Kondisinya sempat membaik tetapi kemudian kembali memburuk. Cobaan yang dihadapinya sungguh berat. Kanker menyebar ke berbagai bagian tubuh, termasuk otak. Tapi ia tak putus asa. Usaha terakhir yang ditempuh adalah radioterapi di sebuah RS di Solo.

Dalam menjalani radiasi itulah hatinya terluka oleh kata2 yang diucapkan oleh bu dokter ahli radiologi

Ceritanya begini. Ia merasa lelah karena harus bolak-balik ke RS untuk memenuhi jadwal radiasi yang memang padat dan harus dilakukan setiap hari secara terus menerus selama 30 kali (kalau tidak salah ). Karena itu ia bertanya pada bu dokter apakah boleh ada jeda dalam pengobatan itu.

Jawabannya sungguh mengerikan.

“Ya terserah kalau mau lumpuh. Kalau saya, tidak masalah situ mau lumpuh,” begitu jawab bu dokter seperti yang diceriterakan oleh kakak temanku.

Ya ampun... bu dokter... Kenapa sih mesti mengucapkan kata2 seperti itu?

Mungkin maksudnya adalah agar pasien tahu bahwa pengobatan itu harus dilakukan setiap hari dan tidak boleh terputus. Kalau pasien tidak mau menurut nasehat dokter, maka akibatnya bisa buruk sekali, bahkan ia ia bisa lumpuh.

Seharusnya dokter memiliki compassion, rasa simpati terhadap pasien dan jangan mengumbar kata2 kasar yang dapat menambah penderitaan pasien yang memang sudah menderita. Banyak dokter yang baik hati, sabar dan penuh perhatian terhadap pasien. Tetapi ada juga yang bersikap sebaliknya. Yach... namanya juga manusia.... Tapi... akibat nila setitik, rusak susu sebelanga (iiiiiiih....besar sekali ya susunya....???)

Mungkin rasa empati bu dokter yang menangani radiasi itu sudah terkikis habis. Sudah bosan, jenuh dan kebal karena tiap hari mendengar keluh kesah, rintihan dan ratapan pasien serta keluarganya. Tak ada lagi barang secuilpun rasa simpati terhadap pasien, tak peduli betapa buruk kesehatannya.

Mungkin juga saat itu emosinya sedang kurang stabil setelah cek-cok dengan suami yang ketahuan berselingkuh. Mungkin juga bu dokter hatinya lagi jengkel dan mendongkol karena sang pembantu memberinya sepiring kol untuk sarapan padahal ia minta jengkol.

10 comments:

Pucca said...

haha akhirannya lucu banget sim, tapi emang bu dokter itu bener2 tidak punya hati, mereka emang berkutat tiap hari ama rs, tapi kita kan nggak ya, kita kan gak biasa..
gua kalo denger vonis aja bisa mengkeret padahal dokter yang ngomong kok biasa aja ya..

Once in a Lifetime said...

Hal ini kayaknya mulai disadari juga, maka mulai beberapa tahun ini ada modul "Empati terhadap Pasien" yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kedokteran nasional. Mudah2an ke depannya gak ada dokter yang bertutur kata spt itu ya,mbak.

Kenna said...

hahaha Sima lucu banget....cool...coba deh bikin novel...pasti keren n laris manis...miris ya kebanyakan dokter emang ngga pake perasaan....jarang banget ketemu dokter yang memiliki rasa empati minimal kalo pun ngga tulus ya basa basi pun ok lah....gimana kalo mereka yang mengalami kejadian seperti itu ya...? apa ngga pengen senggol bacok tuh hehehe

sima said...

@pucca: salah satu dokter gw dulu jg pernah bilang "terserah" ketika aku dihinggapi rasa malas untuk kontrol. tapi syukur ya Vi, kita ketemu dengan dokter2 lain yang baik hati.

@elisa: bagus sekali kalau ada modul seperti itu dalam kurikulum. kita dapat berharap ada banyak kemajuan dalam layanan medis. itu merupakan langkah positif yang patut kita hargai.

@keena: bikin novel itu sebetulnya merupakan salah satu cita2ku juga. duluuuu pernah mencoba, tapi mandeg di bab 3....
iya, bener tuh, basa basi kadang2 juga perlu, jangan langsung main hajar aja ..

yik said...

Duh aduh.. tega sekali dan nggak profesional banget tu dokter :( Mudah2an mb Sima jgn pernah dpt dokter yg spt itu.

Titah said...

pasti tuh dokter habis didatengin debt collector... :)

sima said...

@yik : aduh jangan sampai deh... maunya sih ketemu yg baik2 aja. hehehe...
@ titah : .. hihihi....

Anonymous said...

halo Sima.., sy mum..saya jadi ingat pd keluhan pertama anak saya, suatu pagi (sesudah lebaran 2010) dia bangun dengan wajah bengkak..., langsung sy bw ke dokter di salah satu RS di Depok, kata bu dr tsb : gak apa2 gak ada yg perlu dikhawatirkan...ini memang chubby spt ibunya...(whattt???).., ternyata oh ternyata setelah melalui bbrp dokter & berbagai keluhan & sempat didiagnosa dari gondongan, kelainan jantung, alergi, asma...ketahuanlah kalau sakitnya PMBCL (primary mediastinal B cell Lymphoma)...& itu terdiagnosa oleh dokter di NUH...

sima said...

halo mum, kenapa ya dokter di depok mempunyai kesimpulan seperti itu? seharusnya dia berhati2 dan cermat, tidak boleh 'asbun'. karena itu memang diperlukan second atau bahkan third opinion kalau kita kurang sreg. semoga keadaan ananda kian membaik ya.

sewa komputer surabaya said...

mantab artikelnya, terima kasih atas infonya