Tuesday, May 25, 2010

Ketiadaan Rambut

Lagi-lagi ini soal rambut. Bukan rambut yang indah berkilau seperti iklan di TV, tapi jsutru sebaliknya. Soal ketiadaan rambut.

Inspirasi muncul dari foto di koran hari ini yang menampilkan beberapa pendeta Budha berjalan beriringan dengan khusuk sambil membawa kendi berisi air suci untuk upacara Waisak yang jatuh pada hari Kamis lusa (28 Mei 2010).

Bikhu (pendeta Budha lelaki) maupun Bikhuni (perempuan) sama-sama tak berambut. Mengapa ya, mereka harus mencukur habis rambutnya?

Rambut dianggap sebagai keindahan fisik yang merupakan hal duniawi sehingga sengaja ditiadakan agar tidak mengganggu kegiatan spiritual, begitu kira2 jawaban yang diperoleh dari hasil meng-google.

Pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi juga kebanyakan tak berambut. Itu jelas bukan karena kemauan mereka. Kalau memungkinkan, tentu mereka ingin sekali agar selama kemo rambut justru tumbuh indah dan subur sehingga bisa ikut kontes ratu atau raja rambut. Namun apa daya, obat kemo yang dahsyat itu menghancurkan bukan hanya sel2 kanker, tapi juga sel2 lain yang sebetulnya masih kita butuhkan. Akibatnya, rambutpun rontok, di samping kemungkinan timbulnya dampak negatif lain seperti sariawan, mual atau pusing.

Untunglah, dampak itu hanya sementara.

“Rambut saya sekarang lebih halus dan agak ikal,” kata Trisna, temanku yang akhir tahun lalu menjalani kemo.

Biasanya rambut mulai tumbuh kembali empat sampai enam minggu setelah kemo selesai. Rambut yang baru bisa jadi berbeda tekstur dan warnanya. Misalnya rambut lurus jadi keriting. Ada juga yang rambutnya menjadi keabu-abuan, tetapi beberapa bulan kemudian kembali ke warna aslinya.

Karena sedang menjalani kemo, rambutku juga berguguran dan kini hanya tinggal beberapa helai saja. Moga2 nanti setelah kemo, rambutku jadi lebat dan indah tak kalah dengan Anggun yang hebat itu…

Aku sudah merelakan kepergian sang rambut. Kalau cowok sih enak, ya, nggak usah repot-repot pakai penutup kepala. Malahan ada cowok yang sengaja tampil gundul karena merasa bahwa botak itu seksi. Ada juga sih cewe yang menghabisi rambutnya, misalnya Sinead O’Connor yang kontroversial itu. Tapi itu kasus yang tak biasa.

Karena tak mau menarik perhatian, aku selalu memakai tutup kepala. Tidak memakai wig karena takut panas, cukup bandana, scarf, topi rajut atau yang lainnya.

Seorang teman yang tinggal di benua lain dan tengah berkunjung ke Jakarta memasang di Facebook foto kami yang diambil ketika makan kuetiauw di PS.

“Sima pakai kerudung kelihatan soleha sekali,” komentar teman lain (padahal aku pakai bandana lho, bukan kerudung…. )

Meskipun mengenakan penutup kepala yang terbuat dari bahan katun. seringkali aduh.. nggak tahan… panasnya itu lho.. Tapi aku tahan2 saja karena tak sanggup bertelanjang kepala seperti para Bhiku dan Bhikuni yang telah tertempa menghadapi segala cobaan dan penderitaan.

Seandainya aku artis terkenal mungkin aku nggak perlu pakai tutup kepala. Biar jadi tambah ngetop. Tiap hari dikejar-kejar wartawan infotainment dan masuk TV.

Aku salut sekali dengan teman2 yang sehari-harinya mengenakan kerudung atau penutup kepala lainnya. Mereka sama sekali nggak kelihatan kepanasan, bahkan tampak nyaman. Pastilah itu karena mereka melakukannya dengan penghayatan sepenuh hati.

Thursday, May 20, 2010

Biar sakit tetap aktif dan produktif

Keren sekali ya judul tulisan ini? Kesannya gimana… gitu. Tapi bener lho. Biarpun kita ini sakit kanker, tapi kita masih bisa aktif dan produktif.
Nggak percaya? Ya… memang sihhh.. ada juga yang sakitnya parah sehingga aktivitas terganggu. Tapi banyak juga yang dapat bekerja dengan baik.
Aku sendiri malahan seringkali bekerja ekstra keras. Bahkan akhir2 ini semakin sibuk, lebih repot daripada ketika belum terkena kanker. Apalagi karena minggu lalu aku ke luar kota untuk menengok keluarga di Solo. Pekerjan menumpuk sehingga … tak ada waktu untuk menulis di blog.
Kondisiku sendiri saat ini baik2 saja. Kemo putaran kedua sudah selesai dan putaran ketiga akan dimulai hari Sabtu ini. Syukurlah, Tuhan masih memberi kekuatan selama kemo sehingga tidak terlalu berpengaruh pada kegiatan sehari-hari meskipun secara fisik memang lebih lemah.
Berbeda dengan sebagian orang yang merasa mual dan tidak ada nafsu makan setelah dikemo, aku malah doyan makan.
“Kondisimu itu nggak normal,” komentar teman sambil becanda.
Mungkin juga ya?
Dokter Win yang menangani kemoterapi juga mendeteksi “ketidaknormalan” itu ketika menyuntikkan neurobion seperti yang dianjurkan oleh dokter syaraf (baca tulisan sebelumnya: Mau untung malah buntung ).
Sudah 4x bu dokter memberikan suntikan itu, sekalian kemo. Eh, pertama kali tidak disuntikkan, tetapi dimasukkan melalui cairan infus.
“Ini supaya tidak sakit. Daripada disuntik di pantat, pegelnnya bisa sampai berjam-jam,” kata bu dokter. Ia menambahkan kalau sehabis disuntik, badan bisa jadi “seger”.
Ternyata waktu obat masuk, lumayan sakit. Rasanya seperti ketika obat dimasukkan ke tubuh sebelum menjalani CT scan bagian perut. Pokoknya sangat tidak nyaman.
Pada giliran berikutnya, bu dokter menyuntikkan obat itu melalui nadi tangan yang bekas diinfus
Kalau di suntik di sini tidak sakit,” katanya.
Aduh, ternyata sakit sekali seperti digigit ribuan semut… Untung hanya sebentar, sekitar 30 detik.
Ketiga kalinya, aku minta agar disuntuk di pantat saja. Bu dokter heran.
“Kalau di pantat itu sakit. Biasanya kalau di nadi tidak sakit. Mungkin kemarin sakit karena pengaruh obat kemo? Saya jadi penasaran. Bagaimana kalau disuntik dulu sebelum diinfus obat kemo? Mungkin tidak sakit,” katanya.
Aku mengiyakan. Dan ternyata… sama saja sakitnya.
Ketika aku suntik neurobion di klinik 24 jam dekat rumah, dokternya baik sekali.
“Ini saya suntik pelan-pelan ya, biar tidak sakit,” katanya.
Ya ampun… justru karena disuntik pelan2, aku jadi harus menahan rasa sakit dalam waktu yang cukup lama. Padahal biasanya kalau disuntik dengan kecepatan normal, sakitnya tidak seberapa. Pegalnya juga hanya sedikit dan sebentar.
Lalu dokter menasehati: “Lain kali jangan malam2 ya suntiknya, nanti tidak bisa tidur.”
“Oh kebetulan, dok, malam ini saya mau lembur,” kataku sambil melirik arloji. Sudah jam 7 lewat.
Tapi malam itu jam 10 tetap saja ngantuk berat …. Kok nggak ngaruh ya?
Aku lalu teringat suhu yang pernah memberiku terapi chi. Dulu aku memang rajin ikut terapi chi, tetapi kemudian berhenti karena akan kemo. Suhu ini pernah menyuruhku minum obat herbal Cina untuk meningkatkan stamina tubuh.
“Minumnya pagi saja. Cukup 1 kapsul. Jangan malam hari, nanti nggak bisa tidur,” katanya.
Aku memang gampang mengantuk. Itu penyakit lama sejak jaman kuliah dulu. Kalau ada kuliah siang, rasanya tersiksa sekali, harus berjuang keras supaya tidak tertidur. (Yang paling parah, dulu kalau ke gereja pagi2, suka ketiduran…)
Biarpun sudah minum obat yang disebut suhu “pil ajaib” saking hebatnya, tetap saja nggak ngaruh. Tetap ngantuk, padahal suhu bangga sekali dengan obat ramuannya yang harga lumayan mahal itu
“Coba minum 2x sehari. Tapi minumnya pagi dan sore. Jangan malam,” kata suhu.
Aku menurut. Tetap nggak ada bedanya tuh.
“Ya, memang kamu perlu banyak tidur, istirahat,” begitu kata suhu akhirnya.

Mau untung malah buntung

Karena bosan berjalan terseok-seok, terkadang sambil menahan rasa sakit, akhirnya aku memutuskan untuk pergi juga ke dokter syaraf.
Sebetulnya ini memang agak terlambat karena sudah lama bu dokter yang oncologist di NUH itu menganjurkan agar aku berkonsultasi dengan neuorologist. Tepatnya setelah hasil pemeriksaan MRI dan CT scan bulan Maret 2010 tidak dapat mendeteksi penyebab lemahnya kaki kananku. Hanya saja aku malas sekali ke dokter syaraf. Capek rasanya berobat.
Aku lalu mencoba berenang. Siapa tahu, sakitnya jadi hilang? Aku nggak jago renang tapi bisalah dikit2… Sudah lamaaa… sekali nggak pernah renang, hampir dua tahun kayaknya. Kemarin ini sehabis renang, bukannya kaki jadi enakan, kok malah agak makin sakit kalo dipakai jalan, mungkin juga gara2 terlalu semangat renangnya… Setelah tiga kali berenang, akhirnya aku berhenti.
Akhir April, berhubung sudah mana tahan, akhirnya aku memutuskan untuk ke dokter syaraf di Bintaro. Sebelumnya, aku berinisiatif untuk melakukan pemeriksaan EMG (Elektromyogram), yang memang pernah disinggung oleh bu dokter.
Kemana ya enaknya EMG?
“Kalau mau nggak pake ditusuk, di RS Pluit,” begitu informasi yang aku dengar.
Wah, bagus juga itu. Soalnya ditusuk jarum itu nggak enak, sakit.
Singkat cerita, aku jadi ke RS Pluit untuk EMG. Sebelumnya, dokter yang akan melakukan pemeriksaan menanyakan sedikit tentang keluhanku.
Lalu ia berkata: “Tapi ini nggak pake ditusuk. Jadi hanya kena kulit, nggak kena otot. Hasilnya nggak akurat. Gimana?”
Lho. Dokter ini kok jujur sekali, ya? Apa maksudnya hasil nggak akurat? Logikanya, kalo hasil nggak akurat, kan nggak mungkin RS mau menggunakan alat itu? Aku agak bingung juga. Tapi berhubung sudah jauh2 ke RS, mana parkirnya siang itu kebetulan lagi susah setengah mati, aku bilang: “Nggak apa, dok.”
Jadilah pemeriksaan dilakukan. Biarpun nggak pake ditusuk, ternyata ada saat2 tertentu yang lumayan sakiiit. Soalnya kakiku disetrum.
Pemeriksaannya sendiri nggak lama. Mungkin sekitar 15 menit, dengan biaya Rp 460 ribu. Hasilnya diberikan melalui suster sekitar 15-30 menit kemudian. Waktu aku baca, di situ tidak tertulis adanya syaraf terjepit dsb. Wah, jangan2 pemeriksaannya nggak akurat nih… pikirku.
Keesokan harinya aku berkonsultasi dengan dr. Juwono di RSIB. Pak dokter lalu memeriksa kakiku dan sambil melihat hasil EMG. Ia juga berkesimpulan bahwa tak ada syaraf terjepit, sampai aku memberitahu bahwa pemeriksaan EMG itu nggak pake ditusuk.
“Tidak bisa kalau tidak pakai, ditusuk, tidak akurat,” katanya.
Wah… mesti diulang dong. Betul, pemeriksaan EMG akhirnya diulang dan lebih menyeluruh (jadi biayanya juga >50% lebih mahal). Kebetulan di ruangan dr Juwono juga ada peralatan EMG. Aaaah.. tau begitu, ngapain juga jauh2 ke RS Pluit?
Hasil pemeriksaan EMG yang pakai ditusuk ini ternyata sama: tidak ada syaraf yang terjepit...
Kesimpulan dokter, syaraf tepi melemah, dan ini disebabkan oleh kanker.
Apa solusinya?
Suntik neurobion setiap hari selama 15x berturut-turut dan minum 2 macam vitamin. Aduuuhh, suntik lagi…
Ya sudahlah… Mau nggak mau, ya aku jalani saja….
Tapi syukurlah, puji Tuhan. Setelah suntik sekitar seminggu-10 hari, terasa hasilnya. Kaki kananku terasa lebih kuat, meskipun masih sedikit terseok-seok.
Hari Senin, 10 Mei 2010 kembali aku ke dr. Juwono. Kali ini aku nggak ke RS, tapi pagi2 langsung ke rumahnya (lumayan.. bisa menghemat Rp 50 ribu). Aku tetap disuruh minum vitamin dan suntik 15x, tidak setiap hari, tetapi 2 hari. Lumayan… frekuensi berkurang.
Untuk suntik, kalau hari biasa, bisa ke poliklinik Gramedia. Gratis. Kalau weekend, aku ke klinik 24 jam di dekat rumah. Ongkosnya Rp 40 ribu, sama dengan ongkos konsultasi dokter di klinik tsb. Tapi jarumnya aku bawa sendiri.
Minggu lalu aku berkesempatan menengok ayah yang baru saja pindah ke Solo. Di dekat rumah ada klinik 24 jam dan aku suntik di sana. Biayanya hanya Rp 10.000 plus jarum suntik Rp 2.000. Bedanya jauh ya dengan Jakarta? Tapi fasilitasnya juga beda sih. Tak ada AC. Dan tempat tidur di klinik 24 jam yang ini baunya agak semerbak.