
Inspirasi muncul dari foto di koran hari ini yang menampilkan beberapa pendeta Budha berjalan beriringan dengan khusuk sambil membawa kendi berisi air suci untuk upacara Waisak yang jatuh pada hari Kamis lusa (28 Mei 2010).
Bikhu (pendeta Budha lelaki) maupun Bikhuni (perempuan) sama-sama tak berambut. Mengapa ya, mereka harus mencukur habis rambutnya?
Rambut dianggap sebagai keindahan fisik yang merupakan hal duniawi sehingga sengaja ditiadakan agar tidak mengganggu kegiatan spiritual, begitu kira2 jawaban yang diperoleh dari hasil meng-google.
Pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi juga kebanyakan tak berambut. Itu jelas bukan karena kemauan mereka. Kalau memungkinkan, tentu mereka ingin sekali agar selama kemo rambut justru tumbuh indah dan subur sehingga bisa ikut kontes ratu atau raja rambut. Namun apa daya, obat kemo yang dahsyat itu menghancurkan bukan hanya sel2 kanker, tapi juga sel2 lain yang sebetulnya masih kita butuhkan. Akibatnya, rambutpun rontok, di samping kemungkinan timbulnya dampak negatif lain seperti sariawan, mual atau pusing.
Untunglah, dampak itu hanya sementara.
“Rambut saya sekarang lebih halus dan agak ikal,” kata Trisna, temanku yang akhir tahun lalu menjalani kemo.
Biasanya rambut mulai tumbuh kembali empat sampai enam minggu setelah kemo selesai. Rambut yang baru bisa jadi berbeda tekstur dan warnanya. Misalnya rambut lurus

Karena sedang menjalani kemo, rambutku juga berguguran dan kini hanya tinggal beberapa helai saja. Moga2 nanti setelah kemo, rambutku jadi lebat dan indah tak kalah dengan Anggun yang hebat itu…
Aku sudah merelakan kepergian sang rambut. Kalau cowok sih enak, ya, nggak usah repot-repot pakai penutup kepala. Malahan ada cowok yang sengaja tampil gundul karena merasa bahwa

Karena tak mau menarik perhatian, aku selalu memakai tutup kepala. Tidak memakai wig karena takut panas, cukup bandana, scarf, topi rajut atau yang lainnya.
Seorang teman yang tinggal di benua lain dan tengah berkunjung ke Jakarta memasang di Facebook foto kami yang diambil ketika makan kuetiauw di PS.
“Sima pakai kerudung kelihatan soleha sekali,” komentar teman lain (padahal aku pakai bandana lho, bukan kerudung…. )
Meskipun mengenakan penutup kepala yang terbuat dari bahan katun. seringkali aduh.. nggak tahan… panasnya itu lho.. Tapi aku tahan2 saja karena tak sanggup bertelanjang kepala seperti para Bhiku dan Bhikuni yang telah tertempa menghadapi segala cobaan dan penderitaan.

Seandainya aku artis terkenal mungkin aku nggak perlu pakai tutup kepala. Biar jadi tambah ngetop. Tiap hari dikejar-kejar wartawan infotainment dan masuk TV.
Aku salut sekali dengan teman2 yang sehari-harinya mengenakan kerudung atau penutup kepala lainnya. Mereka sama sekali nggak kelihatan kepanasan, bahkan tampak nyaman. Pastilah itu karena mereka melakukannya dengan penghayatan sepenuh hati.