Sunday, March 28, 2010
Akhirnya kemo juga …
Pas hari raya Nyepi tgl. 16 Maret 2010, ketika umat Hindu Bali mengurung diri di rumah, aku malah jalan2 dan menikmati keramaian sepanjang hari. Lha emang aku kan nggak ngerayain Nyepi.
Meskipun di sini libur, tapi di Singapur hari itu adalah hari kerja. Hari itu aku dijadwalkan untuk berkonsultasi dengan Dr. Tan Sing Huang di NUH pada jam 10 pagi. Bersama teman lamaku, Retno, aku tiba pada hari Senin dan menginap di apartemen teman kita, Lewa, yang memiliki koleksi segudang batik dan kain2 tua.
Jam 9 pagi, kita sampai di NUH. Di sana sudah ada beberapa pasien juga. Ketika sedang menunggu, tiba2 datang seorang petugas membagi-bagikan sebungkus kecil biskuit, crackers. Oh, baru tau lho ada servis seperti itu. Biasanya sih aku selalu datang untuk berkonsultasi sekitar jam 14 dan nggak pernah dikasih biskuit..
Kalau minuman hangat dari dulu memang disediakan. Kita bisa mengambil sendiri melalui mesin pembuat minuman. Ada capucino, milo, mocca, teh tarik dll. Selimut juga tersedia bagi mereka yang memerlukan. Maklum AC-nya dingin sekali.
Pada kedatanganku kali ini aku membawa hasil CT scan lengkap, termasuk pemeriksaan kepala, untuk melihat apakah ada penyebaran ke otak atau organ tubuh lain. Juga hasil bone scan. Semua pemeriksaan dilakukan di Jakarta untuk menghemat biaya Sebelumnya, hasil MRI sudah aku kirim terlebih dahulu ke sana melalui DHL, karena bu dokter ingin sekali segera melihat hasilnya. Mahal banget lho ongkosnya, Rp 320 ribu. Hampir sama dengan tiket promo Jkt-Sgp…
Seperti biasa, bu dokter selalu membahas hasil pemeriksaan dari Jakarta dengan rekannya yang dokter ahli radiologi. Hasil analisa dokter radiologi di Jakara dan di Singapur tidak selalu sama. Misalnya, dulu dokter di Jakarta mencurigai adanya penyebaran kanker di dinding luar paru-paru. Tetapi menurut dokter di Singapura, tidak ada penyebaran itu. Lalu pada hasil MRI yang terakhir ini, dokter di Jakarta menyebutkan adanya kompresi ringan pada tulang belakang yang mengenai selubung sumsum tulang dural dan akar syaraf. Tapi kata dokter di NUH, tidak ada “cord compression atau significant nerve root impringement.”
Setelah menunggu sekitar satu setengah jam, baru dokter memanggilku. Kali ini konsultasinya lamaaaaa sekali. Hampir 1 jam.
Ada dua kesimpulan. Yang pertama, kaki kananku yg lemah, yg sakit kalo dipakai berjalan, nggak ada hubungannya dengan kanker. Tadinya diduga ini karena kanker sudah menyerang tulang panggul, terutama bagian kanan. Tapi karena jalanku semakin terpincang-pincang timbul kekhawatiran kalau sumsum tulang belakang terkena kanker. Ini gawat sekali karena jika tidak ditangani segera, bisa lumpuh. Kekhawatiran lain adalah penyebaran kanker di otak. Ada kemungkinan kaki melemah karena perintah dari otak ke kaki kanan nggak nyampe…. gara2 otaknya sudah nggak beres. Untunglah otakku masih normal.
“Untuk kaki yang melemah ini, perlu ke dokter syaraf,” kata bu dokter. “Sudah didaftarin nanti hari Senin di sini.”
“Aduh, saya nggak sanggup dok, kalau harus bolak-balik terus ke Singapur. Selain repot ninggalkin kerjaan, juga berat di ongkos. Nanti saya periksa di Jakarta saja,” kataku sambil mengeluh dalam hati: “Kena kanker saja sudah susah setengah mati, ini kok masih dapet bonus sakit saraf- eh maksudnya sakit saraf ini bukan gila, lho, tapi ya itu, syaraf yg bermasalah sehingga aku jalannya pincang.”
Tapi di lain sisi, aku bersyukur juga karena ternyata sumsum tulang belakang dan otakku masih bebas dari kanker.
Kesimpulan kedua. Setelah melihat hasil bone scan, dokter menganjurkan agar aku menjalani kemoterapi. Dari hasil bone scan, tampak ada penyebaran baru di tulang belakang dan aktivitas yang semakin meningkat, khususnya di tulang panggul kanan.
Untuk kemo ini ada dua alternatif.
Alternatif pertama: kemo dilakukan setiap minggu selama enam sampai delapan putaran. Satu putaran terdiri dari 3x kemo. Jadi selama tiga minggu berturut-turut, aku harus kemo. Minggu ke-4 libur. Asyik juga ya, dapat libur. Lalu pada minggu berikutnya putaran ke-2 dimulai. Begitu seterusnya sampai minimal 6 putaran atau 18x kemo.
Alternatif kedua: kemo dilakukan setiap tiga minggu selama enam sampai delapan putaran.
Tapi doker menyarankan dengan amat sangat agar aku mengambil alternatif pertama karena lebih efektif. Selain itu secara keseluruhan biaya untuk alternatif kedua bisa 2x lipat dari alternatif pertama.
“Kemonya mulai minggu depan ya,” kata bu dokter.
Untuk menekan biaya, aku akan menjalani kemo di Jakarta, dan bu dokter tidak keberatan dan berjanji akan mengirimkan rincian prosedur kemo serta obat2 yang diperlukan melalui email.
Beberapa hari kemudian, datanglah email dari bu dokter disertai medical report dan rincian kemo yang ditujukan untuk dokter yang akan menangani kemo di Jakarta. Medical reportnya sendiri satu halaman penuh, berisi riwayat kankerku dari pertama kali serta perkembangannya sampai saat ini, sedangkan rincian untuk kemo satu setengah lembar. Yang ditulis adalah kemo dengan alternatif pertama, yaitu yang mingguan. Sedangkan alternatif kedua sama sekali tidak disinggung.
Aku percaya kalau memang alternatif pertama yang terbaik, jadi ya.. aku menurut saja.
Sebelum berkonsultasi dengan dokter ahli di Jakarta. Aku terlebih dahulu mencari informasi di internet mengenai obat kemo yang akan dipakai, yaitu Paclitaxel. Dari sana aku mengetahui bahwa Kalbe memproduksinya dengan merek dagang Paxus. Belakangan aku baru tahu ada beberapa perusahaan obat yang memproduksinya dengan merek dagan lain.
Mula-mula aku telepon Kalbe untuk menanyakan harganya, tapi ia tidak melayani perorangan dan aku diminta menghubungi apotik rekanannya. Ketika aku tanya apakah ada program bonus, ternyata ada, yaitu beli 5 gratis 1. Lumayan juga ya, mengingat harganya yang mahal.
Lalu aku cek harga di apotik rekanan Kalbe, ternyata Rp 2.860.000 untuk dosis 100 ml dan Rp 998.000 untuk yang 30 ml. Harga di YKI Rp 2.530.000 dan Rp 907.000 sedangkan Dharmais Rp 243.000 dan Rp 870.000. Tumben YKI lebih mahal dari Dharmais ya?
Sekali kemo diperlukan 116 ml. Tapi karena obat yang ada dosisnya 100 ml dan 30 ml, maka dikurangi 1 ml, supaya sekali membeli obat dalam botol berdosis 30 ml dapat dipakai selama 2x kemo.
Di YKI dan Dharmais, menurut petugas, tidak ada program bonus. Sedangkan di Kalbe, melalui apotik rekanannya, setelah aku cek ulang, ternyata program 5 bonus satu artinya, setelah 5 putaran, maka putaran ke-6 gratis. Jadi bukan setelah 5x pembelian lalu gratis 1.
Dalam konsultasi dengan seorang dokter, aku menanyakan tentang harga obat. Segera dokter menghubungi apotik di RS tsb dan memberitahukan bahwa harga obat dengan merek dagang anu untuk dosis 100 ml sebesar Rp 4 juta sekian. Aku lupa apa merek dagang obat itu.
“Dok, katanya ada Paxus. Harganya bukannya lebih murah ya?”
“Paling beda tipis,” kata dokter.
Aku hanya mengangguk-angguk saja.
Sebetulnya di Jakarta ini aku juga sudah punya langganan dokter, yaitu dr. Winarti. Dia bukan dokter spesialis ahli kanker. Tetapi punya banyak pengalaman dalam menangani pasien kanker. Dr. Win juga menjadi semacam “asisten” untuk seorang dokter yang berpraktik di RS Mt Elizabeth yang mengajarinya bagaimana menangani kemo dan merawat pasien penderita kanker. Dengan demikian pasien dari dokter itu tidak perlu bolak balik ke Singapura untuk kemo..
Setiap 4 minggu sekali aku menemui dr. Winarti untuk suntik hormon Zoladex dan infus Zometa untuk menguatkan tulang. Khusus untuk kemo yang frekuensinya tinggi ini, dr. Winarti juga menganjurkan aku agar menghubungi dokter lain karena mungkin saja suatu saat ia berhalangan.
Singkat cerita, akhirnya aku jadi menjalani kemo yang pertama bersama dr. Win pada hari Jumat, 26 Maret 2010 di sebuah RS swasta.
Pada hari Kamis, aku harus menjalani pemeriksaan darah dan urin. Aku agak khawatir kalau hasilnya jelek karena malam sebelumnya aku hanya tidur kurang dari 3 jam. Lembur gara2 ada kerjaan. Sebetulnya salahku juga karena … pikun., lupa hari. Tapi untunglah tes yg dilakukan di RSIB dekat rumah ini hasilnya cukup bagus. Mungkin karena sebelum berangkat aku makan banyaaakkk…
Siangnya aku ke Dharmais untuk membeli obat.
“Yang 100 mg habis. Beli saja yang dosis 30 ml sebanyak 4 dos,” kata petugas.
“Lho? Habis? Kemarin saya telepon, katanya ada. Lagipula kalau beli yang 30 milian kan jatuhnya jadi mahal.”
“Emang kemonya kapan?”
“Besok pagi.”
Lalu petugas berkonsultasi dengan rekannya.
“Ada tapi di lantai 3. Tunggu ya,” kata rekannya. Di lantai 3 ada apotik juga, yang khusus melayani pasien rawat inap.
Ah, lega sekali. Akhirnya aku berhasil mendapatkan obat itu beserta alat2nya.
Eh, pas mau kemo pada keesokan harinya, ternyata ada masalah teknis. botol infus dan selangnya salah. Seharusnya digunakan yang terbuat dari bahan khusus, kalau tidak, plastiknya bisa termakan obatnya.
“Jangankan di Dharmais, di Singapur saja bisa saja terjadi kesalahan seperti itu,” kata dr. Win dengan bijaksana.
Bu dokter punya persediaan botol infus yang ditaruh di mobilnya, tetapi selangnya ga ada. Selang infus ini harganya tidak mahal, tapi sulit dicari, hanya ada di RS dan apotik tertentu.
Bu dokter segera menelpon apotik langganannya yang banyak menjual obat2 kanker. Jawabannya nihil.
Aduh, gimana dong…
“Coba saya telepon bosnya,” kata dr. Win.
Dihubunginya pemilik apotik, yang memberikan jawaban lain. Bisa diusahakan, katanya.
Syukurlah.....
Setelah menunggu hampir 2 jam akhirnya selang infus datang. Lama sekali karena ternyata apotik itu memang tak punya persediaan dan harus mangambilnya di RSCM.
Akhirnya kemo dimulai setelah jam 3 sore... Proses kemo, kalo menurut resep dokter dari NUH, hanya 2 jam. Tapi kemarin hampir 3 jam, berhubung ini baru yg pertama dan dokter nggak mau cepat2 mengerjakannya, ia ingin melihat efeknya dahulu. Selain itu ia menambahkan satu botol cairan untuk mengingkatkan stamina tubuh ... Syukurlah... semuanya berjalan lancar...
Dulu... 5 tahun yll aku juga pernah kemo. Aku juga ga merasa mual atau pusing atau mabok. Tapi setelah kemo ke-3, rambut rontok dan pada kemo selanjutnya mulai sariawan....
Kali ini aku juga baik2 aja. Tidak mual atau pusing. Selama kemo sempat ngantuk sekali karena pengaruh obat. Tapi hanya sementara.
Aku ke RS diantar temanku Dewi, yang juga telah siap untuk nyetirin mobil pulang, untuk jaga2 kalau aku teler setelah kemo. Berhubung aku merasa baik2 saja, ya ga masalah. Aku bisa bawa mobil pulang ... :)
Meskipun di sini libur, tapi di Singapur hari itu adalah hari kerja. Hari itu aku dijadwalkan untuk berkonsultasi dengan Dr. Tan Sing Huang di NUH pada jam 10 pagi. Bersama teman lamaku, Retno, aku tiba pada hari Senin dan menginap di apartemen teman kita, Lewa, yang memiliki koleksi segudang batik dan kain2 tua.
Jam 9 pagi, kita sampai di NUH. Di sana sudah ada beberapa pasien juga. Ketika sedang menunggu, tiba2 datang seorang petugas membagi-bagikan sebungkus kecil biskuit, crackers. Oh, baru tau lho ada servis seperti itu. Biasanya sih aku selalu datang untuk berkonsultasi sekitar jam 14 dan nggak pernah dikasih biskuit..
Kalau minuman hangat dari dulu memang disediakan. Kita bisa mengambil sendiri melalui mesin pembuat minuman. Ada capucino, milo, mocca, teh tarik dll. Selimut juga tersedia bagi mereka yang memerlukan. Maklum AC-nya dingin sekali.
Pada kedatanganku kali ini aku membawa hasil CT scan lengkap, termasuk pemeriksaan kepala, untuk melihat apakah ada penyebaran ke otak atau organ tubuh lain. Juga hasil bone scan. Semua pemeriksaan dilakukan di Jakarta untuk menghemat biaya Sebelumnya, hasil MRI sudah aku kirim terlebih dahulu ke sana melalui DHL, karena bu dokter ingin sekali segera melihat hasilnya. Mahal banget lho ongkosnya, Rp 320 ribu. Hampir sama dengan tiket promo Jkt-Sgp…
Seperti biasa, bu dokter selalu membahas hasil pemeriksaan dari Jakarta dengan rekannya yang dokter ahli radiologi. Hasil analisa dokter radiologi di Jakara dan di Singapur tidak selalu sama. Misalnya, dulu dokter di Jakarta mencurigai adanya penyebaran kanker di dinding luar paru-paru. Tetapi menurut dokter di Singapura, tidak ada penyebaran itu. Lalu pada hasil MRI yang terakhir ini, dokter di Jakarta menyebutkan adanya kompresi ringan pada tulang belakang yang mengenai selubung sumsum tulang dural dan akar syaraf. Tapi kata dokter di NUH, tidak ada “cord compression atau significant nerve root impringement.”
Setelah menunggu sekitar satu setengah jam, baru dokter memanggilku. Kali ini konsultasinya lamaaaaa sekali. Hampir 1 jam.
Ada dua kesimpulan. Yang pertama, kaki kananku yg lemah, yg sakit kalo dipakai berjalan, nggak ada hubungannya dengan kanker. Tadinya diduga ini karena kanker sudah menyerang tulang panggul, terutama bagian kanan. Tapi karena jalanku semakin terpincang-pincang timbul kekhawatiran kalau sumsum tulang belakang terkena kanker. Ini gawat sekali karena jika tidak ditangani segera, bisa lumpuh. Kekhawatiran lain adalah penyebaran kanker di otak. Ada kemungkinan kaki melemah karena perintah dari otak ke kaki kanan nggak nyampe…. gara2 otaknya sudah nggak beres. Untunglah otakku masih normal.
“Untuk kaki yang melemah ini, perlu ke dokter syaraf,” kata bu dokter. “Sudah didaftarin nanti hari Senin di sini.”
“Aduh, saya nggak sanggup dok, kalau harus bolak-balik terus ke Singapur. Selain repot ninggalkin kerjaan, juga berat di ongkos. Nanti saya periksa di Jakarta saja,” kataku sambil mengeluh dalam hati: “Kena kanker saja sudah susah setengah mati, ini kok masih dapet bonus sakit saraf- eh maksudnya sakit saraf ini bukan gila, lho, tapi ya itu, syaraf yg bermasalah sehingga aku jalannya pincang.”
Tapi di lain sisi, aku bersyukur juga karena ternyata sumsum tulang belakang dan otakku masih bebas dari kanker.
Kesimpulan kedua. Setelah melihat hasil bone scan, dokter menganjurkan agar aku menjalani kemoterapi. Dari hasil bone scan, tampak ada penyebaran baru di tulang belakang dan aktivitas yang semakin meningkat, khususnya di tulang panggul kanan.
Untuk kemo ini ada dua alternatif.
Alternatif pertama: kemo dilakukan setiap minggu selama enam sampai delapan putaran. Satu putaran terdiri dari 3x kemo. Jadi selama tiga minggu berturut-turut, aku harus kemo. Minggu ke-4 libur. Asyik juga ya, dapat libur. Lalu pada minggu berikutnya putaran ke-2 dimulai. Begitu seterusnya sampai minimal 6 putaran atau 18x kemo.
Alternatif kedua: kemo dilakukan setiap tiga minggu selama enam sampai delapan putaran.
Tapi doker menyarankan dengan amat sangat agar aku mengambil alternatif pertama karena lebih efektif. Selain itu secara keseluruhan biaya untuk alternatif kedua bisa 2x lipat dari alternatif pertama.
“Kemonya mulai minggu depan ya,” kata bu dokter.
Untuk menekan biaya, aku akan menjalani kemo di Jakarta, dan bu dokter tidak keberatan dan berjanji akan mengirimkan rincian prosedur kemo serta obat2 yang diperlukan melalui email.
Beberapa hari kemudian, datanglah email dari bu dokter disertai medical report dan rincian kemo yang ditujukan untuk dokter yang akan menangani kemo di Jakarta. Medical reportnya sendiri satu halaman penuh, berisi riwayat kankerku dari pertama kali serta perkembangannya sampai saat ini, sedangkan rincian untuk kemo satu setengah lembar. Yang ditulis adalah kemo dengan alternatif pertama, yaitu yang mingguan. Sedangkan alternatif kedua sama sekali tidak disinggung.
Aku percaya kalau memang alternatif pertama yang terbaik, jadi ya.. aku menurut saja.
Sebelum berkonsultasi dengan dokter ahli di Jakarta. Aku terlebih dahulu mencari informasi di internet mengenai obat kemo yang akan dipakai, yaitu Paclitaxel. Dari sana aku mengetahui bahwa Kalbe memproduksinya dengan merek dagang Paxus. Belakangan aku baru tahu ada beberapa perusahaan obat yang memproduksinya dengan merek dagan lain.
Mula-mula aku telepon Kalbe untuk menanyakan harganya, tapi ia tidak melayani perorangan dan aku diminta menghubungi apotik rekanannya. Ketika aku tanya apakah ada program bonus, ternyata ada, yaitu beli 5 gratis 1. Lumayan juga ya, mengingat harganya yang mahal.
Lalu aku cek harga di apotik rekanan Kalbe, ternyata Rp 2.860.000 untuk dosis 100 ml dan Rp 998.000 untuk yang 30 ml. Harga di YKI Rp 2.530.000 dan Rp 907.000 sedangkan Dharmais Rp 243.000 dan Rp 870.000. Tumben YKI lebih mahal dari Dharmais ya?
Sekali kemo diperlukan 116 ml. Tapi karena obat yang ada dosisnya 100 ml dan 30 ml, maka dikurangi 1 ml, supaya sekali membeli obat dalam botol berdosis 30 ml dapat dipakai selama 2x kemo.
Di YKI dan Dharmais, menurut petugas, tidak ada program bonus. Sedangkan di Kalbe, melalui apotik rekanannya, setelah aku cek ulang, ternyata program 5 bonus satu artinya, setelah 5 putaran, maka putaran ke-6 gratis. Jadi bukan setelah 5x pembelian lalu gratis 1.
Dalam konsultasi dengan seorang dokter, aku menanyakan tentang harga obat. Segera dokter menghubungi apotik di RS tsb dan memberitahukan bahwa harga obat dengan merek dagang anu untuk dosis 100 ml sebesar Rp 4 juta sekian. Aku lupa apa merek dagang obat itu.
“Dok, katanya ada Paxus. Harganya bukannya lebih murah ya?”
“Paling beda tipis,” kata dokter.
Aku hanya mengangguk-angguk saja.
Sebetulnya di Jakarta ini aku juga sudah punya langganan dokter, yaitu dr. Winarti. Dia bukan dokter spesialis ahli kanker. Tetapi punya banyak pengalaman dalam menangani pasien kanker. Dr. Win juga menjadi semacam “asisten” untuk seorang dokter yang berpraktik di RS Mt Elizabeth yang mengajarinya bagaimana menangani kemo dan merawat pasien penderita kanker. Dengan demikian pasien dari dokter itu tidak perlu bolak balik ke Singapura untuk kemo..
Setiap 4 minggu sekali aku menemui dr. Winarti untuk suntik hormon Zoladex dan infus Zometa untuk menguatkan tulang. Khusus untuk kemo yang frekuensinya tinggi ini, dr. Winarti juga menganjurkan aku agar menghubungi dokter lain karena mungkin saja suatu saat ia berhalangan.
Singkat cerita, akhirnya aku jadi menjalani kemo yang pertama bersama dr. Win pada hari Jumat, 26 Maret 2010 di sebuah RS swasta.
Pada hari Kamis, aku harus menjalani pemeriksaan darah dan urin. Aku agak khawatir kalau hasilnya jelek karena malam sebelumnya aku hanya tidur kurang dari 3 jam. Lembur gara2 ada kerjaan. Sebetulnya salahku juga karena … pikun., lupa hari. Tapi untunglah tes yg dilakukan di RSIB dekat rumah ini hasilnya cukup bagus. Mungkin karena sebelum berangkat aku makan banyaaakkk…
Siangnya aku ke Dharmais untuk membeli obat.
“Yang 100 mg habis. Beli saja yang dosis 30 ml sebanyak 4 dos,” kata petugas.
“Lho? Habis? Kemarin saya telepon, katanya ada. Lagipula kalau beli yang 30 milian kan jatuhnya jadi mahal.”
“Emang kemonya kapan?”
“Besok pagi.”
Lalu petugas berkonsultasi dengan rekannya.
“Ada tapi di lantai 3. Tunggu ya,” kata rekannya. Di lantai 3 ada apotik juga, yang khusus melayani pasien rawat inap.
Ah, lega sekali. Akhirnya aku berhasil mendapatkan obat itu beserta alat2nya.
Eh, pas mau kemo pada keesokan harinya, ternyata ada masalah teknis. botol infus dan selangnya salah. Seharusnya digunakan yang terbuat dari bahan khusus, kalau tidak, plastiknya bisa termakan obatnya.
“Jangankan di Dharmais, di Singapur saja bisa saja terjadi kesalahan seperti itu,” kata dr. Win dengan bijaksana.
Bu dokter punya persediaan botol infus yang ditaruh di mobilnya, tetapi selangnya ga ada. Selang infus ini harganya tidak mahal, tapi sulit dicari, hanya ada di RS dan apotik tertentu.
Bu dokter segera menelpon apotik langganannya yang banyak menjual obat2 kanker. Jawabannya nihil.
Aduh, gimana dong…
“Coba saya telepon bosnya,” kata dr. Win.
Dihubunginya pemilik apotik, yang memberikan jawaban lain. Bisa diusahakan, katanya.
Syukurlah.....
Setelah menunggu hampir 2 jam akhirnya selang infus datang. Lama sekali karena ternyata apotik itu memang tak punya persediaan dan harus mangambilnya di RSCM.
Akhirnya kemo dimulai setelah jam 3 sore... Proses kemo, kalo menurut resep dokter dari NUH, hanya 2 jam. Tapi kemarin hampir 3 jam, berhubung ini baru yg pertama dan dokter nggak mau cepat2 mengerjakannya, ia ingin melihat efeknya dahulu. Selain itu ia menambahkan satu botol cairan untuk mengingkatkan stamina tubuh ... Syukurlah... semuanya berjalan lancar...
Dulu... 5 tahun yll aku juga pernah kemo. Aku juga ga merasa mual atau pusing atau mabok. Tapi setelah kemo ke-3, rambut rontok dan pada kemo selanjutnya mulai sariawan....
Kali ini aku juga baik2 aja. Tidak mual atau pusing. Selama kemo sempat ngantuk sekali karena pengaruh obat. Tapi hanya sementara.
Aku ke RS diantar temanku Dewi, yang juga telah siap untuk nyetirin mobil pulang, untuk jaga2 kalau aku teler setelah kemo. Berhubung aku merasa baik2 saja, ya ga masalah. Aku bisa bawa mobil pulang ... :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
10 comments:
wah sim.. kamu keren sekali habis kemo masih bisa bawa mobil sendiri pulang.. di rs grogol gak jual ya sim? obatnya mahal bener ya..
semoga abis ini lebih sehat ya sim.. :)
mbak Sima memang hebat....
tetap semangat ya....!
Sima menjelang Paskah ini aku khusus mendoakan kesehatan Sima dan semoga kemonya lancar sampai selesai. Salam manis dari jauh, Suneo juga ikut mendoakan Sima :) GBU
@Pucca - trims ya, Vie. aku kemarin check di Apt Grogol, harganya Rp 3 juta lebih. mahal banget ya, tp aku dpt into dari orang dharmais yg baik hati mengenai apotik lain yg jual dg harga rp 2.189.000. makasih doanya, moga2 lbh sehat.. amin..
@Rini - semangat 45 nih.. he..he..he.. matur nuwun Rini..
@ Ely - trims banyak ya atas doanya... semoga semuanya lancar. aku ok, hanya saja pada hari ke-2 dan ke-3 setelah kemo, sempet teler, rasanya ngantuk banget dan lemes, pinginnya tidur melulu. salam meong meong buat suneo ya.... :)
Semoga kemonya direspons bagus, hope all the best for you. :)
Siip... good luck dg kemo2 berikutnya ya mbak! Juga selamat tidur2an sesudahnya :))
Sima,
Pasti sukses melewati fase kemo seperti yang lalu... Happy Easter n GBU
Salam kenal, boleh tau Dr. Win di RS mana ya ? tx b4
Mb Sima yang hebat, semoga kuat menjalani rangkaian kemonya.. Saya perlu sedikit informasi mengenai kemo, ibu saya didiagnose kena kanker limphoma, rencana akan menjalani kemo.. boleh tau dimana Dr. Win praktek ? Terima kasih
@ Titah, Yiyik, mbak Yuni... makasih banyak ya... Yik, aku dah tidur2an, trus bangun, trus tidur, bangun lagi, tidur lagi...
untuk minggu inikemonya jumat, pas hari kerja. ga bisa sabtu krn dokternya lg berhalangan. jadi lusa abis kemo ga bs tidur2an.. harus kerja. :(
@Amberyl, salam kenal kembali ya. dr. Win ga praktik secara khusus di RS tertentu, dia ke RS kalau ada pasien saja, harus dengan perjanjian. kl perlu detailnya, email aku ya..
Post a Comment