Saturday, March 21, 2009
Peraturan yang bikin pusing
Yang namanya peraturan itu dibuat supaya segala sesuatunya “teratur”. Tapi kadang2 aturan bikin pusing.
Ketika aku membeli obat di Yayasan Kanker Indonesia kemarin (Jumat, 20 Maret 2009), aku melihat surat yang ditandatangani oleh pimpinan YKI. Di situ disebutkan bahwa pasien RS Dharmais yang ingin membeli obat di sana harus membawa surat rekomendasi.
Pikiranku langsung melayang.... Teringat pengalamanku pontang panting berburu surat rekomendasi dari RS Dharmais.
Dulu aku adalah pasien RS MMC. Di sana aku menjalani operasi dan kemoterapi. Operasi yang berlangsung bulan Desember 2004 dilakukan dengan sukses oleh dokter Idral (terima kasih dok!) sedangkan untuk kemoterapi mulai bulan Januari sampai Juni 2005, aku berkonsultasi dengan dokter Muthalib dan dokter Lugi.
Setelah kemoterapi selesai, aku kembali berhubungan dengan dr. Idral. Ternyata pada hari –hari tertentu ia juga berpraktek di RS Dharmais. Jadi aku lebih suka datang ke sana karena dekat dengan kantor.
Praktek di RS Dharmais ada dua macam. Yang umum alias bersubsidi dan yang swasta. Yang umum berlangsung di poliklinik lantai satu, dari pagi sampai siang, sedangkan praktek swasa berlangsung di lantai bawah (basement) dari sore hingga malam hari. Ongkosnya juga beda. Kalau kita datang pagi hari, cukup mengeluarkan uang Rp 85 ribu (termasuk biaya administrasi) sedangkan di sore hari, biayanya hampir 2x lipat.
Dr. Idral, yang termasuk dalam kategori dokter swasta di RS Dharmais, menyuruhku minum Tamoplex. Ini adalah satu dari beberapa jenis obat hormonal yang fungsinya untuk memblokir produksi estrogen karena estrogen ini dapat memicu pertumbuhan sel2 kanker.
Selama ini aku selalu membeli obat, termasuk obat-obat untuk kemoterapi di YKI, karena harga di sana lebih murah. Aku hanya perlu menunjukkan kartu pasien yang dikeluarkan oleh RS MMC dan resep dokter.
Tapi ketika aku datang sebagai pasien RS Dharmais, mulai timbul masalah.
“Tidak bisa, harus ada surat rekomendasi,” kata petugas YKI.
Ketika aku protes, ia mengatakan bahwa kebijakan itu diambil YKI atas permintaan dari RS Dharmais sendiri.
Pada kunjungan berikutnya ke tempat praktek dr. Idral di RS Dharmais, aku minta dokter agar memberiku surat rekomendasi.
“Emang ada surat rekomendasi seperti itu?” ia bertanya. "Kenapa sih mesti dipersulit?"
Ia lalu memanggil suster yang kemudian memberikan formulir surat rekomendasi.
Bulan demi bulan berlalu.... dr Idral sakit dan meninggal dunia... Entah apa yang terjadi .... aku tak tahu...
Bulan April 2007 aku pindah ke dr Samuel, dokter muda yang banyak dipuji orang karena baik dan pandai. Ia berpraktek pada pagi dan siang hari di poliklinik umum dan malam hari di poliklinik swasta. Pasiennya buanyaaaaakkkkk sekali. Aku datang di pagi hari dan harus antre berjam-jam sebelum mendapatkan giliran konsultasi dengannya.
Ketika pak dokter mendapati bahwa kanker menyebar ke tulang, ia mengganti obat dengan Aromasin.
Aku lalu meminta surat rekomendasi agar dapat membeli obat di YKI.
“Surat rekomendasi apa ya?” dr. Samuel kebingungan.
Ia menanyakan ke suster, tapi suster mengatakan kalau ia juga tak tahu menahu.
Aku lalu bergegas ke basement, menuju ke poliklinik swasta untuk meminta surat rekomendasi ke suster.
Jawabannya mengecewakan. Ia tak tahu soal keberadaan surat sakti itu.
“Suster yang tahu sudah pulang,” katanya.
Tapi suster ini baik. Ia menelpon rekannya dan kemudian setelah mengorek-ngorek ruangan, akhirnya ia menemukan surat itu.
“Ini dikopi saja,” katanya.
Hah? Masa mesti dikopi? Aku pun protes.
Akhirnya aku diperbolehkan membawa formulir surat rekomendasi itu. Dengan terengah-engah aku kembali ke tempat praktek dr. Samuel di lantai satu. Ia segera menandatangani surat itu.
Keesokan harinya dengan bersemangat aku ke YKI untuk membeli obat.
“Maaf ya... Aromasin tidak tersedia di sini,” kata petugas.
Langsung lemes deh....
Itu dulu... Ternyata sekarang jenis obat yang dijual YKI jauh lebih lengkap. Syukurlah.
Tapi kembali ke soal surat rekomendasi itu. Aku ga habis pikir. Mudah2an saja sekarang ini surat rekomendasi bisa lebih mudah didapat. Dan lebih bagus lagi kalau aturan itu dihilangkan saja.
Ketika aku membeli obat di Yayasan Kanker Indonesia kemarin (Jumat, 20 Maret 2009), aku melihat surat yang ditandatangani oleh pimpinan YKI. Di situ disebutkan bahwa pasien RS Dharmais yang ingin membeli obat di sana harus membawa surat rekomendasi.
Pikiranku langsung melayang.... Teringat pengalamanku pontang panting berburu surat rekomendasi dari RS Dharmais.
Dulu aku adalah pasien RS MMC. Di sana aku menjalani operasi dan kemoterapi. Operasi yang berlangsung bulan Desember 2004 dilakukan dengan sukses oleh dokter Idral (terima kasih dok!) sedangkan untuk kemoterapi mulai bulan Januari sampai Juni 2005, aku berkonsultasi dengan dokter Muthalib dan dokter Lugi.
Setelah kemoterapi selesai, aku kembali berhubungan dengan dr. Idral. Ternyata pada hari –hari tertentu ia juga berpraktek di RS Dharmais. Jadi aku lebih suka datang ke sana karena dekat dengan kantor.
Praktek di RS Dharmais ada dua macam. Yang umum alias bersubsidi dan yang swasta. Yang umum berlangsung di poliklinik lantai satu, dari pagi sampai siang, sedangkan praktek swasa berlangsung di lantai bawah (basement) dari sore hingga malam hari. Ongkosnya juga beda. Kalau kita datang pagi hari, cukup mengeluarkan uang Rp 85 ribu (termasuk biaya administrasi) sedangkan di sore hari, biayanya hampir 2x lipat.
Dr. Idral, yang termasuk dalam kategori dokter swasta di RS Dharmais, menyuruhku minum Tamoplex. Ini adalah satu dari beberapa jenis obat hormonal yang fungsinya untuk memblokir produksi estrogen karena estrogen ini dapat memicu pertumbuhan sel2 kanker.
Selama ini aku selalu membeli obat, termasuk obat-obat untuk kemoterapi di YKI, karena harga di sana lebih murah. Aku hanya perlu menunjukkan kartu pasien yang dikeluarkan oleh RS MMC dan resep dokter.
Tapi ketika aku datang sebagai pasien RS Dharmais, mulai timbul masalah.
“Tidak bisa, harus ada surat rekomendasi,” kata petugas YKI.
Ketika aku protes, ia mengatakan bahwa kebijakan itu diambil YKI atas permintaan dari RS Dharmais sendiri.
Pada kunjungan berikutnya ke tempat praktek dr. Idral di RS Dharmais, aku minta dokter agar memberiku surat rekomendasi.
“Emang ada surat rekomendasi seperti itu?” ia bertanya. "Kenapa sih mesti dipersulit?"
Ia lalu memanggil suster yang kemudian memberikan formulir surat rekomendasi.
Bulan demi bulan berlalu.... dr Idral sakit dan meninggal dunia... Entah apa yang terjadi .... aku tak tahu...
Bulan April 2007 aku pindah ke dr Samuel, dokter muda yang banyak dipuji orang karena baik dan pandai. Ia berpraktek pada pagi dan siang hari di poliklinik umum dan malam hari di poliklinik swasta. Pasiennya buanyaaaaakkkkk sekali. Aku datang di pagi hari dan harus antre berjam-jam sebelum mendapatkan giliran konsultasi dengannya.
Ketika pak dokter mendapati bahwa kanker menyebar ke tulang, ia mengganti obat dengan Aromasin.
Aku lalu meminta surat rekomendasi agar dapat membeli obat di YKI.
“Surat rekomendasi apa ya?” dr. Samuel kebingungan.
Ia menanyakan ke suster, tapi suster mengatakan kalau ia juga tak tahu menahu.
Aku lalu bergegas ke basement, menuju ke poliklinik swasta untuk meminta surat rekomendasi ke suster.
Jawabannya mengecewakan. Ia tak tahu soal keberadaan surat sakti itu.
“Suster yang tahu sudah pulang,” katanya.
Tapi suster ini baik. Ia menelpon rekannya dan kemudian setelah mengorek-ngorek ruangan, akhirnya ia menemukan surat itu.
“Ini dikopi saja,” katanya.
Hah? Masa mesti dikopi? Aku pun protes.
Akhirnya aku diperbolehkan membawa formulir surat rekomendasi itu. Dengan terengah-engah aku kembali ke tempat praktek dr. Samuel di lantai satu. Ia segera menandatangani surat itu.
Keesokan harinya dengan bersemangat aku ke YKI untuk membeli obat.
“Maaf ya... Aromasin tidak tersedia di sini,” kata petugas.
Langsung lemes deh....
Itu dulu... Ternyata sekarang jenis obat yang dijual YKI jauh lebih lengkap. Syukurlah.
Tapi kembali ke soal surat rekomendasi itu. Aku ga habis pikir. Mudah2an saja sekarang ini surat rekomendasi bisa lebih mudah didapat. Dan lebih bagus lagi kalau aturan itu dihilangkan saja.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Eh Sima, RS Dharmais rumah sakit pemerintah kan, ya? Kaget juga tarif bersubsidinya aja Rp 85 ribu. Di RS Dr. Soetomo tahun lalu kalau nggak salah cuma Rp 11 ribu (administrasi + dokter spesialis, at least residen)
betul Titah, memang itu RS pemerintah. termasuk mahal ya? mungkin RSCM tarif lebih rendah. di RS DR Soetomo murah sekali, beruntunglah warga surabaya...
Post a Comment