Friday, July 11, 2008
Coklat, Infus dan Doa
Sudah lama tak menulis di blog ini. Selain pekerjaan yang menumpuk, kebetulan selama beberapa hari ada pelatihan yang harus diikuti. Tapi sesibuk apapun, obat dan infus tak boleh lupa.
Hari Kamis kemarin (10 Juli 2008) pukul 5 pagi alarm berbunyi karena pada pukul 7 aku harus sudah berada di tempat dr. Win di daerah Menteng untuk menjalani infus Zometa .
“Sudah makan?” tanya dr. Win setelah mengukur tekanan darah.
“Oh, harus makan dulu ya, dok?” tanyaku dengan nada bloon.
“Ya sebaiknya begitu,” jawabnya.
Maka sambil menunggu kedatangan suster Tum yang tinggal di Depok, aku pun mengunyah coklat renyah pemberian bu dokter. Enak. (memang asli enak, sudah ongkos infus gratis, dapat coklat pula).
Infus kali ini seperti biasa sedikit tersendat karena urat nadi yang halus sehingga baru pada suntikan kedua jarum infus berhasil ditancapkan.
Selesai infus, dr. Win memberi tumpangan untuk kita. Suster turun di stasiun Cikini, sedangkan aku turun persis di seberang PPM, tempat Training for Trainers diadakan. Mobil aku tinggal di tempat bu dokter untuk menghemat waktu karena kalau membawa mobil, aku harus memutar di Monas sedangkan tanpa mobil, tinggal menyeberang saja.
Tanganku yang dihiasi dua buah plester penutup bekas suntikan mengundang pertanyaan rekan di tempat pelatihan.
“Kenapa tangannya?”
“Ini baru diinfus,” jawabku.
“Sakit apa?” lanjutnya.
“Kanker.”
“Stadium berapa?” ia bertanya dengan nada prihatin.
“Empat.”
Ia terdiam sejenak. “Agamanya apa? Banyak-banyak berdoa ya…. “
“Oh, tentu pak. Memang itu perlu,” jawabku sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
Percakapan selesai karena instruktur training sudah memasuki ruangan.
Hari Kamis kemarin (10 Juli 2008) pukul 5 pagi alarm berbunyi karena pada pukul 7 aku harus sudah berada di tempat dr. Win di daerah Menteng untuk menjalani infus Zometa .
“Sudah makan?” tanya dr. Win setelah mengukur tekanan darah.
“Oh, harus makan dulu ya, dok?” tanyaku dengan nada bloon.
“Ya sebaiknya begitu,” jawabnya.
Maka sambil menunggu kedatangan suster Tum yang tinggal di Depok, aku pun mengunyah coklat renyah pemberian bu dokter. Enak. (memang asli enak, sudah ongkos infus gratis, dapat coklat pula).
Infus kali ini seperti biasa sedikit tersendat karena urat nadi yang halus sehingga baru pada suntikan kedua jarum infus berhasil ditancapkan.
Selesai infus, dr. Win memberi tumpangan untuk kita. Suster turun di stasiun Cikini, sedangkan aku turun persis di seberang PPM, tempat Training for Trainers diadakan. Mobil aku tinggal di tempat bu dokter untuk menghemat waktu karena kalau membawa mobil, aku harus memutar di Monas sedangkan tanpa mobil, tinggal menyeberang saja.
Tanganku yang dihiasi dua buah plester penutup bekas suntikan mengundang pertanyaan rekan di tempat pelatihan.
“Kenapa tangannya?”
“Ini baru diinfus,” jawabku.
“Sakit apa?” lanjutnya.
“Kanker.”
“Stadium berapa?” ia bertanya dengan nada prihatin.
“Empat.”
Ia terdiam sejenak. “Agamanya apa? Banyak-banyak berdoa ya…. “
“Oh, tentu pak. Memang itu perlu,” jawabku sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
Percakapan selesai karena instruktur training sudah memasuki ruangan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 comments:
Hi Sima,
Akhirnya update juga :) Kalau aku yg ditanya agamanya apa, jawabnya "Kristen Kan-tong-kring"..hehehe! Emang kanker bikin kantong kering kan? kayaknya belum lama di-infus..eh udah infus lagi. Untung dokter dan susternya baik. Kalo nggak, bisa2 bete seharian deh! kapan free supaya kita bisa ketemuan di Bogor? Enak lho jalan2 di Kuntum Nursery lihat2 tanaman obat, nonton orang mancing dan makanan-nya enak2. Nanti aku bawa kue lagi deh. Next time harus lebih enak dari kemarin :)
Sima ... dikau memang pejuang kanker sejati!!! Meski sudah sering membaca cerita-cerita tentang hari2 "pengobatan" yg telah Sima jalani, namun selalu saja saya kagum atas kegigihan dan ketegaranmu.
hi Ely...
iya.. nanti kita jalan2 ke bogor, cuci mata dan makan2 .. :)
Halo Rini.. apa kabar? trims ya... aku ini cuma manusia biasa kok... yang menjalani hidup apa adanya. prinsipnya sih ...apa yg terjadi, terjadilah.
Ia terdiam sejenak. “Agamanya apa? Banyak-banyak berdoa ya….“
Walaupun sering berhadapan dengan pejuang kanker, tetap aja aku kaget dan kehilangan kata2 saat mendengarnya pertama kali. Kira2 jawaban dan sikap apa ya Sima, yang paling diterima/diinginkan para pejuang kanker pada situasi seperti ini?
hi Titah...
trims ya...
bagaimana kalau bersikap netral dan menanggapi dengan empati?
Post a Comment