Monday, August 8, 2011

Saved by the bell

Aku adalah orang yang sangat mandiri. Segala sesuatu sedapat mungkin kulakukan sendiri. Jangan sampai merepotkan orang lain.

Tapi itu dulu... Ketika aku masih sehat dan kuat.


Keadaan berubah 180 derajad di bulan April 2011. Tumor ganas yang kuderita sejak 2004 semakin merajalela, menyerang sumsum tulang belakang sehingga syaraf terganggu. Operasi yang dilakukan tak mampu memulihkan kondisiku sehingga bagian bawah badanku, dari perut ke ujung jari kaki tak dapat digerakkan.


Sekarang aku menjadi sangat tidak mandiri. Hampir segala sesuatu tergantung pada orang lain.


Keadaan ini sudah berlangsung selama tiga bulan lebih. Bulan pertama berlalu dengan relatif lebih mudah karena saat itu aku masih di RS. Sebagai pasien yang diopname setelah menjalani operasi, rasanya sah-sah saja kalau tergeletak di ranjang dan tergantung pada dokter serta perawat, termasuk perawat pribadi yang menemaniku.


Di rumah, keadaanku tak lebih baik, dalam hal kemandirian. Aku masih harus berbaring terus di ranjang, atau duduk di kursi roda. Sebetulnya paling enak ya tidur2an di ranjang... tapi kalo kelamaan, aduh mak, pegalnya.... Dan yang paling menjengkelkan, biarpun pegal, aku nggak bisa mengubah posisi sendiri. Untuk mencapai posisi miring yang betul2 nyaman, perlu bantuan orang lain. Apalagi kalau badan melorot, perlu dua orang untuk memperbaiki posisiku dengan menaikkan badan sehingga kepala berada di ujung tempat tidur.


Badan biasanya melorot setelah miring ke kiri atau ke kanan. Kalau sudah melorot, sedih deh. Rasanya bener2 seperti terkapar tak berdaya. Badan nggak bisa ditegakkan dalam posisi setengah duduk, apalagi duduk... Kalau ditegakkan, maka posisi dagu akan menempel di leher.


Ranjangku ini adalah ranjang khusus pasien yang bisa dinaik-turunkan dengan memutar engkol yang tersedia. Ini manual. Ada juga ranjang elektrik yang dilengkapi dengan remote control, tapi harganya sampai 3x lipat ranjang manual. Mahal sekali.


Seandainya aku tidur di ranjang elektrik, kalau badan melorot, tetap saja perlu orang untuk membantu menaikkan. Pada saat dinaikkan, yang ditarik bukan badannya, tapi kain lapisan yang memang dipasang di atas seprei. Lebih praktis.


Tenaga manusia juga diperlukan untuk memindahkan aku dari ranjang ke kursi roda. Dalam hal ini, mereka mengangkat aku dengan menarik sepreinya.



”Sebetulnya ada alat khusus untuk memindahkan pasien,” kata bu dokter.


Alat ini namanya patient lift. Harganya selangit, setinggi harga ranjang elektrik. Di sini juga susah dicari dan tidak populer. Orang jarang memerlukan karena biasanya di rumah ada banyak orang sehingga selalu tersedia tenaga untuk mengangkat pasien jika diperlukan.


Lain halnya denganku. Dulu aku tinggal berempat berserta kedua orang tuaku dan seorang sodara di rumah mungil berlantai dua. Aku dan sodaraku tidur di lantai atas. Karena sakit, nggak mungkinlah tidur di atas… Untungnya sodaraku punya rumah yg letaknya tak jauh dari sana. Tadinya rumah yg juga kecil mungil itu dikontrakin, tapi kebetulan kemarin lagi kosong. Jadi ia mengajakku pindah ke sana.


Kita tinggal berdua di sana dengan ditemani seekor kucing dan oh ya, mbak yang merawatku. Ada juga mpok yang pagi2 datang untuk membersihkan rumah, mencuci dan masak. Kalau mpok sudah selesai bekerja, tinggallah aku bersama si mbak karena sodaraku ada di kantor sedangkan si kucing hobinya main di luar rumah.



Aku mencoba browsing di internet, mencari info tentang patient lift yang manual, syukur2 ada yang second sehingga harganya terjangkau. Tapi hasilnya nihil.


Tergantung pada alat atau pada orang lain memang nggak enak. Itulah sekarang yang kualami. Tapi...yach bagaimana... mau nggak mau mesti dijalani... Sudah rutin aku minta tolong si mbak...


Aduh pegel nihhhh, tolong miringin badan ke kiri, tolong mau telentang, naikin sedikit ranjangnya biar posisi kepala enakan, naikin badannya biar nggak melorot... (tapi kalo yg ini harus ber-2) ambilin minum, ambilin makan, potongin buah, ambilin laptop dll.....
Temanku punya ide brilian. Supaya aku nggak capek manggil2 si mbak, dibelikannya aku bel. Mirip bel di losmen kecil di luar negeri yang kekurangan resepsionis sehingga tamu perlu menekan bel untuk memanggil si pemilik. Jadi kalau perlu sesuatu, tinggal .. ting…. (nggak pake ..tong....). Cukup satu kali saja karena bunyinya cukup nyaring hingga terdengar di seluruh rumah… Keren ya?





Tuesday, August 2, 2011

Menjelang Kematian?


Beberapa waktu yll seorang teman bertanya: “Kalau baca SMS pusing nggak?”


“Oh, sama sekali enggak,” jawabku.


Pertanyaan serupa datang lagi kemarin dari teman lain.


”Kamu bisa baca (buku)?”


”Bisa dong....”


Rupanya mereka sangat prihatin dengan kondisiku dan mengkhawatirkan bahwa keadaanku sudah sedemikian parahnya sehingga kepala bisa puyeng hanya karena membaca SMS, apalagi buku.


Mereka pasti menganggap bahwa sebagai penderita kanker stadium 4 yang sudah lebih dari tiga bulan tergeletak di tempat tidur, pasti kondisiku sangat mengenaskan. Apalagi ditambah dengan bagian badan bawah tubuh dan kaki yang tak dapat digerakkan. Hiiiihh serem....


Memang betul aku kena kanker. Memang betul penyakit itu sudah memasuki stadium 4 karena sel2 kanker yang tadinya bercokol di payudara sudah menyebar ke berbagai bagian tulang, termasuk tulang belakang. Memang betul sumsum tulang belakang juga tak luput dari serangan panyakit ini sehingga syaraf terganggu sehingga kaki terkulai layu, lumpuh.


Tapi itu bukan berarti bahwa sepanjang hari aku hanya terkapar tanpa daya, memandang langit2 kamar dengan pandangan kosong sambil meratapi nasib.


Tuhan Maha Baik. Aku masih dapat membaca, menulis dan berhitung… Sebagai penulis, sekali-kali tulisanku masih muncul di media tempatku bekerja (dan tentu saja di blog). Sebagai penerjemah independen, aku masih dapat mengerjakan tugas dengan baik jika ada order pekerjaan.


Syukurlah aku masih dapat menjalani hidup yang berkualitas, walau penuh perjuangan. Perjuangan ini masih berlanjut terus dan sekarang ini berbentuk kemoterapi. Dulu aku sudah pernah menjalani kemoterapi sebanyak dua kali. Berbeda dengan kemo sebelumnya yang dilakukan dengan infus, kali ini aku menjalani kemo oral. Obat cukup diminum saja.


Nama obat kemo ini capecitabine dengan merek Xeloda. Di RS Dharmais harganya tak kurang dari Rp 43 ribu per kapsul sedangkan di Apotek Grogol Rp 38 rbu dan di salesman langgananku Rp 37 ribu. Obat diminum pagi dan malam, masing2 sebanyak tiga kapsul. Obat ini diminum selama dua minggu berturut2, lalu setelah ada jeda selama seminggu, obat kembali diminum dalam jangka waktu yang sama. Proses ini diulang sampai delapan kali atau 24 minggu alias enam bulan. Karena aku mulai minum obat tgl. 2 Juli 2011, maka kemo kali ini kira2 baru akan selesai Januari tahun depan. Lama ya?


Berbeda dengan kemo melalui infus, kemo oral lebih sedikit efek sampingnya dan tidak mengakibatkan kerontokan rambut. Pengaruhnya pada setiap orang berbeda. Ada yang mual dan kehilangan nafsu makan. Aku sendiri waktu pertama kali minum obat itu merasa sangat tidak nyaman selama dua hari. Bukan rambut, tapi badan yang serasa mau rontok... Untunglah itu tak berlangsung lama.


Beberapa hari kemudian, badan terasa jauh lebih baik. Tadinya, sebelum kemo, aku sering merasa nyeri di dada kiri. Tapi rasa nyeri itu telah berkurang, bahkan sekarang sama sekali sudah reda.


Dulu aku selalu terbangun setiap malam... eh, pagi, sekitar jam 1... dan tidak dapat tidur sampai subuh karena kepanasan meskipun ruangan ber-AC. Kapan itu pernah aku bertanya ke dokter soal rasa panas yang sering menggangguku dan memperoleh jawaban: ”Itu karena penyakitnya.” Sekarang aku masih suka terbangun, tapi relatif lebih mudah tidur kembali.


Oh ya, aku juga minum air rebusan daun sirsak. Dulu daun sirsak kuperoleh dari teman yang mendapatkannya dari saudara yang memiliki pohon sirsak. Tapi kini daun sirsak banyak dijual setelah dikeringkan dan dipotong2 kecil serta dimasukkan ke dalam plastik. Sangat praktis. Seorang teman pernah memberiku satu dos daun sirsak kering tsb.


Konon kabarnya daun sirsak sangat bagus, lebih hebat dari kemo. Efek sampingnya adalah tubuh merasa panas. Jadi, apakah aku seringkali kepanasan karena minum rebusan air daun sirsak? Belum tentu. Karena suatu ketika aku berhenti meminumnya, tetapi badan tetap saja merasa panas.


Kembali ke awal cerita.... Teman yang menanyakan apakah aku pusing kalau membaca SMS ternyata punya niat tertentu. Sebelumnya ia menanyakan nomor PIN Blackberry, padahal aku nggak punya BB.


”Teman-teman sepakat untuk membelikan BB untukmu supaya kita bisa ramai2 ngobrol....,” katanya.


Aduh, baik banget teman2 SMA-ku itu.


Sedangkan teman yang menanyakan apakah aku bisa membaca (buku), datang ke rumah sambil membawa buah2an dan sebuah buku.


Sebelum pulang, ia menyerahkan buku yg masih terbungkus dalam kantong plastik.


”Banyak yang terbantu dengan buku ini,” katanya. “Jangan lihat judulnya,” ia menambahkan,


Setelah ia berlalu, aku ambil buku itu dari kantong plastik. Judulnya 10 Jam Menjelang Kematian.


Buku itu mengisahkan tentang pasien kanker yang oleh dokter divonis tinggal hidup 10 jam, tetapi ternyata ia bisa bertahan hidup bertahun2 kemudian, sampai sekarang. Resepnya: keteguhan iman pada Tuhan.