Thursday, March 31, 2011

Miracle of Miracles

Entah sudah berapa banyak dokter yang aku kunjungi gara-gara penyakit bandel yang merepotkan ini. Mungkin ada 1001 orang dokter. Eh, ralat.. kebanyakan … Coba ya aku ingat-ingat dulu …Satu, dua, tiga….hmm…hitung punya hitung, semenjak pemeriksaan mamogram di akhir tahun 2004 menunjukkan adanya kanker di payudara kanan, aku sudah bertemu dengan paling sedikit 30 orang dokter. Busyeet.. banyak banget ya?

Kunjungan ke dokter dilakukan dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Misalnya untuk menjalani pemeriksaan seperti bone scan, CT scan, PET scan dan EMG, untuk sekedar minta resep painkiller, untuk suntik vitamin, dan tentu saja untuk berkonsultasi dalam usaha menyusun strategi terbaik untuk melawan kanker.

Mereka berpraktik di tempat yang berbeda dengan keahlian yang berbeda. Ada beberapa yang berpraktik di Singapura, tetapi sebagian besar di Jakarta. Selain onkologis, ada juga dokter umum, spesialis syaraf, ahli radiologi dan spesialis layanan paliatif. Sifatnya juga berbeda-beda, ada yang baik, yang sabar, yang ramah dan murah senyum, yang rada cuek, yang sombong dan yang galak.

Dokter yang baik lebih banyak dari dokter yang kurang baik. Yang ramah lebih banyak daripada yang sombong. Hanya saja adanya seorang dokter yang kurang profesional memang dapat merusak citra mereka secara keseluruhan seperti kata pepatah: Karena nila seitik rusak susu sebelanga.

Indonesia banyak memiliki dokter yang baik dan tidak semua dokter di Singapura baik. Tapi banyak dokter di Singapura memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh dokter di Indonesia, yaitu WAKTU. Paling tidak, begitulah yang aku rasakan kalau berobat ke NUH. Mereka dapat melayani pasien dengan sabar tanpa terburu-buru. Tapi di Jakarta, dokter ahli kanker banyak yang sibuuuk. Pasien mereka bejibun sedangkan waktunya terbatas. Kurangnya jumlah dokter spesialis di Indonesia merupakan salah satu persoalan yang menghambat pemberian layanan secara maksimal.

Terakhir kali aku ke NUH pada tanggal 18 Maret 2011. Biasanya aku bertemu dengan bu dokter, tetapi hari itu bu dokter sedang berhalangan. Sebelumnya memang pihak rumah sakit pernah menelponku, menanyakan apakah bisa datang beberapa hari lebih cepat karena karena bu dokter tak dapat menemuiku pada hari H. Berhubung aku sudah pesan tiket dan nggak mau membayar biaya tambahan untuk mengubah tanggal keberangkatan (dan kepulangan juga, tentunya), maka aku rela menemui dokter pengganti.

Sama seperti dokter langgananku, dokter pengganti ini juga masih muda, usianya sekitar 30-an, dan juga cukup sabar.

Ketika melihat hasil bone scan yang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas di tulang belakang bagian atas, ia mengatakan bahwa mungkin bagian itu nanti perlu diradiasi. Akhir tahun lalu hingga awal tahun ini memang aku pernah menjalani radiasi sebanyak 30x, tapi radiasi itu tidak mencakup bagian tsb.

Selain itu ia menyarankan agar obat yang selama ini aku minum tiap hari diganti. Obat yang baru ini namanya fulvestrant dan merupakan obat suntik. Di bulan pertama, obat ini disuntikkan 2x, setelah itu setiap bulan sekali. Yang bikin pusing, obat ini harganya selangit… ! Begitu dengar harganya, langsung deh manyun....

“Dok, jangan buru2 ganti obat dong, obat saya yang lama masih banyak,” kataku sewot.

Memang betul, aku masih punya banyak persediaan karena bulan lalu aku ikut program “beli 3 boks gratis 1 boks” sedangkan 1 boks obat dapat diminum selama 4 minggu.

Oh ya, yang tak kalah pentingnya, pak dokter mengatakan bahwa kemungkinan aku perlu biopsi karena ada benjolan kecil di payudara kiri (yang telah terdeteksi di Dharmais awal bulan ini) dan mungkin juga perlu kemo lagi, apalagi setelah aku mengatakan bahwa dalam posisi berbaring agak lama, punggung kiri akan rasanya pegal.

Tapi itu masih kemungkinan. Belum pasti. Semuanya tergantung dari perkembangan dalam waktu dua bulan mendatang.

Aku sih tentu saja mengharapkan adanya perkembangan baik. Apalagi dengan perpaduan cara modern dan tradisional – selain minum obat dari dokter aku juga minum obat herbal dan memperkuat energi positif dalam tubuh melalui reiki. Dan akhir2 ini aku mulai sedikit2 berlatih yoga lagi meskipun dengan gerakan terbatas.

Sementara itu aku juga berkunjung ke Dharmais. Berbeda dengan kunjungan ke NUH yang santai, aku sama sekali tak dapat merasa santai di Dharmais setelah mengetahui betapa sibuknya bu dokter yang sebetulnya sudah harus pergi mengajar sebelum aku datang.

Bu dokter sendiri berusaha untuk tetap tenang dan tak terburu2, justru aku yang merasa kurang nyaman.

Setelah melakukan pemeriksaan fisik, ia menyarankan agar aku menjalani tindakan ….apa ya namanya aku lupa….pada benjolan yang baru muncul. Yang aku ingat, dokter menyebut-nyebut “disedot dengan jarum yang keciiill.” Mungkin ini semacam biopsi, tapi aku nggak yakin.

“Tapi jangan sekarang ya, dok,” kataku.

“Boleh. Tapi jangan lama2 ya,” katanya.

Ini lalu memberiku surat pengantar untuk USG lagi sebulan kemudian.

Apa yang akan terjadi dalam waktu sebulan dua bulan ini? Dapatkah terjadi perkembangan yang menggembirakan?

Menurut teori LoA (Low of Attraction) yang menekankan bahwa “you are what you think” kita harus berkeyakinan akan hal2 yang positif agar dapat mencapai hasil yang diidam-idamkan.

“Mudah2an ada suatu keajaiban,” komentar seorang teman.

Ah, jadi ingat lagu berjudul Miracle of Miracles dalam drama musikal Fiddler on the Roof. Waktu kuliah di UGM, aku ikut pementasannya, biarpun cuma sebagai figuran.. hehehee… .

Wonder of wonders, miracle of miracles-
God took up Daniel once again,
Stood by his and side and- miracle of miracles-
Walked him through the lions den!

Wonder of wonders, miracle of miracles-
I was afraid that God would frown,
But like he did so long ago, at Jericho,
God just made a wall fall down!

When Moses softened Pharaohs heart, that was a miracle.
When God made the waters of the red sea part, that was a miracle too!
But of all God's miracles large and small,
The most miraculous one of all
Is that out of a worthless lump of clay,
God has made a man today.

Wonder of wonders, miracle of miracles-
God took the tailor by the hand
Turned him around and- miracle of miracles- Led him to the promised land!
When David slew Goliath (yes!), that was a miracle.
When God gave us matter in the wilderness, that was a miracle too.
But of all God's miracles large and small,
The most miraculous one of all
Is the one I thought could never be:
God has given you to me.

Monday, March 14, 2011

Menuju Kesembuhan

Ada yang penasaran menanyakan mengapa nama blog ini, “ayomari”, berbau Jepang. Oh ya, sebelumnya aku mau mengucapkan rasa duka yang mendalam atas bencana yang menimpa negara Sakura.

Kembali ke soal nama, “ayomari" sama sekali tak ada hubungannya dengan Jepang. Kalau dengan Jawa, justru ada. Kata “ayo” sendiri merupakan bahasa Indonesia, tapi ”ayomari” bukan berarti ”ayo.. ayo.. marilah ke mari... hey.. hey... hey...” (seperti lagu jadulnya Titiek Puspa). Mari di sini berasal dari bahasa Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Dalam bahasa Jawa Timur, mari = sudah, tapi di Jawa Tengah, mari artinya sembuh.

Dengan kata lain,”ayomari” atau”ayo sembuh” adalah ajakan untuk berjuang melawan kanker, menuju kesembuhan. Yuk.. ayuk... mari..mari.. rame2 kita hadapi kanker agar kita bebas dari gangguan penyakit yang sangat menjengkelkan ini. 

Pertanyaannya yang selalu berdengung di telinga penderita kanker adalah: Apakah aku bisa sembuh?

Jawabannya: bisa.

Asal.....mau berjuang mati-matian dan Tuhan mengijinkan.

Memang kanker ini sulit diberantas. Kalau masih dalam stadium awal, penanganannya lebih mudah dan kemungkinan untuk sembuh mencapai 80 persen. Kondisi yang sebaliknya berlaku untuk kanker stadium lanjut.

Bagaimana caranya supaya bisa sembuh?

Saat ini belum ada obat yang dapat dengan mudah membasmi kanker sampai ke akar2nya. Kemoterapi dapat memukul mundur kanker tetapi bukan berarti sel kanker betul2 hilang. Bisa saja ia muncul lagi dan menyerang ke bagian tubuh yg lain.

Hiii.. Ngeri ya. Aduh bagaimana ini… ….

Meskipun demikian, kita tak boleh berkecil hati. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa penderita kanker bisa sembuh total, seperti Rima Melati dan Olivia Newton John. Atau, tak usah jauh2. Ibuku sendiri adalah salah satunya.

Ibu terkena kanker rahim. Tahun 1990-an rahimnya diangkat dan sekarang dalam usia 83 tahun kurang 5 bulan, ia masih cukup sehat.

Setiap pagi, begitu bangun tidur, ibu melakukan senam ringan, menggerak2an anggota badan, dan juga senam nafas. Senam nafas dilakukan dengan menarik nafas dan mengeluarkannya perlahan2 melalui perut.

Setelah itu ibu berjalan pelan2 menuju ke tempat tukang sayur langganannya mangkal, beberapa ratus meter dari rumah. Olah raga sambil sekalian bersosialisasi dengan sesama pembeli dan juga penjualnya...

Dietnya sangat ketat. Dua kali sehari Ibu selalu memblender buah2an, terutama wortel dan tomat, serta sayur2an, misalnya labu siam atau terong, yang sebelumnya direbus. Beras merah juga merupakan menu pokok sedangkan gorengan dan jajanan merupakan hal yg sedapat mungkin dihindari.

Selain itu, sejak beberapa bulan yll ibu rajin membuat sop sayur lima warna dengan resep yang konon berasal dari Jepang. Sop ini terdiri dari wortel, lobak, jamur shitake, daun lobak atau sawi hijau, dan ubi jepang (kalau tidak ada, boleh juga labu kuning).

Ibuku, sama halnya dengan Rima Melati dan Olivia Newton John, menderita kanker dalam kisaran stadium 2-3.

Bagaimana kalau stadium 4?

Blog ini dibuat pada tahun 2007 ketika aku sudah memasuki stadium 4. Pada akhir tahun 2004, setelah didiagnosa menderita kanker payudara stadium 2, aku langsung menjalani mastektomi dan kemoterapi. Alhasil, pemeriksaan foto menunjukkan bahwa tak ada lagi sel-sel kanker yang bercokol di tubuhku.

Tapi kemudian ternyata kanker muncul lagi dan menyerang tulang. Karena sudah menyebar ke bagian tubuh yang lain, maka aku naik kelas, dari stadium 2 ke stadium 4.

Kanker stadium 4 pasti membuat orang merinding. Bayang2 kelam si malaikat pencabut nyawa pun muncul,

Ah, jangan lebai,.... Penyintas kanker stadium lanjut tak harus hidup muram. Banyak yang bisa menikmati hidup dengan berkualitas. Dapat beraktivitas dan produktif meskipun mungkin ada penurunan. Dapat ketawa-ketiwi, pergi ke sana ke mari, jalan2 ke mall...

Oh ya, ngomong2 soal jalan ke sana kemari... Kapan itu aku ke supermarket raksasa, tapi meskipun di sana hanya sekitar 1 jam, rasanya lelaaaaaah sekali.

“Itu wajar karena sebagian tenaga digunakan untuk melawan penyakit,” kata bu dokter.

Perang melawan kanker memang melelahkan. Hampir empat tahun telah berlalu sejak aku naik kelas ke stadium lanjut. Berbagai cara telah dilakukan untuk memberantasnya hingga tuntas, atau paling tidak untuk mengendalikannya agar tidak menyebar ke mana2. Perjuangan belum selesai. Pengobatan dan pemeriksaan rutin dilakukan untuk mendeteksi keberadaan sel2 kanker.

Hasil bone scan terakhir menunjukkan adanya "peningkatan kegiatan" di tulang belakang. Oohhh.. no..! Kok bisa ya? Tapi sebetulnya hasil ini nggak jelek2 amat, karena tidak ada penyebaran di bagian lain.

Dan yang lebih menggembirakan, CT scan yang dilakukan awal bulan ini hasilnya baik.. Untunglah..

Thursday, March 3, 2011

Saatnya Unjuk Gigi


Aku cinta damai. Tapi kalo ada yang cari gara2 dan ngajak berantem, mau tak mau aku mesti unjuk gigi.

Gigiku cukup baik meskipun sebetulnya ada juga bolongnya dikit2 dan pernah ditambal tapi tambalannya sudah lama copot. Tapi bukan karena itu maka aku berani unjuk gigi. Ini mesti dilakukan kalau ada hal yang tidak beres dan perlu diatasi segera, seperti kejadian yg kualami kemarin (2 Maret 2011).

“Pinggirin mobilnya,” polisi berteriak sambil menghalangi mobilku.

Lalu lintas padat merayap di jalan tol dari arah Kapuk menuju Slipi, mulai dari Grogol. Hal yang biasa, apalagi saat itu sudah sekitar pukul 4 sore. Dari jalur kanan, pelan2 aku pindah ke jalur kiri karena akan keluar di Slipi menuju kantor. Dalam kepadatan lalu lintas, bahu jalan di sisi kiri terisi mobil yang tak sabaran dan aku pun ikut2an. Selepas perempatan Tomang, kendaraan yang tadinya di bahu jalan mulai mengarah ke kanan, berusaha masuk ke jalur yang benar. Aku tak segera melakukannya karena lalu lintas memang sedang padat dan tak mudah berpindah jalur.

Eeeehh.. ternyata di mulut gerbang keluar Slipi terparkir mobil patroli polisi. Wah, alamat buruk nih. Aku berusaha segera pindah jalur, begitu juga mobil2 di belakangku. Tapi seorang polisi segera menyuruhku berhenti meskipun mobilku sudah berada pada posisi yang benar, sementara mobil2 lain tadinya mengambil bahu jalan dibiarkan berlalu.

Ia memberi aba2 agar aku minggir ke belakang mobil polisi. Aku membuka kaca mobil dan mendengarnya berulang kali berteriak menyuruhku minggir dan mengatakan bahwa aku melanggar karena menggunakan bahu jalan.

Aku capai sekali. Kondisi badanku sedang kurang fit. Hari itu menjalani pemeriksaan CT scan di RS PIK. Aku sudah berkali2 menjalaninya, tetapi kali ini aku sungguh menderita.

Sekitar jam 2 siang, aku tergeletak di ruang CT scan. Seorang suster ramah berperawakan mungil menepuk2 urat nadiku yang semakin halus saja lalu menusuk dua tempat yang berbeda, berusaha memasang alat untuk memasukkan obat. Tapi gagal. Suster yang mendampinginya membantu, menusuk sekali lagi, dan gagal lagi.

Dokter datang. Ia minta maaf atas ketidaknyamanan yang kualami dan menerangkan bahwa obat kontras harus dimasukkan untuk mendapatkan hasil yang jelas.

Namanya dr. Herlina. Orangnya terkesan baik dan penuh empati. Baru sekali ini aku bertemu dengannya. Kalau tau begitu, dari dulu aku pasti memilih ditangani olehnya

Akhirnya dipanggillah bala bantuan dari UGD. Seorang suster cantik dengan eye shadow hijau sesuai dengan warna baju seragamnya datang. Dua kali ia menusuk dan dua kali pula gagal. Tusukan ketiga diarahkan pada urat nadi pergelangan tangan. Sakitnya lumayan juga.. Untunglah…. kali ini berhasil.

Tapi itu bukan akhir dari penderitaan. Ketika dilakukan tes untuk memasukkan obat, tanganku langsung terguncang akibat tak menyangka kalau sakitnya luar biasa. Selain itu obat juga dimasukkan melalui dubur, menimbulkan rasa melilit yang sangat tidak enak.

“Tahan, ya, kalau sudah tidak kuat, teriak, nanti kita hentikan,” kata suster sebelum memasukkan obat.

Penderitaan lain muncul karena badanku terasa sangat pegal … remuk redam…dan kedinginan dalam balutan baju kimono dari RS. Rasanya seperti di kutub Utara (hehehee… serasa pernah ke sana aja….)

Ketika semuanya selesai, aku melihat jam tangan. Ternyata baru jam 15:30, padahal aku merasa lamaaaaa sekali proses yg melelahkan itu.

Badan yang sudah lemas, semakin lemas rasanya ketika polisi menghadangku. Dari dalam mobil, aku satukan kedua telapak tangan dan kuangkat hingga ke depan wajahku, lalu kubuat gerakan naik turun, seperti gaya sembah. Maksudnya, minta maaf dengan harapan agar ia membiarkan aku berjalan terus.

Tapi gerakanku kurang khidmad dan khusuk sehingga polisi itu tambah berang. Setelah gagal menyuruhku meminggirkan mobil, ia memintaku keluar. Aku turun turun dari mobil.

“Saya ini menghormati perempuan, tapi ibu tidak menghormati saya,” katanya marah2.

“Saya menghormati bapak, makanya saya minta maaf ini,” kataku lagi sambil kembali menangkupkan telapak tangan dan menggerak2kannya naik turun.

“Kalau menghormati saya, harusnya minggir.”

“Coba, saya lihat identitas bapak. Tolong buka rompinya, pak.”

Nama polisi pasti tercantum pada baju seragamnya di bagian dada, tapi seringkali polisi menutupinya dengan rompi,

“Saya akan tunjukkan identitasnya kalau mobil sudah dipinggirkan,” katanya.

Aku cuma tersenyum kecut. Suasana semakin panas. Pasti jalanan semakin macet karena banyak kendaraan berderet-deret di belakang mobilku. Aku bergeming.

Polisi itu bengong. Lalu ngeloyor ke mobilnya dan berdiri di sana, membelakangiku. Mungkin menyesali nasibnya. Dia pikir dapat sasaran empuk, ternyata eh, salah sasaran…

Dengan kesal bercampur geli, aku pun kembali masuk mobil dan meneruskan perjalanan yang sempat terganggu oleh drama singkat itu.