Tapi itu dulu... Ketika aku masih sehat dan kuat.
Keadaan berubah 180 derajad di bulan April 2011. Tumor ganas yang kuderita sejak 2004 semakin merajalela, menyerang sumsum tulang belakang sehingga syaraf terganggu. Operasi yang dilakukan tak mampu memulihkan kondisiku sehingga bagian bawah badanku, dari perut ke ujung jari kaki tak dapat digerakkan.
Sekarang aku menjadi sangat tidak mandiri. Hampir segala sesuatu tergantung pada orang lain.
Keadaan ini sudah berlangsung selama tiga bulan lebih. Bulan pertama berlalu dengan relatif lebih mudah karena saat itu aku masih di RS. Sebagai pasien yang diopname setelah menjalani operasi, rasanya sah-sah saja kalau tergeletak di ranjang dan tergantung pada dokter serta perawat, termasuk perawat pribadi yang menemaniku.
Di rumah, keadaanku tak lebih baik, dalam hal kemandirian. Aku masih harus berbaring terus di ranjang, atau duduk di kursi roda. Sebetulnya paling enak ya tidur2an di ranjang... tapi kalo kelamaan, aduh mak, pegalnya.... Dan yang paling menjengkelkan, biarpun pegal, aku nggak bisa mengubah posisi sendiri. Untuk mencapai posisi miring yang betul2 nyaman, perlu bantuan orang lain. Apalagi kalau badan melorot, perlu dua orang untuk memperbaiki posisiku dengan menaikkan badan sehingga kepala berada di ujung tempat tidur.
Badan biasanya melorot setelah miring ke kiri atau ke kanan. Kalau sudah melorot, sedih deh. Rasanya bener2 seperti terkapar tak berdaya. Badan nggak bisa ditegakkan dalam posisi setengah duduk, apalagi duduk... Kalau ditegakkan, maka posisi dagu akan menempel di leher.
Ranjangku ini adalah ranjang khusus pasien yang bisa dinaik-turunkan dengan memutar engkol yang tersedia. Ini manual.
Seandainya aku tidur di ranjang elektrik, kalau badan melorot, tetap saja perlu orang untuk membantu menaikkan. Pada saat dinaikkan, yang ditarik bukan badannya, tapi kain lapisan yang memang dipasang di atas seprei. Lebih praktis.
Tenaga manusia juga diperlukan untuk memindahkan aku dari ranjang ke kursi roda. Dalam hal ini, mereka mengangkat aku dengan menarik sepreinya.
”Sebetulnya ada alat khusus untuk memindahkan pasien,” kata bu dokter.
Alat ini namanya patient lift. Harganya selangit, setinggi harga ranjang elektrik. Di sini juga susah dicari dan tidak populer. Orang jarang memerlukan karena biasanya di rumah ada banyak orang sehingga selalu tersedia tenaga untuk mengangkat pasien jika diperlukan.
Lain halnya denganku. Dulu aku tinggal berempat berserta kedua orang tuaku dan seorang sodara di rumah mungil berlantai dua. Aku dan sodaraku tidur di lantai atas. Karena sakit, nggak mungkinlah tidur di atas… Untungnya sodaraku punya rumah yg letaknya tak jauh dari sana. Tadinya rumah yg juga kecil mungil itu dikontrakin, tapi kebetulan kemarin lagi kosong. Jadi ia mengajakku pindah ke sana.
Kita tinggal berdua di
Aku mencoba browsing di internet, mencari info tentang patient lift yang manual, syukur2 ada yang second sehingga harganya terjangkau. Tapi hasilnya nihil.
Tergantung pada alat atau pada orang lain memang nggak enak. Itulah sekarang yang kualami. Tapi...yach bagaimana... mau nggak mau mesti dijalani... Sudah rutin aku minta tolong si mbak...
Aduh pegel nihhhh, tolong miringin badan ke kiri, tolong mau telentang, naikin sedikit ranjangnya biar posisi kepala enakan, naikin badannya biar nggak melorot... (tapi kalo yg ini harus ber-2) ambilin minum, ambilin makan, potongin buah, ambilin laptop dll.....
Temanku punya ide brilian. Supaya aku nggak capek manggil2 si mbak, dibelikannya aku bel. Mirip bel di losmen kecil di luar negeri yang kekurangan resepsionis sehingga tamu perlu menekan bel untuk memanggil si pemilik. Jadi kalau perlu sesuatu, tinggal .. ting…. (nggak pake ..tong....). Cukup satu kali saja karena bunyinya cukup nyaring hingga terdengar di seluruh rumah… Keren ya?