Entah sudah berapa banyak dokter yang aku kunjungi gara-gara penyakit bandel yang merepotkan ini. Mungkin ada 1001 orang dokter. Eh, ralat.. kebanyakan … Coba ya aku ingat-ingat dulu …Satu, dua, tiga….hmm…hitung punya hitung, semenjak pemeriksaan mamogram di akhir tahun 2004 menunjukkan adanya kanker di payudara kanan, aku sudah bertemu dengan paling sedikit 30 orang dokter. Busyeet.. banyak banget ya?
Kunjungan ke dokter dilakukan dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Misalnya untuk menjalani pemeriksaan seperti bone scan, CT scan, PET scan dan EMG, untuk sekedar minta resep painkiller, untuk suntik vitamin, dan tentu saja untuk berkonsultasi dalam usaha menyusun strategi terbaik untuk melawan kanker.
Mereka berpraktik di tempat yang berbeda dengan keahlian yang berbeda. Ada beberapa yang berpraktik di Singapura, tetapi sebagian besar di Jakarta. Selain onkologis, ada juga dokter umum, spesialis syaraf, ahli radiologi dan spesialis layanan paliatif. Sifatnya juga berbeda-beda, ada yang baik, yang sabar, yang ramah dan murah senyum, yang rada cuek, yang sombong dan yang galak.
Dokter yang baik lebih banyak dari dokter yang kurang baik. Yang ramah lebih banyak daripada yang sombong. Hanya saja adanya seorang dokter yang kurang profesional memang dapat merusak citra mereka secara keseluruhan seperti kata pepatah: Karena nila seitik rusak susu sebelanga.
Indonesia banyak memiliki dokter yang baik dan tidak semua dokter di Singapura baik. Tapi banyak dokter di Singapura memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh dokter di Indonesia, yaitu WAKTU. Paling tidak, begitulah yang aku rasakan kalau berobat ke NUH. Mereka dapat melayani pasien dengan sabar tanpa terburu-buru. Tapi di Jakarta, dokter ahli kanker banyak yang sibuuuk. Pasien mereka bejibun sedangkan waktunya terbatas. Kurangnya jumlah dokter spesialis di Indonesia merupakan salah satu persoalan yang menghambat pemberian layanan secara maksimal.
Terakhir kali aku ke NUH pada tanggal 18 Maret 2011. Biasanya aku bertemu dengan bu dokter, tetapi hari itu bu dokter sedang berhalangan. Sebelumnya memang pihak rumah sakit pernah menelponku, menanyakan apakah bisa datang beberapa hari lebih cepat karena karena bu dokter tak dapat menemuiku pada hari H. Berhubung aku sudah pesan tiket dan nggak mau membayar biaya tambahan untuk mengubah tanggal keberangkatan (dan kepulangan juga, tentunya), maka aku rela menemui dokter pengganti.
Sama seperti dokter langgananku, dokter pengganti ini juga masih muda, usianya sekitar 30-an, dan juga cukup sabar.
Ketika melihat hasil bone scan yang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas di tulang belakang bagian atas, ia mengatakan bahwa mungkin bagian itu nanti perlu diradiasi. Akhir tahun lalu hingga awal tahun ini memang aku pernah menjalani radiasi sebanyak 30x, tapi radiasi itu tidak mencakup bagian tsb.
Selain itu ia menyarankan agar obat yang selama ini aku minum tiap hari diganti. Obat yang baru ini namanya fulvestrant dan merupakan obat suntik. Di bulan pertama, obat ini disuntikkan 2x, setelah itu setiap bulan sekali. Yang bikin pusing, obat ini harganya selangit… ! Begitu dengar harganya, langsung deh manyun....
“Dok, jangan buru2 ganti obat dong, obat saya yang lama masih banyak,” kataku sewot.
Memang betul, aku masih punya banyak persediaan karena bulan lalu aku ikut program “beli 3 boks gratis 1 boks” sedangkan 1 boks obat dapat diminum selama 4 minggu.
Oh ya, yang tak kalah pentingnya, pak dokter mengatakan bahwa kemungkinan aku perlu biopsi karena ada benjolan kecil di payudara kiri (yang telah terdeteksi di Dharmais awal bulan ini) dan mungkin juga perlu kemo lagi, apalagi setelah aku mengatakan bahwa dalam posisi berbaring agak lama, punggung kiri akan rasanya pegal.
Tapi itu masih kemungkinan. Belum pasti. Semuanya tergantung dari perkembangan dalam waktu dua bulan mendatang.
Aku sih tentu saja mengharapkan adanya perkembangan baik. Apalagi dengan perpaduan cara modern dan tradisional – selain minum obat dari dokter aku juga minum obat herbal dan memperkuat energi positif dalam tubuh melalui reiki. Dan akhir2 ini aku mulai sedikit2 berlatih yoga lagi meskipun dengan gerakan terbatas.
Sementara itu aku juga berkunjung ke Dharmais. Berbeda dengan kunjungan ke NUH yang santai, aku sama sekali tak dapat merasa santai di Dharmais setelah mengetahui betapa sibuknya bu dokter yang sebetulnya sudah harus pergi mengajar sebelum aku datang.
Bu dokter sendiri berusaha untuk tetap tenang dan tak terburu2, justru aku yang merasa kurang nyaman.
Setelah melakukan pemeriksaan fisik, ia menyarankan agar aku menjalani tindakan ….apa ya namanya aku lupa….pada benjolan yang baru muncul. Yang aku ingat, dokter menyebut-nyebut “disedot dengan jarum yang keciiill.” Mungkin ini semacam biopsi, tapi aku nggak yakin.
“Tapi jangan sekarang ya, dok,” kataku.
“Boleh. Tapi jangan lama2 ya,” katanya.
Ini lalu memberiku surat pengantar untuk USG lagi sebulan kemudian.
Apa yang akan terjadi dalam waktu sebulan dua bulan ini? Dapatkah terjadi perkembangan yang menggembirakan?
Menurut teori LoA (Low of Attraction) yang menekankan bahwa “you are what you think” kita harus berkeyakinan akan hal2 yang positif agar dapat mencapai hasil yang diidam-idamkan.
“Mudah2an ada suatu keajaiban,” komentar seorang teman.
Ah, jadi ingat lagu berjudul
Miracle of Miracles dalam drama musikal
Fiddler on the Roof. Waktu kuliah di UGM, aku ikut pementasannya, biarpun cuma sebagai figuran.. hehehee… .
Wonder of wonders, miracle of miracles-
God took up Daniel once again,
Stood by his and side and- miracle of miracles-
Walked him through the lions den!
Wonder of wonders, miracle of miracles-
I was afraid that God would frown,
But like he did so long ago, at Jericho,
God just made a wall fall down!
When Moses softened Pharaohs heart, that was a miracle.
When God made the waters of the red sea part, that was a miracle too!
But of all God's miracles large and small,
The most miraculous one of all
Is that out of a worthless lump of clay,
God has made a man today.
Wonder of wonders, miracle of miracles-
God took the tailor by the hand
Turned him around and- miracle of miracles- Led him to the promised land!
When David slew Goliath (yes!), that was a miracle.
When God gave us matter in the wilderness, that was a miracle too.
But of all God's miracles large and small,
The most miraculous one of all
Is the one I thought could never be:
God has given you to me.