
Kriiiiiing….. Telepon di rumahku berbunyi memecahkan kesunyian di malam hari menjelang pukul 21:00.
Segera telepon kusambar. Penasaran, siapa yang menelpon malam2 begini? Rasa penasaran langsung berubah menjadi rasa kaget luar biasa setelah mengetahui bahwa itu ternyata telepon dari RS Dharmais.
Si penelpon menanyakan bagaimana kabarku, apakah aku masih mengalami rasa nyeri.
Aku hampir tak mempercayai pendengaranku sendiri. Tumben, seumur-umur baru kali ini dapat telepon dari RS untuk menanyakan keadaanku. Aku sendiri juga beberapa bulan nggak ke RS Dharmais.
“Saya dari paliatif,” katanya.
Oh, paliatif. Layanan paliatif merupakan hal yang relatif baru karena baru dikenal di awal 1990-an dan tidak semua rumah sakit menyediakan layanan ini.
Apa itu paliatif? Menurut WHO, perawatan paliatif adalah perawatan total dan aktif untuk penderita yang penyakitnya tak lagi reponsif terhadap pengobatan kuratif alias yang tidak dapat disembuhkan.

Layanan paliatif diberikan agar pasien lepas dari penderitaan seperti nyeri yang berkepanjangan atau keluhan lain sehingga dapat menjalani hidup yang berkualitas. Ini adalah layanan terpadu yang menyangkut kesehatan jasmani dan rohani alias mental dan spiritual.
Layanan ini baru ada di 6 kota yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar. Di Jakarta, layanan ini diberikan oleh RSCM dan RS Dharmais.
Suster dari unit paliatif RS Dharmais menelpon mungkin merasa khawatir dengan keadaanku karena sudah lama tidak ke sana. Ia menanyakan keluhanku dan menganjurkan agar menyampaikannya ke dokter saat aku melakukan konsultasi. Memang aku sendiri sudah punya rencana untuk ke dokter pada keesokan harinya.
Hari Senin kemarin aku ke Dharmais untuk bertemu dengan dr. Noorwati. Aku masih ingat pertanyaanya ketika aku akan berkonsultasi beberapa bulan yll.
“Bagus?” tanyanya begitu aku memasuki ruangan praktik dan duduk di hadapannya.
Aku bengong. Apanya yang bagus?
“Itu novelnya, bagus? Suka baca ya?”

Oooh iu maksudnya. Memang saat itu aku membawa novel berjudul
Killing Me Softly, untuk dibaca-baca sambil menunggu giliran konsultasi.
“Lumayan, tapi ada buku yang jauh bagus. Hanya saja saya lupa pengarangnya. Nanti saya SMS.”
“Iya, boleh, nanti SMS ya, ini nomor HP saya,” kata bu dokter yang hobi baca itu seraya menuliskan nomor HP-nya di atas secarik kertas.
Dalam konsultasi singkat kemarin, aku mengutarakan soal nyeri yang belum teratasi dengan tuntas. Bu dokter menyarankan agar obat diganti dan menyuruhku ke dokter lain.
“Rasa nyeri ini harus dicari penyebabnya. Nanti konsultasi ya dengan dokter syaraf,” katanya. “Ini tidak usah bayar.”
Wah, baik banget ya, bu dokter ini. Ia membebaskan aku dari biaya konsultasi sebesar Rp 150 ribu.
Ngomong2 soal nyeri. Aku punya teori sendiri. Rasa nyeri itu mulai bertambah dalam dua minggu terakhir ini, bertepatan dengan perubahan sementara dalam sistem kerjaku.
Sejak dua minggu yll aku bekerja dari rumah. Asyik kan, nggak usah bermacet ria di jalanan. Dengan sistem itu, dari jam 8 pagi sampai 4 sore praktis aku selalu berada di depan komputer. Jarang bergerak. Mungkin itulah pemicu peningkatan rasa sakit.
Pada hari Senin, aku ke sana ke mari, mampir ke kantor sebelum ke Dharmais, dan rasa sakit itu berkurang. Memang aku harus lebih banyak bergerak, apalagi sejak diradiasi, aku jarang olah raga....
Hari ini aku banyak melakukan gerakan2 ringan, meskipun dilakukan sambil duduk, atau mondar-mandir dari kamar ke kebun atau ke dapur... Hasilnya memang menakjubkan, seharian ini boleh dibilang rasa sakit jauh berkurang. Padahal semalam sempat merasa sakit sekali meskipun obatnya sudah diganti dan ditambah, sehingga hari ini aku kembali minum obat yang lama.
Semoga keadaan semakin aman dan terkendali... apalagi dengan adanya dukungan layanan paliatif yang pro-aktif itu.