Saturday, November 13, 2010

Radiologi tanpa Radio

Hari Kamis kemarin dulu aku tidak masuk kantor. My body is not delicious. Lagi kurang enak badan.

Sehari sebelumnya, di pagi hari aku muntah-muntah. Dan itu terulang kembali siang harinya, setelah makan menu wajib bikinan ibuku, jagung rebus dan brokoli. Rasanya mual, lemas dan sedikit pusing.  

Ini gara-gara kecapaian dan telat makan. Kejadiannya berawal pada hari Selasa. Sekitar jam 7:30 aku sudah berangkat dari rumah karena ada janji untuk berkonsultasi dengan Prof. Soehartati, kepala bagian radiologi RSCM.

“Beliau praktik dari jam 10 sampai jam 12. Datang jam 10, ya,” kata petugas ketika aku menelepon untuk bertemu dengan bu dokter.

“Biaya konsultasinya berapa, mbak?”

“Untuk VIP Rp 400.000, kalau layanan utama Rp 165.000.”

Aku memilih yang biayanya tidak terlalu mahal.

Di bagian radiologi RSCM (yang ada TV-nya tapi.. mana ya radionya?) tersedia tiga jenis layanan. Selain kedua layanan yang disebutkan di atas, ada juga layanan umum yang pasiennya antara lain adalah peserta Askes (Asuransi Kesehatan) dan Gakin (asuransi untuk keluarGA misKIN). Kebetulan konsultasi yang aku tanyakan hanya tersedia di bagian layanan utama dan VIP.

Layanan VIP atau yang disebut layanan karpet merah alias red carpet service mulai diberikan sejak awal tahun yll untuk pasien yang bersedia membayar lebih untuk layanan berteknologi canggih dengan kenyamanan ekstra.

Sebelum jam 10 aku sudah sampai di RSCM dengan diantar dr. Winarti yang sudah bagaikan dokter keluarga.

“Dulu saya pernah mengantar pasien VIP, di sana disediakan kopi, teh, makanan kecil seperti risoles. Pasien bisa mengambil sendiri sesukanya,” kata dr. Win sambil menambahkan bahwa ia sempat juga melihat selebritis yang berobat di sana.

Iseng-iseng kami numpang lewat ruang VIP. Memang di sana terasa lebih nyaman, AC-nya dingin dan terdapat sofa-sofa empuk. Aku lihat ada potongan jagung rebus di samping minuman hangat yang disediakan untuk pasien.

Di bagian layanan umum, ruang tunggunya tidak terlalu besar sedangkan pasiennya cukup banyak.

Ruang tunggu layanan utama juga biasa-biasa saja. Hanya ada satu sofa. Selebihnya bangku-bangku kayu dan kursi-kursi yang keras. Untungnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama, namaku dipanggil suster.

“Cepet juga ya, dok,” kataku dengan gembira.

Begitu memasuki ruangan praktik, aku terkejut.

Lho, kok Prof. Soehartati berjenggot?

Oh, ternyata itu bukan Prof. Soehartati, tapi dokter yang menjadi asistennya. Namanya sama dengan nama penyanyi dangdut yang ngetop dengan lagu jadul Senyuman Pertama dan Lirikan Matamu.

“Prof. Tati sedang di Dharmais, ada acara di sana,” kata suster.
Asisten Prof. Tati menanyakan riwayat penyakitku dan memeriksaku sebentar. Ketika mengetahui bahwa aku membawa hasil bone scan dan CT scan, ia meminta salinannya. Rupanya mereka tidak memiliki fasilitas foto kopi, jadi terpaksa aku harus meminta tukang foto kopi untuk membuat salinannya.

Tempat foto kopi berdekatan dengan kantin. Tapi kami tidak mampir karena masih kenyang meskipun sebelumnya sudah dianjurkan oleh suster.

Menjelang tengah hari, Prof. Tati ternyata belum muncul, sedangkan dr. Win sudah harus pergi karena ada urusan penting.

Tepat pukul 12, terdengar pengumuman bahwa tersedia makan siang bagi para pasien yang kurang mampu.

Memang sebelumnya, aku mendengar dari dr. Win bahwa dokter kenalannya yang juga bertugas di bagian radiologi dan rekan-rekannya berinisiatif membelikan nasi bungkus bagi pasien yang kurang mampu. Mereka merasa kasihan karena banyak pasien yang datang dari jauh dan harus menunggu berjam-jam sebelum mendapatkan giliran radiasi.

Sementara itu... aku menunggu dan menunggu… sambil terkantuk-kantuk. Perut terasa lapar. Aku membawa roti, tapi sayang sekali tertinggal di mobil. Ah, untung ada satu buah pisang dalam tas! Lumayan…

Setelah sekian lama, datang juga kesempatan untuk berkonsultasi dengan Prof. dr. Tati yang mengawali pembicaraan dengan senyum dan jabat tangan hangat.

Ia menyarankan agar aku memakai korset sampai 2 bulan setelah radiasi selesai untuk menyangga tulang belakangku yang terkena kanker.

“Seharusnya begitu diketahui ada metastasis ke tulang, langsung radiasi. Tidak ada yang memberitahukan hal itu ya?” katanya.

Kanker diketahui menyebar ke tulang pada bulan April 2007, tapi saran untuk melakukan radioterapi memang baru diberikan awal bulan ini ketika aku berkonsultasi dengan dr. Lugi (yang juga berpraktik di RSCM) karena dada kiriku terasa sakit sekali.

Menurut Prof. Tati, perlu dilakukan radiasi sebanyak 20x. Meskipun namanya radioterapi, ia sama sekali tidak menyebutkan apakah perlu mendengarkan siaran radio selama terapi.

Sebetulnya hari itu juga dapat dilakukan penandaan bagian-bagian yang akan disinar, diikuti dengan radiasi pertama. Tapi aku belum siap. Selain itu rasanya lelah sekali..

Sebelum meninggalkan RSCM pada jam 14:30, dengan langkah gontai aku menuju ke kasir untuk menanyakan biaya radioterapi.
Hitung punya hitung, total biaya mencapai Rp 20.744.000. -
Mahal ya? Biaya pengobatan memang mahal. Apalagi mengingat bahwa itu adalah tarif layanan utama.
Coba kalau dibelikan beras, dapat berapa karung? Apalagi kalau dibelikan krupuk... Wah, bisa bertruk- truk.

(PS: Ketika aku tanyakan langsung ke RS Dharmais, ternyata biayanya kira2 juga sama).

Thursday, November 4, 2010

Rasa Kanker

“Bagaimana rasanya setelah selesai kemo?” begitu pertanyaan Mas perawat sebelum menusukkan jarum infus ke lenganku.
“Apa suka lemes?” sambungnya.

Sebetulnya sih nggak suka. Kalo boleh milih, tentu aku suka kuat, energik. Tapi apa boleh buat.... suka nggak suka... kenyataannya begitu. Kondisiku sudah tidak seperti dulu lagi. Gampang capek.

Pertanyaan Mas itu diajukan akhir Oktober 2010 ketika aku menjalani infus Zometa untuk menguatkan tulang. Selama kemo (Maret-Agustus 2010), infus dihentikan, tetapi sekarang dilanjutkan kembali.

Selain lemas, hampir tak ada perubahan. Rasanya biasa-biasa saja. Eh, sebetulnya ada rasa sakit juga di bagian dada kiri sejak akhir September, tetapi itu on and off . Kadang muncul, kadang hilang. Ketika aku berkonsultasi dengan dokter di NUH pada awal Oktober, ia mengatakan agar aku jangan terlalu khawatir. Mungkin rasa sakit seperti itu merupakan hal biasa.

Berhubung sakitnya kian menjadi-jadi, aku putuskan untuk ke dokter spesialis kanker. Tidak di Singapura, cukup di Jakarta saja.

Pilihan akhirnya jatuh ke dr. Lugyanti Sukrisman yang masih muda tapi konon kabarnya “bagus”. Lima tahun yll, aku menjalani kemo untuk yang pertama kalinya di MMC dan sempat bertemu dengan dr. Lugy dua kali dalam kapasitasnya sebagai dokter pengganti atau asisten (?) seorang dokter senior.

“Dr. Lugy juga praktik di Klinik Teratai RSCM,” begitu info dari dr. Winarti, yang selalu memberikan dukungan untukku.

Maka pada hari Selasa (2 November 2010) kemarin aku tiba di RSCM menjelang pukul 11 siang. Selama ini aku belum pernah berobat di sana dan yang membuatku stres adalah susahnya mencari tempat parkir. Sudah memutar beberapa kali, tetap tidak berhasil. Tapi... untung... ada petugas yang baik hati dan menolong tanpa pamrih. Aku sudah berusaha mengingat-ingat namanya yang dibordir dengan benang putih pada baju seragam hitamnya. Kalau tidak salah Ardyansyah tapi kayaknya salah deh,... yang jelas terdiri dari tiga suku kata. .

Anyway.... Klinik Teratai cukup ramai. Ruangannya kecil padahal pasiennya banyak. Waktu aku datang, di ruang tunggu hanya ada 2 bangku yang kosong. Untung ya, masih ada.... Di sebelah kiriku sempat duduk seorang ibu yang keringatnya agak bau menyengat (untung ya hanya ‘agak’, coba kalau ‘sangat’, wah bisa2 aku mabok...)

Setelah menunggu selama 2 jam, barulah aku mendapat giliran. Memang menunggu itu paling menjengkelkan. Tapi aku sudah mengantisipasinya, siap dengan Doomsday Conspiracy, novel lama karangan Sidney Sheldon yang kusambar dari rak buku sebelum berangkat. (Tapi hanya sempat dibaca beberapa halaman karena tertidur...)

Kenapa ya, kalau ke dokter harus menunggu berjam-jam. Waktu aku mengantar ayah berobat ke RS Pondok Indah, kita bahkan menunggu 3 jam.

Meskipun lama menunggu, aku nggak nyesel ke sana. Secara umum, pelayanan di Klinik itu baik. Biaya relatif murah: Rp 100.000 untuk konsultasi dan Rp 20.000 untuk admin, sedangkan di RSPI biaya konsultasi Rp 250.000 dan admin Rp 75.000. Dokternya juga baik, ramah.

“Dok, kita pernah ketemu lho, lima tahun yll, di MMC,” kataku, sok akrab.

“Iya, rasanya saya juga pernah melihat, tapi nggak ingat, di mana,” jawabnya.

Jawaban yang membuatku heran. Masak sih dia beneran ingat aku? Apa istimewanya aku ini sehingga ia ingat? Apa kaena ia tahu bahwa aku pernah ditipu suster ketika kemo di MMC waktu itu? (baca Tertipu).
Setelah memeriksa kondisiku, dokter menduga bahwa rasa sakit itu datangnya dari tulang iga yang tampaknya masih dicokoli sel-sel kanker. Ia menganjurkan agar aku menjalani radiasi, yang juga disebut radiotherapy.

Aku ingat, dokter di NUH dulu juga mengatakan bahwa aku mungkin perlu radiasi.

Waktu aku cerita ke seorang teman bahwa aku perlu radioteraphy, dia bertanya, seperti apa terapinya.
“Apa pake musik?”
Ha..ha..ha.... betul, sambil dengerin radio, disinar dengan cahaya mentari pagi yang hangat....