Friday, April 16, 2010

Rambut

Pagi-pagi bangun tidur, kulihat banyak rambut di bantal. Emang bantal berambut? Sebetulnya sih ya enggak. Bukan bantal yang mengeluarkan rambut, itu adalah rambutku yang berguguran.

Ya, betul.. aku keguguran. Bukan janin yang gugur, tapi ya itu tadi…rambut. Gugurnya juga nggak tanggung-tanggung. Buanyaaakkk sekali.

Itu adalah akibat kemoterapi. Obat yang keras menghantam bukan hanya sel kanker, tetapi juga sel-sel yang sehat. Dampak kemo ke pasien berbeda-beda. Separo dari pasien yang menjalani kemo akan merasa mual atau pusing dan sebagian besar mengalami kerontokan rambut. Daya tahan tubuhku termasuk kuat sehingga bisa bebas dari rasa mual dan pusing, apalagi karena selama kemo, aku juga diinfus dengan cairan anti mual, selain obat anti nyeri dan anti shock, juga anti gores dan anti penyok… :)

Dulu, lima tahun yll, aku juga pernah dikemo. Ketika itu kemo dilakukan setiap 4 minggu sekali, selama 6 putaran. Satu putaran terdiri dari 1x kemo. Setelah kemo yang ketiga, rambut rontok dan aku mulai sariawan.

Sekarang ini aku juga harus menjalani kemo selama 6 putaran. Bedanya, sekarang 1 putaran = 3x kemo, yang dilakukan seminggu sekali, dengan bonus libur pada minggu yang ke-4. Putaran ke-2 dilakukan pada minggu ke-5, begitu seterusnya sampai putaran terakhir.
Aku menyelesaikan putaran yang pertama pada hari Sabtu, 10 April 2010. Nah, pada keesokan harinya, rambut mulai berguguran.

Kalau dulu rambut langsung habis seketika, sekarang ini nggak sekaligus. Jadi sampai hari ini masih ada sedikit rambut yang bertengger di kepalaku.
Tapi sejak hari Senin aku sudah memakai tutup kepala. Untung aku masih punya scarf, bandana dan beberapa topi yang aku pakai setelah kehilangan rambut 5 th yll. Nggak pakai wig karena takut panas.

Beberapa bandana aku beli di pinggir jalan, di tempat penjual asesoris sepeda motor. Murah meriah. Nggak heran kalau tukang sayur yang lewat depan rumah juga memakai bandana yang sama… Tapi ya biarin aja.

Cuek. Itu salah satu jurus yang aku gunakan dalam menghadapi tatapan mata yang mengandung berbagai rasa. Mereka yang tahu kalau aku sedang menjalani kemo, mungkin tahu persis mengapa aku memakai penutup kepala dan menatap dengan pandangan prihatin. Ada juga yang heran. Mungkin mereka mengira aku mau bergaya … Tapi kok gayanya nggak pas ya… Memang aku orangnya nggak modis dan lebih mementingkan kenyamanan daripada bergaya.

Singkat cerita, dengan jurus cuek aku berhasil menjalani hari-hariku tanpa beban.

Waktu aku SMS bu dokter, mengabarkan bahwa rambut mulai berguguran, dia membesarkan hari, “nanti juga tumbuh lagi, siapa tahu bisa jadi lebih tebal.” Memang bu dokter ini baik sekali dan selalu membesarkan hati.

Seorang teman menunjukkan rasa simpati setelah mengetahui kalau aku keguguran (rambut) akibat kemoterapi. Lalu ia berkomentar: “But you look happy.”

Mungkin ia heran melihat aku masih bisa tertawa dan nggak stres. BUSYET ... Yang bener aja. Emangnya orang yang kena kanker dan menjalani kemo emang nggak boleh happy? Mesti sedih, stres, frustrasi, nangis2 gitu...?????

Oh ya, aku sedih, sedih dengan persepsi orang tentang penyintas kanker (cancer survivor). Memang ada penderita kanker yang kondisinya memprihatinkan. Tetapi banyak yang masih bisa menjalani hidup yang berkualitas. Bisa aktif dan produktif. Bisa ke sana ke mari dan ketawa-ketiwi...

Aku sih sama sekali nggak happy karena kena kanker. Aku juga nggak happy mesti kemo setiap minggu dan mengalami keguguran. Tapi ya gimana dong. Namanya juga sudah kena penyakit, ya kita terima saja kenyataan itu dan menjalani pengobatan sebisanya.

Ngapain mesti mikirin yang enggak2, itu kan mengundang stres. Mendingan mikir yang positif aja. Jadi ingat judul buku karangan mbak Yuni, pendiri CISC (Cancer Information and Support Center), I have cancer, it doesn’t have me.

Kita memang kena kanker, tapi jangan biarkan kanker menguasai kita. Badan kita mungkin sakit karena digerogoti oleh sel-sel kanker, tatapi pikiran kita kan masih sehat. Pikiran yang sehat adalah modal untuk menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya.

Dengan pikiran sehat, kita bisa berpikir positif. Rambut yang hilang bisa tumbuh lagi. Sedih? Ya, itu wajar. Marah? Itu juga wajar. Tapi kesedihan dan kemarahan yang berlarut-larut nggak ada gunanya.

Banyak kok hal yang menyenangkan yang patut disyukuri. Contohnya nih, ada teman yang dengan spontan menyerahkan 2 lembar scarfnya.
“Gw ada 2 scarf yg belum pernah dipakai. Ntar gw kasih lu,” katanya.
Seneng dong, dapat hadiah. Seneng dong, punya temen yg baik hati.
Ya, banyak hal yang bisa membuat kita happy.

Monday, April 12, 2010

By the way: Is Changi better than Jakarta airport? Not really

Sun, 04/11/2010

Singapore's Changi airport is no better than the Jakarta airport.
"What? Are you kidding?" might be the first thing you think on reading the above eight-word heading.
"Are you saying Soekarno-Hatta International Airport in Jakarta is better than Singapore Changi Airport, which has a reputation for being one of the best airports in the world?"
I hate Jakarta airport for its discrimination against migrant workers, forcing them to use the lousy Terminal 3, where they are rudely treated and extorted. I am also concerned over the lack of security at the airport, which allows "rats" to steal valuables from passengers' luggage. And I don't like being welcomed at the arrival hall by all those pushy men, persistently offering their (illegal) taxis.
I used to admire Changi airport a lot, and wished Jakarta could have such a great airport.
But my last two visits to Singapore early this year opened my eyes. In a way, Jakarta is even better than Changi.
In the past year I traveled a lot to Singapore to see my oncologist. Yes, I have cancer, but it doesn't have me. Despite the disease, I am still active and productive.
Sometimes I even travel alone to Singapore, leaving home at dawn and returning to Jakarta with the last flight.
In February, when I was queuing to check in at Soekarno-Hatta airport, an officer of my budget airline greeted me warmly and asked politely, "Do you need a wheelchair?"
I am not crippled. But I have weakness in my right leg, which makes it hard for me to walk fast. I used to blame cancer for the limp until my oncologist found out last month that it might have been caused by something else. .
I was really grateful to be offered the wheelchair because I was in pain at the time. To my surprise, I was treated like a queen. The friendly officer quickly filled in my immigration card, had my NPWP (tax registration number) validated (so that I did not need to pay the Rp 2.5 million exit tax) and helped me get through customs. And then he took me to the gate where I was to wait for boarding.
In less than two hours, I landed in Singapore. At the airport, I noticed that the travolators were not functioning. As I walked a bit further, I began to feel pain in my right leg.
So I approached two airport officers standing on guard, and asked if they had a wheelchair service.
"Oh, you should have asked the aircraft," one of them said.
"Just go ahead, over there at the gate you will find a wheelchair and an officer to help you," she said after speaking to someone on her walkie-talkie, pointing somewhere in the distance.
I thanked her and walked slowly. I never found the gate, the wheelchair or the officer, but I was grateful because at one point the travolators were working.
I survived.
I continued my journey to see my doctor, who later gave me some painkillers, which made me feel much better.
In the evening, at the check-in counter at Changi, a woman told me that I had to pay S$30 if I needed the wheelchair service.
Onboard, when I asked the aircrew the same question, I was told, "There is no charge at Soekarno-Hatta airport, Ma'am. Would you like to have one?"
What I experienced during my last trip in March was more "impressive".
When I checked in at Soekarno-Hatta airport, I was again offered a wheelchair. I politely refused because I felt fine despite the limp. Besides, I had a companion.
On passing through immigration counter, as I walked slowly, I again heard a friendly voice, offering "Ma'am, would you like me to take you?"
I turned and saw a uniformed young woman standing near a buggy cart. I gave her my best smile and turned down the offer.
The buggy carts! I saw so many of them at Changi airport. Ah, I should ask about them.
So, when I was about to return to Jakarta, at the airport, I went to the information desk. I saw a wheelchair behind the desk and asked one of the two women on duty about it.
"Yes, you may borrow the wheelchair, but we don't have anyone to push it," she said with a (fake) smile.
"How about the buggy carts?"
"They belong to the aircraft," she said shortly.
How proud I am of the humane Jakarta airport (until I remember how they inhumanely treat the poor migrant workers).

The Jakarta Post

Thursday, April 8, 2010

Belum kemo sudah stress

Jauh-jauh hari sebelum kemo ke-2 yang dijadwalkan pada hari Sabtu, 3 April 2010, bu dokter sudah wanti-wanti perlunya botol cairan infus dan selang infus khusus.

“Selang infusnya pake filter, sedangkan botol infus terbuat dari plastik khusus, warnanya agak butek,” katanya. “Kalo pake yg biasa, plastiknya bisa kemakan.”

Jadi, ketika memesan obat ke distributor, aku meminta agar jangan lupa sekalian dengan selang infus dan botol infusnya yang khusus. Pinginnya sih obat diantar hari Rabu, tapi pak Sales baru bisa mengantar hari Kamis siang menjelang sore. Ya sudah, yang penting beres.

Sekitar jam 2:30, pak Sales muncul di lobi kantor dengan membawa obat kemo Paclitaxel bermerek dagang Paxus yang diproduksi oleh Kalbe, beserta selang infusnya.

“Lho, mas, mana botol infusnya?”
“Pakai yang biasa saja, nggak apa.”
“Nggak bisa, mas, mesti yang khusus.”
“Dulu memang pada awalnya memakai botol khusus, tetapi sekarang sudah memakai yang biasa.”

Tentu saja aku nggak terima. Segera aku ke ruang kerjaku untuk mengambil buku agenda yang memuat nomor telepon Kalbe (kenapa ya, ga aku simpan di hape?). Benar saja. Pihak Kalbe menjelaskan bahwa setiap pembelian obat itu pasti disertai dengan botol infus dan selang infus khusus. “Kalau memakai yang biasa, nanti efektivitasnya bisa berkurang,” katanya.

Minggu sebelumnya, aku membeli obat di RS Dharmais. Pihak farmasi juga tidak memberikan selang dan infus khusus. Akibatnya, kemo yg dilaksanakan di RS lain itu tertunda selama hampir 2 jam karena harus menunggu datangnya selang infus yang diusahakan oleh bu dokter.

Aku lalu menghubungi Dharmais. Siapa tahu, mereka memiliki persediaan selang dan botol infus khusus untuk kemo.

“Mas, minggu lalu saya membeli Paxus di situ. Seharusnya kan ada botol dan selang infus yang khusus, tetapi kemarin saya diberi yang biasa.”
“Di sini adanya yang biasa.”
“Bukannya harus memakai selang dan botol infus yang khusus?”
“Tidak ada yang khusus. Kalau tidak percaya, tanya saja bagian pengoplosan obat di ekstension *&%@,” katanya.
“Oh, ya makasih mas, nanti saya telepon bagian pengoplosan,” kataku sambil menuju ke lobi. Eh, begitu sampai lobi, nomornya lupa.

Kepada pak Sales, aku jelaskan bahwa menurut Kalbe, harus ada selang dan botol infus khusus.
“Tidak. Dulu memang begitu, sekarang sudah tidak lagi,” ia bersikeras.
Maka aku telepon kembali Kalbe dan membiarkan hape-ku ke pak Sales agar ia berbicara langsung dengan mereka. Setelah itu baru ia percaya. Tapi karena hari sudah sore, ia tidak sanggup mencari botol infus itu.

Akhirnya aku mengalah. Aku bertekad akan berusaha mencarinya sendiri.

Malam hari selepas pukul 19:30, setelah pekerjaan selesai, aku coba menghubungi RS PIK, RS Gading Pluit, RS Fatmawati, RSCM dan RS Pertamina melalui telepon. Apotik di RSCM dan RS Pertamina tidak menjawab sedangkan di tempat lain, tidak ada.

Stres rasanya. Rasa capai akibat bekerja ditambah capai mental. Kepala langsung pusing. Nyut.. nyut.. nyut… Akhirnya aku menyerah. Aku SMS bu dokter.

“Saya masih ada persediaan satu,” balasnya.

Oh, leganya… Tapi kepala sudah terlanjur nyut-nyutan… dan perlu waktu untuk menenangkan pikiran.

Yang jelas, pada hari Sabtu, kemo berjalan lancar. Infusnya hampir 3 jam, sedangkan pesiapannya hampir 1 jam.

Syukurlah, tak ada efek samping yang berarti. Pulang kemo masih bisa nyetir. Hanya saja kemarin dan kemarin lusa sempat agak pusing, tapi kelihatannya ini lebih karena pekerjaan, bukan kemo…