Tuesday, June 8, 2010
Tas gratis untuk pasien kanker
Yang namanya barang gratisan pasti banyak peminatnya. Apalagi kalau itu berupa tas kain yang bagus-bagus. Tapi maaf ya, tas gratis ini hanya khusus untuk pasien kanker yang tengah di rawat, bukan di sini, tapi di Cancer Care Center-nya Battle Creek Health Services.
Di mana sih Battle Creek itu? Yang jago pelajaran ilmu bumi harap angkat tangan…. Sungguh mati, baru pertama kali aku denger nama itu. Setelah bertanya ke mbah Google, baru aku tahu kalau itu adalah nama sebuah kota di Michigan .
Soal lokasi geografis nggak penting. Yang penting adalah bahwa cerita tentang para pasien yang mendapatkan tas gratis dari seorang penyintas kanker, Mary Miller.
Ketika Mary didiagnosa menderita kanker payudara pada bulan Oktober 2008, “Saya sedikit kaget,“ katanya seperti yang dikutip oleh The Enquirer, hari Sabtu, 5 Juni, 2010. .
Pensiunan yang tinggal di kota Battle Creek itu lantas menjalani operasi dua kali dan radiasi selama 28 minggu. Keadaannya pun membaik “Saya lega,” katanya.”Beban berat di punggung saya telah terangkat.”
Sekarang, untuk mengisi kesibukan di masa pensiunnya dan untuk membalas budi orang-orang yang telah menolongnya selama ia sakit, Mary menjahit tas dan memberikannya untuk para pasien di Pusat Perawatan Kanker pada Layanan Kesehatan Battle Creek.
"Saya pertama kali membuatnya untuk acara pameran kerajinan tahun 2009," kata Mary. “Saya tak berhasil menjualnya. Tak laku barang satu pun."
Suatu hari ia memakai salah satu tas buatannya ketika menjalani radiasi dan ternyata suster-suster menyukainya.
"Saya membuat satu tas untuk si mbak yang menangani radiasi sebagai tanda terima kasih,” katanya.
Beberapa suster kemudian membeli tas kain yang khusus dibuat bagi peningkatan kesadaran akan kanker payudara untuk dibagikan ke para pasien.
Tas-tas itu dibagikan oleh suster Beth Love.
"Indah sekali,” komentarnya.
"Mereka sangat tersentuh,” katanya mengenai para pasien yang menerimanya. “Mereka sangat berterima kasih. Tas itu membuat mereka tersenyum.”
Untuk membuat satu tas, Mary memerlukan US$3 hingga US$8, tergantung ukurannya.
"Biaya yang saya keluarkan tidak terlalu mahal, “ katanya. “Saya dapat membuat sejumlah tas dari satu yard kain.” Katanya.
Mary sendiri belum pernah bertemu dengan para pasien yang menerima tasnya, tetapi suster memberitahu bahwa mereka sangat antusias.
"Mereka berada dalam keadaan yang membuat mereka merasa sangat sendirian,” katanya. “Mereka senang sekali mendapatkan sesuatu yang sifatnya sedemikian personal."
Mary mendapat dukungan penuh dari anak perempuannya, yang selalu mendorongnya untuk membuat tas bagi para pasien kanker.
"Hal itu menjauhkan saya dari berpikir yang tidak-tidak dan merupakan cara untuk mengucapkan terima kasih," katanya.
Saturday, June 5, 2010
Resep awet muda Olivia Newton John
Ingat Olivia Newton-John? Ia adalah penyanyi yang bersama John Travolta membintangi Grease di akhir tahun 1978. Ia juga seorang penyintas kanker. Artis yang sekarang berusia 61 tahun ini bercerita tentang kanker payudara, depresi, resep awet muda dan hobinya makan roti panggang dalam wawancara yang dimuat minggu lalu di Daily Mail, koran terbitan Inggris.
Bisa lari naik tangga?
Bisa dong, gampang, kalau nggak bawa tas berat. Aku selalu mencoba naik tangga soalnya ini olah raga yang bagus.
Kapan sakit yang paling parah?
Bulan Juni 1992, aku merasa ada benjolan di payudaraku. Pemeriksaan mamogram, biopsi dengan ultrasound dan jarum hasilnya negatif. Tapi instingku mengatakan ada yang nggak beres, jadi aku menjalani operasi untuk membuang benjolan itu. Lalu aku mendapat kabar bahwa itu kanker.
Beberapa hari kemudian aku menjalani mastektomi dan rekonstruksi payudara, diikuti dengan kemoterapi selama setahun. Seluruh pengalaman itu merupakan trauma – setelah itu aku butuh konseling.
Pernah coba pengobatan alternatif?
Aku menjalani homeopathy, tusuk jarum, yoga dan meditasi selama kemoterapi untuk membantu agar aku dapat kuat kembali setelahnya.
Aku juga menyanyi bersama teman2ku yang beragama Buddha dan berdoa bersama teman2 yang Kristen. Semuanya aku lakukan.
Pernah depresi?
Pernah dulu, setelah Patrick menghilang (mantan pasangannya itu hilang tahun 2005 ketika pergi memancing di pesisir California ) aku depresi berat. Aku tidak malu mengakui bahwa aku minum pil anti depresi. Untunglah sekarang ini dengan adanya suami yang sangat baik, John, yang menikah denganku bulan Juni 2008, aku sudah merasa tak begitu sedih lagi.
Bisa tidur nyenyak?
Aku gampang sekali terbangun. Aku tidur kira2 enam jam tiap malam.
Kanker hati. Ayahku, Brin, yang sudah berusia 80, meninggal pada akhir pekan yang sama ketika aku didiagnosa terkena kanker. Rasanya aku tak punya kesempatan untuk berkabung karena aku harus fokus pada usahaku untuk bertahan hidup.
Punya kebiasaan buruk?
Aku suka sekali makan roti tawar panggang (white toast) dan coklat. Meskipun kita semua tahu bahwa sedikit coklat hitam baik untuk kita.
Pernah diet?
Ya, kalau ingin menurunkan berat badan, aku kurangi karbohidrat dan meningkatkan olah raga sedikit. Tapi jelas aku tak telalu ambil pusing soal itu.
Aku minum pencerna enzym setiap habis makan, dan Illumination, tonik berisi sari tumbuh2an dari Amerika Selatan yang membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan membantu memberi rasa tenang.
Tak dapat hidup tanpa...
Jalan kaki. Apakah di treadmill, atau bersama anjing kita di pantai, atau jalan2 setelah makan malam bersama John. Jalan kaki adalah obat awet muda yang paling gampang—dan yang paling asyik, jalan kaki itu gratis.
Mau hidup selamanya?
Hanya kalau orang yang aku kenal dan aku sayangi hidup bersamaku selamanya, kalau tidak, rasanya sepi.
Wednesday, June 2, 2010
Cicak anti kanker
Di klinik 24 jam dekat rumah terdapat beberapa dokter yang praktik secara bergantian. Semuanya dokter perempuan. Tapi aku nggak yakin kalau itu menunjukkan bahwa mayoritas dokter di negara ini perempuan.
Eh, sebetulnya tulisan ini nggak ada hubungannya dengan soal jender. Waktu aku berkunjung ke klinik itu pada hari Sabtu terakhir bulan Mei 2010 yang berpraktik adalah dr. Karolin (entah ejaannya bener ga ya? mungkin juga Carolyn, tapi biar gampang aku tulis Karolin saja. Kalo salah, maap ya bu dokter…). .
Waktu bu dokter tau kalau aku kena kanker, ia lalu bercerita tentang Wulan, adik iparnya yang usianya masih di bawah 30 tahun.
“Ia kena kanker payudara. Kondisinya parah, kulit di seputar payudara sampai2 seperti kulit jeruk. Tapi sekarang ia sudah sembuh,” katanya.
“Saya periksa dia dan memang betul ia sudah sembuh, dadanya sudah bagus."
Apa obatnya?
“Setiap hari makan cicak, selama 6 bulan, sampai badannya bau amis,” kata bu dokter sambil menambahkan bahwa setelah sembuh, ia berhenti minum obat dan badannya tak lagi berbau amis.
Dalam menjalani pengobatannya itu setiap pagi dan sore Wulan makan cicak. Sekali makan 2 ekor. Kepala dan ekornya dibuang lalu badannya dibersihkan dan dimasukkan ke kapsul dalam keadaan mentah agar mudah memakannya. Atau dimakan dengan pisang. Tidak digoreng atau direndang.
“Ini betul. Kalau saya tidak menyaksikan sendiri, saya tak akan menceritakan seperti ini,” kata bu dokter dengan serius.
Menurut bu dokter, adik iparnya itu tergolong tidak mampu dan ia hanya mengandalkan cicak untuk mengobati penyakitnya dan sekali2 minum antibiotik..
Cicak memang dikenal sebagai obat. Waktu masih kecil pernah kudengar bahwa cicak goreng bisa dipakai sebagai obat gatal2 atau penyakit kulit, dan kutu yang dimakan bersama pisang emas bisa menjadi obat penyakit kuning. Mengenai betul tidaknya khasiat itu, entahlah, aku tidak tau.
Yang jelas sekarang ini juga banyak sekali pengobatan tradisional yang kabarnya dapat mengobati kanker. Mulai dari mahkota dewa, buah merah, mengkudu, daun dan buah sirsak, sampai sarang semut dan sarang penyamun.
Indonesia memang sungguh kaya dengan keanekaragaman hayati, termasuk buaanyak sekali spesies flora maupun fauna yang cuma ada di sini. Mereka merupakan sumber pengobatan tradisional dan sebagian tanaman obat sudah dikenal luas sebagai jamu dan dikemas dalam bentuk bubuk, kapsul maupun cairan.
Sayang sekali, Indonesia termasuk miskin dalam hal riset dan pengembangannya. Kekayaan flora dan fauna masih belum dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Kalau betul cicak dapat menjadi obat kanker yang ampuh, tentu banyak orang yang tertolong.
Temanku yang pecinta binatang berkomentar: “Kalau untuk bisa sembuh harus makan 2 cicak di pagi hari dan 2 cicak di malam hari selama 6 bulan, berapa ekor cicak yang harus mati untuk menyelamatkan satu nyawa manusia?”
Perlu paling sedikit 720 ekor cicak.
Hiiiii kok jadi serem sekali rasanya ya...
Eh, sebetulnya tulisan ini nggak ada hubungannya dengan soal jender. Waktu aku berkunjung ke klinik itu pada hari Sabtu terakhir bulan Mei 2010 yang berpraktik adalah dr. Karolin (entah ejaannya bener ga ya? mungkin juga Carolyn, tapi biar gampang aku tulis Karolin saja. Kalo salah, maap ya bu dokter…). .
Waktu bu dokter tau kalau aku kena kanker, ia lalu bercerita tentang Wulan, adik iparnya yang usianya masih di bawah 30 tahun.
“Ia kena kanker payudara. Kondisinya parah, kulit di seputar payudara sampai2 seperti kulit jeruk. Tapi sekarang ia sudah sembuh,” katanya.
“Saya periksa dia dan memang betul ia sudah sembuh, dadanya sudah bagus."
Apa obatnya?
“Setiap hari makan cicak, selama 6 bulan, sampai badannya bau amis,” kata bu dokter sambil menambahkan bahwa setelah sembuh, ia berhenti minum obat dan badannya tak lagi berbau amis.
Dalam menjalani pengobatannya itu setiap pagi dan sore Wulan makan cicak. Sekali makan 2 ekor. Kepala dan ekornya dibuang lalu badannya dibersihkan dan dimasukkan ke kapsul dalam keadaan mentah agar mudah memakannya. Atau dimakan dengan pisang. Tidak digoreng atau direndang.
“Ini betul. Kalau saya tidak menyaksikan sendiri, saya tak akan menceritakan seperti ini,” kata bu dokter dengan serius.
Menurut bu dokter, adik iparnya itu tergolong tidak mampu dan ia hanya mengandalkan cicak untuk mengobati penyakitnya dan sekali2 minum antibiotik..
Cicak memang dikenal sebagai obat. Waktu masih kecil pernah kudengar bahwa cicak goreng bisa dipakai sebagai obat gatal2 atau penyakit kulit, dan kutu yang dimakan bersama pisang emas bisa menjadi obat penyakit kuning. Mengenai betul tidaknya khasiat itu, entahlah, aku tidak tau.
Yang jelas sekarang ini juga banyak sekali pengobatan tradisional yang kabarnya dapat mengobati kanker. Mulai dari mahkota dewa, buah merah, mengkudu, daun dan buah sirsak, sampai sarang semut dan sarang penyamun.
Indonesia memang sungguh kaya dengan keanekaragaman hayati, termasuk buaanyak sekali spesies flora maupun fauna yang cuma ada di sini. Mereka merupakan sumber pengobatan tradisional dan sebagian tanaman obat sudah dikenal luas sebagai jamu dan dikemas dalam bentuk bubuk, kapsul maupun cairan.
Sayang sekali, Indonesia termasuk miskin dalam hal riset dan pengembangannya. Kekayaan flora dan fauna masih belum dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Kalau betul cicak dapat menjadi obat kanker yang ampuh, tentu banyak orang yang tertolong.
Temanku yang pecinta binatang berkomentar: “Kalau untuk bisa sembuh harus makan 2 cicak di pagi hari dan 2 cicak di malam hari selama 6 bulan, berapa ekor cicak yang harus mati untuk menyelamatkan satu nyawa manusia?”
Perlu paling sedikit 720 ekor cicak.
Hiiiii kok jadi serem sekali rasanya ya...
Tuesday, June 1, 2010
Bandana sejuta umat
Seiring dengan semakin menjamurnya pengguna sepeda motor yang kini merajai kota metropolitan, di pinggir jalan banyak dijumpai penjual berbagai perlengkapan sepeda motor seperti helm SNI, sarung tangan dan bandana.
Rupanya banyak pengendara sepeda motor senang memakai bandana, baik sebagai penutup kepala, penutup wajah atau dikalungkan di leher untuk bergaya.
Aku juga punya beberapa bandana yang kubeli lima tahun yll. ketika aku menjalani kemo untuk yang pertama kalinya. Ternyata model bandana dari waktu ke waktu tidak berubah, baik corak maupun bentuknya. Harganya dulu Rp 10 ribu. Entah sekarang berapa ya, karena aku belum beli lagi, meskipun niat itu ada.
Karena harga yang terjangkau, peminatnya juga cukup banyak.Dulu aku pernah melihat tukang sayur yang lewat depan rumah memakai bandana warna biru. Sama persis dengan punyaku.
Di depan poliklinik, tempat aku suntik Neurobion, terdapat deretan warung makan dan salah satunya dihiasi selembar kain iklan minuman energi yang menampilkan komedian si Komeng dengan bandana merah di kepala.
“Itu namanya bandana sejuta umat,” komentar seorang teman.
Istilah “sejuta umat” itu sendiri awalnya melekat pada seorang dai atau penceramah agama yang dulu sangat populer, tetapi sekarang tidak lagi.
Meskipun aku tergolong cuek, tetapi kalau ke mal atau makan di luar, aku jarang memakai bandana sejuta umat itu, soalnya aku juga pernah melihat ada pelayan restoran yang memakainya..
Waktu menengok keluarga di Solo beberapa waktu yll. Aku juga membawa satu bandana, tetapi tidak selalu kupakai. Aku lebih sering memakai penutup kepala yang lain, termasuk topi rajut.
Suatu ketika aku melihat pembantu kakakku juga punya bandana serupa. Warnanya merah dan dilipat dimasukkan ke kantong celana jeans. Hanya ujungnya yang kelihatan.
Untung saat itu aku ga pakai bandana. Kalo enggak, pasti aku bakal tersinggung. Bayangkan, aku pakai bandana di kepala. Masa dia pakai di pantat?
Rupanya banyak pengendara sepeda motor senang memakai bandana, baik sebagai penutup kepala, penutup wajah atau dikalungkan di leher untuk bergaya.
Aku juga punya beberapa bandana yang kubeli lima tahun yll. ketika aku menjalani kemo untuk yang pertama kalinya. Ternyata model bandana dari waktu ke waktu tidak berubah, baik corak maupun bentuknya. Harganya dulu Rp 10 ribu. Entah sekarang berapa ya, karena aku belum beli lagi, meskipun niat itu ada.
Karena harga yang terjangkau, peminatnya juga cukup banyak.Dulu aku pernah melihat tukang sayur yang lewat depan rumah memakai bandana warna biru. Sama persis dengan punyaku.
Di depan poliklinik, tempat aku suntik Neurobion, terdapat deretan warung makan dan salah satunya dihiasi selembar kain iklan minuman energi yang menampilkan komedian si Komeng dengan bandana merah di kepala.
“Itu namanya bandana sejuta umat,” komentar seorang teman.
Istilah “sejuta umat” itu sendiri awalnya melekat pada seorang dai atau penceramah agama yang dulu sangat populer, tetapi sekarang tidak lagi.
Meskipun aku tergolong cuek, tetapi kalau ke mal atau makan di luar, aku jarang memakai bandana sejuta umat itu, soalnya aku juga pernah melihat ada pelayan restoran yang memakainya..
Waktu menengok keluarga di Solo beberapa waktu yll. Aku juga membawa satu bandana, tetapi tidak selalu kupakai. Aku lebih sering memakai penutup kepala yang lain, termasuk topi rajut.
Suatu ketika aku melihat pembantu kakakku juga punya bandana serupa. Warnanya merah dan dilipat dimasukkan ke kantong celana jeans. Hanya ujungnya yang kelihatan.
Untung saat itu aku ga pakai bandana. Kalo enggak, pasti aku bakal tersinggung. Bayangkan, aku pakai bandana di kepala. Masa dia pakai di pantat?
Subscribe to:
Posts (Atom)