Sunday, January 24, 2010

Calo rindu order

Dingin sekali pagi itu. Hujan turun cukup deras. Padahal rencananya aku mau bayar pajak mobil.
Aduh. Malas deh rasanya. Apalagi rasa sakit yang timbul tenggelam akhir-akhir ini sering mengusik. Kalau dipakai jalan, terasa “mak nyusss”. Tapi kadang-kadang rasa sakitnya berkurang. Supaya agak mendingan, perlu dilakukan pemanasan. Sebelum mulai beraktivitas, kaki kanan mesti digoyang-goyangkan dulu ke atas dan ke bawah.
Kembali ke soal pajak, rasanya baru kemarin bayar pajak, eh , sekarang sudah waktunya bayar lagi. Cepat sekali ya waktu berlalu. Dua tahun yll aku malah pernah kena denda karena telat bayar… Nggak sengaja sih... itu murni karena lupa. Wah rugi besar, kena denda sekitar Rp 300 ribu.
Sekarang aku ga mau dong kena denda lagi. Jadi biarpun hujan belum berhenti dan kaki masih agak sakit, aku meluncur menuju kantor Samsat di Ciputat bersama seorang teman.
Kenapa sih mesti capek2 ke sana? Kenapa ggak pake calo aja?
Hmm… pertanyaan bagus.
Ssst… Sebetulnya aku pernah bertekad untuk tidak menginjakkan kaki di kantor Samsat. Sekitar awal tahun 1990-an, ketika pertama kali punya mobil dengan plat B, aku pernah mengalami trauma saat membayar pajak untuk Suzuki Jimny-ku.
Aku datang pagi-pagi ke kantor pajak di daerah Jakarta Timur sesuai dengan alamat KTP-ku saat itu. Belum jam 9, tetapi kantor sudah penuh dengan manusia yang sebagian besar adalah calo. Tak ada sistem antri. Semua berdesak-desakan, berebutan ingin dilayani. Meskipun aku berhasil menyerahkan berkas berisi dokumen yang diperlukan, tetapi berkas itu hanya tergeletak di atas meja dan selama berjam-jam sama sekali tak disentuh.
Sampai kantor tutup, urusanku belum selesai. Plat nomor belum jadi.
Berbeda dengan kebijakan sekarang ini yang menetapkan bahwa plat nomor kendaraan hanya perlu diganti setiap lima tahun, dulu kita juga harus mengganti plat nomor setiap tahun.
Jadi, keesokan harinya aku harus kembali ke kantor Samsat. Hari itu hari Jumat. Hari pendek. Siang sudah menjelang tapi tak ada tanda-tanda bahwa plat nomor bisa diambil. Wah… jangan-jangan urusan nggak beres juga nih.
Sikapku yang agak gelisah itu ternyata mengundang perhatian seorang mas-mas.
Lagi nungguin plat nomor ya? Saya juga. Gimana kalau kita kasih duit saja ke petugas biar cepet beres?” katanya.
Apa?
“Aduh, mas. Aku ini kan warga negara yang baik. Anti korupsi, anti nyogok. Yang bener aja, mas. Mosok kita mesti kasih duit ke petugas? Itu kan sama aja dengan menyuburkan budaya suap?” kataku dalam hati.
Meski bertentangan dengan hati nurani, tapi kupikir-pikir, ide mas itu boleh juga. Daripada stres nungguin plat nomor yang ga jelas kapan jadinya dan harus pulang dengan tangan hampa, maka kuserahkan uang Rp 10.000 ke si mas untuk diberikan langsung ke petugas yang menangani pembuatan plat nomor.
Eh, bener lho. Money talks.
Tak lama kemudian si mas datang dengan dua plat nomor. Yang satu diberikan kepadaku.
“Makasih ya mas….”
Itu adalah pengalaman pertamaku membayar pajak kendaraan sendiri. Dan sejak itu aku terpaksa menggunakan jasa calo sampai suatu hari ketika aku ngobrol dengan pak RT soal pembayaran pajak mobil.
“Ngapain pake calo. Bayar aja sendiri, gampang kok,” kata pak RT.
Jadi, sejak itu—mungkin empat atau lima tahun yll, aku tak lagi menggunakan jasa calo, melainkan langsung membayarnya di kantor Samsat.
Ngomong-ngomong, apa singkatan Samsat?
Setelah bertanya ke mbah Google, akhirnya aku tahu kalau Samsat adalah singkatan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap. Lho, kenapa nggak disingkat jadi SASA aja? Hehehehe…. Ntar dikira temennya AJINOMOTO dong….
Perjalanan menuju kantor Samsat lumayan lancar karena sudah ada flyover meskipun sempat tersendat di dekat toserba Ramayana akibat banyaknya kendaraan, terutama angkot, yang seenaknya berhenti sembarangan.
Sekitar jam 11, sampailah kita ke tempat tujuan. Mula-mula kita menuju ke tempat foto kopi. Dengan membayar Rp 3.000 kita memperoleh 1 map dan fotokopi KTP, BPKB dan STNK.
Setelah itu kita celingukan di lantai 1. Aku lupa, kemana berkas ini harus diserahkan? Kita pun bertanya ke seorang petugas.
“Di lantai 2. Apa perlu dibantu?” jawabnya.
Busyet, masih ada juga rupanya petugas yang merangkap menjadi calo meskipun tidak terang-terangan. Pasti mereka rindu order.
Segera kita ke lantai 2. Proses pembayaran pajak berlangsung cepat dan efisien. Pajak yang harus dibayar cukup mahal, Rp 1.163.000 untuk Suzuki Baleno-ku yang sudah berusia 12 tahun. Tak sampai 30 menit, semuanya sudah beres.
Bagus juga ya, apalagi kalau dibandingkan dengan tahun 1990-an.
Tapi seharusnya kan bisa lebih efisien. Kita tak harus datang langsung ke kantor Samsat, cukup ke bank terdekat. Atau membayar lewat internet melalui komputer kita di rumah atau di kantor. Kalau bisa begitu kan enak… bisa menghemat bensin, waktu dan tenaga.

5 comments:

Pucca said...

david juga ngurus ke samsat sim, di daan mogot, emang skarang gampang kok jauh lebih mending daripada dulu, tapi kalo bisa bayar di atm atau kl*kbca lebih enak lagi kali ya :)

yik said...

Bayar uang segitu pake cash ya mbak? Atau bisa pake kartu (kredit/debit)? Di sini kalo ada pembayaran ke instansi pemerintah yg hrs dilakukan di loket (artinya kita hrs bertatap muka dg petugas sehingga nggak bisa bikin transfer online) selalu ada mesin kartu, jadi nggak hrs cash. O ya, selamat ya mbak, sudah jadi warganegara yg baek :))

sima said...

@pucca, iya nih kayaknya sekarang di mana2 sdh lbh mudah ya prosesnya. ga kayak dulu...

@yik, bayarnya cash.. cash.. cash... payah ya, masih manual gitu... pdhal kan lbh enak kl bisa pake kartu. emang kita msh banyak ketinggalan sih.. :(

amd said...

baidewe, aku udah liat mobil savvy itu, ternyata benar ceritamu, Mbak, cekli sekali dia :))

sima said...

@amd, hehehe emang oke ya. savvy 2007 metik cuma 65 jt. mikirnya kelamaan sih, jd keburu diambil orang. :))