Tuesday, November 24, 2009
Sepatu Ajaib
Aku bukan orang yang mudah termakan iklan. Tapi yang satu ini sungguh menggoda. Bayangkan. Ada sepatu yang bisa banyak membantu menguatkan otot-otot kaki, terutama pada bagian betis, paha dan panggul..
Nah… ini dia yang aku cari.
Kebetulan kaki kananku memang bermasalah. Agak sakit kalau dipakai berjalan. Tadinya sakit pada bagian lutut dan pangkal paha, kemudian sakit pada lutut sudah hilang, tinggal nyeri pada pangkal paha yang masih sering muncul.
“Ganti dong sepatunya. Coba pakai sepatu yang bagus, yang nyaman,” komentar seorang teman. Dalam beberapa waktu ini aku sudah 3x berganti sepatu. Yang pertama bikinan Scholl yang nyaman sekali dan yang kedua buatan Yongki Komaladi yang juga enak dipakai. Tapi entah kenapa makin lama rasanya kok makin kesempitan, bahkan ketika aku tidak memakai kaus kaki. Akhirnya aku memakai sepatu sandal Geox obralan yang dibeli di Mall of Indonesia, Kelapa Gading.
Rumahku jauh sekali dari Kelapa Gading dan aku nggak bakalan ke sana kalau bukan karena tergiur hadiah berupa termometer yang diberikan cuma-cuma untuk para pemegang kartu Citibank.
Sepatu Geox enak dipakai, tetapi itu “hanya” sekedar sepatu, bukan “sepatu ajaib” yang dapat menguatkan otot.
Sepatu “ajaib” itu adalah produk terbaru Reebok yang diberi nama Easytone. Infonya aku peroleh ketika diminta teman untuk menulis tentang manfaat berjalan dan berlari. Dengan embel-embel, agar dimasukkan juga sedikit keterangan tentang Easytone.
Easytone is an innovative technology introducing by Reebok which allows the female consumer to literally “take the gym” with her. Easytone uses balance pods in the shoes to create natural instability, much like walking on the beach, which encourage toning through increased muscle activation in 3 key areas – the calves, hamstrings and gluteus maximus.
Sayang, harganya mahal: Rp 1.199.000.
“Boleh juga nih kalau honor tulisannya diganti dengan sepatu saja,” aku mengirim email ke teman yang memberi order tulisan.
“Bener nih? Ntar ya ditanyain dulu,” katanya.
Setelah beberapa hari, ada kabar sbb:
“Maaf, mbak, nggak bisa. Tapi kalau mau beli, dapat diskon 30%.”
Ia lalu memberiku nama dan nomor HP seseorang di sebuah mal di bilangan Senayan.
Pada hari sebelumnya aku pernah sekilas melihat iklan Easytone di Kompas. Kalau tidak salah baca, ada diskon 50% bagi pemegang kartu kredit Mandiri. Tapi aku hanya punya kartu kredit Citibank.
Hari demi hari berlalu… Masih penasaran. Seperti apa sih sepatu itu?
Hari Rabu, 18 November 2009, aku ke Pondok Indah Mall untuk menyaksikan sepatu itu bersama Livia, yang dulu tinggal di Surabaya dan merupakan sahabat penaku di masa SMA.
Produk Easytone ada di Planet Sports. Sebetulnya aku ingin warna hitam, tapi di sana hanya ada 2 jenis, yang pertama warnanya putih dengan kombinasi pink, yang kedua berwarna coklat.
Aku coba yang coklat. Enak. Nyaman sekali dipakai. Rasanya mentul-mentul… (apa tuh bahasa Indonesianya?.. pokoknya empuk, deh)
Dan yang penting, kayaknya rasa sakit itu berkurang. Apa betul begitu, atau hanya sugesti?
“Coba lihat, jalanku lebih bagus ya kalo pake ini? Nggak gitu kelihatan terpincang-pincang?”
Temanku mengangguk.
Soal model, menurutku biasa aja.
“Kok nggak kelihatan seperti sepatu mahal ya?”
Lagi-lagi temanku mengiyakan.
Ada diskon entah 10% atau 15%, aku lupa, untuk sepatu putih tapi itu nggak penting karena aku nggak minat dengan yang itu. Sedangkan yang coklat diskon 30% plus ekstra 10% kalau ada kartu kredit bank yg tadi aku sebutkan di atas.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku beli juga. Apalagi hari Jumatnya aku rencananya akan ke dokter di Singapura. Jadi cocok sekali dong kalau memakai sepatu ini.
Bener lho, sepatunya enak sekali.
Di Singapura, kita banyak jalan. Di rumah sakit sih nggak, tapi di airport dan di subway, aku dan Retno, teman yang menemaniku “berlibur” ke sana, mesti jalan ke sana ke mari. Apalagi pada malam harinya.
Lewa, teman lama kita yang kini tinggal di Singapura, berbaik hati memberi tumpangan tidur malam itu. Sebelumnya, ia dengan antusias mengajak kita makan ice cream dan camilan di Café Jepang yang trendy, menyaksikan peluncuran buku mengenai peranakan beadwork di museum peranakan, dan makan malam dengan menu ayam panggang enak plus tahu empuk dan sayur bayam yang hangat.
Di Jakarta, kita terbiasa naik taksi ke mana2 karena kondisi ibukota tidak memungkinkan untuk berjalan kaki dengan nyaman—panas, polusi, kurang aman dan trotoar untuk pejalan kaki seringkali disikat pengendara motor dan pedagang kaki-5. Tapi Singapura beda. Pejalan kaki mendapat tempat terhormat.
“Deket kok museumnya. Cuma di situ,” kata Lewa.
Biarpun “dekat”, lumayan juga jaraknya. Pokoknya, kalau dihitung-hitung, malam itu mungkin ada lebih dari sejam kita berjalan kaki.
Jujur ya. Tanpa sepatu ini, mungkin aku nggak bisa mencapai garis finish ….
(Moga-moga orang Reebok baca tulisan ini trus duit gw di-reimbursed krn dah bantu promosiin, plus dikasih vocer buat beli baju2 olahraganya… hehehehe)
Eh, tapi ada lho yang aku kurang suka. Aku kan pake sepatu ini juga buat kerja—kebetulan di kantor banyak yang penampilannya kasual. Nah kalo dipake jalan, sepatunya bunyi.. dug.. dug…karena lantainya ga pake karpet. Aku ga suka sepatu yang bersuara, tapi ya sudahlah. Biar semua orang tau kalo sepatuku baru. Hehehehe…
Nah… ini dia yang aku cari.
Kebetulan kaki kananku memang bermasalah. Agak sakit kalau dipakai berjalan. Tadinya sakit pada bagian lutut dan pangkal paha, kemudian sakit pada lutut sudah hilang, tinggal nyeri pada pangkal paha yang masih sering muncul.
“Ganti dong sepatunya. Coba pakai sepatu yang bagus, yang nyaman,” komentar seorang teman. Dalam beberapa waktu ini aku sudah 3x berganti sepatu. Yang pertama bikinan Scholl yang nyaman sekali dan yang kedua buatan Yongki Komaladi yang juga enak dipakai. Tapi entah kenapa makin lama rasanya kok makin kesempitan, bahkan ketika aku tidak memakai kaus kaki. Akhirnya aku memakai sepatu sandal Geox obralan yang dibeli di Mall of Indonesia, Kelapa Gading.
Rumahku jauh sekali dari Kelapa Gading dan aku nggak bakalan ke sana kalau bukan karena tergiur hadiah berupa termometer yang diberikan cuma-cuma untuk para pemegang kartu Citibank.
Sepatu Geox enak dipakai, tetapi itu “hanya” sekedar sepatu, bukan “sepatu ajaib” yang dapat menguatkan otot.
Sepatu “ajaib” itu adalah produk terbaru Reebok yang diberi nama Easytone. Infonya aku peroleh ketika diminta teman untuk menulis tentang manfaat berjalan dan berlari. Dengan embel-embel, agar dimasukkan juga sedikit keterangan tentang Easytone.
Easytone is an innovative technology introducing by Reebok which allows the female consumer to literally “take the gym” with her. Easytone uses balance pods in the shoes to create natural instability, much like walking on the beach, which encourage toning through increased muscle activation in 3 key areas – the calves, hamstrings and gluteus maximus.
Sayang, harganya mahal: Rp 1.199.000.
“Boleh juga nih kalau honor tulisannya diganti dengan sepatu saja,” aku mengirim email ke teman yang memberi order tulisan.
“Bener nih? Ntar ya ditanyain dulu,” katanya.
Setelah beberapa hari, ada kabar sbb:
“Maaf, mbak, nggak bisa. Tapi kalau mau beli, dapat diskon 30%.”
Ia lalu memberiku nama dan nomor HP seseorang di sebuah mal di bilangan Senayan.
Pada hari sebelumnya aku pernah sekilas melihat iklan Easytone di Kompas. Kalau tidak salah baca, ada diskon 50% bagi pemegang kartu kredit Mandiri. Tapi aku hanya punya kartu kredit Citibank.
Hari demi hari berlalu… Masih penasaran. Seperti apa sih sepatu itu?
Hari Rabu, 18 November 2009, aku ke Pondok Indah Mall untuk menyaksikan sepatu itu bersama Livia, yang dulu tinggal di Surabaya dan merupakan sahabat penaku di masa SMA.
Produk Easytone ada di Planet Sports. Sebetulnya aku ingin warna hitam, tapi di sana hanya ada 2 jenis, yang pertama warnanya putih dengan kombinasi pink, yang kedua berwarna coklat.
Aku coba yang coklat. Enak. Nyaman sekali dipakai. Rasanya mentul-mentul… (apa tuh bahasa Indonesianya?.. pokoknya empuk, deh)
Dan yang penting, kayaknya rasa sakit itu berkurang. Apa betul begitu, atau hanya sugesti?
“Coba lihat, jalanku lebih bagus ya kalo pake ini? Nggak gitu kelihatan terpincang-pincang?”
Temanku mengangguk.
Soal model, menurutku biasa aja.
“Kok nggak kelihatan seperti sepatu mahal ya?”
Lagi-lagi temanku mengiyakan.
Ada diskon entah 10% atau 15%, aku lupa, untuk sepatu putih tapi itu nggak penting karena aku nggak minat dengan yang itu. Sedangkan yang coklat diskon 30% plus ekstra 10% kalau ada kartu kredit bank yg tadi aku sebutkan di atas.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku beli juga. Apalagi hari Jumatnya aku rencananya akan ke dokter di Singapura. Jadi cocok sekali dong kalau memakai sepatu ini.
Bener lho, sepatunya enak sekali.
Di Singapura, kita banyak jalan. Di rumah sakit sih nggak, tapi di airport dan di subway, aku dan Retno, teman yang menemaniku “berlibur” ke sana, mesti jalan ke sana ke mari. Apalagi pada malam harinya.
Lewa, teman lama kita yang kini tinggal di Singapura, berbaik hati memberi tumpangan tidur malam itu. Sebelumnya, ia dengan antusias mengajak kita makan ice cream dan camilan di Café Jepang yang trendy, menyaksikan peluncuran buku mengenai peranakan beadwork di museum peranakan, dan makan malam dengan menu ayam panggang enak plus tahu empuk dan sayur bayam yang hangat.
Di Jakarta, kita terbiasa naik taksi ke mana2 karena kondisi ibukota tidak memungkinkan untuk berjalan kaki dengan nyaman—panas, polusi, kurang aman dan trotoar untuk pejalan kaki seringkali disikat pengendara motor dan pedagang kaki-5. Tapi Singapura beda. Pejalan kaki mendapat tempat terhormat.
“Deket kok museumnya. Cuma di situ,” kata Lewa.
Biarpun “dekat”, lumayan juga jaraknya. Pokoknya, kalau dihitung-hitung, malam itu mungkin ada lebih dari sejam kita berjalan kaki.
Jujur ya. Tanpa sepatu ini, mungkin aku nggak bisa mencapai garis finish ….
(Moga-moga orang Reebok baca tulisan ini trus duit gw di-reimbursed krn dah bantu promosiin, plus dikasih vocer buat beli baju2 olahraganya… hehehehe)
Eh, tapi ada lho yang aku kurang suka. Aku kan pake sepatu ini juga buat kerja—kebetulan di kantor banyak yang penampilannya kasual. Nah kalo dipake jalan, sepatunya bunyi.. dug.. dug…karena lantainya ga pake karpet. Aku ga suka sepatu yang bersuara, tapi ya sudahlah. Biar semua orang tau kalo sepatuku baru. Hehehehe…
Saturday, November 21, 2009
Abad 21
Hari Jumat (20 November 2009) kemarin kembali aku berjalan-jalan ke Singapura.
Jam 10 pagi waktu setempat, pesawat mendarat di Terminal 1 Bandara Changi. Dari sana kita naik Skytrain ke Terminal 2 dan perjalanan kemudian dilanjutkan dengan MRT. Dengan ongkos 2 dolar plus 1 dolar deposito yang dapat diambil kalau tiket yang berbentuk kartu magnetik itu dikembalikan setelah selesai digunakan, kita menuju Dover. Di sana terdapat free shutle bus ke NUH.
Sebelum bertemu dengan bu dokter yang bernama Tan Sing Huang, aku memasuki blood room terlebih dahulu untuk diambil darahnya. Hiii, serem ya. Tapi susternya tidak seseram nama ruangan itu.
“Kapan ulang tahunnya?” itu adalah pertanyaan rutin yang diajukan sebelum pengambilan darah.
Waktu pertama kali mendengar pertanyaan itu, aku GR. Kalau kita ultah, mungkin suster itu akan memberi kita kado ya? Hehehehe... Ternyata itu adalah cara untuk memastikan identitas pasien.
Setelah pengambilan darah, seperti biasa kita makan dulu di food court yang menawarkan berbagai menu. Kebanyakan makanan Oriental, tapi ada juga nasi Padang dan gado-gado. Aku paling suka makan sup yang... hmmm segar sekali rasanya...
Dengan perut kenyang kita menunggu dokter di ruang tunggu yang luas dan dingin. Kalau ingin minuman hangat, bisa membuat sendiri. Di dekat pintu masuk, ada mesinnya. Tinggal kita taruh gelas dan pencet tombol, maka jadilah Milo, Teh Tarik, Nescafe atau minuman lain yang tersedia. Di sudut ruangan juga terdapat fasilitas komputer dengan jaringan internet yang boleh digunakan siapa saja. Hanya satu sih, tapi lumayanlah.
Aku menghabiskan waktu untuk tidur. Ngantuk sekali. Bukan hanya karena kekenyangan, tapi juga karena pagi itu aku bangun jam 3:30 dan sejam kemudian sudah duduk di belakang setir mengarah ke Bandara Soekarno-Hatta.
Tiiba-tiba suster menghampiriku, menanyakan apakah aku membawa “slide” untuk ditunjukkan ke dokter.
Sebetulnya dokter memang pernah menyuruhku bone scan setelah aku mengeluh tentang kakiku yang suka sakit dan badan yang gampang merasa lelah.
Tapi aku malas dan tidak segera melakukannya. Baru pada hari Selasa aku menelpon RS Dharmais untuk mendaftar. Harus antre karena banyak pasien. Aku mendapat giliran hari Kamis dan hasilnya baru bisa diambil hari Jumat. Batal, nggak keburu.
Bu dokter tidak marah. Memang dia orangnya baik dan sabar. Ia lalu melakukan pemeriksaan, termasuk menguji kekuatan otot-otot kakiku. Dia curiga, jangan2 kakiku sakit dan lemah karena syaraf di bagian tulang belakang bagian bawah sudah termakan sel-sel kanker busuk.
“You need to do MRI on your spine,” katanya.
Bukan cuma itu, tapi juga X-ray di bagian panggul, CT scan dada, perut, dan juga bone scan. Tapi ia menggaris bawahi bahwa MRI itu yang harus cepat-cepat dilakukan.
Ya ampun..... banyak banget sih, Dok pemeriksaannya.
Bu dokter ingat bahwa dalam CT scan yang terakhir, terdapat kontroversi soal penebalan di dinding paru-paru yang oleh ahli radiologi RS PIK dicurigai sebagai metastasis atau penyebaran kanker. Bercak hitam itu sudah ada lama sebelumnya dan oleh dokter radiologi dari RS Pluit dan juga dari NUH, itu bukan penyebaran kanker.
Tetapi kemarin bu dokter menganjurkan aku melakukan CT scan lagi untuk memastikannya sekalian untuk melihat ada tidaknya penyebaran di tempat lain.
Oh ya, mengenai tes darah, hasilnya tidak jauh berbeda dari 3 bulan yang lalu.
Bu dokter mengatakan bahwa pengobatan yang sudah kujalani sementara ini akan terus dilanjutkan sampai ada hasil pemeriksaan MRI, CT scan, X-ray dan bone scan. Dalam skenario terburuk, dapat dilakukan operasi dan kemoterapi jika diperlukan.
Aku menunjukkan kepada bu dokter pain killer yang pernah aku minum, yaitu Piroxicam dan Dexamethasone. Menurut bu dokter, Dexamethasone tidak bagus, tetapi Piroxicam boleh diminum. Panadol juga aman, katanya.
Lalu aku bercerita kalau saat ini aku melakukan terapi chi.
“Come on. We live in the 21st century,” katanya sambil tertawa.
Coba bu dokter denger soal Ponari, bisa ketawa sampai terkencing-kencing... ! Ponari ini bocah yg mendadak jadi terkenal setelah menemukan batu ajaib yang konon dapat mengobati segala macam penyakit. Selama sebulan lebih, setiap hari ribuan orang mengantre berobat sampai polisi turun tangan menutup tempat prakteknya akhir bulan Februari tahun ini. Ga tau sekarang gimana perkembangannya.
Bu dokter jelas nggak percaya dengan yang namanya pengobatan dengan menggunakan tenaga dalam.
Dengan bersemangat aku mengatakan bahwa bagian dada dan dekat ketiak yang telah mati rasa selama bertahun-tahun akibat operasi sudah hidup rasa berkat terapi itu.
Tapi bu dokter yang bergelar MBBS, MRCP (UK), Mmed (S’pore) itu tak berminat menanggapi. Memang, dunia kedokteran modern sering kali berbenturan dengan pengobatan alternatif. Dalam hal ini, aku sendiri masih tetap menjalani terapi chi itu sampai ada perkembangan lain.
Ngomong-ngomong, bu dokter ini usianya masih 30-an dan berperawakan kecil. Hari itu ia mengenakan jas dokter putih dengan bordiran “Tan” berbenang merah dan blus putih tanpa kerah yang juga dihiasi dengan bordiran.
“Cocok sekali dok, bordirannya,” aku iseng berkomentar.
Selama berkonsultasi dengan bu dokter, sudah beberapa kali aku melihat ia memakai blus itu. Aku juga melihatnya selalu memakai gelang warna-warni yang sama.
“Sepatunya juga sama,” kata teman yang datang bersamaku ketika kita meninggalkan ruang prakteknya. Temanku ini memang sebelumnya sudah pernah menemaniku ke bu dokter.
“Aku ingat sepatunya karena aku suka modelnya yang simple,” ia menambahkan.
Sama seperti model sepatunya, bu dokter ini orangnya memang sederhana. Serius tapi bisa tertawa, lho. Dan yang penting, dia juga komunikatif. Ia tidak keberatan ditanya melalui email dan pasti membalasnya di tengah-tengah kesibukannya.
Kemarin ia bahkan wanti-wanti agar aku segera memberitahukan hasil pemeriksaan MRI lewat email.
Siap, Dok... !
Jam 10 pagi waktu setempat, pesawat mendarat di Terminal 1 Bandara Changi. Dari sana kita naik Skytrain ke Terminal 2 dan perjalanan kemudian dilanjutkan dengan MRT. Dengan ongkos 2 dolar plus 1 dolar deposito yang dapat diambil kalau tiket yang berbentuk kartu magnetik itu dikembalikan setelah selesai digunakan, kita menuju Dover. Di sana terdapat free shutle bus ke NUH.
Sebelum bertemu dengan bu dokter yang bernama Tan Sing Huang, aku memasuki blood room terlebih dahulu untuk diambil darahnya. Hiii, serem ya. Tapi susternya tidak seseram nama ruangan itu.
“Kapan ulang tahunnya?” itu adalah pertanyaan rutin yang diajukan sebelum pengambilan darah.
Waktu pertama kali mendengar pertanyaan itu, aku GR. Kalau kita ultah, mungkin suster itu akan memberi kita kado ya? Hehehehe... Ternyata itu adalah cara untuk memastikan identitas pasien.
Setelah pengambilan darah, seperti biasa kita makan dulu di food court yang menawarkan berbagai menu. Kebanyakan makanan Oriental, tapi ada juga nasi Padang dan gado-gado. Aku paling suka makan sup yang... hmmm segar sekali rasanya...
Dengan perut kenyang kita menunggu dokter di ruang tunggu yang luas dan dingin. Kalau ingin minuman hangat, bisa membuat sendiri. Di dekat pintu masuk, ada mesinnya. Tinggal kita taruh gelas dan pencet tombol, maka jadilah Milo, Teh Tarik, Nescafe atau minuman lain yang tersedia. Di sudut ruangan juga terdapat fasilitas komputer dengan jaringan internet yang boleh digunakan siapa saja. Hanya satu sih, tapi lumayanlah.
Aku menghabiskan waktu untuk tidur. Ngantuk sekali. Bukan hanya karena kekenyangan, tapi juga karena pagi itu aku bangun jam 3:30 dan sejam kemudian sudah duduk di belakang setir mengarah ke Bandara Soekarno-Hatta.
Tiiba-tiba suster menghampiriku, menanyakan apakah aku membawa “slide” untuk ditunjukkan ke dokter.
Sebetulnya dokter memang pernah menyuruhku bone scan setelah aku mengeluh tentang kakiku yang suka sakit dan badan yang gampang merasa lelah.
Tapi aku malas dan tidak segera melakukannya. Baru pada hari Selasa aku menelpon RS Dharmais untuk mendaftar. Harus antre karena banyak pasien. Aku mendapat giliran hari Kamis dan hasilnya baru bisa diambil hari Jumat. Batal, nggak keburu.
Bu dokter tidak marah. Memang dia orangnya baik dan sabar. Ia lalu melakukan pemeriksaan, termasuk menguji kekuatan otot-otot kakiku. Dia curiga, jangan2 kakiku sakit dan lemah karena syaraf di bagian tulang belakang bagian bawah sudah termakan sel-sel kanker busuk.
“You need to do MRI on your spine,” katanya.
Bukan cuma itu, tapi juga X-ray di bagian panggul, CT scan dada, perut, dan juga bone scan. Tapi ia menggaris bawahi bahwa MRI itu yang harus cepat-cepat dilakukan.
Ya ampun..... banyak banget sih, Dok pemeriksaannya.
Bu dokter ingat bahwa dalam CT scan yang terakhir, terdapat kontroversi soal penebalan di dinding paru-paru yang oleh ahli radiologi RS PIK dicurigai sebagai metastasis atau penyebaran kanker. Bercak hitam itu sudah ada lama sebelumnya dan oleh dokter radiologi dari RS Pluit dan juga dari NUH, itu bukan penyebaran kanker.
Tetapi kemarin bu dokter menganjurkan aku melakukan CT scan lagi untuk memastikannya sekalian untuk melihat ada tidaknya penyebaran di tempat lain.
Oh ya, mengenai tes darah, hasilnya tidak jauh berbeda dari 3 bulan yang lalu.
Bu dokter mengatakan bahwa pengobatan yang sudah kujalani sementara ini akan terus dilanjutkan sampai ada hasil pemeriksaan MRI, CT scan, X-ray dan bone scan. Dalam skenario terburuk, dapat dilakukan operasi dan kemoterapi jika diperlukan.
Aku menunjukkan kepada bu dokter pain killer yang pernah aku minum, yaitu Piroxicam dan Dexamethasone. Menurut bu dokter, Dexamethasone tidak bagus, tetapi Piroxicam boleh diminum. Panadol juga aman, katanya.
Lalu aku bercerita kalau saat ini aku melakukan terapi chi.
“Come on. We live in the 21st century,” katanya sambil tertawa.
Coba bu dokter denger soal Ponari, bisa ketawa sampai terkencing-kencing... ! Ponari ini bocah yg mendadak jadi terkenal setelah menemukan batu ajaib yang konon dapat mengobati segala macam penyakit. Selama sebulan lebih, setiap hari ribuan orang mengantre berobat sampai polisi turun tangan menutup tempat prakteknya akhir bulan Februari tahun ini. Ga tau sekarang gimana perkembangannya.
Bu dokter jelas nggak percaya dengan yang namanya pengobatan dengan menggunakan tenaga dalam.
Dengan bersemangat aku mengatakan bahwa bagian dada dan dekat ketiak yang telah mati rasa selama bertahun-tahun akibat operasi sudah hidup rasa berkat terapi itu.
Tapi bu dokter yang bergelar MBBS, MRCP (UK), Mmed (S’pore) itu tak berminat menanggapi. Memang, dunia kedokteran modern sering kali berbenturan dengan pengobatan alternatif. Dalam hal ini, aku sendiri masih tetap menjalani terapi chi itu sampai ada perkembangan lain.
Ngomong-ngomong, bu dokter ini usianya masih 30-an dan berperawakan kecil. Hari itu ia mengenakan jas dokter putih dengan bordiran “Tan” berbenang merah dan blus putih tanpa kerah yang juga dihiasi dengan bordiran.
“Cocok sekali dok, bordirannya,” aku iseng berkomentar.
Selama berkonsultasi dengan bu dokter, sudah beberapa kali aku melihat ia memakai blus itu. Aku juga melihatnya selalu memakai gelang warna-warni yang sama.
“Sepatunya juga sama,” kata teman yang datang bersamaku ketika kita meninggalkan ruang prakteknya. Temanku ini memang sebelumnya sudah pernah menemaniku ke bu dokter.
“Aku ingat sepatunya karena aku suka modelnya yang simple,” ia menambahkan.
Sama seperti model sepatunya, bu dokter ini orangnya memang sederhana. Serius tapi bisa tertawa, lho. Dan yang penting, dia juga komunikatif. Ia tidak keberatan ditanya melalui email dan pasti membalasnya di tengah-tengah kesibukannya.
Kemarin ia bahkan wanti-wanti agar aku segera memberitahukan hasil pemeriksaan MRI lewat email.
Siap, Dok... !
Thursday, November 19, 2009
Kejamnya Dunia
Eh, sebetulnya dunia nggak kejam. Yang kejam itu orang-orangnya. Dan orang kejam ada di mana-mana. Di Jakarta, di Bandung, di Texas….
Texas? Ya. Dan ceritanya memang bikin kita semua kesel. Mungkin juga bukan cuma kesel, tapi keseeeeeeeellllll banget, bikin kita pingin nyekek orang itu.
Orang jahat itu pura-pura kena kanker payudara dan berhasil mengumpulkan dana sebesar US$10.000 yang lantas dipakai untuk…. memperbesar payudaranya.
Perempuan bernama Trista Joy Lathern, 24, itu membotaki rambutnya supaya kelihatan seperti pasien yang tengah menjalani kemoterapi.
Seperti apa sih tampangnya? Ini nih.. kayak gini…
Tindakan busuknya terungkap setelah dokter yang melakukan operasi plastik curiga karena ia tak pernah menyebut-nyebut soal kemoterapi atau kanker payudara.
Tukang tipu memang banyak di sekeliling kita. Aku sendiri pernah dibohongi oleh salesman yang dengan manis menjanjikan bonus obat melalui program “buy three get one free”. Setelah membeli obat 3x, bonus tak pernah diberikan. Belakangan baru ketahuan kalau salesman itu memang bermasalah dan bahkan dipecat dari kantornya.
Pernah juga ditipu suster ketika akan menjalani kemoterapi di RS Dharmais. Suster itu mengatakan bahwa obat yang aku beli dari Yayasan Kanker Indonesia kurang dan aku harus mengeluarkan uang ekstra untuk pembelian obat fiktif.
Tapi itu bukan apa-apa dibandingkan pengalaman Alvita, seorang penyintas kanker berusia 25 tahun yang berhasil menjadi dokter dan kini tengah mengikuti program spesialis kedokteran nuklir di Bandung. Vita yang sedang menyelesaikan buku tentang perjuangannya melawan kanker pernah ditipu habis-habisan oleh seorang perempuan. Ia mengaku terkena kanker, datang dari luar kota dan akan menjalani pengobatan tetapi tak punya uang. Vita menampungnya di tempat kosnya dan memberinya uang untuk berobat. Ternyata ia malahan membawa kabur semua barang berharga Vita.
Meskipun demikian, Vita tidak berubah. Ia tetap siap membantu orang-orang yang memerlukan pertolongan.
Memang banyak orang jahat di sekeliling kita. Tapi banyak juga lho yang baik… Bahkan jumlah orang baik lebih banyak daripada orang jahat. Aku bersyukur memiliki banyak teman yang baik. Thank you… Matur nuwun…. Terima kasih. teman-teman atas dukungannya.
Texas? Ya. Dan ceritanya memang bikin kita semua kesel. Mungkin juga bukan cuma kesel, tapi keseeeeeeeellllll banget, bikin kita pingin nyekek orang itu.
Orang jahat itu pura-pura kena kanker payudara dan berhasil mengumpulkan dana sebesar US$10.000 yang lantas dipakai untuk…. memperbesar payudaranya.
Perempuan bernama Trista Joy Lathern, 24, itu membotaki rambutnya supaya kelihatan seperti pasien yang tengah menjalani kemoterapi.
Seperti apa sih tampangnya? Ini nih.. kayak gini…
Tindakan busuknya terungkap setelah dokter yang melakukan operasi plastik curiga karena ia tak pernah menyebut-nyebut soal kemoterapi atau kanker payudara.
Tukang tipu memang banyak di sekeliling kita. Aku sendiri pernah dibohongi oleh salesman yang dengan manis menjanjikan bonus obat melalui program “buy three get one free”. Setelah membeli obat 3x, bonus tak pernah diberikan. Belakangan baru ketahuan kalau salesman itu memang bermasalah dan bahkan dipecat dari kantornya.
Pernah juga ditipu suster ketika akan menjalani kemoterapi di RS Dharmais. Suster itu mengatakan bahwa obat yang aku beli dari Yayasan Kanker Indonesia kurang dan aku harus mengeluarkan uang ekstra untuk pembelian obat fiktif.
Tapi itu bukan apa-apa dibandingkan pengalaman Alvita, seorang penyintas kanker berusia 25 tahun yang berhasil menjadi dokter dan kini tengah mengikuti program spesialis kedokteran nuklir di Bandung. Vita yang sedang menyelesaikan buku tentang perjuangannya melawan kanker pernah ditipu habis-habisan oleh seorang perempuan. Ia mengaku terkena kanker, datang dari luar kota dan akan menjalani pengobatan tetapi tak punya uang. Vita menampungnya di tempat kosnya dan memberinya uang untuk berobat. Ternyata ia malahan membawa kabur semua barang berharga Vita.
Meskipun demikian, Vita tidak berubah. Ia tetap siap membantu orang-orang yang memerlukan pertolongan.
Memang banyak orang jahat di sekeliling kita. Tapi banyak juga lho yang baik… Bahkan jumlah orang baik lebih banyak daripada orang jahat. Aku bersyukur memiliki banyak teman yang baik. Thank you… Matur nuwun…. Terima kasih. teman-teman atas dukungannya.
Thursday, November 12, 2009
Ooooobat
Mau kaya? Juallah obat.
Sebetulnya aku juga ga tau sih berapa untungnya orang jualan obat. Tapi kalo menilik banyaknya apotik yang beterbaran di sekeliling rumahku, ya aku mengambil kesimpulan sendiri bahwa itu adalah bisnis yang menguntungkan.
Dalam jarak beberapa puluh meter saja terdapat 3 apotik, dua di antaranya saling berseberangan. Yang satunya lagi hanya beda beberapa rumah di belakang.
Kalau mau berjalan sedikit lebih jauh menyusuri jalan utama di kompleks perumahan ini, maka di kiri dan kanan jalan yang panjangnya beberapa kilometer itu kita juga akan melihat sejumlah apotik.
Kayaknya hanya usaha restoran dan laundry saja yang mengungguli keberadaan apotik ini.
Kalau malas ke luar rumah, obat juga dapat dipesan melalui telepon dan dikirim sampai tujuan. Apotik yang buka 24 jam juga ada.
Harga obat tidak selalu sama. Dan anehnya, banyak juga yang lebih tinggi dari HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditentukan pemerintah. Tapi apotik bukan pasar yang barang dagangannya bisa ditawar-tawar dan biasanya konsumen, biarpun terkadang sambil ngomel, tetap membayar sesuai dengan jumlah yang ditentukan. . .
Meskipun di sekitar rumah banyak apotik betebaran, tetapi tak satupun yang menjual obat kanker. Memang obat ini konsumennya terbatas sehingga hanya apotik tertentu yang menjualnya.
Kalau ingin membeli obat kanker dengan harga miring, sebaiknya ke Yayasan Kanker Indonesia di Jl. Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat. Sebelumnya, telepon dahulu (021- 3192 7464) untuk mengecek ketersediaannya.
Seperti yang sudah pernah aku ceritakan sebelumnya, setiap bulan aku manjalani suntikan Zoladex. Aku pernah diiming-imingi oleh si “Amin”, seorang salesman dari produsen obat tsb yang pertama kali menyapaku ketika aku membeli obat di YKI. Ia menjanjikan bahwa setelah membeli 3 dus yang masing-masing berisi 1 botol cairan 3.8 ml, maka aku akan mendapatkan gratis 1 dus. Ternyata janji itu palsu.
“Oh, dia itu bermasalah, mbak. Sudah dipecat dari kantornya,” kata seorang mbak di YKI ketika aku mengadukan soal si Amin itu.
Awal bulan ini aku menghubungi produsen obat tsb. dan mendapatkan referensi nama salesman lain, eh, salesgirl, eh medical representative (ini istilah kerennya). Singkat cerita, si mbak itu lalu menghubungi aku. Harga obat yang ditawarkan adalah Rp 1.385.000, sedangkan harga YKI adalah Rp 1.246.700. Masih aja mahal yach… Sigh.
Waktu aku menanyakan apakah ada program bonus, ia mengiyakan.
“Beli dua gratis satu,” katanya.
Hah?
Aku hampir tak percaya. Bener ga nih. Kok rasanya “too good to be true”.
Setelah berkonsultasi dengan bu dokter, akhirnya aku sepakat untuk membeli 2 dus sekaligus agar mendapakan 1 bonus gratis.
Aku bertanya apakah obat akan diantar ke kantor atau ke rumah, dan si mbak memilih mengantar ke rumah.
Pada pagi hari yang ditentukan… “ting tong…” bel berbunyi. Kirain si mbak yang datang. Ternyata mas-mas yang naik motor dengan banyak bawaan. Ia menyerahkan obat dan bon. Aku lihat bonnya dikeluarkan oleh apotik yang letaknya tidak jauh dari rumahku, tapi di luar kompleks.
Sampai sekarang, aku masih belum paham, bagaimana sih liku-liku penjualan obat itu. Bagaimana bisa beli 2 gratis 1? Dengan perhitungan 1 bonus gratis, maka harga obat itu menjadi jauh lebih rendah. Nah, berapa sebetulnya untung dari penjualan obat? Entahlah (sirik mode: ON)
Sebetulnya aku juga ga tau sih berapa untungnya orang jualan obat. Tapi kalo menilik banyaknya apotik yang beterbaran di sekeliling rumahku, ya aku mengambil kesimpulan sendiri bahwa itu adalah bisnis yang menguntungkan.
Dalam jarak beberapa puluh meter saja terdapat 3 apotik, dua di antaranya saling berseberangan. Yang satunya lagi hanya beda beberapa rumah di belakang.
Kalau mau berjalan sedikit lebih jauh menyusuri jalan utama di kompleks perumahan ini, maka di kiri dan kanan jalan yang panjangnya beberapa kilometer itu kita juga akan melihat sejumlah apotik.
Kayaknya hanya usaha restoran dan laundry saja yang mengungguli keberadaan apotik ini.
Kalau malas ke luar rumah, obat juga dapat dipesan melalui telepon dan dikirim sampai tujuan. Apotik yang buka 24 jam juga ada.
Harga obat tidak selalu sama. Dan anehnya, banyak juga yang lebih tinggi dari HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditentukan pemerintah. Tapi apotik bukan pasar yang barang dagangannya bisa ditawar-tawar dan biasanya konsumen, biarpun terkadang sambil ngomel, tetap membayar sesuai dengan jumlah yang ditentukan. . .
Meskipun di sekitar rumah banyak apotik betebaran, tetapi tak satupun yang menjual obat kanker. Memang obat ini konsumennya terbatas sehingga hanya apotik tertentu yang menjualnya.
Kalau ingin membeli obat kanker dengan harga miring, sebaiknya ke Yayasan Kanker Indonesia di Jl. Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat. Sebelumnya, telepon dahulu (021- 3192 7464) untuk mengecek ketersediaannya.
Seperti yang sudah pernah aku ceritakan sebelumnya, setiap bulan aku manjalani suntikan Zoladex. Aku pernah diiming-imingi oleh si “Amin”, seorang salesman dari produsen obat tsb yang pertama kali menyapaku ketika aku membeli obat di YKI. Ia menjanjikan bahwa setelah membeli 3 dus yang masing-masing berisi 1 botol cairan 3.8 ml, maka aku akan mendapatkan gratis 1 dus. Ternyata janji itu palsu.
“Oh, dia itu bermasalah, mbak. Sudah dipecat dari kantornya,” kata seorang mbak di YKI ketika aku mengadukan soal si Amin itu.
Awal bulan ini aku menghubungi produsen obat tsb. dan mendapatkan referensi nama salesman lain, eh, salesgirl, eh medical representative (ini istilah kerennya). Singkat cerita, si mbak itu lalu menghubungi aku. Harga obat yang ditawarkan adalah Rp 1.385.000, sedangkan harga YKI adalah Rp 1.246.700. Masih aja mahal yach… Sigh.
Waktu aku menanyakan apakah ada program bonus, ia mengiyakan.
“Beli dua gratis satu,” katanya.
Hah?
Aku hampir tak percaya. Bener ga nih. Kok rasanya “too good to be true”.
Setelah berkonsultasi dengan bu dokter, akhirnya aku sepakat untuk membeli 2 dus sekaligus agar mendapakan 1 bonus gratis.
Aku bertanya apakah obat akan diantar ke kantor atau ke rumah, dan si mbak memilih mengantar ke rumah.
Pada pagi hari yang ditentukan… “ting tong…” bel berbunyi. Kirain si mbak yang datang. Ternyata mas-mas yang naik motor dengan banyak bawaan. Ia menyerahkan obat dan bon. Aku lihat bonnya dikeluarkan oleh apotik yang letaknya tidak jauh dari rumahku, tapi di luar kompleks.
Sampai sekarang, aku masih belum paham, bagaimana sih liku-liku penjualan obat itu. Bagaimana bisa beli 2 gratis 1? Dengan perhitungan 1 bonus gratis, maka harga obat itu menjadi jauh lebih rendah. Nah, berapa sebetulnya untung dari penjualan obat? Entahlah (sirik mode: ON)
Wednesday, November 4, 2009
Setetes embun di gurun Sahara
“Sudah dua minggu nggak update ayomari, kenapa?” seorang kawan bertanya melalui YM.
“Siang Sima, apa kabar? Lama ga senam. Senam lagi yuk, dicariin sama teman2,” begitu bunyi SMS yang aku terima minggu lalu.
Perhatian, sekecil apa pun, sungguh merupakan hal yang menyejukkan. Bagaikan setetes embun di gurun Sahara. He..he..he.. sok puitis …. padahal, nyambung nggak, ya?
Yang jelas, siapa sih orang yang nggak suka diperhatiin? Semua orang pasti senang kalo ada yg kasih perhatian, apa pun bentuknya. Coba senyum sama tukang bakso yang lewat depan rumah. Pasti si abang senang, meskipun kita nggak beli... dan gigi kita tonggos alias tuwan sinyo (untune kedawan, gusine menyonyo). Atau tanyakan ke satpam yang baru menjadi bapak, gimana kabar anaknya. Tentu dia senang sekali.
Nah, apalagi kalau yang dikasih perhatian itu orang yang lagi mengalami kesusahan, entah abis diomelin si bos karena kerjaan salah mlulu, lagi dikejar2 debt collector karena lama nunggak tagihan kartu kredit, lagi sakit gigi, sakit panu atau sakit lainnya, termasuk kanker.
Perhatian tak segera menyelesaikan masalah. Kemarahan si bos tak akan otomatis berkurang, utang tak langsung terbayar dan penyakit tetap bercokol. Tapi paling tidak perhatian itu bisa menumbuhkan semangat.
Semangat merupakan hal yang sangat diperlukan bagi semua orang, terlebih lagi, penyintas kanker yang harus berjuang untuk terus dapat menikmati segarnya tiupan angin dan hangatnya sinar matahari pagi, untuk terus dapat beraktivitas dan produktif, untuk terus dapat tersenyum dan tertawa gembira.
Tanpa semangat, hidup akan suram dan hampa.
Semangat jugalah yang aku perlukan ketika kondisi kesehatan menurun. Tak jelas apa sebabnya, beberapa hari belakangan ini badan terasa rapuh dan lemas. Kadang-kadang rasanya kok seperti sudah 80 tahun mskipun belum ompong.
Sejak awal bulan Oktober aku berhenti senam karena kaki sakit, padahal olah raga itu perlu. Bahkan wajib hukumnya jika kita ingin sehat. Seharusnya aku bisa berolah raga sendiri sebisanya di rumah, tetapi malas….
Hari Senin (Nov.2, 2009) sebetulnya aku berniat ikut senam. Bukan senam aerobik yang banyak jingkrak-jingkraknya itu melainkan senam ringan saja. Tapi kenapa ya, bangun tidur badan rasanya tak ada tenaga. Ya sudah, aku di rumah saja.
Eh, siangnya aku mendapat ajakan senam melalui SMS. Hanya beberapa kata, tapi efeknya cukup besar. Ok. Aku bertekad untuk berusaha kembali rajin berolah raga.
Hari Selasa, aku penuhi janjiku. Kebetulan badanku juga tidak selemas hari sebelumnya.
Jam 6 pagi aku sudah siap di lapangan parkir Carrefour dekat rumah, tempat senam diadakan. Tunggu punya tunggu… kegiatannya tak juga dimulai gara-gara listrik padam …. Akhirnya senam dilakukan tanpa musik… Kurang seru ya…. apalagi karena peserta aktif yang suaranya paling keras sedang absen karena jatuh pingsan dari panggung ketika meramaikan suatu acara.
Meski tanpa musik, tak masalah. Yang penting bisa olah raga. Tentu saja aku juga tahu diri, kalau ada gerakan yang terasa sulit, aku tidak mengikutinya.
Badanku terasa lebih enteng. Tapi anehnya, di siang hari badan pegal setengah mati. Dalam posisi duduk, bagian pinggang dan pinggul terasa sangat tidak nyaman. Karena itu, di kantor aku bolak balik ke toilet sekedar untuk menggerakkan badan agar tak terlalu pegal.
Aku mengeluh pada suhu chi, yang menanggapi dengan mengirimkan energi untuk menghilangkan rasa pegal itu. Sejenak, rasa pegal agak berkurang. Tak jelas apakah ini karena sugesti atau betul2 berkurang sakitnya. Yang jelas, tak lama kemudian rasa pegal kembali menyerang.
Sampai di rumah, aku terpaksa minum painkiller sebelum tidur.
Tadi pagi badan masih sedikit kurang enak. Tapi aku bisa ikut senam. Setelah sarapan, aku putuskan untuk minum obat lagi sebagai pencegahan rasa sakit.
Sekarang sudah malam dan badanku terasa cukup enak. Tidak sakit, tidak pegal. Eh, agak pegal di pinggang, tapi hanya sedikiiiit.
Mudah-mudahan besok pagi dan seterusnya aku bisa terbebas dari rasa sakit dan yang tak kalah pentingnya adalah bebas dari pil penghilang rasa sakit.
Semoga saja harapan itu segera menjadi kenyaataan dengan dukungan doa, kegiatan olahraga yang rutin, terapi chi yang tengah aku jalani dan obat yang tepat sesuai saran dokter. Dan … tentunya juga semangat yang tak boleh pudar serta pikiran yang positif dan jauh dari stres.
“Siang Sima, apa kabar? Lama ga senam. Senam lagi yuk, dicariin sama teman2,” begitu bunyi SMS yang aku terima minggu lalu.
Perhatian, sekecil apa pun, sungguh merupakan hal yang menyejukkan. Bagaikan setetes embun di gurun Sahara. He..he..he.. sok puitis …. padahal, nyambung nggak, ya?
Yang jelas, siapa sih orang yang nggak suka diperhatiin? Semua orang pasti senang kalo ada yg kasih perhatian, apa pun bentuknya. Coba senyum sama tukang bakso yang lewat depan rumah. Pasti si abang senang, meskipun kita nggak beli... dan gigi kita tonggos alias tuwan sinyo (untune kedawan, gusine menyonyo). Atau tanyakan ke satpam yang baru menjadi bapak, gimana kabar anaknya. Tentu dia senang sekali.
Nah, apalagi kalau yang dikasih perhatian itu orang yang lagi mengalami kesusahan, entah abis diomelin si bos karena kerjaan salah mlulu, lagi dikejar2 debt collector karena lama nunggak tagihan kartu kredit, lagi sakit gigi, sakit panu atau sakit lainnya, termasuk kanker.
Perhatian tak segera menyelesaikan masalah. Kemarahan si bos tak akan otomatis berkurang, utang tak langsung terbayar dan penyakit tetap bercokol. Tapi paling tidak perhatian itu bisa menumbuhkan semangat.
Semangat merupakan hal yang sangat diperlukan bagi semua orang, terlebih lagi, penyintas kanker yang harus berjuang untuk terus dapat menikmati segarnya tiupan angin dan hangatnya sinar matahari pagi, untuk terus dapat beraktivitas dan produktif, untuk terus dapat tersenyum dan tertawa gembira.
Tanpa semangat, hidup akan suram dan hampa.
Semangat jugalah yang aku perlukan ketika kondisi kesehatan menurun. Tak jelas apa sebabnya, beberapa hari belakangan ini badan terasa rapuh dan lemas. Kadang-kadang rasanya kok seperti sudah 80 tahun mskipun belum ompong.
Sejak awal bulan Oktober aku berhenti senam karena kaki sakit, padahal olah raga itu perlu. Bahkan wajib hukumnya jika kita ingin sehat. Seharusnya aku bisa berolah raga sendiri sebisanya di rumah, tetapi malas….
Hari Senin (Nov.2, 2009) sebetulnya aku berniat ikut senam. Bukan senam aerobik yang banyak jingkrak-jingkraknya itu melainkan senam ringan saja. Tapi kenapa ya, bangun tidur badan rasanya tak ada tenaga. Ya sudah, aku di rumah saja.
Eh, siangnya aku mendapat ajakan senam melalui SMS. Hanya beberapa kata, tapi efeknya cukup besar. Ok. Aku bertekad untuk berusaha kembali rajin berolah raga.
Hari Selasa, aku penuhi janjiku. Kebetulan badanku juga tidak selemas hari sebelumnya.
Jam 6 pagi aku sudah siap di lapangan parkir Carrefour dekat rumah, tempat senam diadakan. Tunggu punya tunggu… kegiatannya tak juga dimulai gara-gara listrik padam …. Akhirnya senam dilakukan tanpa musik… Kurang seru ya…. apalagi karena peserta aktif yang suaranya paling keras sedang absen karena jatuh pingsan dari panggung ketika meramaikan suatu acara.
Meski tanpa musik, tak masalah. Yang penting bisa olah raga. Tentu saja aku juga tahu diri, kalau ada gerakan yang terasa sulit, aku tidak mengikutinya.
Badanku terasa lebih enteng. Tapi anehnya, di siang hari badan pegal setengah mati. Dalam posisi duduk, bagian pinggang dan pinggul terasa sangat tidak nyaman. Karena itu, di kantor aku bolak balik ke toilet sekedar untuk menggerakkan badan agar tak terlalu pegal.
Aku mengeluh pada suhu chi, yang menanggapi dengan mengirimkan energi untuk menghilangkan rasa pegal itu. Sejenak, rasa pegal agak berkurang. Tak jelas apakah ini karena sugesti atau betul2 berkurang sakitnya. Yang jelas, tak lama kemudian rasa pegal kembali menyerang.
Sampai di rumah, aku terpaksa minum painkiller sebelum tidur.
Tadi pagi badan masih sedikit kurang enak. Tapi aku bisa ikut senam. Setelah sarapan, aku putuskan untuk minum obat lagi sebagai pencegahan rasa sakit.
Sekarang sudah malam dan badanku terasa cukup enak. Tidak sakit, tidak pegal. Eh, agak pegal di pinggang, tapi hanya sedikiiiit.
Mudah-mudahan besok pagi dan seterusnya aku bisa terbebas dari rasa sakit dan yang tak kalah pentingnya adalah bebas dari pil penghilang rasa sakit.
Semoga saja harapan itu segera menjadi kenyaataan dengan dukungan doa, kegiatan olahraga yang rutin, terapi chi yang tengah aku jalani dan obat yang tepat sesuai saran dokter. Dan … tentunya juga semangat yang tak boleh pudar serta pikiran yang positif dan jauh dari stres.
Subscribe to:
Posts (Atom)