Reaksi orang bermacam-macam ketika mereka mendengar kalau aku terkena kanker.
“Kantong kering ya?” begitu katanya, yang membuatku tersenyum kecut sambil mengiyakan.
Aku harus bersyukur mendengarnya, karena itu sebetulnya mengandung sisi positif. Orang tak percaya kalau sel-sel kanker masih bercokol ditubuhku karena aku memang tak tampak seperti orang sakit.
Tapi lebih banyak yang serius menanggapi dan bertanya: “Kanker apa?”
Setelah mengetahui jawabannya, mereka akan bertanya:
“Rasanya bagaimana?”
“Bagaimana ketahuannya?”
“Payudaranya diangkat?”
“Stadium berapa?”
Mendengar jawaban “dulu stadium 2 tapi sekarang stadium 4”, seorang kawan berkata:
“Agamanya apa? Banyak-banyak berdoa, ya”
Reaksi tsb di atas tertuang dalam tulisan berjudul Cokelat, Infus dan Doa yang kutulis awal bulan ini. Tulisan pendek itu mengundang komentar dari Titah dari Rumah Kanker di Surabaya:
“Walaupun sering berhadapan dengan pejuang kanker, tetap aja aku kaget dan kehilangan kata2 saat mendengarnya pertama kali. Kira2 jawaban dan sikap apa ya, yang paling diterima/diinginkan para pejuang kanker pada situasi seperti ini?”
Ditanya seperti itu, aku jadi merenung.
Bulan Desember 2004 seorang teman yang menjengukku di RS setelah aku menjalani operasi berusaha menghiburku dengan berkomentar: “Memang banyak orang yang terkena kanker.”
Apa..? Bukannya terhibur, tapi aku merasa tersinggung. Kok begitu sih? Masa ia menanggap ENTENG penyakitku ini? Apa dia tidak tahu kalau kanker adalah penyakit yang sangat berbahaya? Mengapa dengan entengnya ia berkata bahwa banyak orang kena kanker, seperti berkata “banyak orang batuk atau pilek?”
. Yach, begitulah. Pada saat seperti itu penderita kanker bisa menjadi sangat sensi (maksudnya.. sensitif...). Sang teman berusaha menenangkan hati dengan kata-kata yang secara tak langsung mengatakan ini adalah penyakit yang bisa menimpa siapa saja. Ia tidak salah. Tapi jadi serba salah, karena ternyata kata-katanya dapat menimbulkan interpretasi lain.
. Cara menyampaikan kata-kata bisa berpengaruh. Memang sikap tenang perlu, tapi kalau terlalu tenang dan santai dapat membuat pasien mendapat kesan diremehkan, “seolah-olah tidak ada apa-apa”. Jadi, paling tidak tunjukkanlah sedikit ekspresi keprihatinan. Tapi ya jangan berlebihan, karena bisa membuat pasien semakin khawatir.
. Hal lain yang membuat pasien tak nyaman adalah komentar mengenai
Pertanyaan seperti: “Payudaranya diangkat?” tidak tepat dilontarkan, apalagi pada kesempatan pertama. Itu adalah pertanyaan terburuk, seperti menaburkan garam pada luka.
Ketika orang mengetahui bahwa dirinya kena kanker, yang paling diharapkan adalah dukungan moral (dan doa). Mereka ingin mendengar kata-kata yang menunjukkan simpati dan mendorong semangat.
Mengacu kepada pertanyaan Titah yang kaget dan kehilangan kata-kata saat mendengarnya pertama kali, mungkin sebaiknya biarkan saja lawan bicaranya yang bercerita dan bersikap menjadi pendengar yang baik.
Misalnya, dengan berkata: “Oh ya?” (tunjukkan ekspresi penuh rasa prihatin). Lalu disambung dengan “Terus, gimana.. ?” Pertanyaan ini dilontarkan untuk mengetahui apa saja yang sudah dilakukan oleh lawan bicaranya.
Menanggapi pertanyaan itu, lawan bicaranya mungkin akan menjawab dengan mengemukakan perasaannya, misalnya ia kuatir atau ia sedih atau bingung. Atau ia mungkin menjawab dengan memberitahukan usaha yang sudah dilakukan untuk mengatasinya, misalnya dengan ke dokter.
Setelah itu apa? Biarkan percakapan mengalir ... dan harap dilanjutkan sendiri ya ... soalnya ini kan ..bukan drama sinetron yang dapat dibuat skenarionya…. :)