Kalau ada lomba sakit, aku mau ikutan. Mungkin pengalamanku berkutetan dengan rasa sakit selama beberapa bulan terakhir ini bisa membuatku jadi juara. Juara sakit.
Dulu kalau aku membaca novel dan menemukan kata-kata “sangat sakit seperti diiris-iris” (emangnya bawang...), “ditusuk-tusuk” (emangnya sate...!) atau “sakit luar biasa seperti dihantam palu godam”, aku merasa biasa-biasa saja. Tapi sekarang aku bisa menghayatinya dengan baik, setelah rasa sakit mulai menyerang dada kiriku bulan September tahun lalu.
Rasa sakit seperti itu sungguh mengganggu. Membuat kita tak berdaya dan menderita.
Pernah suatu pagi aku menerima telepon dari luar kota, dari temannya seorang teman yang istrinya terkena kanker.
“Istri saya sering kesakitan. Mbak minum obat apa untuk menghilangkan rasa sakit?”.
Banyak sekali jenis obat untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit (painkiller). Ada yang bisa dibeli secara bebas di apotik dan di toko obat, ada juga yang hanya dapat dibeli dengan resep dokter.
Dulu, kalau merasa sakit atau nyeri, aku cukup minum 1 ponstan dan badan langsung merasa enak. Tapi belakangan 2 tablet ponstan pun tidak manjur.
Berdasarkan pengalaman, secara sederhana obat penghilang rasa sakit dapat dibagi menjadi tiga: ringan, sedang dan berat.
Untuk nyeri berat, biasanya diberikan morfin. (Ih, serem ya... )
Ponstan termasuk obat penghilang nyeri ringan. Jadi kalau rasa nyeri sudah mencapai tingkat sedang atau berat, kemungkinan tidak lagi manjur, walaupun ada juga yang bisa mengatasi sakit gigi yang berdenyut-denyut..
Ponstan sendiri kalau dikonsumsi terus menerus juga tidak baik karena dapat merusak lambung.
“Yang paling aman adalah paracetamol,” kata bu dokter.
Selain itu, paracetamol murah meriah. Satu strip Ponstan isi 10 tablet yg pernah kubeli harganya Rp 16 ribu - Rp 23 ribu (tergantung apoteknya) sedangkan harga paracetamol tidak sampai sepersepuluhnya !
Banyak obat lain seperti novalgin, antalgin, neuralgin, meloxicam, dexamethasone, panadol dll.
Obat itu biasanya diminum 3 x sehari 1-2 tablet sesudah makan. Tapi untuk lebih jelasnya, sebaiknya dikonsultasikan dulu dengan dokter. Apalagi kalau ada alergi, tidak boleh sembarangan minum obat.
Ketika rasa sakit meningkat, dokter memberiku tramadol 50 mg. Obat ini tidak dapat dibeli tanpa resep dokter. Mula-mula 1 tablet tramadol sudah cukup, tapi kalau rasa sakit bertambah, dosis juga perlu ditambah menjadi 2 tablet atau 100 mg. Dalam sehari tidak boleh minum lebih dari 300 mg.
Harga tramadol juga murah. Aku minum obat generik yang harganya hanya sekitar Rp 5.000 untuk 1 strip (10 tablet/kapsul), sedangkan yang non-generik bisa Rp 20 ribuan.
Obat untuk si A belum tentu cocok untuk si B. Kalau tidak cocok minum jenis obat tertentu, segera sampaikan ke dokter, agar dapat dicarikan alternatif obat yang lain. Atau dapat juga dikombinasikan dua jenis obat atau lebih.
Misalnya, tramadol dapat dipadukan dengan paracetamol atau dexamethasone.
Ada juga obat yang namanya voltadex. Tahun lalu ketika kakiku sakit, aku meminumnya dan ternyata manjur sekali. Tapi obat ini dapat menghatam lambung sehingga sebelum minum voltadex, dokter menyuruhku minum obat maag.
Belakangan ketika dadaku sakit, dokter sempat menyarankan agar aku minum voltadex, tapi ternyata tidak mempan.
Rasa sakit di dada kiriku ini cukup misterius. Yang paling sakit adalah tulang iga tepat di bagian bawah payudara. Hasil rontgen dan pemeriksaan MRI menunjukkan bahwa daerah itu baik2 saja.Yang kena kanker adalah tulang iga kanan dan tulang belakang. Dokter mengatakan bahwa bisa saja dada kiri terasa sakit meskipun yang kena adalah dada kanan, istilahnya adalah “sakit kiriman” (jadi inget "banjir kiriman”... ). Tapi dada kiri bisa juga sakit karena sebetulnya tulang iga kiri sudah terkena kanker, hanya saja belum terdeteksi.
Dari akhir November hingga awal Januari dilakukan radiasi sebanyak 30x di tulang yang terkena kanker, seperti yang tampak dari hasil bonescan, yaitu tulang belakang, tulang panggul, tulang duduk (pelvis) dan tulang dada (iga) kanan.
Meskipun sudah dilakukan radiasi, ternyata sakit di dada kiri tidak berkurang. Malah bertambah. Sakit ini biasanya terasa kalau aku berbaring. Tapi akhir-akhir bisa saja muncul setiap saat dan tak tau entah kenapa.
Dulu, pagi dan siang hari aku cukup minum paracetamol, tapi sekarang perlu ditambah dengan 2 tablet tramadol .Setelah makan malam aku minum tramadol ditambah dengan paracetamol atau dexamethasone plus amitriptyline 25 mg. Amitriptilyne ini adalah obat penenang, yang betul-betul dapat menenangkan alias membuat kita terkantuk-kantuk.
Tapi ternyata tidurku juga tak terlalu nyenyak. Sebelum subuh aku sudah terbangun karena rasa nyeri. Dari konsultasi dengan dokter, barulah sadar bahwa efektivitas obat-obat itu juga terbatas. Biasanya sekitar 6-8 jam.
“Minum obatnya sebelum tidur saja,” kata bu dokter.
Aku berusaha minum obat dan tidur semalam mungkin. Kalau aku bisa tidur jam 12 malam, maka aku akan bangun paling cepat jam 6 pagi, begitu pikirku. Taktik itu cukup berhasil untuk beberapa waktu. Aku memang sering tidur malam kalau banyak tugas, tetapi daya tahan tubuhku tak selalu baik. Maklumlah, aku hanya manusia biasa... bukan wonderwoman... Seringkali jam 9 malam sudah lelah sekali dan ingin tidur.
Ada kalanya aku tetap merasa sakit meskipun sudah minum tramadol dll. Pernah aku coba minum MST Continus 10 mg. Ini adalah obat kelas berat yang mengandung morfin. Aku minum 1 tablet, tapi tidak manjur. Mungkin harus dikombinasikan dengan obat lain agar efektif, tapi aku sendiri sedapat mungkin tidak meminumnya kalau masih bisa menahan rasa sakit.
Obat yang mengandung morfin ada yang bentuknya seperti koyok. Namanya Durogesic atau fentanyl.
“Obat ini hanya boleh dipakai kalau tensinya minimal 100,” kata dokter memperingatkan.
Selembar koyok berukuran 7.5cm x 9 cm ini harganya cukup mahal. Yang dosisnya 2.5 mg harganya Rp 109.000.di apotek RSPAD. Efektivitas koyok ini katanya bisa bertahan selama tiga hari.
Selain Durogesic, ada koyok2 lain yang dapat menghilangkan rasa nyeri seperti Salonpas. Ada juga obat yang berbentuk cream, seperti Voltaren, Counterpain dan Bengay (yang sudah tidak beredar di Indonesia), atau minyak seperti Mipi. Buat aku, yang paling enak adalah minyak kayu putih....
Kalau diserang rasa sakit dan tidak cocok dengan satu jenis obat, jangan ragu2 untuk segera ke dokter. Jangan ditunda-tunda karena semakin sakit, kita akan semakin menderita. Selain jenis obat dan kombinasinya, waktu minum obat juga dapat mempengaruhi efektivitas pengobatan.
Jika sudah minum berbagai macam obat, tetapi belum berhasil, apa yang dapat dilakukan?
1. Menangis. Tapi jangan lama-lama.
2. Berdoa menurut keyakinan masing2.
3. Mencoba obat alternatif. Mulai beberapa hari yll aku minum Propolis, sehari 5x 15 tetes.
4. Meditasi. Atau pengobatan dengan tenaga dalam seperti prana dan reiki. Tadi siang bu dokter bercerita tentang pasiennya yang kalau kemo membawa pasukan kecil terdiri dari beberapa orang. Mereka ini membantu penyembuhan pasien dengan prana.
“Kata pasien saya, setiap hari Minggu, ada pengobatan prana gratis di daerah .... (Jakarta Utara
, tapi lupa namanya...... ), kalau mau nanti kapan2 saya antar.”
Aku sendiri beberapa hari yll mulai mempraktekkan reiki yang dulu pernah kupelajari. Lumayan sih, tapi ada gangguan. Semalam CD yang berisi petunjuk reiki untuk menemaniku dalam praktek, nyangkut dalam CD
player, nggak bisa bergerak.
5. Menggunakan bantal atau sabuk penghangat elektrik. Aku punya alat pemberian kakak berupa sabuk tebal berukuran 14cm x 45 cm, bertuliskan “Medica Belt Magnetic” dengan tali pengikat. Terdapat kabel pada alat ini untuk dihubungkan ke colokan listrik. Dalam beberapa menit, terasa panas dan kabel dapat dilepas. Meskipun agak repot karena setiap kali harus memasang dan mencopot kabel, enak sekali rasanya memakai alat ini. Sabuk ini dapat dibeli di toko2 yang menjual alat kesehatan. Kakakku dulu beli di Mangga Dua dengan harga sekitar Rp 100 ribu.