Saturday, December 18, 2010

Untung.... Bukan Penari Perut

Perabotan di ruangan itu terbuat dari kayu berwarna hitam bergaya Betawi. Terdapat seperangkat kursi lenong dengan sandaran melengkung lengkap dengan meja bulat. Di bagian lain terlihat beberapa bangku panjang dan kursi-kursi pendek yang dikenal dengan nama kursi bemo. Tempat duduk itu diatur sedemikian rupa sehingga pengunjung dapat berinteraksi satu sama lain dengan nyaman.

Tampak kaktus mungil menghiasi meja yang befungsi sebagai penyekat dan beberapa pot tanaman berdaun hijau segar. Tirai air yang cantik terlihat di samping wastafel bernuansa alam yang dilengkapi dengan sabun cair dan kertas tisue untuk melap tangan..

Tempat apakah itu gerangan?

Ini bukanlah kafe meskipun Bakoel Koffie, cofee shop yang lagi naik daun di Jakarta ini, menggunakan kursi bemo di beberapa gerainya, termasuk di Pondok Indah Mal, Kemang dan Kota.

Ini bukan tempat nongkrong walaupun di sana para pengunjung terlihat asyik nongkrong, duduk dengan santai, kongkouw-kongkouw sambil mengangkat kaki tanpa menghiraukan tulisan “Harap duduk dengan sopan” yang tertempel di bawah kaca meja bulat. Ada juga yang menikmati siaran TV yang memang tersedia di sana, atau yang tidur lelap membujur di bangku panjang.

Ini adalah ruang tunggu utama Departemen Radioterapi, RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, (RSCM), Jakarta, yang dikepalai oleh Prof. Soehartati A. Gondhowiardjo.

Pada dinding di samping pintu masuk, tertulis layanan yang tersedia: “umum, layanan utama dan red carpet service.”

Radioterapi adalah penggunaan sinar pengion dalam upaya mengobati penderita kanker. Prinsip radioterapi adalah mematikan sel kanker dengan memberikan dosis terukur pada target yang dituju dengan menekan seminimal mungkin efek radiasi pada jaringan sehat di sekitarnya.

Apakah sinar pengion itu? Waduh, apa ya? (Lagi males nanya ke mbah Google nih). Aku nggak tau.. soalnya informasi di atas aku kutip dari brosur RSCM. Pokoknya itu sinar yang ampuh deh, lebih hebat dari sinar X atau sinar Y atau sinar Z....

Layanan “red carpet service” alias VIP dikembangkan sejak tahun 2008 untuk menjaring pasien yang selama ini lebih suka berobat ke luar negeri.

Tempat layanan karpet merah ekslusif yang mempunyai pintu masuk tersendiri itu tepat bersebelahan dengan bagian layanan utama dan umum. Di tempat VIP ini tak ada kursi lenong atau kursi bemo. Yang terlihat adalah sofa empuk.

Sudah genap tiga minggu aku keluar masuk RSCM untuk radioterapi. Tidak di bagian “red carpet service”, tapi di layanan utama.

Mula2 aku mendapat informasi bahwa aku harus menjalani radiasi sebanyak 20x. Setelah diradiasi selama 10x, aku diberi tahu bahwa perlu tambahan radiasi 10x. Lho, kok dapat bonus? Apa karena aku ini pasien teladan? Bukan.... Dokter mengatakan bahwa sebetulnya malah perlu 40x, tapi setelah dipertimbangkan masak2, diputuskan, cukup 30x.

Sebelum radiasi, ada yang namanya simulasi. Proses simulasi dilakukan di ruangan tersendiri. Pasien disuruh berbaring di atas meja besi, lalu badan digambari. Jangan bayangkan seperti body painting berwarna-warni dengan motif bunga, burung, hati atau naga. Di sini, bagian yang akan diradiasi diberi tanda, garis lurus, garis silang, bidang segi empat.

Aku ingat kata temanku, Anas, yang tahun lalu menjalani radiasi di Surabaya.

“Kalau tandanya pudar, bisa ditebalin pake spidol yang permanen,” ujarnya.

Maka ketika tanda radiasi terlihat agak pudar, aku bertanya kepada petugas apakah aku bisa menebalkannya dengan menggunakan spidol permanen warna hitam yang selama ini aku bawa.

Ternyata spidolku tidak laku. Mbak petugas sendiri yang menebalkannya dengan spidol khusus milik RS. Ia juga melarangku melakukannya sendiri karena takut kalau garisnya melenceng.

Selama radioterapi tanda itu harus dijaga agar tidak hilang. Repot sekali. Aku harus berhati-hati kalau mandi karena tanda yang berwarna putih seperti kapur itu bisa hilang kalau diguyur air.

Radiasi di RSCM dilakukan setiap hari, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Tanggal 7 Desember 2010 yll adalah Tahun Baru Islam. Hore.. aku libur, tidak perlu ke kantor. Tapi ternyata radiasi jalan terus... Bagaimana dengan Natal dan Tahun Baru nanti?

“Pada hari libur, kita tetap bekerja, tetapi tergantung, libur apa. Kalau Lebaran atau Natal, kita juga libur,” kata Mbak yang menangani radiasi.

Jangankan libur, petugas radiasi juga bisa bekerja hingga lewat tengah malam.

RSCM mempunyai tiga mesin untuk radioterapi, satu diantaranya merupakan mesin canggih dengan teknologi mutakhir. Sebetulnya mesin yang canggih ada dua, tetapi sungguh sayang, mesin yang satu tak dapat dioperasikan karena kendala teknis. Untuk melayani permintaan layanan radioterapi yang tinggi, maka mesin radioterapi yang canggih itu dioperasikan sampai jam 1 pagi.

Asyiiik aku bisa radiasi jam 10 malam setelah pulang kerja. Nggak perlu bermacet ria.

Tapi.. oh, sayang sekali… tidak bisa. Menurut dokter, terapiku tidak memerlukan mesin baru yang canggih itu, cukup dengan mesin yang lama saja.

Tidak semua RS memiliki mesin radioterapi. Di Jakarta hanya terdapat lima rumah sakit yang memberikan layanan ini, yaitu RSCM, RS Dharmais, RS Pertamina, RSPAD dan RS Persahabatan (yang dibangun oleh Rusia pada jaman Orla dan diserahkan sebagai tanda cinta ke RI yang ketika itu menjalin hubungan mesra dengan sayap kiri).

Tak heran, rumah sakit yang memberikan layanan radioterapi atau radiasi diserbu pasien.

Proses radiasi sendiri sangat singkat. Pasien berbaring dan kemudian disinar sesuai dengan tempat yang telah ditandai. Tak sampai 10 menit. Mungkin hanya 5 menit. Tapi menunggunya yang lama.

Untuk pasien VIP, menurut brosur, ada jaminan ketepatan waktu dengan appointment-based treatment session (ditambah dengan private ambulance dan airport pick up and drop off).

Pasien layanan umum yang kebanyakan peserta asuransi Askes (Asuransi Kesehatan) atau Gakin (Keluarga Miskin), harus menunggu sangat lama, bisa setengah hari atau bahkan seharian.

Bagaimana dengan pasien layanan utama?

Kalau lagi beruntung, aku hanya menunggu tak sampai 30 menit. Tapi pernah juga lebih dari 1 jam atau 2 jam. Bahkan 3 jam, ketika ada mesin yang ngadat.

Tidak seperti kemoterapi, kebanyakan pasien radioterapi tidak mengalami rambut rontok dan jarang yang mual-mual atau lemas. Tapi ada juga yang menderita gangguan pada kulit atau efek lain.

Aku sendiri juga mengalami sedikitnya 3 efek sampingan:

1. pusing dan jantung berdebar-debar, dag-dig-dug, karena susah sekali parkir -- lahan parkir terbatas, tidak seimbang dengan banyaknya kendaraan yang membutuhkannya.

2. lemas karena kelamaan menunggu

3. capek karena RSCM jauh dari rumah dan setelah radiasi harus berkendara menembus kemacetan menuju kantor untuk bekerja..

Tapi yang sangat membuatku menderita adalah ketika harus berbaring telentang di meja pada mesin radioterapi. Dada kiriku sekali. Setelah minum painkiller, biasanya aku terbebas dari rasa sakit. Tetapi tetap harus berhati-hati dalam melakukan gerakan tertentu, seperti telentang, membungkukkan badan atau meliukkan tubuh. Untung, pekerjaanku tidak meuntut banyak gerak. Seandainya aku ini penari hip hop atau belly dance... wah... nggak tau deh gimana jadinya.

Kalau tidur, aku tidak bisa telentang. Kebetulan dari dulu aku memang jarang tidur telentang, biasanya miring ke kiri atau ke kanan. Sekarang ini hampir selalu miring ke kanan karena kalau kelamaan miring ke kiri, setelah itu dada akan terasa sakit.

Selama radiasi aku membawa bantal tambahan dari rumah yang untuk mengganjal leher dan punggung agar posisi lebih enak. Lumayan...

Aku bisa berbaring telentang dengan nyaman selama 1 atau 2 menit, tapi setelah itu, aduh.. mak... rasa sakit mulai menyerang. Untuk mengatasinya aku berpegang pada peribahasa yang diajarkan bu guru bahasa Indonesia ketika aku SMP:
“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian,
bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”