Sunday, September 26, 2010

Setelah kemo selesai, apa lagi?

Penanganan terhadap pasien yang satu berbeda dengan yang lain, tergantung kondisi masing2. Yang jelas, setelah selesai kemo ya..… pulang ke rumah dong… . He..he..he.. Emangnya enak berlama-lama di rumah sakit?)
Untuk mengetahui keberhasilan kemo, biasanya dilakukan berbagai pemeriksaan. Salah satunya adalah tes darah untuk melihat apakah ada dampak negatif kemo terhadap fungsi ginjal, hati dll. Yang tidak kalah pentingnya adalah tes penanda tumor atau tumor marker. Di samping itu ada juga tes lain tergantung kebutuhan.

Terapi kemo, yang sering disingkat kemo saja, merupakan terapi yang ampuh, khususnya untuk mereka yang masih dalam stadium dini. Apabila pasien masih dalam stadium dini, kemo dapat menghajar habis si kanker busuk.

Aku pertama kali didiagnosa menderita kanker beberapa hari setelah lebaran tahun 2004. Setelah menjalani mastektomi pada pada bulan Desember 2004 dan 6x kemo pada bulan Januari – Juni 2005, dokter menyatakan bahwa tak ada sel kanker yang terdeteksi dalam tubuhku.

Apakah aku sudah sembuh?

Tidak. Atau tepatnya, belum…

Setelah kemo, aku harus menjalani mamogram secara berkala. Mula2 setiap 3 bulan, lalu 6 bulan, lalu 1 tahun sekali.

“Kalau selama 5 tahun hasilnya negatif, maka baru boleh dibilang sudah sembuh,” begitu yang aku dengar.

Belakangan, aku mendengar bahwa yang paling aman adalah 10 tahun. Pasien dapat dinyatakan sembuh kalau sudah bebas kanker selama 10 tahun.

Nah, kurun waktu selama 5 atau 10 tahun itu sebetulnya merupakan masa yang sangat menentukan. Usahakan jangan sampai kambuh karena kalau itu terjadi, maka penanganannya akan jauh lebih sulit.

Bagaimana cara mencegah agar tidak kambuh?

Minum obat seperti yang dianjurkan dokter. Banyak makan sayur dan buah. Hindari makanan yang kurang sehat. Lakukan olah raga yang sesuai. Dan jangan lupa berdoa.

Gampang kan?

Memang, teori itu selalu lebih mudah dari praktiknya.

Contohnya, ya aku ini… Baru 3 tahun, eh, kankernya muncul lagi. Kali ini dia menyerang tulang. Dalam istilah kedokteran disebut metastasis ke tulang. Karena itu, maka aku naik kelas. Dulu stadium II B, sekarang sudah stadium IV. Aku lupa, apakah IV A atau B …

Mula2 dokter memberiku aromasin, pil yang harus diminum tiap hari untuk menghambat penyebaran sel-sel kanker. Kemudian tiap bulan aku diinfus zometa untuk menguatkan tulang, lalu disuntik zoladex untuk menghambat produksi hormon estrogen yang dapat memicu penyebaran sel kanker.

Karena kanker makin menyebar, maka akhirnya dokter menyuruhku kemo.

Setelah kemo selesai, aku berkunjung ke tempat praktik bu dokter di NUH hari Jumat kemarin (24 September 2010) dengan membawa hasil tes darah, bone scan dan CT scan, seperti yang diminta.

Untuk bone scan, ga terlalu masalah, meskipun semua proses makan waktu lebih dari 3 jam. Yang bikin stres adalah CT scan. Bukan soal puasanya…. Karena yang akan diperiksa adalah perut, dan perlu “kontras” agar hasilnya dapat dibaca dengan baik, maka suster memberiku obat yang dimasukkan melalui dubur. Rasanya aduuuuuuh.. sangat tidak nyaman.

Untungnya, petugas di ruang CT scan RS PIK sangat cekatan dan baik (nggak judes seperti si mbak berambut panjang yang bertugas di bagian pendaftaran/penerimaan tamu).

Hasil CT scan aku ambil keesokan harinya. Sebelumnya aku sudah minta agar hasil ditulis dalam bahasa Inggris dan hal itu sudah disanggupi oleh petugas. Karena itu aku protes ketika mendapatkan hasil dalam bahasa Indonesia.

“Kalau begitu nanti kita terjemahkan dulu. Tapi hasilnya baru bisa besok siang,” kata petugas. “Apa mau dikirim lewat email?”

“Ya, mas. Tolong kirim lewat email saja,” kataku.

Ketika aku sedang menulis alamat email di secarik kertas yang diberikan oleh mas itu, datanglah atasan si mas. Bapak berbadan tidak tinggi dan perut tidak rata.

“Di fax saja, Bu,” katanya.

“Email saja, Pak. Saya nggak punya fax di rumah.”

“Kalau mau di-email harus bikin surat pernyataan.”

“Ribet amat sih. Pak, boleh saya ketemu dengan dokternya?”

Ketika pak dokter datang, aku bertanya mengenai hasil CT scan. Menurut pak dokter, hasilnya bagus. Mengenai hasil yang seharusnya ditulis dalam bahasa Inggris, karena sifatnya rahasia, dokter menyuruhku membuat surat permohonan agar hasil dikirim melalui email.

“Bapak saja yang menuliskan. Nanti saya tinggal tanda tangan,” kataku dengan nada sangat judes. (nyesel juga judes kayak gitu.. maap ya pak..)

Bukan ke pak dokter lho… tapi ke pak admin yang badannya tidak tinggi dan perutnya tidak rata itu…

Keesokan harinya, pagi2 aku sudah menerima email berisi hasil CT scan yang ditulis dalam bahasa Inggris.

Trims ya pak..

Hasil CT scan memang bagus. Tidak ada penyebaran ke bagian tubuh yang lain seperti paru-paru, hati, ginjal dll.

Hasil tes darah, termasuk tumor marker, juga bagus. Semuanya normal, kecuali Hb yang agak rendah sedikit.

Hasil bone scan juga bagus karena terjadi penurunan aktivitas dibandingkan dengan kondisi sebelum kemo. Tetapi kanker itu masih ada di sana.

“You are doing well,” kata bu dokter.

Tapi gimana ya dok… kenapa kanker itu masih saja bercokol di tulangku?

“Ini kan stadium lanjut. Tapi sudah bagus, ada kemajuan. Dan yang penting adalah tidak ada penyebaran ke organ tubuh yang lain,” kata bu dokter.

“Gimana dok caranya supaya kankernya bisa dibasmi sampai tuntas?”

“Bedoa ya,” katanya.

Iya dok… Memang doa itu penting.

Terus, selain itu apa?

“Mungkin perlu radiasi. Tapi nggak sekarang. Kan ini baru abis kemo,” kata bu dokter.

Masih untung…. Coba kalo harus langsung radiasi… aduuhhh.

Sementara itu, bu dokter menyuruhku melanjutkan suntik bulanan zoladex, infus zometa dan minum obat anastrazole (arimidex).

Konsultasi berikutnya dijadwalkan bulan Januari 2011.

Friday, September 10, 2010

Kemo telah berlalu

Akhirnya… selesai sudah. Proses kemo yang melelahkan telah berakhir dengan aman dan damai tanpa pertumpahan darah.

Memang tak sampai tumpah ruah seperti air bah. Tapi darah sempat menetes-netes ketika jarum infus dicabut seusai kemo yang kesekian sekitar bulan Juli 2010. Seharusnya, begitu jarum ditarik, lubang bekas tusukan jarum di urat nadi ditekan selama beberapa saat supaya darah tidak keluar. Tapi rupanya suster lagi kurang konsentrasi sehingga lupa menekannya..
Ya sudahlah. Biarpun sempat ada sedikit gangguan, secara umum seluruh proses kemo yang dimulai pada tanggal 26 Maret 2010 dan berakhir 28 Agustus 2010 itu boleh dibilang berjalan lancar.

Kemoterapi atau chemotherapy adalah terapi atau pengobatan dengan menggunakan chemicals atau toxic drugs untuk memperlambat atau meniadakan penyebaran kanker. Oabt dimasukkan melalui aliran darah untuk meracuni sel-sel kanker yang tumbuh pesat. Sebagai efek sampingannya, sel-sel dan organ tubuh yang sehat dapat terganggu sehingga pasien bisa mual, kehilangan rambut atau kekurangan darah.

Setelah dicampur dengan cairan infus, obat masuk ke tubuh melalui urat nadi yang ditusuk dengan jarum infus. Selain obat kemo, ada juga obat lain seperti vitamin, obat anti mual dan anti shock serta anti penyok. Salah satu obat mengandung obat tidur sehingga ditengah-tengah proses kemo, aku pasti tertidur, biarpun rata-rata hanya sekitar 30 menit. Proses kemo sendiri berlangsung sekitar 3 jam, tapi biasanya aku menghabiskan waktu minimal 5 jam karena ada persiapan kemo dan proses administrasi, termasuk urusan pembayaran yang biasanya makan waktu agak lama.

Proses kemo yang aku jalani terdiri dari 6 putaran. Setiap putaran lamanya 4 minggu dan terdiri dari 3x kemo yang dilakukan seminggu sekali (kadang2 maju atau mundur sehari, tergantung jadwal dokter). Setelah 3x kemo, minggu ke-4 libur.

Jumlah total kemo mencapai 18. Betul, delapan belas! Kebayang ga sih seperti apa rasanya... Dikemo sekali aja ga enak, apalagi 18x.

Kalau dipikir-pikir dan dibayangin, ngeriiii. Tapi setelah dijalani, ternyata tak sehoror yang dibayangkan... Mula-mula terasa sedikit sakit waktu ditusuk jarum. Setelah itu, rasanya ya seperti diinfus biasa saja, tidak sakit. Bisa sambil ngobrol dan nonton TV.

Yang rada repot, kalau mau ke kamar mandi. Selang infus tidak bisa dicopot, jadi botol berisi cairan infus yang sudah dicampur obat itu harus ikut dibawa berikut tiang infusnya....

Selain itu, tangan kiri yang urat nadinya dimasuki obat juga lumayan pegal karena tak boleh banyak digerakkan. Seringkali aku juga merasa kedinginan, terutama di bagian lengan dan tangan kiri. Kalau beruntung, aku bisa mendapat selimut berbahan flanel atau selimut berisi busa. Tapi biasanya aku hanya kebagian selimut tipis terbuat dari bahan katun putih yang tampaknya juga berfungsi sebagai seprei.

“Nanti jam 2, laundry-nya baru datang,” begitu tanggapan suster pada suatu pagi menjelang siang ketika aku meminta selimut yang agak tebal.

Pada kemo yang terakhir, aku berangkat dari rumah jam 8 lewat dikit. Tak sampai satu jam sudah sampai di RS. Tapi pulangnya makan waktu sekitar 3 jam. Macetnya minta ampun.. . Pasti karena banyak orang berbelanja untuk kebutuhan Lebaran.

Dua minggu telah berlalu.. Secara fisik seringkali badan masih terasa agak lemes. Secara nonfisik, ya jelas lebih baik karena rasa syukur, lega dan gembira yang muncul seiring dengan berakhirnya proses kemo.

Monday, September 6, 2010

Tuhanku Tuhanmu

"Banyak2lah berdoa.” Begitu kata seseorang ketika mengetahui bahwa aku kena kanker stadium 4.

Doa memang perlu. Doa bisa membuat kita lebih tenang. Berkat doa, kanker bisa hilang.

“Di gereja itu ada penyembuhan. Pendetanya hebat. Orang kanker bisa sembuh total..Pergilah ke sana minta didoakan supaya sembuh.” Anjuran semacam itu telah aku dengar berkali-kali.

Doa bisa mendatangkan keajaiban. Hal ini diyakini bukan hanya oleh orang Kristen, tapi juga orang Islam, Buddha, Hindu dan yang lain.

Semua agama pada intinya sama2 baik. Itu kalo kita mau ngomong yg baik2. Yang tidak terlalu baik juga ada. Misalnya kelompok garis keras yang tindak tanduknya dikecam banyak pihak (kayak rusa aja ya, punya tanduk….).

Temanku di kantor pernah mengeluh tentang adiknya yang berubah menjadi aneh dan tidak lagi peduli terhadap keluarga setelah mengikuti aliran tertentu dari agama Islam yang dianutnya. Teman lain bercerita tentang tantenya yang berhenti mengikuti pengajian karena merasa kurang sreg dengan ceramahnya yang pro-teroris.

"Katanya teroris itu tidak bersalah. Mereka malahan menyalahkan polisi yang menangkap teroris," katanya.

Ih, kok bisa ya, punya pemikiran seperti itu.

Ajaran yang dianggap melenceng juga terdapat dalam agama Kristen. Ada sekte di Texas yang menerapkan.poligami. Pendetanya sendiri memiliki 6 istri, puluhan anak dan lebih dari seratus cucu (kalah deh keluarga kelinci). Angka tepatnya aku lupa, tapi ada di majalah National Geographic edisi awal tahun ini. Anak laki-laki pendeta itu juga memiliki beberapa istri. Kenapa anak perempuannya tidak disuruh menganut poliandri? Soalnya sekte itu yakin bahwa salah satu misi mereka adalah beranak pinak sebuanyak-buanyaknya. Mungkin karena itulah ia mendorong poligami, bukan poliandri.

Aku percaya Tuhan tapi bukan orang yg terlalu religious dan tidak rajin mengikuti ritual agamis. Minggu kemarin ketika menemani orang tua ke gereja, aku mendengar bacaan Alkitab yang diambil dari injil Lukas. Isinya kira2 begini: Kalau mau menjadi pengikut Yesus, tingalkanlah istri, anak-anakmu dan orang tuamu.

Apa...???

Menurut pendeta, kalau kita ingin menjadi pengikut Yesus, maka kita harus melupakan keluarga kita, bahkan melupakan diri sendiri.

Lalu disebutkan bahwa ada orang tidak naik pangkat karena ia Kristen. Ada yang hidupnya menderita karena ia Kristen. Hidup sebagai orang Kristen berat karena harus memikul salib. Tapi kita harus yakin bahwa nanti pada akhirnya akan ada perubahan.

Kira-kira begitulah inti kotbah yang aku tangkap. Yach, kurang lebih seperti peribahasa “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”.

Tapi sebetulnya aku merasa kuatir karena ayat serta kata-kata yang disampaikan pendeta bisa diinterpretasikan secara harafiah dan menimbulkan hal-hal yang hil-hil.

Aku jadi ingat keluhan teman yang adiknya berubah dan tak lagi menghiraukan keluarganya setelah menjadi pengikut aliran tertentu dalam agama Islam.

Sekali lagi, semua agama itu baik dan ajarannya juga tentunya baik. Hanya saja interpretasinya bisa berbeda. Perbedaan itu biasa dan tak perlu dikuatirkan. Yang bikin kuatir adalah kalau mengarah ke hal yang tidak baik sehingga bisa mengganggu bukan saja kerukunan dalam keluarga dan juga dalam skala yang lebih besar...

Karena itu marilah kita berdoa agar semuanya baik2 saja. Amin...

Friday, September 3, 2010

Wanted: (more than) Korek Kuping

Tulisan ini secara langsung tak ada hubungannya dengan kanker. Tapi secara tak langsung, ada juga kaitannya. Kartu kredit bisa digunakan untuk membayar biaya kemo di RS, juga CT Scan, Bone Scan, MRI, pemeriksaan lab dll. (hehehe.. maksa ya)
By the way ... Breast implants and diamond-studded bikinis: Credit cards

Legislators and customer service officers have something in common: many of them need Q-tips for their ears.

Legislators often turn deaf ears to people’s aspirations. Many find it easy to dismiss public criticism while defending their proposal to establish an “aspiration home” in each respective electoral district at a cost to the state of Rp 112 billion (US$12 million) per year.

Like legislators, many customer service officers are also notorious for hearing disabilities. Credit card customer service officers may be one of the best examples. You may talk to them, complaining about why you should not have to pay for things you haven’t even thought of purchasing, such as  breast implants, a diamond-studded bikini or plane tickets to Sierra Leone.

You may have a simple request, like asking them to send your statements to a new postal address. They promise their assistance but time passes and their promises remain unfulfilled.

Who hasn’t heard this line a thousand times before, “Should you need assistance, please contact our 24-hour hotline and our customer service officers will be happy to assist you.”  

But making a simple phone call often takes more time, energy and patience than anticipated. We are told to push this button and then that button and asked to answer personal questions like: When is your birthday? What is your mother’s maiden name? What was your first girlfriend’s (or boyfriend’s) name?

What is your wildest dream? Do you snore or have insomnia?

Credit cards can trigger “shopaholism,” which can lead irresponsible cardholders to bankruptcy even while the bank continues to increase credit limits to several times more than the cardholder’s monthly income, sometimes without approval and without providing information about changing interest rates.   

But credit cards can also make our lives easier, and at times can even be our best friends, as long as we know how to use them wisely. Alas, my 15-year-old relationship with my best friend is now at stake.

Here is the story. Earlier this year, as a responsible and loyal credit card holder, I received an offer to acquire another card which would allow me a 50 percent discount and cashback options on certain products at a particular hypermarket.

But, I decided to cancel it after two or three months because I didn’t shop that much.

Then in mid June, I started receiving phone calls reminding me to pay the outstanding bill for my first credit card account. I explained that I had paid my bill through Internet banking, but agents kept calling my cell phone and I was bombarded by text messages from unknown sources offering me loans. Finally, I realized that I made the payment to my second credit card account. But it was too late. My original card service had already charged me a Rp 50,000 late payment fee and a Rp 334,783 interest charge.

Ok. It was my fault. But why didn’t the bank reject the money transfer to a defunct account? There was nothing I could do other than pay the fees and call the bank.

“Yes, we can help you transfer the money from the defunct account to your other account. Please send proof of your transaction by fax.”

I did what I was told in hopes that soon everything would be rectified. But debt collectors kept calling me and eventually my credit card was blocked.

I was tempted to hire thugs disguised as members of a xenophobic hard-line organization to force the American bank to immediately fix my problem so I could use my credit card to buy a gift for my mom’s birthday.

As a good citizen, however, I called the bank instead.   

I had made many calls and talked to many different people, including Yongyong, Vitvit, Numnum, Chelchel, Bibi and Erer, all of whom promised to accelerate the process of investigating erroneous payments made to my defunct credit card account and transfer them to my other card account.

What I received was a confusing electronic statement.

The total bill for these services reached several million rupiah — the amount of money mistakenly transferred to my defunct credit card account early in June. My available credit limit was also extended by that amount and a Rp 450,974 interest charge printed in the transaction details.

From my conversation with these bank officers, I conclude that there may be something more serious than a hearing impairment — one that cannot be cured with an ear pick. The same thing applies to legislators. They might hear what people say, but they don’t listen. They are insensitive and may have lost their conscience.

— T. Sima Gunawan

Quiz of the day: What is the name of the bank which issues my credit card? 

Ketika suster kecopetan hape

Tingkat kesulitan tusuk-menusuk itu relatif. Ada yang gampang, misalnya menusuk daging buat bikin sate. Yang susah adalah menusukkan jarum infus ke urat nadi yang halus, seperti urat nadi bayi atau urat nadiku.

Kalau suster kurang ahli, bisa saja aku ditusuk sampai 3x sebelum jarum infus berhasil terpasang dengan baik. Dan itu juga berarti aku harus lebih banyak meringis menahan sakit.

Karena itu aku sangat berterima kasih pada suster2 yg jago tusuk. Bu dokter juga sama gembiranya kalau proses penusukan berjalan lancar.

Salah seorang suster di RS yang pandai menusuk dan baik hati adalah Suster Yolanda.

“Suster, bagi nomor hapenya dong,” kata bu dokter ketika aku menjalani kemo ke-17 pada di bulan Agustus kemarin.

“Ga ada dok. Hape saya dicopet di bis,” kata suster, sambil menambahkan sejumlah uang ikut raib.
“Suster, biasanya pake GSM atau CDMA?” aku bertanya.

“Saya pake GSM,” jawabnya.

Aku punya hape yang tidak terpakai. Barangkali suster mau  menerimanya. Tapi sebelum aku sempat mengutarakan maksud tsb, terdengar suara bu dokter.

“Nanti saya kasih. Saya punya Sony Erickson. Masih baru. Baru saya pakai 1x, tapi saya tak pakai. Saya ada yang lain,” katanya bersemangat.

Aku jadi malu.... solnya yg mau aku kasih itu hape Nokia jadul...

Bu dokter memang baik.

Hari itu RS penuh. Hanya ada kamar VIP yang tersisa untuk kemo. Kalau jadwal kemo diubah, agak sulit karena jadwal bu dokter yang padat. Akhirnya dengan berat hati, kemo terpaksa dilakukan di kamar itu.

“Kalau VIP nambah berapa? Pasti mahal. Nanti ongkos dokternya free saja,” kata bu dokter yang memang sering membantu pasien yang kurang mampu.

“Ah, jangan dok...,” kataku. Soalnya kan ga enak juga sama bu dokter yang menghabiskan waktu 3 – 4 jam untuk proses kemo.

Tentu saja bu dokter tidak berubah pikiran.

Bahkan pada kemo yang berikutnya pada tanggal 28 Agustus 2010, yang merupakan kemo terakhirku (horeee...), ia juga tidak meminta bayaran. Hal itu haru aku ketahui ketika akan membayar biaya RS di kasir.

Thank you, doc.