Sunday, March 28, 2010
Akhirnya kemo juga …
Pas hari raya Nyepi tgl. 16 Maret 2010, ketika umat Hindu Bali mengurung diri di rumah, aku malah jalan2 dan menikmati keramaian sepanjang hari. Lha emang aku kan nggak ngerayain Nyepi.
Meskipun di sini libur, tapi di Singapur hari itu adalah hari kerja. Hari itu aku dijadwalkan untuk berkonsultasi dengan Dr. Tan Sing Huang di NUH pada jam 10 pagi. Bersama teman lamaku, Retno, aku tiba pada hari Senin dan menginap di apartemen teman kita, Lewa, yang memiliki koleksi segudang batik dan kain2 tua.
Jam 9 pagi, kita sampai di NUH. Di sana sudah ada beberapa pasien juga. Ketika sedang menunggu, tiba2 datang seorang petugas membagi-bagikan sebungkus kecil biskuit, crackers. Oh, baru tau lho ada servis seperti itu. Biasanya sih aku selalu datang untuk berkonsultasi sekitar jam 14 dan nggak pernah dikasih biskuit..
Kalau minuman hangat dari dulu memang disediakan. Kita bisa mengambil sendiri melalui mesin pembuat minuman. Ada capucino, milo, mocca, teh tarik dll. Selimut juga tersedia bagi mereka yang memerlukan. Maklum AC-nya dingin sekali.
Pada kedatanganku kali ini aku membawa hasil CT scan lengkap, termasuk pemeriksaan kepala, untuk melihat apakah ada penyebaran ke otak atau organ tubuh lain. Juga hasil bone scan. Semua pemeriksaan dilakukan di Jakarta untuk menghemat biaya Sebelumnya, hasil MRI sudah aku kirim terlebih dahulu ke sana melalui DHL, karena bu dokter ingin sekali segera melihat hasilnya. Mahal banget lho ongkosnya, Rp 320 ribu. Hampir sama dengan tiket promo Jkt-Sgp…
Seperti biasa, bu dokter selalu membahas hasil pemeriksaan dari Jakarta dengan rekannya yang dokter ahli radiologi. Hasil analisa dokter radiologi di Jakara dan di Singapur tidak selalu sama. Misalnya, dulu dokter di Jakarta mencurigai adanya penyebaran kanker di dinding luar paru-paru. Tetapi menurut dokter di Singapura, tidak ada penyebaran itu. Lalu pada hasil MRI yang terakhir ini, dokter di Jakarta menyebutkan adanya kompresi ringan pada tulang belakang yang mengenai selubung sumsum tulang dural dan akar syaraf. Tapi kata dokter di NUH, tidak ada “cord compression atau significant nerve root impringement.”
Setelah menunggu sekitar satu setengah jam, baru dokter memanggilku. Kali ini konsultasinya lamaaaaa sekali. Hampir 1 jam.
Ada dua kesimpulan. Yang pertama, kaki kananku yg lemah, yg sakit kalo dipakai berjalan, nggak ada hubungannya dengan kanker. Tadinya diduga ini karena kanker sudah menyerang tulang panggul, terutama bagian kanan. Tapi karena jalanku semakin terpincang-pincang timbul kekhawatiran kalau sumsum tulang belakang terkena kanker. Ini gawat sekali karena jika tidak ditangani segera, bisa lumpuh. Kekhawatiran lain adalah penyebaran kanker di otak. Ada kemungkinan kaki melemah karena perintah dari otak ke kaki kanan nggak nyampe…. gara2 otaknya sudah nggak beres. Untunglah otakku masih normal.
“Untuk kaki yang melemah ini, perlu ke dokter syaraf,” kata bu dokter. “Sudah didaftarin nanti hari Senin di sini.”
“Aduh, saya nggak sanggup dok, kalau harus bolak-balik terus ke Singapur. Selain repot ninggalkin kerjaan, juga berat di ongkos. Nanti saya periksa di Jakarta saja,” kataku sambil mengeluh dalam hati: “Kena kanker saja sudah susah setengah mati, ini kok masih dapet bonus sakit saraf- eh maksudnya sakit saraf ini bukan gila, lho, tapi ya itu, syaraf yg bermasalah sehingga aku jalannya pincang.”
Tapi di lain sisi, aku bersyukur juga karena ternyata sumsum tulang belakang dan otakku masih bebas dari kanker.
Kesimpulan kedua. Setelah melihat hasil bone scan, dokter menganjurkan agar aku menjalani kemoterapi. Dari hasil bone scan, tampak ada penyebaran baru di tulang belakang dan aktivitas yang semakin meningkat, khususnya di tulang panggul kanan.
Untuk kemo ini ada dua alternatif.
Alternatif pertama: kemo dilakukan setiap minggu selama enam sampai delapan putaran. Satu putaran terdiri dari 3x kemo. Jadi selama tiga minggu berturut-turut, aku harus kemo. Minggu ke-4 libur. Asyik juga ya, dapat libur. Lalu pada minggu berikutnya putaran ke-2 dimulai. Begitu seterusnya sampai minimal 6 putaran atau 18x kemo.
Alternatif kedua: kemo dilakukan setiap tiga minggu selama enam sampai delapan putaran.
Tapi doker menyarankan dengan amat sangat agar aku mengambil alternatif pertama karena lebih efektif. Selain itu secara keseluruhan biaya untuk alternatif kedua bisa 2x lipat dari alternatif pertama.
“Kemonya mulai minggu depan ya,” kata bu dokter.
Untuk menekan biaya, aku akan menjalani kemo di Jakarta, dan bu dokter tidak keberatan dan berjanji akan mengirimkan rincian prosedur kemo serta obat2 yang diperlukan melalui email.
Beberapa hari kemudian, datanglah email dari bu dokter disertai medical report dan rincian kemo yang ditujukan untuk dokter yang akan menangani kemo di Jakarta. Medical reportnya sendiri satu halaman penuh, berisi riwayat kankerku dari pertama kali serta perkembangannya sampai saat ini, sedangkan rincian untuk kemo satu setengah lembar. Yang ditulis adalah kemo dengan alternatif pertama, yaitu yang mingguan. Sedangkan alternatif kedua sama sekali tidak disinggung.
Aku percaya kalau memang alternatif pertama yang terbaik, jadi ya.. aku menurut saja.
Sebelum berkonsultasi dengan dokter ahli di Jakarta. Aku terlebih dahulu mencari informasi di internet mengenai obat kemo yang akan dipakai, yaitu Paclitaxel. Dari sana aku mengetahui bahwa Kalbe memproduksinya dengan merek dagang Paxus. Belakangan aku baru tahu ada beberapa perusahaan obat yang memproduksinya dengan merek dagan lain.
Mula-mula aku telepon Kalbe untuk menanyakan harganya, tapi ia tidak melayani perorangan dan aku diminta menghubungi apotik rekanannya. Ketika aku tanya apakah ada program bonus, ternyata ada, yaitu beli 5 gratis 1. Lumayan juga ya, mengingat harganya yang mahal.
Lalu aku cek harga di apotik rekanan Kalbe, ternyata Rp 2.860.000 untuk dosis 100 ml dan Rp 998.000 untuk yang 30 ml. Harga di YKI Rp 2.530.000 dan Rp 907.000 sedangkan Dharmais Rp 243.000 dan Rp 870.000. Tumben YKI lebih mahal dari Dharmais ya?
Sekali kemo diperlukan 116 ml. Tapi karena obat yang ada dosisnya 100 ml dan 30 ml, maka dikurangi 1 ml, supaya sekali membeli obat dalam botol berdosis 30 ml dapat dipakai selama 2x kemo.
Di YKI dan Dharmais, menurut petugas, tidak ada program bonus. Sedangkan di Kalbe, melalui apotik rekanannya, setelah aku cek ulang, ternyata program 5 bonus satu artinya, setelah 5 putaran, maka putaran ke-6 gratis. Jadi bukan setelah 5x pembelian lalu gratis 1.
Dalam konsultasi dengan seorang dokter, aku menanyakan tentang harga obat. Segera dokter menghubungi apotik di RS tsb dan memberitahukan bahwa harga obat dengan merek dagang anu untuk dosis 100 ml sebesar Rp 4 juta sekian. Aku lupa apa merek dagang obat itu.
“Dok, katanya ada Paxus. Harganya bukannya lebih murah ya?”
“Paling beda tipis,” kata dokter.
Aku hanya mengangguk-angguk saja.
Sebetulnya di Jakarta ini aku juga sudah punya langganan dokter, yaitu dr. Winarti. Dia bukan dokter spesialis ahli kanker. Tetapi punya banyak pengalaman dalam menangani pasien kanker. Dr. Win juga menjadi semacam “asisten” untuk seorang dokter yang berpraktik di RS Mt Elizabeth yang mengajarinya bagaimana menangani kemo dan merawat pasien penderita kanker. Dengan demikian pasien dari dokter itu tidak perlu bolak balik ke Singapura untuk kemo..
Setiap 4 minggu sekali aku menemui dr. Winarti untuk suntik hormon Zoladex dan infus Zometa untuk menguatkan tulang. Khusus untuk kemo yang frekuensinya tinggi ini, dr. Winarti juga menganjurkan aku agar menghubungi dokter lain karena mungkin saja suatu saat ia berhalangan.
Singkat cerita, akhirnya aku jadi menjalani kemo yang pertama bersama dr. Win pada hari Jumat, 26 Maret 2010 di sebuah RS swasta.
Pada hari Kamis, aku harus menjalani pemeriksaan darah dan urin. Aku agak khawatir kalau hasilnya jelek karena malam sebelumnya aku hanya tidur kurang dari 3 jam. Lembur gara2 ada kerjaan. Sebetulnya salahku juga karena … pikun., lupa hari. Tapi untunglah tes yg dilakukan di RSIB dekat rumah ini hasilnya cukup bagus. Mungkin karena sebelum berangkat aku makan banyaaakkk…
Siangnya aku ke Dharmais untuk membeli obat.
“Yang 100 mg habis. Beli saja yang dosis 30 ml sebanyak 4 dos,” kata petugas.
“Lho? Habis? Kemarin saya telepon, katanya ada. Lagipula kalau beli yang 30 milian kan jatuhnya jadi mahal.”
“Emang kemonya kapan?”
“Besok pagi.”
Lalu petugas berkonsultasi dengan rekannya.
“Ada tapi di lantai 3. Tunggu ya,” kata rekannya. Di lantai 3 ada apotik juga, yang khusus melayani pasien rawat inap.
Ah, lega sekali. Akhirnya aku berhasil mendapatkan obat itu beserta alat2nya.
Eh, pas mau kemo pada keesokan harinya, ternyata ada masalah teknis. botol infus dan selangnya salah. Seharusnya digunakan yang terbuat dari bahan khusus, kalau tidak, plastiknya bisa termakan obatnya.
“Jangankan di Dharmais, di Singapur saja bisa saja terjadi kesalahan seperti itu,” kata dr. Win dengan bijaksana.
Bu dokter punya persediaan botol infus yang ditaruh di mobilnya, tetapi selangnya ga ada. Selang infus ini harganya tidak mahal, tapi sulit dicari, hanya ada di RS dan apotik tertentu.
Bu dokter segera menelpon apotik langganannya yang banyak menjual obat2 kanker. Jawabannya nihil.
Aduh, gimana dong…
“Coba saya telepon bosnya,” kata dr. Win.
Dihubunginya pemilik apotik, yang memberikan jawaban lain. Bisa diusahakan, katanya.
Syukurlah.....
Setelah menunggu hampir 2 jam akhirnya selang infus datang. Lama sekali karena ternyata apotik itu memang tak punya persediaan dan harus mangambilnya di RSCM.
Akhirnya kemo dimulai setelah jam 3 sore... Proses kemo, kalo menurut resep dokter dari NUH, hanya 2 jam. Tapi kemarin hampir 3 jam, berhubung ini baru yg pertama dan dokter nggak mau cepat2 mengerjakannya, ia ingin melihat efeknya dahulu. Selain itu ia menambahkan satu botol cairan untuk mengingkatkan stamina tubuh ... Syukurlah... semuanya berjalan lancar...
Dulu... 5 tahun yll aku juga pernah kemo. Aku juga ga merasa mual atau pusing atau mabok. Tapi setelah kemo ke-3, rambut rontok dan pada kemo selanjutnya mulai sariawan....
Kali ini aku juga baik2 aja. Tidak mual atau pusing. Selama kemo sempat ngantuk sekali karena pengaruh obat. Tapi hanya sementara.
Aku ke RS diantar temanku Dewi, yang juga telah siap untuk nyetirin mobil pulang, untuk jaga2 kalau aku teler setelah kemo. Berhubung aku merasa baik2 saja, ya ga masalah. Aku bisa bawa mobil pulang ... :)
Meskipun di sini libur, tapi di Singapur hari itu adalah hari kerja. Hari itu aku dijadwalkan untuk berkonsultasi dengan Dr. Tan Sing Huang di NUH pada jam 10 pagi. Bersama teman lamaku, Retno, aku tiba pada hari Senin dan menginap di apartemen teman kita, Lewa, yang memiliki koleksi segudang batik dan kain2 tua.
Jam 9 pagi, kita sampai di NUH. Di sana sudah ada beberapa pasien juga. Ketika sedang menunggu, tiba2 datang seorang petugas membagi-bagikan sebungkus kecil biskuit, crackers. Oh, baru tau lho ada servis seperti itu. Biasanya sih aku selalu datang untuk berkonsultasi sekitar jam 14 dan nggak pernah dikasih biskuit..
Kalau minuman hangat dari dulu memang disediakan. Kita bisa mengambil sendiri melalui mesin pembuat minuman. Ada capucino, milo, mocca, teh tarik dll. Selimut juga tersedia bagi mereka yang memerlukan. Maklum AC-nya dingin sekali.
Pada kedatanganku kali ini aku membawa hasil CT scan lengkap, termasuk pemeriksaan kepala, untuk melihat apakah ada penyebaran ke otak atau organ tubuh lain. Juga hasil bone scan. Semua pemeriksaan dilakukan di Jakarta untuk menghemat biaya Sebelumnya, hasil MRI sudah aku kirim terlebih dahulu ke sana melalui DHL, karena bu dokter ingin sekali segera melihat hasilnya. Mahal banget lho ongkosnya, Rp 320 ribu. Hampir sama dengan tiket promo Jkt-Sgp…
Seperti biasa, bu dokter selalu membahas hasil pemeriksaan dari Jakarta dengan rekannya yang dokter ahli radiologi. Hasil analisa dokter radiologi di Jakara dan di Singapur tidak selalu sama. Misalnya, dulu dokter di Jakarta mencurigai adanya penyebaran kanker di dinding luar paru-paru. Tetapi menurut dokter di Singapura, tidak ada penyebaran itu. Lalu pada hasil MRI yang terakhir ini, dokter di Jakarta menyebutkan adanya kompresi ringan pada tulang belakang yang mengenai selubung sumsum tulang dural dan akar syaraf. Tapi kata dokter di NUH, tidak ada “cord compression atau significant nerve root impringement.”
Setelah menunggu sekitar satu setengah jam, baru dokter memanggilku. Kali ini konsultasinya lamaaaaa sekali. Hampir 1 jam.
Ada dua kesimpulan. Yang pertama, kaki kananku yg lemah, yg sakit kalo dipakai berjalan, nggak ada hubungannya dengan kanker. Tadinya diduga ini karena kanker sudah menyerang tulang panggul, terutama bagian kanan. Tapi karena jalanku semakin terpincang-pincang timbul kekhawatiran kalau sumsum tulang belakang terkena kanker. Ini gawat sekali karena jika tidak ditangani segera, bisa lumpuh. Kekhawatiran lain adalah penyebaran kanker di otak. Ada kemungkinan kaki melemah karena perintah dari otak ke kaki kanan nggak nyampe…. gara2 otaknya sudah nggak beres. Untunglah otakku masih normal.
“Untuk kaki yang melemah ini, perlu ke dokter syaraf,” kata bu dokter. “Sudah didaftarin nanti hari Senin di sini.”
“Aduh, saya nggak sanggup dok, kalau harus bolak-balik terus ke Singapur. Selain repot ninggalkin kerjaan, juga berat di ongkos. Nanti saya periksa di Jakarta saja,” kataku sambil mengeluh dalam hati: “Kena kanker saja sudah susah setengah mati, ini kok masih dapet bonus sakit saraf- eh maksudnya sakit saraf ini bukan gila, lho, tapi ya itu, syaraf yg bermasalah sehingga aku jalannya pincang.”
Tapi di lain sisi, aku bersyukur juga karena ternyata sumsum tulang belakang dan otakku masih bebas dari kanker.
Kesimpulan kedua. Setelah melihat hasil bone scan, dokter menganjurkan agar aku menjalani kemoterapi. Dari hasil bone scan, tampak ada penyebaran baru di tulang belakang dan aktivitas yang semakin meningkat, khususnya di tulang panggul kanan.
Untuk kemo ini ada dua alternatif.
Alternatif pertama: kemo dilakukan setiap minggu selama enam sampai delapan putaran. Satu putaran terdiri dari 3x kemo. Jadi selama tiga minggu berturut-turut, aku harus kemo. Minggu ke-4 libur. Asyik juga ya, dapat libur. Lalu pada minggu berikutnya putaran ke-2 dimulai. Begitu seterusnya sampai minimal 6 putaran atau 18x kemo.
Alternatif kedua: kemo dilakukan setiap tiga minggu selama enam sampai delapan putaran.
Tapi doker menyarankan dengan amat sangat agar aku mengambil alternatif pertama karena lebih efektif. Selain itu secara keseluruhan biaya untuk alternatif kedua bisa 2x lipat dari alternatif pertama.
“Kemonya mulai minggu depan ya,” kata bu dokter.
Untuk menekan biaya, aku akan menjalani kemo di Jakarta, dan bu dokter tidak keberatan dan berjanji akan mengirimkan rincian prosedur kemo serta obat2 yang diperlukan melalui email.
Beberapa hari kemudian, datanglah email dari bu dokter disertai medical report dan rincian kemo yang ditujukan untuk dokter yang akan menangani kemo di Jakarta. Medical reportnya sendiri satu halaman penuh, berisi riwayat kankerku dari pertama kali serta perkembangannya sampai saat ini, sedangkan rincian untuk kemo satu setengah lembar. Yang ditulis adalah kemo dengan alternatif pertama, yaitu yang mingguan. Sedangkan alternatif kedua sama sekali tidak disinggung.
Aku percaya kalau memang alternatif pertama yang terbaik, jadi ya.. aku menurut saja.
Sebelum berkonsultasi dengan dokter ahli di Jakarta. Aku terlebih dahulu mencari informasi di internet mengenai obat kemo yang akan dipakai, yaitu Paclitaxel. Dari sana aku mengetahui bahwa Kalbe memproduksinya dengan merek dagang Paxus. Belakangan aku baru tahu ada beberapa perusahaan obat yang memproduksinya dengan merek dagan lain.
Mula-mula aku telepon Kalbe untuk menanyakan harganya, tapi ia tidak melayani perorangan dan aku diminta menghubungi apotik rekanannya. Ketika aku tanya apakah ada program bonus, ternyata ada, yaitu beli 5 gratis 1. Lumayan juga ya, mengingat harganya yang mahal.
Lalu aku cek harga di apotik rekanan Kalbe, ternyata Rp 2.860.000 untuk dosis 100 ml dan Rp 998.000 untuk yang 30 ml. Harga di YKI Rp 2.530.000 dan Rp 907.000 sedangkan Dharmais Rp 243.000 dan Rp 870.000. Tumben YKI lebih mahal dari Dharmais ya?
Sekali kemo diperlukan 116 ml. Tapi karena obat yang ada dosisnya 100 ml dan 30 ml, maka dikurangi 1 ml, supaya sekali membeli obat dalam botol berdosis 30 ml dapat dipakai selama 2x kemo.
Di YKI dan Dharmais, menurut petugas, tidak ada program bonus. Sedangkan di Kalbe, melalui apotik rekanannya, setelah aku cek ulang, ternyata program 5 bonus satu artinya, setelah 5 putaran, maka putaran ke-6 gratis. Jadi bukan setelah 5x pembelian lalu gratis 1.
Dalam konsultasi dengan seorang dokter, aku menanyakan tentang harga obat. Segera dokter menghubungi apotik di RS tsb dan memberitahukan bahwa harga obat dengan merek dagang anu untuk dosis 100 ml sebesar Rp 4 juta sekian. Aku lupa apa merek dagang obat itu.
“Dok, katanya ada Paxus. Harganya bukannya lebih murah ya?”
“Paling beda tipis,” kata dokter.
Aku hanya mengangguk-angguk saja.
Sebetulnya di Jakarta ini aku juga sudah punya langganan dokter, yaitu dr. Winarti. Dia bukan dokter spesialis ahli kanker. Tetapi punya banyak pengalaman dalam menangani pasien kanker. Dr. Win juga menjadi semacam “asisten” untuk seorang dokter yang berpraktik di RS Mt Elizabeth yang mengajarinya bagaimana menangani kemo dan merawat pasien penderita kanker. Dengan demikian pasien dari dokter itu tidak perlu bolak balik ke Singapura untuk kemo..
Setiap 4 minggu sekali aku menemui dr. Winarti untuk suntik hormon Zoladex dan infus Zometa untuk menguatkan tulang. Khusus untuk kemo yang frekuensinya tinggi ini, dr. Winarti juga menganjurkan aku agar menghubungi dokter lain karena mungkin saja suatu saat ia berhalangan.
Singkat cerita, akhirnya aku jadi menjalani kemo yang pertama bersama dr. Win pada hari Jumat, 26 Maret 2010 di sebuah RS swasta.
Pada hari Kamis, aku harus menjalani pemeriksaan darah dan urin. Aku agak khawatir kalau hasilnya jelek karena malam sebelumnya aku hanya tidur kurang dari 3 jam. Lembur gara2 ada kerjaan. Sebetulnya salahku juga karena … pikun., lupa hari. Tapi untunglah tes yg dilakukan di RSIB dekat rumah ini hasilnya cukup bagus. Mungkin karena sebelum berangkat aku makan banyaaakkk…
Siangnya aku ke Dharmais untuk membeli obat.
“Yang 100 mg habis. Beli saja yang dosis 30 ml sebanyak 4 dos,” kata petugas.
“Lho? Habis? Kemarin saya telepon, katanya ada. Lagipula kalau beli yang 30 milian kan jatuhnya jadi mahal.”
“Emang kemonya kapan?”
“Besok pagi.”
Lalu petugas berkonsultasi dengan rekannya.
“Ada tapi di lantai 3. Tunggu ya,” kata rekannya. Di lantai 3 ada apotik juga, yang khusus melayani pasien rawat inap.
Ah, lega sekali. Akhirnya aku berhasil mendapatkan obat itu beserta alat2nya.
Eh, pas mau kemo pada keesokan harinya, ternyata ada masalah teknis. botol infus dan selangnya salah. Seharusnya digunakan yang terbuat dari bahan khusus, kalau tidak, plastiknya bisa termakan obatnya.
“Jangankan di Dharmais, di Singapur saja bisa saja terjadi kesalahan seperti itu,” kata dr. Win dengan bijaksana.
Bu dokter punya persediaan botol infus yang ditaruh di mobilnya, tetapi selangnya ga ada. Selang infus ini harganya tidak mahal, tapi sulit dicari, hanya ada di RS dan apotik tertentu.
Bu dokter segera menelpon apotik langganannya yang banyak menjual obat2 kanker. Jawabannya nihil.
Aduh, gimana dong…
“Coba saya telepon bosnya,” kata dr. Win.
Dihubunginya pemilik apotik, yang memberikan jawaban lain. Bisa diusahakan, katanya.
Syukurlah.....
Setelah menunggu hampir 2 jam akhirnya selang infus datang. Lama sekali karena ternyata apotik itu memang tak punya persediaan dan harus mangambilnya di RSCM.
Akhirnya kemo dimulai setelah jam 3 sore... Proses kemo, kalo menurut resep dokter dari NUH, hanya 2 jam. Tapi kemarin hampir 3 jam, berhubung ini baru yg pertama dan dokter nggak mau cepat2 mengerjakannya, ia ingin melihat efeknya dahulu. Selain itu ia menambahkan satu botol cairan untuk mengingkatkan stamina tubuh ... Syukurlah... semuanya berjalan lancar...
Dulu... 5 tahun yll aku juga pernah kemo. Aku juga ga merasa mual atau pusing atau mabok. Tapi setelah kemo ke-3, rambut rontok dan pada kemo selanjutnya mulai sariawan....
Kali ini aku juga baik2 aja. Tidak mual atau pusing. Selama kemo sempat ngantuk sekali karena pengaruh obat. Tapi hanya sementara.
Aku ke RS diantar temanku Dewi, yang juga telah siap untuk nyetirin mobil pulang, untuk jaga2 kalau aku teler setelah kemo. Berhubung aku merasa baik2 saja, ya ga masalah. Aku bisa bawa mobil pulang ... :)
Saturday, March 13, 2010
Polisi oh polisi
Pernah berurusan dengan polisi? Itulah yang aku alami malam-malam setelah mengambil hasil CT scan dari RS Pantai Indah Kapuk.
Ceritanya begini. Hari Selasa (9 Maret 2010) sekitar jam 21:30 aku meninggalkan RS dan langsung masuk ke jalan tol. Biasanya aku keluar di pintu tol Slipi ke arah Permata Hijau lalu melewati jalan arteri Pondok Indah dan Tanah Kusir sebelum masuk tol di Jl. Veteran dan keluar di pintu tol Pondok Aren.
Berhubung ingin cepat2 pulang, aku putuskan untuk lewat tol saja terus sampai rumah. Aku pilih lewat JORR. Sebetulnya ini pilihan yang salah karena jaraknya lebih jauh dibandingkan kalau lewat tol dalam kota. Tapi sudah terlanjur. Tidak apa2, hanya beda sedikit dan yang penting jalannya lancar, nggak macet.
Di tengah jalan, aku sempat bingung. Jalan bercabang. Kalau ke kiri, keluar tol menuju Ancol, kalau ke kanan ke arah Tanjung Priok. Di situ tertulis jelas “Pelabuhan 6 km.”
Seharusnya aku telepon Jasa Marga di nomor 6518350 untuk memperoleh info jalan tol seperti yang pernah aku lakukan. Tapi aku malahan jalan terusss saja ke arah Priok. Lalu jalan bercabang lagi. Kalau ke kiri ke Kemayoran. Ke kanan ke Tanjung Priok. Lagi-lagi ada tulisan “Pelabuhan 5 km”. Aduh, bagaimana ini? Aku harus mengarah ke Cawang, tetapi, kenapa tak ada petunjuknya?
Daripada nyasar sampai ke Priok, akhirnya perlahan-lahan, dengan penuh keraguan aku berjalan pelan2 dan mengarahkan mobil ke kiri, untuk keluar menuju Kemayoran. Yach, paling tidak, kalau pun nyasar di daerah Kemayoran, itu masih agak mending daripada Tanjung Priok.
Eeeehh…. Tiba2 ada polisi muncul dan menyuruhku berhenti. Rupanya ada mobil polisi yang diparkir di tengah jalan, tepat di pada bagian marka jalan, itu lho… yang ada garis2 berwarna putih, pada persimpangan antara jalan tol yang lurus ke Priok dan yang belok ke kiri ke arah Kemayoran. Aneh juga ya, ngapain malam2 polisi markir mobil di situ. Oh.. mungkin mau menolong pengendara yang kebingungan seperti aku ini. Atau… justru sebaliknya, menunggu “mangsa” untuk ditilang atau... diajak damai ?
“Ibu salah. Melanggar marka jalan,” kata polisi itu.
“Iya pak, saya memang bingung banget nih,” jawabku.
“Ibu ini salah. Melanggar marka jalan. Coba saya lihat SIM dan STNK.”
“Coba saya lihat dulu identitas Bapak.”
“Lho, saya ini yang perlu melihat SIM dan STNK ibu.”
“Tidak bisa pak. Bapak harus menunjukkan identitas Bapak terlebih dahulu.”
“Ibu salah. Melanggar marka jalan. Mana SIM dan STNK-nya?
“Ya, tapi coba saya lihat dulu kartu identitas Bapak.”
“Ibu ini gimana sih. Saya ini perlu melihat SIM dan STNK Ibu. Kok malah minta identitas saya.”
“Ya, memang begitu Pak, aturannya. Kita harus menanyakan dulu identitas Bapak. Begitu kata pak Boy, humas di polda.”
“Siapa?”
“Pak Boy, itu humas di polda. Saya kan sering meliput di Polda dan kita memang harus menanyakan identitas petugas.”
(Sebetulnya aku ngarang karena terakhir kali ngeliput di Polda sudah 10 atau bahkan 20 th yll. Cuman saja aku suka baca tulisan teman2, jadi tau kalo di Polda ada yang namanya pak Boy. Ga gitu yakin jabatannya, mungkin aja humas, tapi yg jelas aku ingat nama itu)
“Emang Ibu mau ke mana?”
“Saya mau ke arah jalan tol Serpong.”
“Kalau tol Serpong ambil yang arah Priok, nanti ketemu Cawang.”
“Ya itu, Pak. Kenapa nggak ada tulisan Cawang? Kan saya jadi bingung.”
“Kalau lewat Kemayoran malah muter2 nggak karuan. Harusnya masuk ke arah Priok.””Iya pak. Saya minta maaf. Boleh tidak saya meneruskan perjalanan? Ini sudah malam, Pak.”
“Ya boleh. Tapi mana SIM dan STNK-nya?”
“Lho, seharusnya bapak yang menunjukkan identitasnya terlebih dahulu. Bapak saja pakai rompi. Nggak kelihatan namanya.”
“Ini saya pakai rompi karena rompi ini kalau kena lampu jadi kelihatan terang.”
Lalu petugas itu membuka retsleting rompinya, sehingga tampak tulisan namanya yang tercantum di dada kiri, sambil berkata. “Saya belum tau identitas Ibu.”
Aku tunjukkan kartu karyawan yang biasa tergantung di leher.
“Oh... Jakarta Post. Bagi korannya dong, kalau malam-malam saya suka ngantuk.”
“Wah, korannya ada di kantor pak. Lain kali ya, saya bawakan. Sekarang saya boleh nggak pak, kalau mau masuk ke tol sana,” kataku sambil menunjuk ke arah tol Priok.
“Ya boleh, hati2 ya. Mundur dulu pelan2. Lurus, lurus… hati-hati… ya langsung kanan….,” katanya sambil memberi aba2.
Ooohh leganya… Akhirnya aku berhasil masuk kembali ke jalan tol ke arah Priok. Dan betul, beberapa saat kemudian aku melihat ada tanda Priok- Cawang. Dari sana lurus jalan teruuuuuus sebelum akhirnya masuk tol ke arah Pondok Indah yang berlanjut hingga ke arah Serpong dan keluar pada pintu tol Pondok Aren. Lima menit kemudian aku sudah sampai di rumah.
Ceritanya begini. Hari Selasa (9 Maret 2010) sekitar jam 21:30 aku meninggalkan RS dan langsung masuk ke jalan tol. Biasanya aku keluar di pintu tol Slipi ke arah Permata Hijau lalu melewati jalan arteri Pondok Indah dan Tanah Kusir sebelum masuk tol di Jl. Veteran dan keluar di pintu tol Pondok Aren.
Berhubung ingin cepat2 pulang, aku putuskan untuk lewat tol saja terus sampai rumah. Aku pilih lewat JORR. Sebetulnya ini pilihan yang salah karena jaraknya lebih jauh dibandingkan kalau lewat tol dalam kota. Tapi sudah terlanjur. Tidak apa2, hanya beda sedikit dan yang penting jalannya lancar, nggak macet.
Di tengah jalan, aku sempat bingung. Jalan bercabang. Kalau ke kiri, keluar tol menuju Ancol, kalau ke kanan ke arah Tanjung Priok. Di situ tertulis jelas “Pelabuhan 6 km.”
Seharusnya aku telepon Jasa Marga di nomor 6518350 untuk memperoleh info jalan tol seperti yang pernah aku lakukan. Tapi aku malahan jalan terusss saja ke arah Priok. Lalu jalan bercabang lagi. Kalau ke kiri ke Kemayoran. Ke kanan ke Tanjung Priok. Lagi-lagi ada tulisan “Pelabuhan 5 km”. Aduh, bagaimana ini? Aku harus mengarah ke Cawang, tetapi, kenapa tak ada petunjuknya?
Daripada nyasar sampai ke Priok, akhirnya perlahan-lahan, dengan penuh keraguan aku berjalan pelan2 dan mengarahkan mobil ke kiri, untuk keluar menuju Kemayoran. Yach, paling tidak, kalau pun nyasar di daerah Kemayoran, itu masih agak mending daripada Tanjung Priok.
Eeeehh…. Tiba2 ada polisi muncul dan menyuruhku berhenti. Rupanya ada mobil polisi yang diparkir di tengah jalan, tepat di pada bagian marka jalan, itu lho… yang ada garis2 berwarna putih, pada persimpangan antara jalan tol yang lurus ke Priok dan yang belok ke kiri ke arah Kemayoran. Aneh juga ya, ngapain malam2 polisi markir mobil di situ. Oh.. mungkin mau menolong pengendara yang kebingungan seperti aku ini. Atau… justru sebaliknya, menunggu “mangsa” untuk ditilang atau... diajak damai ?
“Ibu salah. Melanggar marka jalan,” kata polisi itu.
“Iya pak, saya memang bingung banget nih,” jawabku.
“Ibu ini salah. Melanggar marka jalan. Coba saya lihat SIM dan STNK.”
“Coba saya lihat dulu identitas Bapak.”
“Lho, saya ini yang perlu melihat SIM dan STNK ibu.”
“Tidak bisa pak. Bapak harus menunjukkan identitas Bapak terlebih dahulu.”
“Ibu salah. Melanggar marka jalan. Mana SIM dan STNK-nya?
“Ya, tapi coba saya lihat dulu kartu identitas Bapak.”
“Ibu ini gimana sih. Saya ini perlu melihat SIM dan STNK Ibu. Kok malah minta identitas saya.”
“Ya, memang begitu Pak, aturannya. Kita harus menanyakan dulu identitas Bapak. Begitu kata pak Boy, humas di polda.”
“Siapa?”
“Pak Boy, itu humas di polda. Saya kan sering meliput di Polda dan kita memang harus menanyakan identitas petugas.”
(Sebetulnya aku ngarang karena terakhir kali ngeliput di Polda sudah 10 atau bahkan 20 th yll. Cuman saja aku suka baca tulisan teman2, jadi tau kalo di Polda ada yang namanya pak Boy. Ga gitu yakin jabatannya, mungkin aja humas, tapi yg jelas aku ingat nama itu)
“Emang Ibu mau ke mana?”
“Saya mau ke arah jalan tol Serpong.”
“Kalau tol Serpong ambil yang arah Priok, nanti ketemu Cawang.”
“Ya itu, Pak. Kenapa nggak ada tulisan Cawang? Kan saya jadi bingung.”
“Kalau lewat Kemayoran malah muter2 nggak karuan. Harusnya masuk ke arah Priok.””Iya pak. Saya minta maaf. Boleh tidak saya meneruskan perjalanan? Ini sudah malam, Pak.”
“Ya boleh. Tapi mana SIM dan STNK-nya?”
“Lho, seharusnya bapak yang menunjukkan identitasnya terlebih dahulu. Bapak saja pakai rompi. Nggak kelihatan namanya.”
“Ini saya pakai rompi karena rompi ini kalau kena lampu jadi kelihatan terang.”
Lalu petugas itu membuka retsleting rompinya, sehingga tampak tulisan namanya yang tercantum di dada kiri, sambil berkata. “Saya belum tau identitas Ibu.”
Aku tunjukkan kartu karyawan yang biasa tergantung di leher.
“Oh... Jakarta Post. Bagi korannya dong, kalau malam-malam saya suka ngantuk.”
“Wah, korannya ada di kantor pak. Lain kali ya, saya bawakan. Sekarang saya boleh nggak pak, kalau mau masuk ke tol sana,” kataku sambil menunjuk ke arah tol Priok.
“Ya boleh, hati2 ya. Mundur dulu pelan2. Lurus, lurus… hati-hati… ya langsung kanan….,” katanya sambil memberi aba2.
Ooohh leganya… Akhirnya aku berhasil masuk kembali ke jalan tol ke arah Priok. Dan betul, beberapa saat kemudian aku melihat ada tanda Priok- Cawang. Dari sana lurus jalan teruuuuuus sebelum akhirnya masuk tol ke arah Pondok Indah yang berlanjut hingga ke arah Serpong dan keluar pada pintu tol Pondok Aren. Lima menit kemudian aku sudah sampai di rumah.
Dari NUH ke RS Pantai Indah Kapuk dan RS Dharmais
Akhir bulan lalu (Jumat, 26 Feb. 2010) aku kembali jalan-jalan ke National University Hospital, Singapura.
Bu dokter tampak prihatin melihat kondisiku yang ngedrop jauh dibandingkan waktu aku ke sana tgl 8 Januari. Jalanku kian terseok2 dan kaki kanan makin lemes.
Susternya juga kelihatannya sangat kuatir, sampai2 dia memaksa agar diperbolehkan membawakan tasku. Di bahu kiriku tergantung tas hitam yang biasa aku pakai kerja sementara aku menenteng tas plastik dengan tangan kanan. Tas hitam itu isinya buku novel kriminal terjemahan dari bahasa Jepang berjudul Out, dompet, HP dan beberapa barang pribadi. Sedangkan tas plastik isinya majalah Java Kini titipan Lewa, temanku yg tinggal di Sgp, serta beberapa bungkus makanan kecil dan balsem cap macan yang aku beli di drug store rumah sakit itu.
Akhirnya aku merelakan suster membawakan tas plastik itu sambil mengantarku keluar ruangan setelah selesai berkonsultasi dengan dokter.
Dulu dokter bilang rasa sakit memang biasa dialami oleh pasien yg kankernya sudah menyebar ke tulang. Tapi ini kok sakitnya makin menjadi2? Bu dokter menduga ada sesuatu yang kurang beres dan menyuruhku segera foto. Bukan foto buat cover majalah lho. Tapi MRI (Magnetic Resonance Imaging) tulang belakang, CT scan otak dan seluruh tubuh serta bone scan.
Aduh dok. Emangnya enak menjalani pemeriksaan ini dan itu? Lagipula, mending kalo gratis, dok... Tapi tentu saja aku nggak ngomong gitu sama bu dokter... Aku bilang, ya nanti dipertimbangkan.
Eh, bu dokter kayaknya kesel, gitu."Pokoknya harus MRI dulu. Hari Sabtu atau hari Senin ya? Trus hasilnya segera di bawa ke mari. Bisa?"
"Iya deh..... Tapi boleh nggak hasilnya dikirim aja?" aku menawar. Ternyata boleh.
MRI diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya "nerve compression" atau "cord compression".
Menurut informasi yang aku dapat dari Internet, cord compression ini sangat mengerikan dan dapat mengakibatkan lumpuh kalau tidak segera ditangani.
Singkat cerita, hari Senin aku ke RS Pantai Indah Kapuk untuk MRI, meskipun para petugas di meja resepsionis yang merangkap kasir di bagian radiologi kurang ramah dan analisa dokternya sempat menimbulkan tanda tanya. Aku pilih RS PIK karena alatnya canggih dan secara keseluruhan pelayanannya cepat. Selain itu tempatnya luas dan nyaman.
Janjinya jam 10, tapi dasar apes, aku harus menunggu lebih dari 1 jam. Tau nggak, pas aku mau ke toilet, eh, ada dokter dowok keluar dari WC cewek sambil pegang2 retsleting celana. Aku sampe bengong.....
Sebelum di-MRI, kita harus ganti baju. Ada sekitar 4 atau 6 locker untuk menaruh barang-barang kita, tapi hanya satu yang ada kunci dan gemboknya. Heran deh. Kalau mau aman, lain kali harus bawa kunci dan gembok sendiri, atau menittipkan barang ke petugas.
MRI-nya sendiri berlangsung lebih dari 1 jam. Lumayan lama karena seluruh tulang belakang, yang terdiri dari tiga bagian, difoto semua. Bulan Desember aku pernah di- MRI, tapi hanya pada bagian bawah saja, jadi nggak lama.Dokter yang menangani MRI ini kayaknya pinter lho, soalnya dia sempat nanya (melalui petugas) apakah hasilnya mau dalam bahasa Ind atau Inggris.. Yach, paling enggak, pinter bahasa Inggris.. hehehehe... Sori dok, cuma becanda….
Selama ini aku nggak pernah tahu kalau memang sebetulnya kita bisa mendapatkan hasilnya dalam bahasa Inggris. Untuk itu tak ada biaya tambahan. Tapi jika ingin mendapatkan hasil dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kita harus menambah Rp 200 ribu.
Malam harinya, pulang dari kantor aku ke RS untuk mengambil hasilnya. Ternyata memang ada yg kurang beres. Pada MRI lumbal tertulis: Protrusio of L4-5 and L5-S1 vertebral disk with mild compression of dural sac and both of radix.
Apa itu maksudnya? Pagi2 aku SMS dokter langgananku yang baik hati untuk menanyakannya. Begini jawabnya: “Artinya ada penekanan ringan pd ruas tul blk area L-4-5-S1, yg mengenai selub sumsum tul dural dan akar saraf..”
Masih bingung sih, tapi ya wis…
Aku segera email dokter di NUH sambil tanya, ini serius nggak sih..? Dia cuma bilang: "I will look at the films and let you know."
Filmnya aku kirim lewat DHL. Sehari sampai.
Hari Kamis aku mendapat kabar dari bu dokter di NUH.
”The MRI spine films have been reviewed by our radiologist and there is no cord compression or significant nerve root impingement.”
Lega sekali aku mendengarnya.
Bu dokter juga bertanya: Have you done the CT brain/thorax/abdomen/pelvis and bone scans yet?
Aku sudah daftar untuk bone scan di RS Dharmais, tapi masih dalam “waiting list” karena bahannya belum ada. Memang untuk bone scan bahannya sangat terbatas dan harus didatangkan dari BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya aku mendapat giliran untuk bone scan hari Senin, 8 Maret 2010.
Pada hari itu, sebelum jam 7:30 aku sudah datang agar mendapat giliran pertama. Ternyata bagian pendaftaran di lobi utama masih tutup. Sekitar jam 7:45 aku langsung menuju ke bagian radiologi, yang sudah mulai tampak ada kesibukan.
Tapi celaka, namaku nggak terdaftar.
“Nggak ada namanya di sini,” kata petugas sambil menunjukkan daftar berisi 10 nama pasien beserta nomor teleponnya.
Dari daftar nomor telepon, ketahuan kalau sebetulnya aku sudah terdaftar, tetapi namanya salah tulis. Masa di situ tertulis Ny. SIKU.
Yang bener ajaaaa… masa namaku jadi SIKU. Jauh amat ya. Untung juga bukan SIKUT atau DENGKUL….
Singkat cerita, bone scan berlangsung lancar. Jam 10:15 sudah selesai.
Hasilnya? Nah, yang ini kurang menggembirakan: Progressive of bone metastasis in Th 11-12 and right pelvic bone.
Terdapat penyebaran baru di tulang belakang dan peningkatan aktivitas pada tulang panggul kanan.
Bagaimana dengan hasil CT scan?
Untuk kepala, kelihatannya baik2 saja: No sight of nodule indicated to metastatic lesion now. No evidence of obstructive hydrocephalus.
CT scan abdomen-pelvic kelihatannya juga ok.
Sedangkan hasil CT scan thorax, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah: “beginning metastatic lesion plural type should be considered”.
Pada waktu aku CT scan pada bulan Agustus 2009, dokter di RS PIK juga mengatakan hal yang serupa, mencurigai adanya penyebaran awal pada dinding paru-paru, yang tampak dari adanya bercak-bercak hitam pada foto. Tapi menurut dokter di RS Pluit dan di NUH, bercak-bercak hitam itu bukan indikasi penyebaran kanker ke dinding paru.
Sekarang ini aku masih belum tau apa pendapat dokter di NUH mengenai bone scan dan CT scan yang terakhir itu karena dokter memang belum melihat hasilnya. Rencananya nanti hari Selasa, 16 Maret 2010, aku akan ke sana. Setelah melihat semua hasil itu, barulah dokter akan memutuskan pengobatan selanjutnya yang harus aku jalani. Apakah cukup dengan minum obat setiap hari, suntik dan infus setiap empat mingu sekali seperti yang selama ini aku jalani? Ataukah perlu ditempuh cara lain seperti radioterapi atau kemoterapi? Entahlah… Aku tak mau memikirkannya sekarang. Mending mikir yang enak2 aja…. Seperti… hari ini… libur…. Bisa santai di rumah, nggak usah kerja…. Enaaakkk…
Bu dokter tampak prihatin melihat kondisiku yang ngedrop jauh dibandingkan waktu aku ke sana tgl 8 Januari. Jalanku kian terseok2 dan kaki kanan makin lemes.
Susternya juga kelihatannya sangat kuatir, sampai2 dia memaksa agar diperbolehkan membawakan tasku. Di bahu kiriku tergantung tas hitam yang biasa aku pakai kerja sementara aku menenteng tas plastik dengan tangan kanan. Tas hitam itu isinya buku novel kriminal terjemahan dari bahasa Jepang berjudul Out, dompet, HP dan beberapa barang pribadi. Sedangkan tas plastik isinya majalah Java Kini titipan Lewa, temanku yg tinggal di Sgp, serta beberapa bungkus makanan kecil dan balsem cap macan yang aku beli di drug store rumah sakit itu.
Akhirnya aku merelakan suster membawakan tas plastik itu sambil mengantarku keluar ruangan setelah selesai berkonsultasi dengan dokter.
Dulu dokter bilang rasa sakit memang biasa dialami oleh pasien yg kankernya sudah menyebar ke tulang. Tapi ini kok sakitnya makin menjadi2? Bu dokter menduga ada sesuatu yang kurang beres dan menyuruhku segera foto. Bukan foto buat cover majalah lho. Tapi MRI (Magnetic Resonance Imaging) tulang belakang, CT scan otak dan seluruh tubuh serta bone scan.
Aduh dok. Emangnya enak menjalani pemeriksaan ini dan itu? Lagipula, mending kalo gratis, dok... Tapi tentu saja aku nggak ngomong gitu sama bu dokter... Aku bilang, ya nanti dipertimbangkan.
Eh, bu dokter kayaknya kesel, gitu."Pokoknya harus MRI dulu. Hari Sabtu atau hari Senin ya? Trus hasilnya segera di bawa ke mari. Bisa?"
"Iya deh..... Tapi boleh nggak hasilnya dikirim aja?" aku menawar. Ternyata boleh.
MRI diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya "nerve compression" atau "cord compression".
Menurut informasi yang aku dapat dari Internet, cord compression ini sangat mengerikan dan dapat mengakibatkan lumpuh kalau tidak segera ditangani.
Singkat cerita, hari Senin aku ke RS Pantai Indah Kapuk untuk MRI, meskipun para petugas di meja resepsionis yang merangkap kasir di bagian radiologi kurang ramah dan analisa dokternya sempat menimbulkan tanda tanya. Aku pilih RS PIK karena alatnya canggih dan secara keseluruhan pelayanannya cepat. Selain itu tempatnya luas dan nyaman.
Janjinya jam 10, tapi dasar apes, aku harus menunggu lebih dari 1 jam. Tau nggak, pas aku mau ke toilet, eh, ada dokter dowok keluar dari WC cewek sambil pegang2 retsleting celana. Aku sampe bengong.....
Sebelum di-MRI, kita harus ganti baju. Ada sekitar 4 atau 6 locker untuk menaruh barang-barang kita, tapi hanya satu yang ada kunci dan gemboknya. Heran deh. Kalau mau aman, lain kali harus bawa kunci dan gembok sendiri, atau menittipkan barang ke petugas.
MRI-nya sendiri berlangsung lebih dari 1 jam. Lumayan lama karena seluruh tulang belakang, yang terdiri dari tiga bagian, difoto semua. Bulan Desember aku pernah di- MRI, tapi hanya pada bagian bawah saja, jadi nggak lama.Dokter yang menangani MRI ini kayaknya pinter lho, soalnya dia sempat nanya (melalui petugas) apakah hasilnya mau dalam bahasa Ind atau Inggris.. Yach, paling enggak, pinter bahasa Inggris.. hehehehe... Sori dok, cuma becanda….
Selama ini aku nggak pernah tahu kalau memang sebetulnya kita bisa mendapatkan hasilnya dalam bahasa Inggris. Untuk itu tak ada biaya tambahan. Tapi jika ingin mendapatkan hasil dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kita harus menambah Rp 200 ribu.
Malam harinya, pulang dari kantor aku ke RS untuk mengambil hasilnya. Ternyata memang ada yg kurang beres. Pada MRI lumbal tertulis: Protrusio of L4-5 and L5-S1 vertebral disk with mild compression of dural sac and both of radix.
Apa itu maksudnya? Pagi2 aku SMS dokter langgananku yang baik hati untuk menanyakannya. Begini jawabnya: “Artinya ada penekanan ringan pd ruas tul blk area L-4-5-S1, yg mengenai selub sumsum tul dural dan akar saraf..”
Masih bingung sih, tapi ya wis…
Aku segera email dokter di NUH sambil tanya, ini serius nggak sih..? Dia cuma bilang: "I will look at the films and let you know."
Filmnya aku kirim lewat DHL. Sehari sampai.
Hari Kamis aku mendapat kabar dari bu dokter di NUH.
”The MRI spine films have been reviewed by our radiologist and there is no cord compression or significant nerve root impingement.”
Lega sekali aku mendengarnya.
Bu dokter juga bertanya: Have you done the CT brain/thorax/abdomen/pelvis and bone scans yet?
Aku sudah daftar untuk bone scan di RS Dharmais, tapi masih dalam “waiting list” karena bahannya belum ada. Memang untuk bone scan bahannya sangat terbatas dan harus didatangkan dari BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya aku mendapat giliran untuk bone scan hari Senin, 8 Maret 2010.
Pada hari itu, sebelum jam 7:30 aku sudah datang agar mendapat giliran pertama. Ternyata bagian pendaftaran di lobi utama masih tutup. Sekitar jam 7:45 aku langsung menuju ke bagian radiologi, yang sudah mulai tampak ada kesibukan.
Tapi celaka, namaku nggak terdaftar.
“Nggak ada namanya di sini,” kata petugas sambil menunjukkan daftar berisi 10 nama pasien beserta nomor teleponnya.
Dari daftar nomor telepon, ketahuan kalau sebetulnya aku sudah terdaftar, tetapi namanya salah tulis. Masa di situ tertulis Ny. SIKU.
Yang bener ajaaaa… masa namaku jadi SIKU. Jauh amat ya. Untung juga bukan SIKUT atau DENGKUL….
Singkat cerita, bone scan berlangsung lancar. Jam 10:15 sudah selesai.
Hasilnya? Nah, yang ini kurang menggembirakan: Progressive of bone metastasis in Th 11-12 and right pelvic bone.
Terdapat penyebaran baru di tulang belakang dan peningkatan aktivitas pada tulang panggul kanan.
Bagaimana dengan hasil CT scan?
Untuk kepala, kelihatannya baik2 saja: No sight of nodule indicated to metastatic lesion now. No evidence of obstructive hydrocephalus.
CT scan abdomen-pelvic kelihatannya juga ok.
Sedangkan hasil CT scan thorax, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah: “beginning metastatic lesion plural type should be considered”.
Pada waktu aku CT scan pada bulan Agustus 2009, dokter di RS PIK juga mengatakan hal yang serupa, mencurigai adanya penyebaran awal pada dinding paru-paru, yang tampak dari adanya bercak-bercak hitam pada foto. Tapi menurut dokter di RS Pluit dan di NUH, bercak-bercak hitam itu bukan indikasi penyebaran kanker ke dinding paru.
Sekarang ini aku masih belum tau apa pendapat dokter di NUH mengenai bone scan dan CT scan yang terakhir itu karena dokter memang belum melihat hasilnya. Rencananya nanti hari Selasa, 16 Maret 2010, aku akan ke sana. Setelah melihat semua hasil itu, barulah dokter akan memutuskan pengobatan selanjutnya yang harus aku jalani. Apakah cukup dengan minum obat setiap hari, suntik dan infus setiap empat mingu sekali seperti yang selama ini aku jalani? Ataukah perlu ditempuh cara lain seperti radioterapi atau kemoterapi? Entahlah… Aku tak mau memikirkannya sekarang. Mending mikir yang enak2 aja…. Seperti… hari ini… libur…. Bisa santai di rumah, nggak usah kerja…. Enaaakkk…
Subscribe to:
Posts (Atom)