Tuesday, October 20, 2009

Hebat

Benar-benar hebat. Luar biasa. Bukan sulap bukan sihir. Bagian tubuhku yang telah mati rasa selama bertahun-tahun akibat mastektomi tiba-tiba hidup rasa.
Banyak penyintas kanker payudara yang mengalami mati rasa di daerah dekat ketiak setelah menjalani mastektomi alias operasi pengangkatan payudara.
Operasi itu aku jalani pada bulan Desember 2004 dan masih mengalami mati rasa hingga minggu lalu. Tak terlalu mengganggu sih, jadi aku tak begitu peduli.
Tapi ada kejadian luar biasa pada suatu sore di hari Jumat, tanggal 16 Oktober 2009, ketika aku menjalani terapi chi alias tenaga dalam karena kakiku tambah sakit kalau berjalan.
Aku nggak bilang pada Pak Suhu mengenai bagian tubuh yang mati rasa itu. Tapi ia bisa menebaknya.
Dari jarak satu meter, ia menggerak-gerakkan ke dua tangannya. Hanya sekitar satu menit.
“Gimana rasanya sekarang?” ia bertanya.
Aku pegang bagian dekat ketiak sebelah kanan. Dan alangkah takjubnya diriku ini. Sudah tidak mati rasa lagi. Wowww. Sumpah. Ini sungguh luar biasa.
Bagaimana dengan kakiku?
Soal sakit ini memang aneh. Tak menentu. Kayak harga BBM yang dulu sempat naik turun…Naik turun kayak ingus yang disayang-sayang… Iiiih sori… jorok ya…
Dulu sih sakitnya ga terlalu terasa. Sejak akhir bulan lalu, baru deh nyut… nyut.. nyut… Kaki kananku sakit kalau jalan. Bahkan kalau mau duduk atau kalau bangkit dari duduk.
Penyebabnya adalah kanker yang sudah mengerogoti tulang bagian bawah tubuh dan osetoarthritis “ringan” di lutut, yang disimpulkan melalui hasil rontgen pada hari Kamis, 8 Oktober 2009.
Dokter memberiku obat anti nyeri Moxam dalam dosis kecil, hanya ½ tablet, untuk diminum 2x sehari. Tapi nggak mempan. Pada hari berikutnya, tambah pain killer lain, yaitu Zaldiar ½-1 tablet.
Hari Minggu kondisi kakiku enak sekali. Hanya sakit sedikit.
Tapi hari Senin, rasa sakit kembali menyengat. Selasa… Rabu… juga tambah sakit sampai-sampai tidur tak nyenyak karena kalau kaki kanan digerakkan tidak dengan hati-hati, terasa ngilu di tulang. Padahal kalau tidur aku suka bolak balik ke kiri dan ke kanan…. .
Lalu aku ingat cerita temanku yang terkena myom dan kanker leher rahim dan menjalani terapi chi. Ia baru berobat satu kali, dan katanya cocok.
Tak ada salahnya mencoba, kan?
Mula-mula aku telepon suhu chi itu. Tak diangkat. Lalu aku SMS. Setelah sekian jam, baru ada balasan. Ia menyuruhku datang hari Jumat, 16 Oktober 2009, sore bersamaan dengan waktu yang dijadwalkan untuk temanku itu.
Sore itu ternyata macet gila-gilaan di jalur lambat Sudirman. Aku yang memang “sense of direction”-nya buruk, sempat nyasar pula. Sekitar sejam kemudian, barulah aku sampai di Jl. Suryo yang merupakan terusan Jl. Senopati, terasa mobil sedikit bergoyang selama beberapa detik, padahal kelihatannya nggak ada angin kencang. Di kiri kananku juga tak tampak truk besar yang melaju. Kalaupun ada, juga nggak bisa ngebut, kan lagi macet... Mungkin goyangan itu akibat perasaanku yang kurang enak karena terlambat berobat... Eh, tiba2 ada kabar di radio mengenai gempa di Ujung Kulon.
Terlambanya memang nggak kira-kira. Lebih dari satu jam.
Tempat praktik yang kutuju sangat sederhana. Sang suhu juga jauh dari bayangan kita akan orang yang pendiam dan serius.
Ia senang ngobrol dan sering tertawa besar. Perawakannya besar dan rambutnya agak gondrong. Bajunya biasa saja, kemeja dan celana panjang, bukan jubah seperti suhu yang kita lihat di film-film kung fu atau silat.
Ia lalu memeriksa lututku dan sambil menekan bagian yang sakit, ia menyalurkan tenaga dalam sementara aku berdoa.
Hal yang sama dilakukan pada bagian pangkal paha.
“Nah, sekarang sudah bisa main bola,” katanya berseloroh.
Aku berdiri dan duduk kembali tanpa rasa sakit. Lalu berjalan keliling ruangan. Rasa nyeri sudah jauh berkurang. Kaki kanan sekarang sudah dapat digerakkan ke samping dengan mudah. Juga dapat digerakkan ke atas, meskipun masih agak sulit.
“Wah, Sima sudah bisa lompat-lompat,” komentar temanku kemudian.
Hiperbol. Soalnya kalau melompat kan harus menggunakan dua kaki. Aku belum bisa. Berdiri tegak di atas kaki kanan saja juga masih sakit. Padahal dulu waktu latihan yoga (yang sekarang sudah tidak aku jalani lagi), aku sudah bisa melakukannya dengan kedua tangan di atas kepala selama beberapa saat.
Tapi memang kondisi kakiku jauh lebih baik. Hanya saja begitu keluar dari ruangan, mulai terasa agak sakit di pangkal paha meskipun kadarnya telah berkurang dibandingkan dengan sebelumnya.
Menurut Suhu, sakit di lutut itu juga disebabkan oleh kanker dan ia akan berusaha untuk “membakar” sel-sel kanker dengan chi. Tetapi ia juga mengakui bahwa itu bukan hal yang mudah karena penyebarannya sudah cukup banyak. Pengobatan ini juga akan memakan waktu agak lama dan ia sendiri tak menjanjikan kesembuhan.
“Kita lihat saja nanti,” katanya.
Aku lalu teringat seseorang yang belum lama ini menelponku tentang adiknya yang terkena kanker tulang sehingga dokter menganjurkannya untuk diamputasi. Ketika aku menceriterakan hal itu pada Suhu dengan harapan agar ia bersedia mengobatinya, ia menolak dengan halus karena pasiennya sudah terlalu banyak.
Sebelum pulang, aku menanyakan mengenai biaya pengobatan dan konsultasi, termasuk ngobrol, yang totalnya memakan waktu lebih dari satu setengah jam. .
“Terserah saja,” katanya sambil menunjuk ke keranjang bambu di sudut ruangan.

Penkiler jenerik


Cara termudah untuk mengatasi rasa sakit adalah dengan minum obat anti nyeri alias painkiller. Tapi hati-hati! Jangan sering-sering meminumnya. Banyak efek sampingan yang dapat menimpa kita, antara lain sakit maag jika obat diminum saat perut kosong, atau gangguan jantung kita mengkonsumsi dalam dosis tinggi. Selain itu kita juga bisa kebal terhadap obat itu.
Ada yang mengatakan bahwa painkiller dapat diganti dengan aromateraphy, minum wedang jahe dicampur cengkeh dan ramuan tradisional lainnya. Tapi aku belum pernah mencobanya, kecuali minum wedang jahe yang memang membuat badan hangat.
Sebetulnya aku tidak suka minum obat. Tapi apa boleh buat. Kalau tak tahan sakit, aku terpaksa menelannya juga.
Pernah aku minum Ponstan, yang katanya bukan merupakan obat keras. Dokter juga pernah memberiku ramuan campuran antara panadol dan entah apa namanya, yang juga termasuk ringan.
Ketika rasa sakit semakin menyengat, hari Kamis, 15 Oktober 2009, aku sempat minum Moxam dalam dosis kecil, hanya ½ tablet, 2x sehari. Tapi nggak mempan. Sehari setelah itu, ditambah dengan painkiller lain, yaitu Zaldiar ½-1 tablet.
Hari Minggu enakan, tapi hari-hari berikutnya sakit lagi. Sampai akhirnya aku menjalani terapi chi (tenaga dalam). Rasa sakit berkurang, tapi masih ada. Jadi aku belum berani meninggalkan painkiller.
Setelah Moxam dan Zaldiar habis, aku minum obat anti nyeri yang masih tersisa beberapa biji, yaitu Ponstan dan campuran Panadol.
Si empok yang merupakan ratu dapur dan penguasa mesin cuci serta meja setrika merangkap pencuci mobil dan pembersih rumah rupanya prihatin dengan kondisiku.
Ia juga sering mengalami rasa sakit pada kaki, terutama ketika bangun tidur. Ketika sakit tak tertahankan, ia ke dokter dan diberi obat murah meriah yang manjur.
“Tetangga-tetangga pada minta contoh obatnya. Mereka kalo sakit juga minum obat itu,” kata empok.
“Mau coba? Kali-kali cocok,” katanya.
Keesokan harinya ia membawa bungkus obat itu. Ada dua macam. Dexamethasone 0.5 mg dan Piroxicam 10 mg
Aku lalu mengirimkan SMS ke dokter, yang ternyata tidak menunjukkan keberatan terhadap obat itu.
Harga Panstan tidak mahal. Seingatku, dulu aku pernah membelinya di toko obat di Pasar Palmerah seharga belasan ribu rupiah, tetapi di apotik bisa lebih dari Rp 20.000 untuk satu strip berisi 10 tablet. Sedangkan Moxam dan Zaldiar jauh lebih mahal.
Meskipun dalam kemasannya tertulis HET (Harga Eceran Tertinggi) sebesar Rp 80-an ribu, tetapi di apotik harganya Rp 90-an ribu per strip berisi 10 tablet.
“Kalo obat saya sih hanya Rp 2.500,” kata mpok.
Masa sih? Murah amat. Aku minta mpok membelinya dengan memberikan uang Rp 20.000. Kembaliannya Rp 17.500. Jadi Rp 2.500 itu untuk kedua macam obat itu, masing-masing 10 tablet.
Murah karena itu adalah obat generik.
“Biarpun obat generik, kalau memang cocok, ya bisa aja,” demikian komentar bu dokter.
Pagi ini untuk pertama kalinya aku minum obat generik itu. Syukur alhamdullilah. Puji Tuhan. Haleluya. Kakiku tidak terasa begitu sakit. Obat itu aku minum sekitar jam 6:30 pagi dan sekarang sudah hampir jam 8 malam.
Mungkin juga itu karena terapi chi yang aku jalani. Dan yang pasti juga karena kuasa Tuhan. Oh ya, sudah hampir setahun tidak berlatih reiki, dua malam ini aku mulai latihan lagi lho...

Thursday, October 15, 2009

Bingung

Aku bingung. Ke mana aku harus pergi? Siapa yang harus aku temui?
Kebingungan memenuhi kepalaku yang pusing memikirkan kaki kananku yang sakit. Tidak parah, tetapi cukup menjengkelkan.
Gaya berjalanku sekarang seperti nenek-nenek yang kakinya kesleo karena main bola. Sudah jalannya pelan, terpincang-pincang pula.
Tak dapat berjalan cepat, apalagi berlari. Padahal seringkali aku perlu segera mencapai tempat tujuan, misalnya kalau ingin buang air, atau kalau akan antre di kasir supermarket pada akhir pekan yang sibuk. Dan bagaimana aku akan melarikan diri kalau terjadi gempa? Kalau ada meja, aku tak akan lari keluar tapi cukup meringkuk di bawahnya. Itu juga harus pelan-pelan karena kalau kaki ditekuk sembarangan bakal sakit rasanya.
Tadinya aku berharap bahwa rasa sakit akan hilang seiring dengan berjalannya waktu… Maunya sih begitu… Tapi sudah beberapa bulan ini sakitnya tak mau pergi. Kalau diam saja, memang tidak apa-apa. Ah, mana mungkin diam saja seharian? Emangnya patung…. Kalau berjalan, mulai terasa kurang nyaman. Awalnya hanya sakit sedikit. Dikit-dikit lama-lama jadi bukit… Dan sejak awal bulan ini bukitnya terasa makin berat.
Sebetulnya aku sudah pernah ke dokter umum di klinik 24 jam dekat rumah pada akhir bulan Juli. Setelah mendengarkan keluhanku, dokter berkesimpulan bahwa kakiku terserang nyeri sendi. Dan aku gembira karena sakitnya ternyata bukan karena kanker.
Kesimpulan itu sebetulnya patut diragukan.
Lha, mana mungkin dokter itu dapat menyimpulkan kalau itu disebabkan oleh sel-sel kanker yang bercokol di beberapa bagian tulangku?
Ya, tak mungkin. Karena aku tidak memberitahu.
Aku sendiri tadinya berpikir bahwa mungkin kakiku sakit karena kanker. Pikiran semacam itu sering muncul kalau aku merasa capai atau kurang fit. Jangan-jangan itu terjadi karena ulah si kanker busuk?
Tapi aku juga berusaha menyingkirkan pikiran itu. Kakiku sakit pasti bukan karena kanker. Ini "hanya" sekedar nyeri sendi seperti kata dokter klinik 24 jam itu dan aku juga menuruti nasehatnya untuk tidak memakan kacang-kacangan dan jerohan, yang memang sudah lama aku hindari. Aku juga mengurangi makan sayuran hijau seperti kangkung, bayam, daun melinjo dan pare yang sebetulnya merupakan pantangan penderita asam urat.
Setelah sekian lama kakiku tambah sakit saja rasanya. Dokterku di NUH pernah mengatakan bahwa pasien yang tulang pada bagian bawah tubuh sudah digerogoti kanker memang seringkali akan merasakan sakit pada kakinya. Tapi aku masih berusaha mengingkarinya. Malahan aku berpikir, mungkin kakiku sakit karena syarafnya terjepit karena terlalu bersemangat senam dengan gerakan yang salah.
Sebetulnya aku sudah pernah ke Rumah Sakit Internasional Bintaro untuk menjajaki kemungkinan berobat di sana. Yang aku perlukan adalah kepastian penyebab sakit ini. Tetapi aku masih ragu apakah aku harus ke dokter syaraf atau dokter tulang.
Mula-mula aku ke bagian informasi untuk menanyakannya. Aku dianjurkan agar berkonsultasi dengan petugas di bagian klinik. Di pintu masuk klinik, aku disambut ramah oleh seorang Mbak cantik berseragam merah cerah.
Apa iya aku harus berkonsultasi dengan Mbak yang lebih mirip seorang pramugari pesawat udara daripada konsultan medis ini?
Ternyata aku salah. Mbak itu membawaku ke sebuah ruangan di mana terdapat seorang Mbak lain yang tak kalah cantiknya. Tak jelas apakah ia dokter atau bukan. Tapi cara berbicaranya cukup meyakinkan.
Aku hanya mengatakan bahwa kakiku sakit dan bertanya apakah aku harus ke dokter syaraf atau dokter tulang. Aku tidak bercerita kalau aku terkena kanker. Ia lalu menganjurkan aku ke dokter syaraf dahulu dan memberiku daftar dokter di RSIB serta jam praktiknya.
Tapi aku tidak langsung berobat ke sana. Ketika aku menjalani suntik dan infus bulanan dengan dr. Winarti, aku meminta sarannya sambil menunjukkan daftar dokter itu.
“Ke dokter ini saja. Dr. Juwono. Pasien saya pernah ke sana dan ia bilang dokternya baik, orangnya sosial,” kata dr. Win.
Setelah tertunda sekian lama, pada hari Kamis, 8 Oktober 2009 itu aku bermaksud untuk berobat ke RSIB.
Sebelumnya, pagi itu aku ikut senam terlebih dahulu. Itu adalah senam yang pertama setelah absen cukup lama karena libur lebaran dan kesibukan lain.
Aku mengikuti senam sebisanya dengan kaki yang bermasalah ini. Kabar tentang kakiku yang sakit itu segera tersebar di antara semua peserta senam yang jumlahnya belasan orang itu. Ketika aku menanyakan tempat berobat yang bagus, merekapun segera beramai-ramai memberikan sarannya.
“Dengan dokter itu saja di Sektor IX, belakang Mc D. Bagus lho,” kata seorang bapak.
“Ada juga ahli urut yang bagus sekali. Coba saja ke sana,” kata yang lain.
“Di Bintaro Permai saja, ada dokter yang bagus. Saya dulu juga pernah sakit, nggak bisa jalan. Setelah berobat sama dia, sebulan sembuh.”
“Kalau saya, dulu pernah berobat di Senen. Dokternya pintar.”
“Ngapain ke RSIB. Mahal. Ke RS di Jl. Veteran aja. Dokternya sama, kok. Di sana juga bagus.”
Lalu ada yang berkomentar: “Jangan ke dokter yang itu. Istri saya berobat ke sana, nggak cocok.”
Gimana nggak bingung? Tiba-tiba saja aku dihujani dengan sedemikian banyak saran dan pendapat.
“Aduh nyesel nih gua pake nanya2 mereka,” kataku kepada teman yang akan mengantarku berobat.
“Ya udah, mana yang lu mantep aja. Ga usah dengerin mereka,” katanya.
C o c o k
Sebelum ke dokter, sebaiknya memang kita bertanya dulu ke kiri dan ke kanan. Bukankan ada peribahasa “malu bertanya sesat di jalan”? Tapi terlalu banyak saran akhirnya malah membuat bingung. Apalagi kalau saran itu diberikan oleh orang yang tak betul-betul mengerti kondisi kita. Apalagi kalau pertanyaan kita tidak jelas.
Aku juga percaya bahwa dokter itu “cocok-cocokan” dalam arti bahwa dokter ini mungkin cocok untuk si A, tetapi tidak cocok untuk si B. Atau sebaliknya, di A cocok dengan dokter itu, tetapi si B tidak.
Dalam berobat, kita harus yakin dan mantap dengan dokter-- atau tabib, sinshe, dukun atau entah siapa pun orangnya. Setelah kunjungan pertama, ke dua atau ke sekian, kalau kita tidak yakin atau tidak merasa nyaman karena satu dan lain hal, tak ada salahnya jika kita pindah ke dokter lain. Hanya saja, mungkin kita bakal rugi kalau gonti-ganti dokter karena dokter yang baru tidak memiliki catatan medis kita. Boleh nggak sih catatan medis itu kita foto kopi?
Ada baiknya kalau kita, terutama yang akan berobat dalam jangka waktu panjang, memiliki catatan medis sendiri. Kita sediakan buku khusus yang berisi semua catatan yang berkaitan tentang kondisi kita serta pengobatan yang sudah kita jalani, termasuk semua obat serta hasil pemeriksaan medis. Kalau perlu buku catatan pengeluaran.
Kalau aku sih, nggak punya catatan rapi selengkap itu… Kalau hasil lab atau pemeriksaan medis, memang aku simpan, tetapi ada juga catatan lain yang betebaran dan bon-bon pengeluaran juga berceceran.
Pernah aku mencoba menghitung pengeluaran secara kasar dan menjumlahkannya. Aku tercengang sendiri. OOOhhh, ternyata aku ini sebetulnya kaya raya… Hahahahaa..…. Ya ampun…. Nggak nyangka kalo aku bisa punya duit segitu banyak… Dari mana datangnya rejeki? Kalau mengandalkan gaji, jelas tidak cukup. Tuhan memang baik…
Singkat cerita, akhirnya aku ke RSIB untuk memeriksakan kaki yang sakit.
Dokternya baik dan sabar. Aku mencertakan semua soal penyakitku dan juga menunjukkan hasil bone scan dan rontgen terakhir.
Ia lalu menyimpulkan bahwa rasa sakit yang menyerang pangkal paha disebabkan oleh kanker yang bercokol di tulang selangkangan dan menduga bahwa sakit di lutut diakibatkan oleh pengapuran.
Untuk memastikannya, ia menyuruhku rontgen.
“Kalau di sana sepi dan hasilnya bisa segera diperoleh, saya bisa langsung lihat,” katanya.
Sebelum meninggalkan ruangan, ia menyarankan agar aku membaca buku “The Miracle of Enzym” karya Hiromi Shinya.
“Ini buku bagus, coba ikuti dietnya. Buku ini judulnya dalam bahasa Inggris, tapi isinya bahasa Indonesia. Ada di Gramedia. Harganya 60 atau 80-an ribu,” katanya sambil menuliskan judul buku serta nama penulis pada secarik kertas.
Ketika menunggu giliran untuk rontgen, mendadak aku teringat bahwa besok aku akan membeli obat di Yayasan Kanker Indonesia, tetapi belum punya resepnya.
“Sini gua mintain ke dokter itu,” kata temanku. “Pasti dikasih, kan dia orangnya baik.”
Beberapa menit kemudian ia kembali sambil membawa resep yang kuperlukan.
Proses rontgen, mulai dari menunggu giliran sampai mengambil hasil, ternyata lama sekali karena banyak pasien. Sekitar dua jam baru selesai. Dokter yang baik itu telah meninggalkan ruang praktiknya.
Hasil rontgen menyebutkan bahwa lututku terkena osteoarthritis alias pengapuran yang mengakibatkan nyeri sendi.
Keesokan harinya ketika aku menemui dr. Winarti untuk infus dan suntik, aku menunjukkan hasil rontgen.
“Ini hanya sedikit. Ringan,” katanya.
Untung tidak parah ya?
Ringan saja sakitnya lumayan… Yach.. yang bikin lumayan itu karena ada bonus nyeri di pangkal paha.
Untuk mengatasinya, sementara ini aku minum tablet anti nyeri serta obat suplemen yang mengandung glukosamin dan kondroitin.
Tak ada obat yang dapat menyembuhkan pengapuran. Tetapi latihan yang tepat dapat meningkatkan dan mempertahankan lingkup sendi, menguatkan otot, meningkatkan ketahanan dan fungsi sendi serta meningkatkan kepadatan tulang

Saturday, October 10, 2009

Jalan Santai dari Mal ke Mal

Suka jalan-jalan? Tentu. Apalagi kalau jalan-jalan di mal…
Nah, kebetulan. Hari Minggu, tanggal 18 Oktober 2009, jam 6 – 10 pagi, bakal digelar acara jalan santai alias Fun Walk dari mal ke mal.
Maksudnya itu bukan dari satu mal ke mal yang lain. Tapi berangkat dari mal yang namanya Plaza Semanggi dan kembali ke mal yang sama.
Rutenya: Plaza Semanggi (Lobi Utara) – Polda Metro Jaya – Sudirman – Bunderan Senayan – Ratu Plaza – Atma Jaya – Plaza Semanggi (Lobi Utara).
Tema acara yang dimeriahkan dengan berbagai permainan dan door prize ini adalah “smiles and hope”. Apa maksudnya supaya kita senyum-senyum sambil berharap agar mendapatkan hadiah? Boleh juga kalau mau diartikan begitu.
Tapi sebetulnya kegiatan ini diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran akan kanker payudara. Bukan hal yang kebetulan kalau diadakan Minggu depan karena bulan Oktober memang merupakan breast cancer awareness month alias bulan sadar kanker payudara.
Berbagai kegiatan diadakan di seluruh dunia untuk tujuan yang sama: membuat orang sadar dan waspada akan bahaya kanker payudara dan perlunya deteksi dini serta upaya penanganan dan pencegahannya. Waspada bukan berarti takut setengah mati. Kita tak boleh kehilangan senyum dan harapan.
Memang kanker payudara perlu mendapat perhatian serius. Di Amerika, sekitar 250.000 orang didiagnosa menderita kanker payudara setiap tahunnya. Tak diketahui angka untuk Indonesia, tetapi jelas bahwa kita semua harus waspada.
Acara jalan santai yang bakal berlangsung tgl. 18 Oktober ini diselenggarakan oleh Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta, Yayasan Kanker Indonesia, Reach to Recovery, Yayasan Onkologi Anak Indonesia, Cancer Information and Support Center dan Sports Station. Sponsornya banyak, termasuk Femina.
Pendaftaran dibuka sampai tanggal 16 Oktober dengan biaya Rp 50.000 per orang. Peserta akan mendapatkan kaos Reebok dengan catatan kalau masih ada. Maklum, persediaan terbatas.
Dari biaya tersebut, sebanyak Rp 10.000 akan disumbangkan untuk membantu deteksi dini kanker…
Eeeehhh ralat… ralat… Maap… Maappp… Ternyata aku salah baca. Dalam brosur yang aku peroleh di YKI, terdapat tulisan sbb:
“Donasi Rp 10.000 akan diberikan untuk membantu deteksi dini kanker bagi setiap pembelian produk REEBOK seharga minimal Rp 500.000.”
Hmm…banyak juga ya yang mesti dibelanjakan. Bisa-bisa kantongku jadi ROBEEK.
Nggak belanja nggak apa kok… Yang penting ayo ikutan meramaikannya.
Aku sendiri…. kayaknya ga bisa ikutan… soalnya kaki lagi sakit. Tapi aku dukung 100% melalui tulisan pendek ini.
Tempat pendaftaran:
Reebok Shops di Plaza Indonesia Extension, Plaza Senayan, Supermal Karawati, Mal Puri Indah dan Mal Ciputra.
Sports Station: Wisma BNI 46, Senayan City, Plaza Semanggi, Blok M Plaza, Pluit Village, Supermal Karawaci, Mal Puri Indah, Matahari dept store Taman Anggrek Mal, Pondok Indah Mal, Plaza Cibubur, Depok Mal, Kelapa Gading Mal, Mal Metropolitan dan Kemang.
YKPJ: Tel. 5696 7762
YKI/RR : 315 2603, 3192 7464, 750 7447
YOAI : 5681612
CISC : 530 7662, 532 8149
Untuk informasi lebih lanjut, harap hubungi 0813 1732 6292.

Mau pisang, dok?

Dokter di daerah terpencil kabarnya sering kali dibayar tidak dengan uang oleh pasiennya, melainkan dengan hasil kebun seperti pisang atau singkong.
Bagaimana dengan dokter di Jakarta?
Mau nggak ya mereka dibayar dengan pisang atau singkong? Hehehehe.. Jangan coba-coba datang ke rumah sakit sambil membawa setandan pisang. Bisa-bisa diusir satpam, dikira mau dagang …
Dokter di kota besar itu komersil. Ongkos ke dokter itu mahal, begitu yang sering kita dengar.
Berapa sih tarif dokter di Jakarta?
Tak ada tarif yang pasti. Sangat beragam. Kemarin (Kamis, 8 Oktober 2009) aku memeriksakan kakiku yang sakit ke dr. T. Juwono, dokter spesialis syaraf di Rumah Sakit Internasional Bintaro. Biaya konsultasi Rp 175.000 plus administrasi Rp 25.000. Syukurlah, dokternya baik.
Tadi aku suntik Zoladex dan infus Zometa di tempat lain. Berapa rupiah yang harus aku keluarkan untuk jasa dokter yang menanganiku?
Tak sesen pun. Gretong alias gratis….
Suntik dan infus itu merupakan pengobatan rutin selama lebih dari dua tahun ini, yang aku jalani sedapat mungkin setiap empat minggu. Yang menangani adalah dokter Winarti yang baik hati.
Sejak bu dokter mengetahui bahwa aku harus membanting tulang untuk membeli obat, ia tak pernah mau dibayar. Pasti ia tak sampai hati mendengar tulangku yang sudah kena kanker itu masih harus dibanting-banting.
“Jam 12 pakai Emla cream, ya,” begitu SMS dr. Win, yang akan aku temui pada jam 13:00.
Bu dokter mengingatkan aku untuk mengoleskan krim pada bagian yang akan disuntik. Bagian yang diolesi krim ini akan mati rasa sekitar 1-3 jam kemudian. Jadi ini semacam obat bius, yang diperlukan agar suntikan tak terasa sakit. Maklumlah, jarum suntik Zoladex ukurannya super jumbo, sebesar sedotan Aqua gelas…
Meskipun secara resmi ia adalah dokter umum, dr. Win banyak tahu tentang kanker karena pengalamannya merawat pasien kanker, termasuk ibu dan beberapa sanak familinya serta pejabat tinggi tempat ia bertugas.
Siang itu, dr. Win mengurungkan niatnya untuk menyuntik aku. Ini karena kesalahan teknis dalam mengoleskan krim gara2 salah tempat dan plester penutup bagian yang diolesi kurang rapat. Karena itu krim harus dioles ulang.
“Nggak apa. Nanti suntiknya setelah infus,” katanya dengan sabar.
Kami lalu menuju ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari poliklinik tempat dr. Win bertugas. Infus dilakukan di ruang gawat darurat RS tsb. Meskipun ada dokter jaga di sana, dr. Win tak mau lepas tangan. Ia sendiri yang mengawasi suster menyuntikkan jarum infus ke nadiku dan dengan sabar menunggu sampai seluruh proses berakhir.
"Kita pinjam dapurnya saja. Yang masak ya tetap kita," katanya sambil tersenyum.
Dari RS, kami kembali ke poliklinik dan di sana aku baru disuntik Zoladex.
Kalau pasien di daerah terpencil membayar dokter dengan singkong atau pisang, maka aku memberi dr. Win yang gemar menyelam itu majalah National Geographic Indonesia. Lho, katanya nggak keluar sesen pun. Kan perlu uang buat beli majalah? Nggak tuh.. majalah itu aku dapatkan secara cuma-cuma karena kebetulan aku menjadi salah seorang penerjemah di sana.
Ditengah-tengah banyaknya berita negatif tentang dokter yang terlalu komersil, yang ceroboh, yang pelit informasi dan yang arogan, kehadiran sosok seperti dr. Win merupakan hal yang sangat disyukuri.
Asal tahu aja, banyak juga lho dokter yang baik hati….. Misalnya dr. Kartono Mohamad dan dr. Samsuridjal Djauzi, yang kebetulan pernah aku wawancarai. Selain itu ada juga dr. Alvita yang kisahnya bisa dibaca dalam blog ini . Lalu masih ada dokter yang aku kenal baik … yaitu adik ayahku sendiri…. Bukan nepotisme lhooo … Paman yang sekarang sedang berjuang melawan tumor otak ini memang baik hati.
Contoh konkret dokter yang mulia juga dapat kita dengar dari cerita seorang teman virtualku. Adiknya menderita kanker tulang dan dirawat oleh Prof. Teguh yang kliniknya terletak di daerah Menteng.
Begini katanya:
“... kalau tengah malam sakit banget, dia bisa bangun untuk bantuin kasih suntik atau obat. Dia juga bisa ditelpon dan datang.
“Saya terharu, ternyata ada dokter di Jakarta yang baik banget. Di Singapure kayaknya belum pernah dengar ada dokter seperti itu,” kata teman yang berdomisili di Singapura itu.

Monday, October 5, 2009

Heboh Batik

Kalo ditanya apa kita bangga dengan budaya negeri sendiri, pasti semua beramai-ramai menjawab: yaaaa…. Begitu juga dengan batik, songket, tenun ikat atau kain tradisional lainnya. Pasti banyak yang mengangguk-angguk.
Tapi seberapa sering kita mengenakannya? Berapa banyak koleksi kita? Nah, itu soal lain. Setidaknya, demikianlah yang kualami.
Aku turut gembira karena UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya Indonesia, bukan negara lain seperti Malaysia yang hobi ngeklaim ini dan itu sehingga ada yang memlesetkannya menjadi Malyngsia.
Ketika aku membaca email dari HRD kantor yang menghimbau agar kita semua memakai batik pada Jumat, 2 Oktober 2009, aku menyambut baik. Tapi eh, tunggu dulu, aku cuma punya satu baju batik… Bukan batik mahal, tapi kayaknya sayang kalo dipake ngantor… Ada juga saputangan batik yang aku buat waktu kursus di Museum Tekstil. Kalo lagi santai di rumah, aku juga suka pake celana pendek batik . Tapi… himbauannya kan memakai baju batik bukan saputangan batik.. apalagi celana pendek batik… Hmmm.. kayaknya aku perlu beli baju batik nih…
Dasar pikun, hari Kamis sore aku baru ingat rencana itu. Tak mungkin pulang kantor berburu batik, pasti toko2 sudah pada tutup karena jam kerjaku yang tidak biasa. Satu-satunya harapan adalah pasar Palmerah yang letaknya tak jauh dari kantor. Buru-buru aku ke sana. Ada sih batik, tetapi sayang, tak ada yang berkenan di hati.
Jumat pagi, aku lari ke ITC BSD. Larinya pake mobil…. Nggak pake sepatu kets.
Mula2 aku ke lantai 2, lalu ke lantai 1. Semua toko yang menjual batik aku jelajahi. Hasilnya kurang memuaskan.
“Kemarin banyak yang nyari batik. Yang ada tinggal ini. Ini juga stok sisa Lebaran,” kata si Mbak penjaga kios.
Di lantai 3, di sebuah toko yang sebagian besar dagangannya adalah kebaya, aku melihat ada beberapa potong baju batik. Salah satunya sangat unik. Seumur hidup belum pernah aku melihat baju seperti itu. Modelnya sederhana, tapi motifnya ramai. Pakai aksara Jawa segala…
Akhirnya aku beli juga. Bagian depan dekat krahnya jatuhnya kurang bagus, agak terbuka. Aku akalin aja pake button (pin) biar rapet.
Singkat cerita, jadilah aku berbatik ria ke kantor.
Sore-sore telepon di meja berdering.
“Mbak ini dari bagian foto. Ntar mbak mau difoto.”
Hah..??? Sebegitu mempesonanyakah diriku dengan baju batik ini? Darimana dia tau kalo aku pake batik unik ini?
Rupanya fotoku diperlukan untuk menemani tulisanku tentang undang-undang rumah sakit yang besok akan dimuat di koran. Ini baru pertama kalinya lho fotoku masuk koran.
Pasti karena baju batikku yang unik….Hehehhee.. GeEr…! Padahal di koran, batiknya nggak kelihatan.

Thursday, October 1, 2009

New hospital law should not be paper tiger

Horeee….. Ada kabar gembira. Kita sekarang memiliki undang-undang mengenai rumah sakit yang berpihak pada pasien.
UU ini mewajibkan tenaga kesehatan memberikan informasi mengenai jenis tindakan pelayanan kesehatan yang diberikan beserta efek dan besaran biayanya. Pengaturan pola tarif akan dilakukan dengan memerhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan mutu pelayanan rumah sakit.
Setelah mengendap selama tiga tahun di DPR, perangkat hukum ini akhirnya disahkan pada hari Senin (28 Sep. 2009), beberapa bulan setelah mencuatnya kasus Prita Mulyasari yang menghebohkan. Prita dijebloskan ke tahanan menyusul pengaduan RS Omni Internasional yang geram gara-gara beredarnya email Prita di dunia maya perihal layanan buruk yang ia alami ketika menjadi pasien di RS tsb.
Layanan medis yang buruk bukanlah hal yang luar biasa. Sering kita mendengar keluhan pasien tentang berbagai masalah, mulai dari komersialisasi layanan medis dan kurangnya komunikasi antara pasien dan dokter sampai salah diagnosa dan bahkan malpraktik.
Akibatnya, banyak pasien yang terpaksa berobat ke luar negeri, terutama Singapura, Malaysia dan Cina.
Aku sendiri mempunyai pengalaman buruk dengan tenaga medis di Jakarta. Pernah menjadi korban penipuan suster ketika akan menjalani kemoterapi. Pernah juga kesal karena sikap dokter yang kasar.
Tapi yang membuatku sampai memutuskan untuk berobat ke Singapura adalah ketika dokter menyuruhku memakai “brace” yang sangat menyakitkan setelah diketahui bahwa kanker mulai menggerogoti tulangku. Brace berkerangka besi harus dipakai selama tiga bulan untuk menopang punggung dan tak boleh dilepas kecuali kalau mandi atau tidur.
Aduuuuhhhh… sakitnya minta ampun. Baru 3 jam saja sudah sakit, apalagi 3 bulan. Ampun deh, ampun. Nyerah…
Ceritanya belum selesai nih. Pengalaman buruk kembali aku alami akhir bulan Agustus kemarin. Karena tumor marker yang tinggi, dokter menyuruhku CT scan. Kali ini aku memilih untuk CT scan di RS PIK yang kabarnya memiliki alat yang sangat canggih.
Hasil CT scan mengejutkan. Dokter spesialis radiologi mengatakan bahwa ada penebalan di dinding paru-paru dan menduga bahwa itu adalah metastasis awal. Kesimpulan itu diambil karena ada bintik-bintik di sekitar paru-paru.
Malam itu juga aku mengirim email untuk bu dokter di Singapura, yang kemudian meminta aku datang dengan membawa hasil CT scan tsb dan juga hasil CT scan sebelumnya untuk dibandingkan.
Ketika aku menemuinya, bu dokter menyampaikan kabar yang melegakan.
“Tak ada penyebaran di paru-paru,” katanya.
Ia lalu membentangkan hasil CT scan yang baru dan yang sebelumnya dan memperlihatkan bahwa bintik-bintik itu juga ada dalam hasil CT scan yang lama, yang aku jalani pada bulan Maret tahun ini di RS Pluit. Dibandingkan dengan yang lama, justru bintik-bintik itu sekarang tampak lebih terang, yang berarti “lebih baik”.
Dokter radiologi di RS PIK sama sekali tidak membandingkannya dengan hasil CT scan yang lama, padahal hasil CT scan yang lama aku sertakan ketika menjalani CT scan di sana pada akhir bulan Agustus.
Soal alat, tak diragukan. Memang canggih.Tapi sayang hal itu tak diimbangi dengan kemampuan untuk membaca hasilnya dengan baik. Bahkan yang terjadi adalah kecerobohan. Seandainya dokter specialis radiologi itu mau membandingkannya dengan hasil yang sebelumnya, paling tidak tentu ia tak akan secepat itu mengambil kesimpulan yang sempat membuatku kalang kabut.
“Kamu bisa menuntut rumah sakit itu,” komentar seorang teman.
Bagus juga ya, idenya, menuntut dan minta ganti rugi milyaran rupiah. Kalau dikabulkan, uangnya bisa untuk biaya pengobatan. RS juga akan lebih berhati-hati.
Tapi proses hukum sangat melelahkan. Selain itu, biarpun kita berada pada pihak yang benar, belum tentu kita menang. Yach.. tau sendirilah betapa bobroknya penegak hukum negeri ini.
“Jangan sampai ditahan seperti Prita,” kata teman yang lain.
Kita sudah memiliki UU mengenai rumah sakit. Menurut UU itu, pasien bebas berkeluh kesah ke media masa jika merasa kurang nyaman dengan layanan RS. Pihak RS juga dituntut untuk selalu memperhatikan kualitas layanan dan profesionalisme karena akan ada kewajiban audit medis dan kinerja secara berkala.
Di atas kertas, undang-undang itu bagus. Tapi tak ada gunanya jika tidak ditegakkan.
Kalau dilaksanakan dengan konsisten, alangkah indahnya. Pasien akan merasa lebih tenang dan terhindar dari berbagai persoalan terkait dengan komersialisasi layanan medis, layanan yang buruk, kurangnya profesionalisme dll. Jika mereka merasa nyaman, tentu mereka juga tak akan jauh-jauh berobat ke Singapura. Dengan demikian, rumah sakit lokal juga akan diuntungkan.